Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

soniapenulisAvatar border
TS
soniapenulis
KABUT CINTA RATIH 1
Ratih menatap dua garis merah, yang tergambar jelas di sebuah benda pipih terbuat dari kertas dan ada batas urinnya. Tangan gemetar, kakinya serasa sudah tidak lagi menapak di bumi. Ini bukan kehamilan pertamanya, yang jadi masalah adalah ... Ratih seorang janda beranak satu.
Ratih meraih ponselnya, sebuah nama dari kontaknya segera ia panggil. Tak berapa lama kemudian, tanpa menunggu suara terdengar dari seberang ....
“Mas ... aku mau bicara penting, sekarang!!”
“....”
Suara di seberang tidak membantah, Ratih tahu pemilik suara di seberang sedang cuti. Jadi pasti segera menemui dirinya, Ratih segera menstarter motor sportnya, menyusuri jalan desa yang berbatu. Menuju ke tempat yang selalu mereka tuju, jika rindu.
Tak sampai tiga puluh menit, suara motor lain mendekati gubug tua tempat Ratih menunggu. Sosok yang ia kenal dan mengisi hari-harinya, selama enam bulan terakhir, menghampirinya.
“Ada apa, Sayang? Kok tumben, ngajak ketemu tiba-tiba. Untung Silvia gak di rumah, jadi bisa langsung ke sini.”
Pria itu duduk di sebelah Ratih, meraih tangannya. Haris namanya, hidung bangir, kulitnya cokelat. Yang paling menggoda Ratih adalah senyumannya, yang selalu membuat tidur Ratih tak nyenyak.
“Aku ... aku hamil, Mas?” Ratih nampak ragu.
Haris terdiam menatap manik mata Ratih, tak lama ia palingkan wajah ke arah lain.
“Mas ....” suara Ratih terdengar mendesak.
“Iya, Mas dengar. Em ... bisa jadi alat itu salah, Sayang. Bagaimana kalau di test lagi ....”
“Mas, ini bukan kehamilan pertamaku. Jadi tidak usah meragukanku ....”
“Lalu?”
“Lalu? Jawaban apa itu, Mas?” Ratih frustasi, mendengar tanggapan Haris.
“Maumu Mas harus bagaimana? Menikahimu? Mau jadi istri kedua?”
Tangis Ratih pun pecah, ketika memulai mencintai Haris ia lupa jika Haris masih beristri. Ratih begitu menikmati rayuan-rayuan Haris, hingga ia menyerahkan kehormatannya sebagai janda, di tempat ini.
“Tenang dulu, Ratih! Biarkan Mas berpikir! Kalau kamu nangis, Mas jadi bingung ....”
“Bingung? Mana bukti rayuanmu dulu, Mas? Mana??” Ratih histeris, bahunya berguncang.
Haris memeluk dan menciumi wajahnya. Membisikkan kata-kata cinta di telinga Ratih. Tangis Ratih reda, ia membalas ciuman panas Haris. Dan mereka kembali menikmati rayuan dosa, di gubug yang jauh di tengah kebun.
“Mas akan cari jalan untuk kita berdua, Ratih harus tenang dan percaya ya! Mas mencintai Ratih, itu yang harus Ratih ingat!”
“Iya, Mas.” Ratih membaringkan kepalanya, di dada bidang Haris. Semilir angin makin melenakan keduanya, berselimut lumpur dan kabut dosa. Meluapkan rindu yang terpendam beberapa hari, sejak Haris cuti.
***
Ratih dan Haris bekerja di sebuah Perusahaan yang sama, hanya beda divisi.
Sejak awal mengenal Ratih, Haris langsung jatuh cinta. Meskipun Ratih berhijab, namun tak menghalangi Haris merayunya.
Ya ....
Setiap orang juga punya dosa, termasuk Ratih dan Haris.
Setelah memberitahukan perihal kehamilannya pada Haris, kegelisahan Ratih menjadi. Bagaimana jika orangtuanya tahu? Bagaimana jika Haris tidak segera menikahinya? Bagaimana dengan istri sah Haris? Bagaimana tanggapan orang-orang kampung?
Air mata Ratih mengalir, Ratih terisak di dalam gelap kamarnya. Apalagi ketika menatap wajah putri kecilnya, sia-sia cita-cita yang selama ini ia bangun, yaitu membesarkan Raya dengan baik. Ratih membelai gadis cilik yang tengah terlelap, lalu meraba perut yang masih rata. Ratih menggigit bibir, menelan tangis agar Ibu dan Ayahnya tak mendengar suara tangisnya.
Ponsel Ratih berbunyi, sebuah pesan singkat dari Haris. Sudah beberapa hari mereka tak bertemu.
“Mas rindu, sayang.”
Ratih mengusap air matanya, lalu jemarinya mengetik balasan pesan singkat dari Haris. Waktu menunjukkan pukul satu, tengah malam.
“Ratih juga rindu, apakah istrimu sedang tidur? Lalu kau baru ingat aku, Mas?”
“Jangan bicara begitu, jika Mas tidak cinta, bisa saja Mas menghilang tanpa jejak. Meninggalkanmu, dengan anak dalam rahimmu.”
Ratih kembali menggigit bibir, ketakutan akan malu menjalar hingga tengkuknya merinding.
“Lalu bagaimana? Apakah Mas sudah dapat jalan keluarnya?”
“Mas akan menceraikan Silvia, tadi kami bertengkar hebat. Dia tidak mau di madu ....”
Ratih terdiam dengan mata terus menatap layar benda pipih di tangannya, aku juga tak mungkin sanggup melihatmu membagi cinta Mas! Meskipun dia adalah istri sahmu, ucap Ratih dalam hati.
“Besok Mas akan cari kontrakan dekat kantor, biar kita bisa merencanakan dengan baik kehidupan kita selanjutnya. Mas menyerahkan rumah pada Maya dan Indra, anak-anakku. Mas mencintaimu, Ratih.”
Hati Ratih berbunga-bunga, ia berhasil membuat Haris memilih dirinya. Meskipun Ratih tahu, semua ini salah. Tapi ia harus menyelamatkan nama baik keluarga besarnya.
“Ya sudah, kamu istirahat ya! Besok pagi-pagi sekali, Mas tunggu di tempat biasa. Sebelum ke kantor, Mas ingin bertemu dulu denganmu. Mas rindu, ingat pagi-pagi ya! Bilang saja ada rapat, jadi harus berangkat pagi.”
“Iya, Mas.”
Ritual berbalas pesan pun berakhir, Ratih mengecup layar ponselnya. Ada wajah Haris mengenakan kaca mata hitam, menambah kesan gagah pada pria berusia tiga puluh lima tahunan itu.
Kabut masih turun ketika Ratih pamit pada Ibunya, dengan alasan ada rapat penting di divisi panen. Ratih bekerja di sebuah perkebunan sawit yang di kelola investor besar dari Negara Jiran. Bosnya berkewarganegaraan India, Ratih fasih berbahasa Inggris, karirnya bagus.
Ratih memacu motor di jalan berbatu, menyusuri kebun orang untuk sampai di gubug cintanya dengan Haris. Kebun itu milik keluarga Haris, jadi Haris tahu persis situasinya. Dari kejauhan nampak Haris sudah menunggunya sambil mengisap rokok, asap mengepul mengusir dingin. Ratih memeluk Haris erat, ia menumpahkan rindunya yang terlarang. Meneguk manisnya sampai tak tersisa ....

****

Haris memandang kepergian Ratih, wanita itu baru saja menemaninya. Sebelum berangkat kerja, kini Haris masih duduk di pintu gubug. Asap rokok mengepul ke udara, sebuah tas berisi pakaian teronggok di sudut ruangan dalam gubug. Haris menghela napas berat, biasanya jam segini ia mengantar Maya ke sekolah, kemudian sibuk di rumah membantu Silvia.
Tapi kini, ia mengembara tanpa tujuan. Uang di dompet tak seberapa jumlahnya, jika ia bayarkan sewa rumah habislah sudah persediaan uangnya.
“Hhhhh ... Kenapa harus kebablasan seperti ini sih?” ucap Haris frustasi, ia menjambak rambutnya, berharap otaknya kembali bisa berpikir.
Angannya kembali mengingat masa-masa bersama Ratih, di tempat ini. Ia tersenyum sendiri, Ratih memang beda, gumam Haris.
“Baiklah, sepertinya memang harus tinggal di kebun ini dulu. Daripada duit habis ....”
Haris mengeluarkan ponselnya, menelepon Ratih, janda pujaan hatinya.
“Sayang, Mas gak jadi cari kontrakan. Mas untuk sementara biar tinggal di kebun saja, nanti Mas telepon yang punya kebunnya. Pulang kerja, jangan lupa mampir ya. Mas masih rindu ....”
Harus berbaring di lantai gubug, perutnya keroncongan. Tapi ia sedang malas untuk ke mana-mana, ia putuskan untuk disini menunggu Ratih pulang kerja.

Pukul empat sore Ratih kembali ke gubug, mendapati Haris yang baru saja selesai mandi. Dan mereka kembali menyesapi madu-madu yang haram bagi mereka.
“Mas ....”
“Iya Sayang, ada apa?”
“Kapan mau ke rumah, menemui Ayah!”
“Untuk apa?”
“Mas!! Lupa ya, aku hamil. Masa iya, aku harus menanggung kehamilanku sendirian?” ucap Ratih sambil bersungut-sungut.
“Iya-iya sayang, Mas becanda kok. Maumu kapan? Tapi pastikan tidak ada pernikahan dengan pesta besar ya! Mas gak punya uang, kan kamu tahu sendiri berapa gajiku.”
“Iya Mas. Nanti Ratih bujuk Ayah. Ya udah, Ratih pulang dulu ya. Udah sore, nanti Ayah curiga.”
“Jadi Mas tidur sendirian nih?”
“Iyalah, gak mungkinkan kalau Ratih menginap disini! Makanya cepet lamar Ratih, biar Mas gak tidur sendiri lagi!”
“Ya ya baiklah, Sayangku. Hati-hati dijalan ya!”
“Iya.”
Ratih men-starter motornya, meninggalkan Haris sendirian di gubug. Di benak Haris muncul berbagai macam hayalan dan pikiran tak menentu, akankah semua ini mulus tanpa kendala?

Malam itu Ratih mencoba bicara pada Ayahnya, mengenai Haris.
“Apa? Menikah lagi? Sama siapa, Tih? Sudah berapa lama kamu kenal dia? Ingat lho, Tih! Kamu itu janda punya anak, harus hati-hati memilih pasangan. Jangan sampai kamu gagal lagi!”
“Yah, Ratih sudah mantap sama dia. Kenalnya sudah enam bulan, dia kerja kok, Yah. Gajinya juga lumayan.”
“Bukan masalah pekerjaan saja, Tih. Tapi apa kamu sudah kenal lebih jauh tentang dia? Keluarganya di mana, bujang atau duda. Semua harus jelas dulu!”
“Dia duda, Yah. Anaknya sama mantan istrinya semua ....”
“Kamu sudah lihat surat cerainya, Tih?”
Ratih terdiam, tidak menyangka jika Ayahnya begitu detil menanyakan latar belakang Haris. Ahh, bagaimana jika Ayah minta supaya Mas Haris menunjukkan surat cerainya? Batin Ratih kalut, bagaimana jika Ayahnya tidak menyetujui hubungannya dengan Haris? Lalu bagaimana dengan kehamilannya?
“Ratih, dengar nasihat Ayah! Ayah tidak pernah melarangmu menikah dengan orang yang kau suka, tapi pesan Ayah pastikan dulu latar belakangnya, jangan sampai kamu jadi madu. Sekarang banyak modus mengaku sudah duda, Tih. Tapi nyatanya istrinya masih ada, malu nanti kita Tih!”
Ratih menghela napas berat, sepertinya perjuangan Haris akan alot.
“Baiklah, jika memang kamu suka. Bawa dia kemari menemui Ayah, besok!”
Secercah harapan hadir mendengar ucapan sangat Ayah, mata Ratih berpendar bahagia.
“Iya Yah.”
“Mudah-mudahan dia memang baik, seperti katamu ya, Tih.”
Hati Ratih berbunga-bunga, membayangkan pernikahan didepan mata. Merajut bahagia bersama Haris, setelah mengirim pesan pada Haris, Ratih tertidur dengan harapan bahagia. Ia ingin pagi segera datang, tak sabar bertemu kekasih hati.
Pagi masih tertutup kabut, Lagi-lagi Ratih beralasan ada rapat. Ia berangkat kerja pagi-pagi, tak lain untuk bertemu Haris.
“Ingat ya, Mas. Habis maghrib, jangan terlambat!” ucap Ratih sambil bersiap-siap berangkat kerja.
“Iya, Sayang. Tapi ... bagaimana jika Ayahmu tidak menyetujui hubungan kita?”
Tangan Ratih sejenak berhenti, mengaitkan peniti di hijabnya. Hatinya dilanda keraguan yang sama dengan Haris.
“Berarti kita harus jujur tentang kehamilan Ratih, Mas!”
Haris terdiam, hatinya di liputi kegelisahan yang mendalam. Membayangkan reaksi keluarga Ratih, tapi ia sudah terlanjur basah. Meninggalkan istri sahnya demi Ratih.
“Apa kau siap menerima apa pun reaksi keluargamu, Sayang?”
“Siap, asalkan bersamamu Mas.”
Ratih bergelayut manja di bahu Haris, mengecup pipinya. Serta membisikkan kata-kata cinta yang penuh daya magis. Membuat Haris makin tak berdaya, Haris benar-benar bertekuk lutut di hadapan Ratih.
“Ratih berangkat dulu ya, nanti sore sebelum pulang, Ratih mampir.”
“Iya, hati-hati!”
Deru mesin motor yang dikendarai Ratih perlahan menjauh, Haris bimbang. Ia sedikit banyak telah mengetahui latar belakang keluarga Ratih, keras dan berdarah ningrat. Akankah semua berjalan sesuai keinginan Ratih dan Haris?
Diubah oleh soniapenulis 29-10-2019 21:13
corongalam
yuni.wahyuni114
novitatari
novitatari dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.1K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buku
BukuKASKUS Official
7.7KThread4KAnggota
Tampilkan semua post
Richy211Avatar border
Richy211
#3
ini di forum buku 😁
edi999693
edi999693 memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.