Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ayaswordsAvatar border
TS
ayaswords
SAYUNI (Based On True Horror Story) by Aya Swords


Quote:


Prolog


Tak... tak... tak...

Hak sepatuku berbunyi nyaring. Aku sedang berjalan cepat-cepat di gang setapak menuju ke rumah kos. Mata ini menatap langit, warnanya jingga bersemburat ungu. Sore sudah hendak berganti malam.

Gang itu begitu sepi. Tapi...

Tak... tak... tak... tak...

Seketika aku menoleh ke belakang.

Tidak ada apa-apa. Hanya aku yang sedang berjalan sendirian di jalan sempit tanpa penerangan ini. Aku mendesah pelan.

Akhir-akhir ini, aku sering sekali merasa ada yang mengikutiku. Saat sedang sendirian, perasaan itu akan semakin kuat. Contohnya kali ini—aku benar-benar merasakan kehadiran seseorang tepat di belakang. Samar-samar bahkan terdengar bunyi langkah pelan selain langkahku. Persisdi belakang.

Tapi, tadi itu sudah kelima kalinya aku memastikan kalau aku benar-benar sendirian. Aneh... aku bahkan tidak bisa memikirkan penjelasan logis atas apa yang kualami ini kepada diriku sendiri.

Aku menggelengkan kepala, sambil merasa konyol diri ini berusaha keras menghapus pikiran yang tidak-tidak.

Ini dia. Tinggal satu langkah sebelum kaki ini mencapai gerbang besar berwarna hitam yang merupakan tujuan. Lega rasanya membayangkan bahwa aku akan bertemu banyak penghuni kos disini, meskipun kami tak saling mengenal. Setidaknya, aku tidak sendirian.

Tangan ini menggapai, hendak membuka pintu itu. Namun tiba-tiba saja aku berhenti. Punggung ini... terasa panas. Panas sekali. Panasnya menjalar hingga ke tengkuk—rasanya seakan kau sedang memunggungi api unggun yang besar dan menjilat-jilat. Bersamaan dengan itu, rasa takut yang teramat sangat menyerangku. Jantungku berdetak kencang ketika samar-samar aku merasakan hembusan nafas yang hangat di belakang telinga kiri.

Kali ini, aku tidak punya nyali lagi untuk menengok.

Padahal tinggal satu langkah lagi, tapi rasanya begitu berat untuk sekedar bergerak atau melangkahkan kaki. Aku memejamkan mata. Sungguh tak ingin menggubrisnya. Aku tidak ingin pikiran-pikiran negatif memenuhi benakku. Kukumpulkan semua keberanian yang tersisa untuk membuka pintu gerbang rumah kos.

Namun pintu itu bergeming.

Sementara tubuh bagian belakang semakin bagai terbakar dan hembusan nafas itu semakin jelas terasa, pintu gerbang itu masih tidak mau membuka.

Aku mulai panik. Tidak ada yang bisa kulakukan selain membaca semua doa yang kutahu di dalam hati. Satu menit berlalu, tapi rasanya sudah berjam-jam aku berada disitu. Penuh dengan rasa ketakutan.

Hati terus berharap, kumohon, Tuhan, kumohon... semoga ada seseorang yang lewat dan menolongku.

Kriiieeeetttt...

Tiba-tiba saja keajaiban terjadi. Terimakasih Tuhan! Tanpa menunggu aku segera melangkahkan kaki ke dalam dan menutup pintu itu. Suaranya kencang karena dibanting.

Aku menyandarkan punggungku. Panas yang menjalar itu sudah berkurang. Dalam hati aku tak henti mengucap syukur.

Ku buka mata, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri.

Gedung rumah kos ini begitu besar. Tapi mengapa tidak ada seorang pun yang kulihat? Kemana perginya semua orang?

Aku memandangi rumah Bibi penjaga kos yang berada tepat di lantai bawah, tepat 30 meter dari tempatku berdiri. Biasanya pukul segini saat aku pulang kerja, dia akan berada di luar. Minimal untuk tegur sapa atau basa-basi sedikit. Tapi kali ini tidak ada siapa-siapa disana.

Semua pintu kamar di lantai satu tertutup, tidak ada seorang pun yang terlihat berada di luar. Padahal, tidak seperti biasanya, hari itu jumlah motor yang bertengger di area parkir motor rumah kos sepertinya lebih ramai dari biasanya.

Lagi-lagi, aku berusaha untuk tidak menggubris semua pikiran aneh. Kaki ini berjalan melalui parkiran motor dengan langkah cepat-cepat. Ingin segera sampai di kamar. Namun karena masih penasaran, sesekali aku menengok dan melihat-lihat ke atas.

Lalu, pandanganku saling tumpu dengan seseorang yang sedang menatapku dari balkon lantai dua.

Seorang gadis, sepertinya umurnya sebaya denganku. Ia sedang berdiri di balkon kamar yang berada tepat di sebelah kamarku. Tubuh ga tertutup mukena berwarna putih yang berkibar-kibar tertiup angin.

Aku tersenyum tipis padanya, tapi dia tidak tersenyum balik padaku. Tepat di saat itu aku sadar, bahwa dia tidak sedang menatap ke arahku. Memang sekilas pandangan kami seakan bertumpu. Tapi ternyata, bukan aku yang ia lihat.

Tapi sesuatu... di belakangku.

Sontak aku menengok ke belakang. Mencari-cari apa yang aneh. Tapi seperti beberapa menit sebelumnya, tidak ada siapa-siapa di sini. Tidak ada apa-apa di sekitar tempatku berdiri.

Lalu, kenapa tatapannya sampai nanar begitu? Apa jangan-jangan... ia bisa melihat apa yang tidak bisa kulihat?

Hawa panas masih menjalar di permukaan kulit punggungku. Bersamaan dengan itu, bulu kudukku berdiri.

Aku menyadari bahwa tubuh ini terlalu lama terpaku disana. Baru saja kakiku hendak melangkah, perempuan yang memandangku di balkon tadi membalikkan badan dan melambaikan tangan tanda memanggil. Tak lama, beberapa orang lainnya ikut menengok melalui balkon. Semua menatap aneh kearahku.

Saat itu demi Tuhan aku yakin kalau mereka semua—lebih dari lima orang yang saat ini sedang berdiri di balkon—menatapku dengan tatapan ngeri.

Spoiler for INDEX:
Diubah oleh ayaswords 02-10-2019 13:46
anasabila
someshitness
dhalbhoo
dhalbhoo dan 17 lainnya memberi reputasi
18
17.7K
103
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Tampilkan semua post
ayaswordsAvatar border
TS
ayaswords
#42
PART 8: Bisikan
Sudah lama sekali aku terbangun. Terbangun dalam arti aku sudah tidak tidur; dan meskipun mataku masih menutup, pikiranku sudah sadar sepenuhnya.

Namun aku bergeming. Rasanya seakan-akan kedua mataku diberi beban sangat berat sehingga sulit terbuka. Padahal aku ingin sekali membukanya.

Salah satu teman pernah mengatakan padaku, bahwa setiap manusia punya satu indera yang tak terlihat. Kita bisa merasakan sebuah kehadiran, bahkan saat kita tidak melihat ataupun mendengarnya. Pernahkah kau menyadari bahwa seseorang sedang mendekatimu dari belakang, meski kau tidak melihatnya dan langkah kakinya tidak terdengar?

Aku sedang mengalaminya saat ini. Tepatnya semenjak aku terbangun dari tidurku tadi.

Aku sangat kesal. Aku ingin dia—atau apapun itu yang sedang berada di dekatku saat ini—tahu kalau aku sudah bangun.

Aku ingin ia tahu kalau aku tidak takut. Aku ingin ia pergi.

Hatiku sangat marah ketika rasanya tangan dan kakiku saja tidak mau menuruti keinginanku.

Aku mulai berdoa, sambil menenangkan diriku dan berusaha keras tertidur lagi. Lama sekali rasanya aku berusaha. Sampai kemudian, suara berbisik itu terdengar lagi. Suara itu mengganggu sekali, namun aku tidak bisa mengusirnya karena asalnya sendiri dari dalam kepalaku.

Apa benar-benar aku yang sedang berbicara?

Aku menarik nafas panjang dan membuangnya lagi. Setelah melakukannya berkali-kali, kudengar suara itu mulai mengabur, sedikit tenang dan tidak sericuh sebelumnya. Kuteruskan doa-doa yang sebelumnya kubaca. Lalu kehadiran 'seseorang' itu pelan-pelan sudah tak kurasakan.

Sampai akhirnya aku merasa aku kembali sendirian.

Kubuka mataku dengan mudah kali ini. Kulihat seberkas cahaya pagi dari ventilasi kamarku. Dalam hati mengucap syukur. Tidak ada apa-apa disini. Aku benar-benar sendirian. Mungkin sejak awal aku memang sendirian, mungkin yang semalaman ini kurasakan hanya mimpi belaka.

Aku mendudukkan diriku di kasur. Menatap bayanganku di cermin besar lemari yang letaknya tepat di bagian kaki tempat tidurku. Aku terlihat berantakan—dan bahuku naik turun dengan tempo cepat. Entah untuk alasan apa aku terengah-engah. Aku merasa capek sekali. Tenggorokanku juga kering dan rahangku pegal—seolah-olah aku habis berbicara tak tentu arah semalaman.

Apa yang sebenarnya terjadi tadi malam?

Lamunanku terinterupsi oleh suara telepon. Aku melihat layar ponselku, Adi rupanya.

"Hi, Baby, gimana tidurnya tadi malam?" tanya Adi.

"Capek,” jawabku singkat.

"Loh, capek gimana?"

Aku berusaha mengingat-ingat. Bahkan kesadaranku pun belum pulih sepenuhnya. "Semalaman aku merem, tapi rasanya kayak gak tidur. Aku denger suara-suara gitu—rasanya juga kayak ada yang lagi merhatiin aku dari samping tempat tidur."

"Ya ampun ..." kudengar suara Adi berubah khawatir. "Mungkin karena kamu belum biasa sama tempat baru ya?"

"Kayaknya sih gitu ..." aku setuju dengan pendapat Adi, walau tidak sepenuhnya. Ini sudah minggu kedua sejak hari pertama aku pindah ke rumah kos ini. Biasanya tidak pernah selama ini aku menyesuaikan diri dengan habitat baru.

"Ya udah. Besok kamu udah mulai kerja kan. Gimana kalau hari ini aku jemput, kita jalan, yuk? Soalnya besok-besok juga aku udah sibuk kerja."

Benar juga. Hari-hariku bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Adi sudah berakhir karena mulai besok aku sudah resmi bekerja di perusahaan milik seniorku. Kami harus menggunakan semua kesempatan yang ada untuk bertemu, karena pekerjaan Adi seringkali tak kenal waktu. Selanjutnya, aku akan lebih banyak sendirian, karena aku juga tidak punya banyak teman di Bandung.

Dalam hati aku merasa sedikit sedih. Namun, aku juga sadar kalau ini sudah jadi resiko dari keputusan yang kuambil. Setidaknya aku bersyukur bisa dapat pekerjaan; aku tak harus bergantung pada orangtua dan jarakku dengan Adi tidak terpisah jauh lagi.

"Okay. Aku siap-siap dulu, ya." jawabku, menunjukkan nada semangat pada Adi sebelum menutup teleponnya.

***

Aku mematung. Setengah syok dan tidak percaya dengan apa yang aku lihat di layar ponsel Adi. Aku melirik sekilas ke arahnya—ia masih sibuk dengan makanannya.

Kenapa? Kenapa wajahnya bisa setenang itu? Kenapa ia tidak merasa takut barangkali aku akan menemukan sesuatu di ponselnya—dan itu benar-benar sedang terjadi saat ini?

Aku menelan ludah, menahan panas yang menggelegak di kerongkonganku, lalu membaca tulisan di notes itu sekali lagi.


Quote:


Delapan Juli. Itu bukan tanggal ulangtahunku.

Aku membuka ponselku dan membuka aplikasi facebook. Dengan kecepatan tangan aku mengetik nama perempuan itu dan mencari akunnya.

Mataku bergerak cepat dan menggulir halaman dinding sampai ke bulan juli. Sampai akhirnya aku tahu kalau ulangtahun perempuan itu adalah sehari setelah Adi membuat notes di ponselnya.

Aku merasa seolah dilalap api—seluruh tubuhku panas. Aku memandangi Adi tatapan penuh kebencian. Dan tepat pada saat itulah, aku mendengar sebuah suara yang lirih, penuh dengan tekanan, dan jelas sekali berbisik di telinga kiriku:

"Bunuhhh."
Diubah oleh ayaswords 26-09-2019 14:19
chisaa
itkgid
axxis2sixx
axxis2sixx dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.