- Beranda
- Stories from the Heart
SAYUNI (Based On True Horror Story) by Aya Swords
...
TS
ayaswords
SAYUNI (Based On True Horror Story) by Aya Swords

Quote:
Prolog
Tak... tak... tak...
Hak sepatuku berbunyi nyaring. Aku sedang berjalan cepat-cepat di gang setapak menuju ke rumah kos. Mata ini menatap langit, warnanya jingga bersemburat ungu. Sore sudah hendak berganti malam.
Gang itu begitu sepi. Tapi...
Tak... tak... tak... tak...
Seketika aku menoleh ke belakang.
Tidak ada apa-apa. Hanya aku yang sedang berjalan sendirian di jalan sempit tanpa penerangan ini. Aku mendesah pelan.
Akhir-akhir ini, aku sering sekali merasa ada yang mengikutiku. Saat sedang sendirian, perasaan itu akan semakin kuat. Contohnya kali ini—aku benar-benar merasakan kehadiran seseorang tepat di belakang. Samar-samar bahkan terdengar bunyi langkah pelan selain langkahku. Persisdi belakang.
Tapi, tadi itu sudah kelima kalinya aku memastikan kalau aku benar-benar sendirian. Aneh... aku bahkan tidak bisa memikirkan penjelasan logis atas apa yang kualami ini kepada diriku sendiri.
Aku menggelengkan kepala, sambil merasa konyol diri ini berusaha keras menghapus pikiran yang tidak-tidak.
Ini dia. Tinggal satu langkah sebelum kaki ini mencapai gerbang besar berwarna hitam yang merupakan tujuan. Lega rasanya membayangkan bahwa aku akan bertemu banyak penghuni kos disini, meskipun kami tak saling mengenal. Setidaknya, aku tidak sendirian.
Tangan ini menggapai, hendak membuka pintu itu. Namun tiba-tiba saja aku berhenti. Punggung ini... terasa panas. Panas sekali. Panasnya menjalar hingga ke tengkuk—rasanya seakan kau sedang memunggungi api unggun yang besar dan menjilat-jilat. Bersamaan dengan itu, rasa takut yang teramat sangat menyerangku. Jantungku berdetak kencang ketika samar-samar aku merasakan hembusan nafas yang hangat di belakang telinga kiri.
Kali ini, aku tidak punya nyali lagi untuk menengok.
Padahal tinggal satu langkah lagi, tapi rasanya begitu berat untuk sekedar bergerak atau melangkahkan kaki. Aku memejamkan mata. Sungguh tak ingin menggubrisnya. Aku tidak ingin pikiran-pikiran negatif memenuhi benakku. Kukumpulkan semua keberanian yang tersisa untuk membuka pintu gerbang rumah kos.
Namun pintu itu bergeming.
Sementara tubuh bagian belakang semakin bagai terbakar dan hembusan nafas itu semakin jelas terasa, pintu gerbang itu masih tidak mau membuka.
Aku mulai panik. Tidak ada yang bisa kulakukan selain membaca semua doa yang kutahu di dalam hati. Satu menit berlalu, tapi rasanya sudah berjam-jam aku berada disitu. Penuh dengan rasa ketakutan.
Hati terus berharap, kumohon, Tuhan, kumohon... semoga ada seseorang yang lewat dan menolongku.
Kriiieeeetttt...
Tiba-tiba saja keajaiban terjadi. Terimakasih Tuhan! Tanpa menunggu aku segera melangkahkan kaki ke dalam dan menutup pintu itu. Suaranya kencang karena dibanting.
Aku menyandarkan punggungku. Panas yang menjalar itu sudah berkurang. Dalam hati aku tak henti mengucap syukur.
Ku buka mata, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri.
Gedung rumah kos ini begitu besar. Tapi mengapa tidak ada seorang pun yang kulihat? Kemana perginya semua orang?
Aku memandangi rumah Bibi penjaga kos yang berada tepat di lantai bawah, tepat 30 meter dari tempatku berdiri. Biasanya pukul segini saat aku pulang kerja, dia akan berada di luar. Minimal untuk tegur sapa atau basa-basi sedikit. Tapi kali ini tidak ada siapa-siapa disana.
Semua pintu kamar di lantai satu tertutup, tidak ada seorang pun yang terlihat berada di luar. Padahal, tidak seperti biasanya, hari itu jumlah motor yang bertengger di area parkir motor rumah kos sepertinya lebih ramai dari biasanya.
Lagi-lagi, aku berusaha untuk tidak menggubris semua pikiran aneh. Kaki ini berjalan melalui parkiran motor dengan langkah cepat-cepat. Ingin segera sampai di kamar. Namun karena masih penasaran, sesekali aku menengok dan melihat-lihat ke atas.
Lalu, pandanganku saling tumpu dengan seseorang yang sedang menatapku dari balkon lantai dua.
Seorang gadis, sepertinya umurnya sebaya denganku. Ia sedang berdiri di balkon kamar yang berada tepat di sebelah kamarku. Tubuh ga tertutup mukena berwarna putih yang berkibar-kibar tertiup angin.
Aku tersenyum tipis padanya, tapi dia tidak tersenyum balik padaku. Tepat di saat itu aku sadar, bahwa dia tidak sedang menatap ke arahku. Memang sekilas pandangan kami seakan bertumpu. Tapi ternyata, bukan aku yang ia lihat.
Tapi sesuatu... di belakangku.
Sontak aku menengok ke belakang. Mencari-cari apa yang aneh. Tapi seperti beberapa menit sebelumnya, tidak ada siapa-siapa di sini. Tidak ada apa-apa di sekitar tempatku berdiri.
Lalu, kenapa tatapannya sampai nanar begitu? Apa jangan-jangan... ia bisa melihat apa yang tidak bisa kulihat?
Hawa panas masih menjalar di permukaan kulit punggungku. Bersamaan dengan itu, bulu kudukku berdiri.
Aku menyadari bahwa tubuh ini terlalu lama terpaku disana. Baru saja kakiku hendak melangkah, perempuan yang memandangku di balkon tadi membalikkan badan dan melambaikan tangan tanda memanggil. Tak lama, beberapa orang lainnya ikut menengok melalui balkon. Semua menatap aneh kearahku.
Saat itu demi Tuhan aku yakin kalau mereka semua—lebih dari lima orang yang saat ini sedang berdiri di balkon—menatapku dengan tatapan ngeri.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh ayaswords 02-10-2019 20:46
dhalbhoo dan 17 lainnya memberi reputasi
18
18.1K
103
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ayaswords
#5
PART 5: Rumah Kos

Aku berhenti melahap makanan di hadapan, lalu menatap Adi yang rupanya sedari tadi sedang memandangiku. "Kenapa?"
Adi langsung mengalihkan pandangannya, lalu tersenyum kecil. "Gak apa-apa, lanjutin makannya."
Aku mengerenyitkan dahi. Dulu, aku sangat suka perlakuan manis Adi yang semacam ini. Tapi sekarang, entah kenapa hatiku tidak merasakan apapun lagi. Apa ini hanya karena aku masih marah padanya? Tanyaku dalam hati.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Adi benar-benar sudah berubah. Ia jadi lebih lembut, lebih mudah menuruti kata-kataku. Bahkan hari ini, untuk pertama kalinya semenjak hari pertama kami berpacaran, ia memprioritaskan aku diatas pekerjaannya.
Sejak pagi-pagi sekali ia sudah menjemputku di rumah Wina, mengantarku ke kantor seniorku untuk memenuhi panggilan wawancara, lalu menungguku sampai selesai. Setelah itu—karena aku bersikeras ingin tinggal di Bandung meski aku belum tentu diterima kerja—ia langsung membantuku mencari rumah kos.
"Maaf ya," ucapku dengan nada menyesal.
"Hm? Maaf kenapa?"
"Gara-gara aku kamu sampai bolos kerja hari ini." Mataku melirik pada layar ponselnya yang menyala. Sejak tadi entah sudah berapa kali Adi mengabaikan telepon dari rekan-rekan kerjanya.
"Oh, ini ..." Ia tersenyum, seraya menekan tombol tolak telepon. "Gak apa-apa kok. Aku kan jarang ambil cuti. Lagian hari ini hari pertama kamu pindah ke Bandung. Aku tahu kamu pasti butuh aku, jadi gak mungkin gak aku temenin."
"Tetep aja aku nggak enak."
Adi berhenti mengunyah, lalu menatapku serius. "Je ... kamu akhirnya pindah ke Bandung dan kita gak jauhan lagi. Ya aku seneng lah," ujarnya. "Aku mau bantu kamu, mau nemenin kamu, itu karena keinginan aku sendiri. Aku ini pacar kamu, bukan orang lain. Jadi kamu nggak perlu ngerasa gak enak. Oke?"
Aku menggangguk pelan, membalas senyumannya sekilas, lalu melanjutkan makan.
***
Hari sudah beranjak petang. Sudah lebih dari 5 jam kami berkeliling kota, namun belum ada rumah kos yang cocok. Keinginanku sebenarnya tidak muluk-muluk—aku hanya ingin tempat yang murah, namun tidak terlalu jauh dari pusat kota. Tidak perlu bangunan baru, tidak perlu kamar yang memiliki kamar mandi dalam; yang penting aku bisa menghemat biaya sewa setiap bulan agar sedikitnya ada uang yang bisa kusimpan untuk tabungan.
"Mau pulang dulu saja? Nanti kamu capek," saranku dengan suara keras dibalik kaca helm.
Adi menengok, ia tahu suaranya akan terbawa angin, jadi ia menjawab dengan suara lebih keras. "Tanggung, aku tahu satu lagi di dekat-dekat sini. Kalau gak cocok juga, baru kita udahan dulu hari ini."
Aku mengangguk mengiyakan. Tak lama kemudian, Adi membawa motornya memasuki sebuah gang sepi. Motornya pun berhenti di sebuah gerbang hitam yang tinggi. Sela-selanya tertutup asbes hingga siapapun tak bisa melihat seperti apa dalamnya.
"Yang ini kayaknya ga terlalu jauh dari jalan besar," kata Adi. Aku turun dan membiarkannya memarkir motornya.
Kriiieeeeeetttt...
Suara pagar yang tiba-tiba terbuka itu begitu meme kakkan telinga. Seketika, entah apa alasannya seluruh tubuhku merinding.
Sebuah kepala muncul dari balik pagar, mengagetkanku. "Ada yang bisa dibantu?" tanya seorang Ibu usia paruh baya itu. Wajahnya terlihat ramah—ia langsung tersenyum lebar pada aku dan Adi.
"Saya lihat di internet, katanya disini masih ada kamar kosong ya, Bu?" jawab Adi. "Boleh kami lihat-lihat?"
"Oh, silahkan! Silahkan masuk!"
Bu Wati rupanya adalah penjaga di rumah kos itu, bersama suami dan anak lelakinya yang masih remaja. Pemiliknya sendiri rupanya adalah atasannya. Ia bekerja di rumah si pemilik kos sebagai asisten rumah tangga. Tempat tinggal Bu Wati sendiri menyatu dengan salah satu bangunan yang termasuk di dalam komplek kost-an itu. Namun ia bilang ia hanya ada di rumah di saat-saat tertentu saja. Kebanyakan waktunya—dari pukul 7 pagi hingga pukul 7 malam—ia habiskan untuk bekerja.
"Kamar di bawah gak apa-apa, Neng?" tanya Bu Wati.
Aku melirik kepada Adi, meminta pendapatnya.
"Kamu kan suka privasi," jawaban Adi sebagai saran.
"Atas saja Bu, kalau ada," jawabku mantap.
Saat itu, air muka Bu Wati tiba-tiba berubah. "Yakin, Neng? Emmm ... ada, sih, tapi ..."
"Tapi apa Bu?"
Bu Wati terlihat bingung, tidak tahu harus menjawab apa.
"Bu, kenapa kamar atas?" tanya Adi lagi.
"Eh? Emmm ... gak apa-apa kok." Bu Wati tersenyum ragu-ragu. Kenapa aku merasa sikapnya aneh ya? "Mari, langsung saya antar saja kalau begitu."
Kami mengikuti Bu Wati menaiki tangga yang terletak di sudut diantara dua deretan kamar-kamar yang saling berseberangan. Tangga itu besar namun tidak terlalu tinggi. Ketika sampai di atas, Bu Wati menghentikan langkahnya. Tangannya merogoh kunci di saku celananya, rupanya calon kamar untukku terletak di ujung dekat tangga.
"Silahkan masuk, dilihat-lihat dulu saja." Bu Wati mempersilahkan. Adi masuk duluan, diikuti dengan Bu Wati di belakangnya. Giliran aku ingin masuk, sesuatu tiba-tiba menyita perhatianku.
Perempuan itu berdiri disana, di ujung balkon di seberang balkonku. Di depan kamar yang hampir sejajar dengan kamarku. Ia menatapku terus, dan anehnya tidak melepaskan pandangannya meski sudah tertangkap basah olehku.
Akupun tersenyum simpul, hampir saja ingin menyapanya ketika ia tiba-tiba membalikkan tubuh dan masuk ke dalam kamarnya.
"Judes amat," dengusku pelan.
Akupun masuk ke dalam kamar, baru saja hendak bergabung dengan Adi dan Bu Wati yang sedang membicarakan soal perabot. Ketika teriakan itu terdengar.
Kami terlonjak kaget. Teriakan itu terdengar dari luar kamarku, panjang dan melengking. Dari suaranya, jelas suara perempuan. Aku reflek hendak berlari keluar, namun dengan cepat Bu Wati mendahului langkahku.
"Bu, ada apa? Suara siapa itu?" tanyaku.
Bu Wati tidak menjawab. Ia diam seribu bahasa, hanya berdiri mematung di balkon depan kamar. Matanya terlihat panik memandang ke arah serong kanan, ke arah kamar di seberang deretan kamar ini. Ke arah kamar milik perempuan yang tadi bertemu denganku.
Diubah oleh ayaswords 23-09-2019 17:36
axxis2sixx dan 6 lainnya memberi reputasi
7