Kaskus

Story

rosemallowAvatar border
TS
rosemallow
PELET PERAWAN [KISAH NYATA]
PELET PERAWAN [KISAH NYATA]


Langit sedikit mendung sore itu, air hujan sudah selesai membasahi tanah. Aku berjalan perlahan menghindari genangan-genangan air yang terlihat seolah-olah jebakan ranjau yang tak boleh aku injak. Dengan membawa mangkuk berisi sayur diatas kedua tanganku aku bersenandung riang berjalan menuju rumah uwakku.

Sore itu sehabis hujan, ibu menyuruhku mengantarkan sayur ke rumah uwakku yang jaraknya tidak terlalu jauh aku hanya melewati kebun saja. Aku menatap sekeliling begitu sepi, mungkin Karena hujan jadi orang-orang enggan untuk keluar rumah.

Daerah tempat tinggalku adalah sebuah perkampungan di selatan pulau jawa sebelah barat. Disini aku tumbuh dan bermain dengan saudara-saudaraku. Jarak antar rumah masih berjauhan belum ramai rumah-rumah.
Waktu itu tahun 2007. Aku masih berumur 11 tahun.

Aku masih terus berjalan dengan pelan, karena aku takut menumpahkan sayur yang didalam mangkuk ini. Terlebih ibu akan lebih marah jika pakaianku sampai kotor terkena cipratan lumpur dan genangan air.
Tak lama aku sudah sampai di gerbang rumah uwakku.

Rumah ini adalah rumah terbesar kala itu disekitar kampung, rumah yang berpagar tinggi dan isi rumah yang luas dibandingkan dengan rumah disekitarnya.

Orangpun segan sebenarnya dengan keluarga uwakku ini karena Uwak laki-lakiku adalah seorang Guru yang dikenal banyak orang dan istrinya yaitu uwak perempuanku mempunyai paras yang cantik meskipun sudah mulai berumur.

Aku pun masuk ke halaman depan rumah uwak, saatku akan memanggil “UWWW…. “
Aku terkaget setengah mati ketika melihat seorang wanita berambut panjang hitam bergelombang berdiri didekat tanaman melati yang cukup tinggi, ia memandangi bunga-bunga itu membelakangiku. Aku tertegun menyipitkan mataku…

“aduh si teteh… kirain teh siapa?” ucapku
“kenapa atuh dek, kaget nyah?!” jawab ia tertawa kecil

LITA, …
Namanya lita, kakak sepupu perempuanku yang kala itu sudah lulus sekolah menengah atas. Parasnya sangat cantik nan jelita, badannya yang mungil dengan wajah ayu serta rambut panjang hitamnya seolah membuat wajah kecilnya semakin membuatnya lebih imut. Aku rasa wajah cantiknya ia dapatkan dari ibunya.

Litapun menjadi primadona di kampung ini, banyak laki-laki yang ingin sekali menjalin cinta dengannya. Tapi itu bukan perkara mudah, lita bukan gadis yang mudah untuk membuka hatinya kepada sembarang pria. Dia sangat berhati-hati untuk memilih teman kencan kala itu. Aku sering menjadi objek curhatannya karena aku lebih sering menghabiskan waktuku di rumah uwak jika sepulang sekolah. Aku sering menginap juga. Umurku 6 tahun lebih muda dari Lita.

“Bawa naon dek?” (bawa apa dek?)
“ieu sayur ti mamah, dititah dikasih ka uwak”
(Ini sayur dari mamah, disuruh dikasih ke uwak)
Setelah itu akupun masuk bersama lita ke dalam rumahnya, dan menemui uwak perempuanku. Didalam sana terlihat uwakku duduk sambil memegang gelas dilengan kirinya dengan selimut memeluk tubuhnya yang sedari tadi terlihat menggigil.
Ternyata uwak sedang sakit, ia baru saja selesai meminum obatnya dan bergegas akan pergi beristirahat kembali. Saat bangun dari duduknya ia melihatku datang dan langsung memanggilku.

“maneh bawa naon dek?” (kamu bawa apa dek?)
“ini wak, aku bawa sayur ti mama!” ucapku
“aduh, ngerepotin bibi atuh ya… “ jawab uwak sembari menahan batuk

“hehe enyaa gapapa wak, saur mama uwak teh lagi sakit nyah?” ( hehe iya gapapa wak, kata mama uwak lagi sakit ya?)

“enya kasep” (Iya ganteng) jawab uwak

Setelah itu lita mengambil mangkuk yang sedari tadi diatas telapak tanganku dan pergi ke dapur.

Aku melihat sekeliling sembari duduk menikmati camilan yang ada dimeja ruang tamu rumah itu, aku pun mulai berjalan menuju ruangan yang biasa digunakan bermain game ketika aku berada dirumah uwak.

“A Okta teu aya dirumah ya teh?” ( A Okta ga ada dirumah ya teh?) teriakku didepan pintu ruangan itu
“nya, teu aya. Nuju maen diluar kayanya!” ( iya , ga ada. Lagi maen diluar kayanya) jawab Lita dari arah dapur

Okta, adalah adik Lita yang umurnya lebih tua dariku 4 tahun. Kami sering menghabiskan waktu dengan bermain game disini. Niatku hari itu ingin bermain game dengan Okta, jadi aku putuskan untuk bermain sendiri saja.
Waktu menunjukkan, Pkl. 18:30, aduh belum shalat maghrib pikirku. Aku langsung bergegas mengambil air wudhu ke kamar mandi.

Tiba-tiba pintu rumah uwak diketuk dengan keras dan memanggil nama uwak perempuanku, aku tersentak kaget dan langsung pergi ke kamar uwak perempuanku.

“Wak.. uwakk… bangun, diluar aya nu manggil-manggil” ( wak, uwak. Bangun, diluar ada yang memanggil) kataku sembari menggoyang-goyangkan badan uwak ku yang sedari tadi terbaring lemas.

Lita yang sepertinya mendengar suara itu juga lekas berlari menuju pintu depan rumah.
BINGUNG!?

Lita melihat kerumanan orang menggotong seseorang yang tidak lain adalah bapaknya, yakni uwak laki-lakiku. Disitu terdengar teriakan Lita yang membuatku langsung berlari ke arah luar rumah dan meninggalkan uwak perempuanku yang masih belum terbangun.

“Bapaaaaakkkkkk” teriak lita dengan kaki yang bergetar hebat.

Aku melihat uwak laki-lakiku tergolek tak berdaya, terlihat sangat lemah dan pucat. Aku tidak mengerti apa yang terjadi dengan uwakku itu. Lita hanya menarik-narik kerah kaosku sembari menangis sejadi-jadinya.
“Innalilahi wainnailaihiroji’un” Ucap salah satu pemuda

Aku tidak menghiraukan perkataan pemuda itu, dan langsung mempersilahkan para warga yang menggotong uwakku untuk masuk ke dalam rumah.
Aku hanya menatap kosong melihat uwakku terbujur.

“Pak Yadi, sudah meninggal neng” Ucap salah satu warga
Petir seperti menyambar Lita, dia menjerit-jerit tidak karuan menangis hebat tanpa menghiraukan orang-orang yang disekitarnya.

Aku hanya bisa terdiam tanpa sepatah katapun, ku pegangi lita yang sedari tadi meronta-ronta. Aku hanya memandangi saja, hingga petirpun mengeluarkan suaranya dengan keras, air langitpun menghujam tanah dengan lirih membasahinya tampak mengerti dengan kesedihan yang lita rasakan.
Decit suara ranjang Dari arah kamar uwakku terdengar lirih, iwak Perempuanku terlihat gontai berjalan pelan dengan wajah yang sudah bercucuran airmata. Ia melangkah dengan gemetar dan kemudian terjatuh pingsan.

"Bapaaaakkk...."

Suara keras menggema dari arah luar bercampur dengan suara derasnya suara hujan, Seorang anak lelaki basah kuyup memaksa menembus kerumunan warga yang sedari tadi berdatangan.
Okta tak kalah histeris melihat bapaknya sudah tak lagi bernyawa, tangisannya tak kalah hebat. Aku tak sanggup lagi memandangi moment buruk seperti ini, hingga kujatuhkan air mata dan memeluk lita.
Uwakku seperti bapak kandungku sendiri. Aku tidak bisa melupakan kebaikannya kepadaku. Tak lama semua saudaraku pun berdatangan termasuk kedua orangtuaku.


Esok hari...
Kami memakamkan uwak di pemakaman pribadi keluarga kami yang letaknya di halaman rumahku, bapakku mempunyai rumah dengan halaman yang lumayan luas sekaligus pemakaman pribadi yang hanya diisi oleh keluarga kami saja. Kakek, Nenek, sepupuku, Kakak laki-lakiku sudah terlebih dahulu menempati pemakaman itu, sekarang uwak laki-lakiku yang sangat aku hormati menempati tempat itu pula.

Aku memandangi proses pemakaman itu dari depan rumahku, terlihat banyak sekali kerumunan warga yang memadati halaman rumahku, terlihat Iwak Perempuanku, Lita dan Okta berdiri menangisi kepergiannya, meskipun tangisannya tidak sehebat kemarin malam, tapi aku bisa merasakan kesedihan yang amat dalam dari mereka.

Dalam lirih lantunan adzan, dua ibu-ibu mengatakan sesuatu

"Kasian nyah pak Yadi sama keluarganya" (kasian ya Pak yadi sama keluarganya)

"Enya, cenah mah kena serangan jantung nyah pas ngelayat kerumah pak Amin" ( Iya, katanya kena serangan jantung ya pas ngelayat kerumah pak amin)

"Leres Bu, tapi cenah ya inimah, katanya si almarhum pak Yadi teh becanda nyobain tidur diatas kain samping yg diatas kain kapannya almarhum pak Amin" (bener bu, tapi katanya ya inimah, katanya si almarhum pak yadi becanda mencoba tidur diatas kain yang diatasnya kain kapan almarhum pak amin)

"Astaghfirullah, masa iya Bu?"
"Nya muhun, kata Nu lain itu juga" ( Iya bener, kata orang itu juga)

Aku yang mendengar itupun, hanya bisa terdiam dan memandang lirih ketika tanah mulai dimasukan ke liang lahat tanda akan mengakhiri pemakaman ini.

Bersambung...
PELET PERAWAN PART 2

PELET PERAWAN [AKHIR]
Diubah oleh rosemallow 26-09-2019 19:22
doelvievAvatar border
minakjinggo007Avatar border
3.maldiniAvatar border
3.maldini dan 32 lainnya memberi reputasi
33
33.4K
62
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
rosemallowAvatar border
TS
rosemallow
#13
PELET PERAWAN [PART 2]
Hari ke hari berlalu terasa sangat lamban,
Rumor ketulah yang terjadi kepada pak yadi, uwakku. Ternyata menyebar sampai ke kampung lain. Mereka membicarakan hal ini dari mulut ke mulut.
Keluarga kami tidak terlalu menghiraukan omongan orang lain, kami hanya berpikir positif saja, tidak perlu membicarakan hal yang sama sekali tidak terbukti. Itu hanya kebetulan saja pikirku.

Beberapa Tahun kemudian…

Aku termenung duduk di ruang tamu rumahku, kilauan embun pagi ini terasa mengetuk haru, sejenak aku mengingat uwakku. Kenangan yang tidak bisa aku lupakan begitu saja. Lamunanku jatuh menusuk ketika ku ingat rumor tentang beliau. Mereka anggap itu sebuah kutukan yang terjadi karena sebuah candaan yang kekanak-kanakan.

Pagi ini hari Minggu,

Aku tidak mempunyai kegiatan apapun, hanya terbaring lesu diatas kasur yang sengaja di taruh di ruang tamu yang menyambung dengan ruang menonton televisi. Diluar gerimis seolah mencegahku untuk enggan bermain di luar rumah.
Pelan aku bangun dan melangkahkan kakiku ke teras rumah,

Aku memandang, melihat rumah besar itu masih berdiri kokoh dibalik kebun sebelah halaman rumahku, Ya Rumah uwakku. Rumah itu terasa berbeda sekarang, aku merasakan perbedaan yang sangat tentang rumah itu. Hingga tak sadar aku memakai sandal dan berjalan menuju rumah itu.

Memainkan ilalang yang tumbuh disepanjang jalan menuju rumah uwak, aku memainkan jemariku seolah sedang memetik harpa. Dari kejauhan kulihat Lita melambaikan tangannya, pertanda dia menyuruhku menghampirinya.


kaskus-image

Aku pun bergegas berlari,
Ia masih saja cantik dengan rambutnya yang dipotong sebahu, tidak ada perubahan yang berarti dalam diri lita. Hanya saja dia terkadang terlihat murung.

Ditinggalkan oleh bapaknya, keluarga lita sekarang tidak seperti dahulu. Mereka merasakan kesusahan setiap kali, karena uang pensiun pun tak cukup untuk membiayai kehidupan mereka, uang sekolah, makan dan keperluan lain dirasa masih sangat besar bagi mereka.

Tapi, perlakuan mereka terhadapku masih tetap saja sama. Tidak berbeda, aku masih dianggap saudara dan anak oleh keluarga uwakku itu.

“Kadieu dek, geuraan!” (“kesini dek, cepetan!”) ajak lita

Aku menghampirinya dengan senyum lebar, aku tahu apa yang akan ia bicarakan!
“Nya, ada naon teh!” (Iya, ada apa teh?” tanyaku

“Wengi, nginep nyah dirumah, teteh nyalira!” (Malem, nginep di rumah ya, teteh sendirian!) jelas lita sambil masuk berjalan ke dalam rumah.

“Naha? Uwak kemana? A Okta?” (Kenapa? Uwak kemana? A okta?) kata ku bingung
Lita hanya menjawab, jika uwak dan okta pergi ke Kota B****, kampung halaman uwak perempuanku.

Akupun seharian bermain game dirumah uwak, ditemani lita yang sama bermain game kesukaannya juga waktu itu.
Hingga kami terlalu fokus, tidak terasa langit sudah mulai gelap, ditemani temaram lampu-lampu warga berwarna jingga keemasan dengan sayup suara adzan maghrib bersautan.

Kamipun memutuskan untuk pergi sembahyang.

Karena dirumah ini ada lebih dari satu kamar mandi, aku memutuskan mengambil wudhu di kamar mandi belakang didekat dapur.
Aroma pewangi lantai menerobos masuk rongga hidungku, semua tampak sama dengan beberapa tahun lalu. Tak lama aku pun selesai mengambil wudhu dan shalat maghrib.

Setelah shalat, kami berdua memutuskan untuk memasak nasi goreng kala itu, aku memang terbiasa dengan lita melakukan hal ini.

Ketika cabai yang kupegang akan ku iris, suara ketukan pintu depan menghentikan tawa kami berdua. Lita sontak berjalan menuju pintu depan, dan aku hanya meneruskan tugasku untuk mengiris cabai.

Terdengar sayup dari arah pintu depan.

“Eh A Jajang? Aya priyogi naon nyah?” (eh A jajang, ada perlu apa ya?) Tanya Lita

“Eh neng, kabeneran. Si Ibu aya?” ( eh neng, kebetulan, si ibu ada) ucap pemuda tanggung dengan kulit coklat dan badan kurusnya berdiri tegak didepan pintu rumah.

“Si Ibu, Teu aya. Nuju ka luar kota a.” (si ibu, ngga ada, lagi keluar kota a) jawab Lita jelas
“Oh kitu, Te nanaon atuh. Sabenerna mah, perluna teh ka neng lita sih, sanes ka ibu!” (Oh gitu, gak kenapa-kenapa. Sebenernya perlunya ke neng lita sih) terang Jajang

“Nya? Bade naon?” (Iya, mau apa?) jawab Lita

Di temaram halaman rumah seseorang berjalan mendekat ke teras dan menghampiri Lita dan Jajang didepan pintu rumah.
“Nya, ieu teh rencangan abdi!” (Iya, ini temen saya!) terang jajang sedikit malu
Seorang laki-laki yang kira-kira umurnya tidak terlalu jauh dengan jajang dengan badan tinggi tegap berbadan gempal berkepala botak dengan wajah yang tegas tiba-tiba tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang salah satunya terdapat kawat yang disinyalir adalah gigi palsu itu, tiba-tiba berbicara

“Nya teh, abdi namina Alan” (iya teh, nama saya Alan) Lirih laki-laki itu memperkenalkan diri.

Lita hanya tersenyum sedikit, dan memperkenalkan namanya dan kemudian hanya terdiam. Dalam bayangannya berpikiran negative tentang laki-laki yang wajahnya saja baru dia lihat pertama kali. Lita tidak mendapatkan moment baik ketika melihat wajah laki-laki itu.

“terus teh?” ucap jajang seraya menyentuh bahu Lita
“eh enya-enya, sok masuk kalebet” (eh, iya iya, silahkan masuk kedalam!) ajak lita.
Litapun langsung berjalan cepat menuju dapur.

Aku yang sedang menggigit mentimun dikursi makan melihat lita berjalan menuju ke arahku.

“PUKKK!”
Tangannya memukul bahuku
“ih teteh sakit atuh, aya saha?” (ih teteh,sakit! Ada siapa?) tanyaku sedikit mengernyitkan dahi.

Lita berjalan pelan menuju lemari yang berisi alat makan dan gelas-gelas, diambilnya dua gelas berukuran sedang dengan piring kecil dari rak paling bawah.

“teteh ge teu nyaho, sarieun tadi” (teteh juga gak tahu, takut banget tadi) jawab lita sembari bergidik

“Naha? Pan si a jajang sanes?” (kenapa? Kan si a jajang bukan?) terangku heran
“Nya, tapi mawa batur, asa teu resep teteh ningalna geh!” (Iya, tapi bawa temen, kaya gak suka aja teteh ngeliatnya!) jawab Lita sembari menuangkan air putih dari teko plastik.

“Nya atuh, terusin masakna! Teteh ka hareup heula!” (Yaudah, terusin masaknya! Teteh ke depan dulu) seru Lita sambil berjalan membawa nampan diatas tangannya dengan 2 gelas air putih.

Aku yang sebenarnya merasa penasaran, Rasa takut apa yang di maksud lita, memutuskan untuk meneruskan memasak nasi gorengnya.

Setelah selesai, saking penasarannya aku berpura-pura berjalan ke depan hanya untuk mengobati rasa penasaranku. Saatku setengah jalan didekat lemari tinggi besar yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah aku mendegar perkataan yang spertinya keluar dari mulut laki-laki itu.
“Abdi teh resep ka neng lita, bogoh. Hehe…” (Aku tuh suka sama neng lita, Cinta. Hehe) kata laki-laki itu yang terdengar sedikit tertawa diakhir kalimatnya.

Tak ada jawaban yang kudengar dari mulut Lita.

Aku pun melanjutkan jalanku hingga saat melewati ruang tamu, yang dimana Lita dan laki-laki itu sedang duduk di sofa. Lita memanggilku

“Dek, bade kamana?” (dek, mau kemana?)
Aku menengok sedikit kearah Lita, hingga ku sadari wajah dari laki-laki itu tak terlihat bersahabat. Seolah-olah dalam dirinya hanya ada kebencian. “SEREM” dalam hatiku

“bade meser tomat ka warung teh enjum, sakedeung!” (mau beli tomat ke warung te enjum, sebentar!) kataku sembari berjalan keluar pintu

Aku berhenti sejenak di teras sambil mengelus dada, “Aduh, eta kok meni kitu amat muka teh, hiiih” (Aduh, itu kok wajah gitu banget, hiih) ucapku dalam hati.
Hingga sebuah tangan menepuk bahuku dari belakang yang membuatku kaget setengah mati.

“eh dek!”
Aku hampir setengah berteriak dan membalikkan badanku.

“Ih, naon sih a jajang! Ngareuwasan bae!” (ih, apa sih a jajang! Ngagetin aja!) Ucapku kesal
Jajang hanya tertawa kemudian masuk kedalam rumah.

Aku yang berpura-pura tadi akhirnya ikut masuk lagi kedalam rumah dan melewati Lita yang masih terduduk. Terlihat jelas kejijikan diwajah Lita, wajahnya hampir tidak memeperihatkan rasa senang. Akupun duduk di ruang tengah dan menyalakan TV.
Beberapa menit kemudian,
Lita berlari dari arah ruang tamu dan langsung duduk disebelahku. Dan ternyata Jajang dan laki-laki itu sudah pulang.
“Ih dek, teteh mah meni geuleuh ka lalaki eta.” (ih dek, teteh mah jijik sama cowok itu) jelasnya sambil mencubit lenganku
“Hahaha, enya tadi denger oge .. haha” (iya tadi denger juga kok”) kataku sambil setengah tertawa
Lita terlihat kesal melihat ekspresiku, dan meluapkan kejijikannya terhadap laki-laki yang menurut lita itu jelek dan tidak ramah. Aku hanya mencandainya, jangan bersikap seperti itu, nanti malah suka.
Dia semakin membabi buta mencubitiku, hingga akhirnya kami memutuskan makan nasi goreng yang sedari tadi kami tinggalkan.

Hari-hari berlalu,

Laki-laki itu semakin sering menghampiri rumah lita. Lita tidak ada pilihan lain selain tetap mempersilahkan Alan masuk ke rumah. Hingga suatu malam, Uwakku memarahi Lita karena tetap menerima Alan masuk kerumahnya. Meskipun terkadang Lita berpura-pura tidak ada dirumah, atau sedang sakit, atau sengaja menerimanya masuk tapi lita berada di dalam kamar, sedangkan Alan duduk sendiri di Ruang Tamu. Aku yang kala itu ada disanapun hanya bersikap cuek terhadap Alan yang terlihat sangat bahagia sepertinya.

Lita juga sebenernya risih kepada Alan yang semakin lama malah semakin merasa jika dia bebas untuk pergi kerumah lita. Hingga menimbulkan kebencian yang teramat dari dalam diri Lita terhadap Alan. Litapun memberanikan diri untuk berbicara langsung kepada Alan.

“Punten kang, Mulai ayeuna tong kadieu-dieu deui nyah, Lita teh teu resep ka maneh. Jadi ulah kadieu deui!” (Maaf kang, mulai sekarang gak perlu kesini lagi ya, Lita gasuka sama kamu. Jadi jangan kesini lagi!) jelas Lita lugas
“Naha atuh? Alan teh resep ka lita nu imut, geulis, sareng bodas pisan kulitna teh” (Kenapa? Alan tuh suka sama lita yang imut, cantik, dan kulitnya putih) jawab Alan sedikit kesal
Tanpa berbicara lagi Lita langsung pergi meninggalkan Alan yang kala itu terlihat sangat kesal sekali. AKu yang berdiri dibalik lemari ruang tamu, hanya terdiam dan mengamati wajah Alan yang lebih seram dari biasanya.
Kemudian alan pun melangkah keluar…

Berhari-hari Alan tidak pernah lagi menghampiri rumah Lita…
Hanya sesekali saja aku melihat alan pernah lewat dijalan depan rumah lita mengendarai sepeda motor, sambil menatap kesal melihat kearah rumah Lita. Akupun menceritakan itu kepada Lita, lita hanya bergidik jijik mendengar itu dan bersikap bodo amat.
Suatu Malam,
Aku menginap di rumah Lita, waktu sudah menunjukkan pukul 11 Malam, suasana rumah sangat sepi karena semua orang sudah tertidur.

Aku tidur dikamar Okta yang memang biasanya aku tidur disana jika menginap. Tapi malam itu aku tidak tidur dengan Okta, dia menginap dirumah temannya. Jadi aku hanya sendiri.

Lita tidur dikamarnya, begitupun uwak.
Ketika itu, aku hampir jatuh dalam tidur yang lelap dan tiba-tiba terbangun.
“Guk… Guk… Guk… “ terdengar suara anjing kencang sekali di ikuti suara cekikikan seorang wanita yang tak kalah nyaring dari suara anjing itu.

Aku sontak loncat dari ranjang, membuka pintu dan berlari menuju kamar Uwakku. Kulihat pintunya terbuka sedikit dan terlihat Lita sudah ada dipelukan uwakku. Akupun memaksa masuk kedalam pelukan uwakku, hingga uwakku memeluk kami berdua malam itu.

Lirih suara anjing dan wanita yang kita anggap kuntilanak itu terdengar terkadang menjauh terkadang sangat dekat sekali. Tak hanya itu, suara anak ayam membuat suasana malam itu semakin mencekam. Pelukan kami semakin kuat, hingga kami tertidur dan bangun pada esok pagi.
Besok ramai sekali orang-orang membicarakan suara anjing dan kuntilanak itu, ternyata banyak tetangga lain yang mendengar suara yang sama dengan yang kami dengar malam itu. Ada juga seorang wanita menangis hebat dikamarnya karena mendengar suara itu.

Ternyata, ada orang yang melihat itu keluar. Betapa kagetnya dia melihat Kuntilanak yang dikejar oleh anjing kesana kemari, dia mengitari rumah-rumah warga dan bolak balik sambil diteriaki anjing. Bulu kudukku berdiri mendengar cerita itu dari salah satu warga.

Malam berikutnya,
Aku lebih sering menginap dirumah uwak, biasanya hanya jika besok libur aku menginap, sekarang meskipun besok sekolah, aku masih suka menginap dirumah uwak. Untungnya kedua orangtuaku tidak memasalahkan hal ini, lagipula jarak rumah kami sangat dekat. jadi ibu dan bapak memperbolehkan aku, kapanpun menginap dirumah uwak.

HARVEST MOON!
Game yang malam itu aku mainkan dengan sangat serius, di ruangan Game biasa yang kala itu setiap hari siang sudah disewakan ke anak-anak sekitar, karena kebutuhan ekonomi uwakku perlahan mulai memburuk. Tapi akan tutup setiap setelah Maghrib, jadi aku bisa bebas leluasa bermain sendiri diruangan ini, lagipula Okta sudah merasa bukan mainannya lagi Karena ia merasa sudah besar.

Ditengah keseriusanku bermain game dan lampu yang sengaja aku matikan.
Tiba-tiba pintu ruangan ini membuka perlahan, dalam kegelapan yang hanya mengandalkan cahaya dari Layar, masuklah dua orang ke ruangan. Karena ruangannya tidak terlalu luas, aku kaget tapi tetap diam.
Aku melihat Lita dicumbui oleh Alan, sesekali mereka tertawa lirih sambil berciuman dan berpelukan. Aku masih saja terdiam, wajahku menatap kosong dan tanganku menggenggam Stick game dengan erat.
Apa aku tidak salah lihat? Dan apa mereka tidak melihatku ada disini? Ah, bukan itu yang penting. Tapi kenapa Lita mau dengan Laki-laki yang membuat ia Jijik, pikirku dalam hati.

Beberapa menit mereka bermesraan di sebelahku. Aku masih saja membeku, terkadang aku melirik pelan melihat Wajah Alan yang terlihat sangat senang dalam kegelapan dan tersenyum dengan gigi khasnya. Hingga mereka kemudian pergi keluar.

Setelah mereka keluar,
Aku pun berhenti bermain game dan memutuskan untuk mencari tahu apa yang terjadi. Kumatikan layar dan Playstation serta menggulung kabel stick kemudian pergi keluar. Kulihat Uwakku terbaring sambil menonton TV, beliau hanya terdiam menikmati sajian acara di TV waktu itu. Akupun tidak mencoba untuk mengganggu uwakku saat itu, dan berjalan menuju Ruang Tamu.

Ah, mereka benar ada disana.
Aku berjalan melewati mereka, Lita terlihat sangat senang sekali duduk bersama Alan.
Aku tidak pernah melihat Lita sebahagia itu semenjak Bapaknya meninggal, ada apa dengan Lita? Kenapa dia?
Aku hanya bisa bergumam dalam hati, memikirkan hal itu. Aku tidak berani membicarakan ini kepada orang lain meskipun kepada Uwakku waktu itu.
Setiap Hari Alan semakin sering datang kerumah uwakku, dan disambut bahagia oleh Lita. Mereka sering mengobrol dan becanda layaknya sepasang kekasih yang baru saja Jadian, atau seperti seorang gadis yang baru dinikahi oleh laki-laki pujaannya.
Tapi entah kenapa, Setiap Alan berada dirumah itu. Aku merasakan suasana yang tidak membuatku nyaman. Aku lebih sering merasakan kepanasan, begitupun uwakku yang sering mengeluh kegerahan. Padahal bisaanya tidak seperti ini, dan seringkali dibeberapa titik rumah aku merasakan merinding yang teramat.
Hingga kami merasa ada yang memperhatikan dari jauh.
Semakin lama, kami sudah merasa tidak peduli lagi kepada LIta yang sepertinya Tergila-gila kepada Alan. Aku mencoba bicarapun seperti percuma. Kenapa sikapnya berubah seperti itu.

Bukannya Lita sangat membenci Alan?
Entah apa saja yang mereka lakukan dirumah ini, karena hanya sore & malam saja aku berada dirumah ini, aku tidak tahu menahu mereka melakukan apa.
Hingga, aku merasa ada hal yang tidak wajar yang terjadi kepada Lita. Dia sudah jarang sekali solat dan mengaji, meskipun ditegur dan dimarahi uwak, dia tetap saja tidak mendengarnya. Bahkan yang biasanya kita mengobrol, sudah tidak pernah lagi. Aku terkadang juga malas pergi ke rumah ini, hanya saja uwak perempuanku sering sakit, jadi aku khawatir. Apalagi Okta sudah mempunyai pekerjaan, bahkan jarang sekali untuk pulang. Dia memilih kost dengan temannya.

Akupun mulai sangat membenci ketika melihat Alan ada dirumah ini, Wajah Jelek seperti itu terlihat Pede sekali bisa mendapatkan sepupuku yang cantik! Punya apa dia?. Kesalku dalam benak.
Aku sering mencuri pandang melihat Alan melihatiku dengan wajah yang penuh dengan kebencian. AKu tidak terlalu menghiraukannya, “Ah aing, Bodo teuing!” (Ah, Bodo amat) Ucapku dalam hati.

Hari-hari berlalu,
suasana rumah itu semakin membuatku tidak betah. Intensitasku pergi kesana semakin jarang. Aku lebih suka berdiam diri dirumahku kala itu. Hal itupun membuat kedua orangtuaku merasa aneh.
“Kunaon dek, teu ka bumi uwak deui!” (Kenapa dek, gak kerumah uwak lagi?) Ucap ibuku

“Teu kunanaon mah, marales weh hoyong didieu wae” (Gak apa-apa mah, bawaanya males pengen disini aja) jawabku.

“Eh, dek, Lalaki nu dirumah uwak teh saha?” (eh dek, lelaki yang dirumah uwak itu siapa?) Tanya ibu penasaran

“Oh, duka abdi ge teu terang ma” (oh, gatau aku juga bu) jawabku singkat

“yeh, sok bohong kitu ka kolot. Da cenah mah mamah ngadenge ti batur, mun eta teh kabogoh teh Lita.” (Yeh, suka bohong gitu sama orang tua, katanya sih mamah denger dari orang lain, kalo itu pacarnya teh lita) jelas ibuku

Aku hanya mengangkat kedua bahuku, tanda aku tidak tahu.

“Atuh da meni jore, uyuhan si Lita ih geulis-geulis hayang kanu kitu. Orang gunung nyah lalakina?” (jelek banget cowoknya, kok lita cantik-cantik mau sama yang kaya gitu. Orang gunung ya cowoknya?) tambah ibuku

“Teu terang ah abdimah” (gak tahu ah akumah) jawabku sambil pergi meninggalkan ibuku.

Pikirankupun tidak tenang, memikirkan hal ini. Apalagi sudah banyak orang yang penasaran kepada Alan. Lita yang dahulu sangat berhati-hati kepada laki-laki, sekarang dipandang seperti bukan apa-apa lagi.
Banyak laki-laki yang lebih tampan mendekati Lita, tapi malah jadinya sama laki-laki macam si Alan. Pasti itu akan menjadi bahan candaan semua orang di kampung.
Hingga suatu malam, aku pergi ke rumah uwak.

Malam itu terasa sedikit berbeda menurutku, suasana rumah itu sangat mencekam, kulihat di halaman tidak ada motor yang biasa dipakai Alan. Aku tertegun berhenti didepan pagar rumah uwakku, semilir angin dingin menusuk rongga telingaku, hampir tidak ada suara malam itu, lirih hanya beberapa hewan malam yang terdengar sedang beraktivitas.
Tiba-tiba, sebuah Teriakan merusak Lamunanku.

Bersambung...

PELET PERAWAN [AKHIR]
Diubah oleh rosemallow 26-09-2019 19:23
gerandong66
tantinial26
key.99
key.99 dan 17 lainnya memberi reputasi
18
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.