Kaskus

Story

InaSendryAvatar border
TS
InaSendry
Sandi Rumput Misterius
Sandi Rumput Misterius


Tepat pukul setengah tujuh, kami berkumpul di tengah lapangan untuk melaksanakan apel pagi. Menurut kakak pembina, setelah ini kami akan melakukan penjelajahan. Wah, pasti seru!

Kami mendengarkan dengan saksama pengarahan yang disampaikan. Tak lama kemudian, kakak pembina membagikan peta kepada setiap ketua regu.

Ada dua belas regu--dari sekolah yang berbeda--yang mengikuti perkemahan ini. Kami harus bersaing menjadi regu terbaik untuk memperebutkan piala Bapak Camat.

Quote:


Babak penjelajahan ini adalah kesempatan kami untuk menambah poin penilaian. Kemarin kami tertinggal dua puluh poin dari SMP Negeri 2--yang selalu menjadi rival sekolah kami--cukup berat sebenarnya untuk dikejar. Namun, rasa optimis selalu ada dalam dada kami.

Petualangan dimulai. Kami menyusuri jalan setapak sesuai petunjuk pada peta. Melintasi ladang-ladang jagung, ladang tebu, dan kebun sengon.

Kami terus berjalan tanpa banyak kata. Selain untuk menghemat tenaga, kami juga harus fokus mencari setiap petunjuk yang tertera pada peta.

Untungnya dalam regu ini setiap anggota memiliki keahlian yang saling melengkapi. Aku dan Rara menguasai semafor dan berbagai sandi. Iis dan Lintang mahir membuat tali-temali, sedangkan Mimi dan Hana punya ketrampilan pramuka lainnya.

Di pos pertama yang kami temui, seorang kakak pembina memberikan secarik kertas bertuliskan sandi rumput.

"Coba baca sekali lagi arti sandi ini!"

Rara ingin meyakinkan sekali lagi makna sandi yang kami dapatkan. Kutelusuri baris demi baris pada kertas petunjuk. Namun, artinya tetap sama.

RANTING KECIL DI ATAS RUMPUT. DENGAR DAN IKUTI SUARA SUNGAI. PERHATIKAN BATU BESAR DI SISI SUNGAI.

"Lihat itu! Ada ranting-ranting kecil di dekat pohon pisang itu."

Kami bergegas mendekati tempat yang ditunjukkan oleh Iis. Benar saja, ranting ini disusun sebagai penunjuk arah yang harus diikuti. Lalu kami kembali meneruskan perjalanan.

Dua puluh menit kami berjalan, belum ada petunjuk lagi. Ada jalan bercabang di depan. Lintang membuka peta, tapi petunjuknya agak susah dimengerti.

"Ingat gak sandi rumput kita tadi?" celutukku. "Kalian dengar suara aliran sungai itu?" Teman-temanku serempak mengangguk.

"Ya sudah, kita dekati sungai itu. Sepertinya memang peta tadi pun menunjukkan sungai, liat gambar ini." Rara memandang kami dengan sorot mata penuh keyakinan.

"Betul," sahut kami mantap.

Kami memutuskan mengikuti jalan ke kiri, karena sepertinya suara aliran air sungai terdengar dari arah itu. Dan memang benar, kini di hadapan kami ada sungai kecil yang sangat jernih.

"Lihat itu! Dekat batu besar itu ada kantung kain yang digantung. Menurut peta, ada petunjuk di sana," seru Mimi. 

Hana bergegas memeriksa isi kantung tersebut. Ia mengacungkan sebuah amplop kertas. Kami segera mengelilinginya, melihat lembar kertas itu berisi sandi rumput lagi.

JERNIH AIR SUNGAI MEMANTULKAN SINAR MATAHARI. LIMA PULUH LANGKAH MENANJAK. POHON KEMBAR ADALAH GERBANG.

"Kalian merasa aneh gak dengan sandi rumput yang kita temukan dari tadi?" ujarku mencetuskan rasa janggal yang kubatin sejak tadi.

"Maksudmu, In?" tanya Lintang dan Iis bersamaan.

"Biasanya di setiap tugas  penjelajahan yang kita ikuti selama ini, adalah menjawab pertanyaan seputar pengetahuan kepramukaan. Namun, kali ini kita hanya diarahkan menuju satu tempat ke tempat lain.

Teman-teman mengangguk mengiyakan.

"Lagi pula sejauh ini hanya satu pos saja yang kita temui."

"Bener, In ...," Sahut Mimi. "Dan dari tadi kita juga tidak bertemu dengan regu lain, meski kita berhenti cukup lama. Padahal jarak kita berangkat dari titik awal kan tidak terlalu jauh dari regu sebelum kita."

"Nah! Entah kenapa aku juga merasa kita pernah menemui tempat ini sebelumnya."

"Dejavu! Aku juga merasa demikian," seru Iis.

"Lalu ...?" sahut Hana tampak khawatir.

"Ya sudah. Kita ikuti saja petunjuk ini," tegas Rara si ketua regu.

Kami melihat ke seluruh permukaan sungai, mencari pantulan sinar matahari. Ternyata tempatnya di seberang. Beruntung ini sungai kecil yang tak terlalu dangkal. Jadi kami tak terlalu kesulitan untuk melaluinya.

Sesampainya di seberang sungai, ada jalanan setapak yang menanjak lumayan tinggi. Seperti petunjuk yang tertera dalam sandi rumput tadi. Jalan itu agak licin. Agak susah payah kami menaikinya.

Tak jauh dari ujung jalan kami lihat dua pohon berjejer layaknya pohon kembar, karena jenis dan ukurannya sama. Dan terlihat ada dua orang kakak pembina sudah menanti kami.

Sesampainya di hadapan kakak pembina, Rara segera melapor.

"Adik-adik sekalian, ini adalah pos terakhir. Kalian lihat dua pohon yang tumbuh sejajar seperti gerbang itu? Nah, lewatilah pohon itu tanpa menoleh ke belakang. Teruslah berjalan apapun yang terjadi! Ingat, jangan menoleh ke belakang!"

Sandi Rumput Misterius
ilustrasi

Arahan yang aneh. Mengapa tidak boleh menoleh ke belakang? Namun, kami menuruti saja apa yang ia katakan.

Kami berjalan membentuk satu baris menuju pohon kembar. Rara berjalan paling depan, diikuti Lintang, Iis, Mimi, aku dan Hana berjalan paling belakang.

Hal ganjil pun benar-benar terjadi. Satu per satu, Rara, Lintang, Iis dan Mimi seolah menembus suatu dinding yang aneh. Mereka menghilang dari pandangan begitu melewati dua pohon itu. Aku berhenti berjalan, merasa ragu dan takut.

"Han, kau lihat itu tadi? Mereka menghilang," bisikku tanpa menoleh.

"Iya. Tapi kita diminta terus berjalan tanpa menoleh tadi."

"Kok teman-teman tidak menyadari, sih? Tempat apa itu, ya?"

"Entahlah. Sebaiknya kita susul aja mereka."

"Tapi ...."

"Ayo, Dik, lekas jalan dan jangan menoleh!" teriak salah satu kakak pembina.

Meski masih merasa was-was, kuturuti juga perkataannya. Kulewati dua pohon itu dengan membaca doa-doa perlindungan dalam hati. Kurasakan Hana memegang bahuku. Lalu aku merasa menembus sesuatu, sebuah dimensi lain.

Di depan keempat temanku sudah menunggu dengan wajah kebingungan. Tempat ini penuh dengan puing-puing reruntuhan bangunan, tidak hanya satu tapi banyak. Saat aku menoleh, kedua pohon tadi telah lenyap.

"Kita ada di mana ini? Harus ke mana?" gusar Mimi.

"Mana petanya tadi?" tanyaku.

Lintang membentangkan kertas yang dipegangnya. Kami bersama-sama melihat peta. Namun, tak ada petunjuk lagi.

"Loh, kalian ini siapa dan dari mana?" sapa seorang bapak yang menuntun seekor sapi.

"Pak, kami ini pramuka yang sedang mengikuti perkemahan di lapangan Desa Ringin Kembar. Bisakah Bapak menunjukkan tempat itu?"

"Kemah pramuka? Dik, tidak ada pramuka yang sedang berkemah di sana."

"Tapi benar, Pak. Kami sudah empat hari ini berkemah di sana. Dan kami sedang melakukan penjelajahan."

"Dik, setiap hari saya melewati lapangan untuk menggembala sapi. Namun, tak ada acara perkemahan di sana.

Kami semakin bingung dengan situasi ini. Bagaimana bisa terjadi. Apakah kami tersesat? Oh, Tuhan.

"Ya sudah, kalau begitu saya antarkan saja adik-adik ini ke balai desa. Di sana kalian terangkan pada Pak Lurah apa yang telah kalian alami."

Kira-kira satu kilo meter kami berjalan, sampailah di sebuah bangunan balai desa. Bapak penggembala tadi berbincang sejenak dengan salah satu pegawai balai desa.

Pegawai itu mengajak kami ke ruang tamu. Ia memberi kami minum air mineral.

"Jadi adik-adik ini sedang berkemah di lapangan desa Ringin Kembar sini?

Kami mengangguk lemah, masih belum paham dengan apa yang terjadi.

"Coba ceritakan, kalian dari sekolah mana?"

Rara menjawab dengan suara lemah, "Kami dari SMP Negeri 1, Pak."

"Begitu?"

Aku memandangi seluruh ruangan, tak sengaja mataku tertumbuk pada kalender di dinding. Kalender yang dengan jelas menunjukkan tahun 2019. Bagaimana mungkin, sedangkan lima hari lalu kami masih menjalani tahun 2009.

***

Quote:


Tamat

Malang, 30 Agustus 2019

Gambar: pinterest
Diubah oleh InaSendry 29-10-2019 13:44
sriwijayapuisisAvatar border
syafetriAvatar border
someshitnessAvatar border
someshitness dan 29 lainnya memberi reputasi
30
7.4K
172
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread2Anggota
Tampilkan semua post
InaSendryAvatar border
TS
InaSendry
#96
Pulang dari Masa Lalu
kaskus-image
ilustrasi

Pak Lurah menatap tak percaya setelah aku mengatakan bahwa kami berenam--aku, Rara, Hana, Mimi, Iis dan Lintang--adalah peserta lomba  perkemahan pramuka yang sedang berlangsung di lapangan desa Ringin Kembar.

"Pak, saya tidak ngelantur. Sudah empat hari ini kami berkemah. Dan tidak hanya kami, tapi masih ada sebelas regu lain dari sekolah yang berbeda. Ada juga dua belas orang panitia."

Agak kesal juga aku menjelaskan pada Pak Lurah. Karena aku dan teman-temanku adalah anggota pramuka yang pantang membual. Kami adalah regu inti yang selalu diikutsertakan pada setiap perlombaan pramuka. Pastinya
prinsip Dasa Dharma Pramuka sudah melekat dalam jiwa.

"Baik, baik. Kalau begitu Bapak akan menelepon sekolah kalian. Tunggu sebentar di sini!"

Lelaki itu mengeluarkan benda persegi dari kantung celananya, mirip ponsel hanya saja lebih lebar, lebih pipih tapi tidak ada keypadnya. Ia menggeser-geserkan jari pada layar, lalu mendekatkan benda itu ke telinganya sambil berjalan ke luar ruangan. Mungkin itu adalah telepon seluler canggih, karena ini adalah tahun 2019.

Rara dan yang lainnya juga sama bingungnya, saat menyadari bahwa saat ini kami berada di zaman yang sangat jauh dari zaman kami.

"Na." Rara mencolek lenganku. "Ini beneran kita sedang di tahun 2019?"

"Ya kamu lihat aja kalender itu." Kutunjuk kalender di dinding dan kalender kecil yang ada di atas meja kerja.

"Gila! Ini benar-benar gila dan sukar dipercaya!" seru Lintang.

"Berarti ... kita sedang berada di masa depan?!" sahut Mimi takjub.

"Iyalah."

Pak Lurah memasuki ruang tamu lagi dengan wajah serius. Kami serentak diam,menunggu apa yang hendak beliau sampaikan.

"Begini adik-adik ..., saya sudah menghubungi kepala sekolah kalian. Sekarang beliau dan orangtua kalian sedang dalam perjalanan kemari."

Plong rasa hati kami mendengarkan penjelasan Pak Lurah. Tak lama kemudian muncul seorang lelaki-- sepertinya ia seorang pamong desa--mengangguk hormat pada Pak Lurah. Ia merogoh kantung kresek dan membagikan sebuah bungkusan serta air mineral.

"Kalian makanlah dulu," ujar Pak Lurah.

Mendadak perutku merasa sangat lapar. Begitu juga Rara, Hana, Mimi, Lintang dan Iis. Mereka langsung menyambar nasi bungkus di meja dan memakannya dengan lahap.

Baru saja makanan itu berpindah ke dalam perut kami, terdengar deru mobil memasuki halaman kantor kelurahan. Seorang lelaki tambun keluar dari mobil paling depan, di belakangnya ada dua mobil polisi, menyusul paling belakang sebuah mobil tua yang sangat kukenal. Itu mobil ayah.

Mereka berjalan beriringan mendekati kami yang sudah berdiri di teras. Namun, ayahku terlihat lebih tua. Aku jadi ragu untuk mendekati beliau. Kupandangi saja wajah ayah tanpa berkedip, rambutnya banyak yang memutih.

"Ina ...!

Ayah memelukku erat. Aku hanya diam mematung. Bingung harus berkata apa.

"Nak, kamu kembali," isaknya haru.

"Mari kita bicarakan di dalam, Bapak-Bapak," ujar Pak Lurah. "Anak-anak ini masih bingung dengan kejadian yang mereka alami."

"Jadi begini, Pak ....

Salah seorang polisi yang hadir membuka suara.

"Jadi ... adik-adik ini memang mengikuti kegiatan lomba pramuka. Namun, mereka tidak pernah kembali saat acara penjelajahan. Panitia dan orangtua mereka sudah melaporkan kepada kami. Sayangnya segala upaya yang kami tempuh tidak membuahkan hasil. Dan mereka dinyatakan menghilang ... sepuluh tahun yang lalu."

Aku terperenyak mendengar ucapan Pak Polisi itu. Begitu juga teman-teman, mereka spontan duduk  di kursi kayu panjang.

"Kami me-menghilang, Pak?" ulangku tak percaya.

"Iya, anak-anak. Bahkan Pak Surya--kepala sekolah semasa kalian masa itu sampai menanyakan keberadaan kalian ke orang pintar. Namun, tidak membuahkan hasil. Kalian lenyap begitu saja."

"Ina dan kalian semua ..., Ayah bersyukur kalian telah kembali dengan selamat. Sebentar lagi orangtua kalian akan menyusul kemari." Ayah menatapku dan teman-teman dengan haru.

Benar apa kata ayah, beberapa menit kemudian orangtua Rara, Mimi, Hana, Lintang dan Iis telah sampai. Mereka menangis dan memeluk anak-anaknya haru.

Entah bagaimana melukiskan perasaan ini. Kami menghilang dan kembali setelah sepuluh tahun, tapi tidak ada perubahan berarti pada kami. Namun, orangtua dan semua sudah berubah sesuai zaman. Biarlah ... misteri ini tetap menjadi misteri sebagaimana kehendak Tuhan.

Malang, 23 September 2019
alizazet
fabillillah
syafetri
syafetri dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.