Kaskus

Story

deadtreeAvatar border
TS
deadtree
🚫 Let Me Tell You a Story (Konten Dewasa) 🚫
Halo,

sengaja aku buat akun baru untuk nulis cerita ini. Bukan karena apa-apa, aku gak mau ada yang tau siapa aku dan orang-orang yang akan kuceritakan disini. Sengaja juga gak daftar kreator, ahaha karena tujuanku nulis cuma pengen ngeluarin uneg-uneg yang aku simpen selama ini.

Cerita ini gak ada bagus-bagusnya, gak ada romantis-romantisnya, isinya cuma aku dan semua cobaan hidup yang kutelan sendiri dan akhirnya juga harus bangkit sendiri.

Quote:


Oke, aku mulai ya....

- Chapter 1 - Adik Ibuku
- Chapter 2 - Puber & Foto Mesum
- Chapter 3 - Kata Ibu, Aku Aib
- Chapter 4 - Aku dan Kakak Part 1
- Chapter 5 - Aku dan Kakak Part 2
- Chapter 6 - Ayah & Ibu
- Chapter 7 - Awal Mula Jatuhnya Aku Part 1
- Chapter 8 - Awal Mula Jatuhnya Aku Part 2
- Chapter 9 - Duniaku Abu-abu Part 1
- Chapter 10 - Duniaku Abu-abu Part 2
- Chapter 11 - Duniaku Abu-abu Part 3
- Chapter 12 - Babak Baru
- Chapter 13 - Sama Saja
- Chapter 14 - Mas Ibra
- Chapter 15 - Berawal Dari Twitter
- Chapter 16 - Aku Ini Murahan
- Chapter 17 - Gelap
- Chapter 18 - Duniaku Hancur
- Chapter 19 - Tuhan
- Chapter 20 - Kusut
- Chapter 21 - Selalu Begini Berulang-ulang
- Chapter 22 - Mulai Dari Nol
- Chapter 23 - Gereja dan Ustadz
- Chapter 24 - Kambing Hitam
- Chapter 25 - Cinta Yang Salah
- Chapter 26 - Selembar Perselingkuhan
- Chapter 27 - Tunas


SIDE STORY:
1 - Major Depressive Disorder
2 - Adara Putra [Part 1]

Prolog:

Namaku Kamila, saat ini umurku hampir 28 tahun. Berkeluarga? belum. Ingin berkeluarga? Ya, mungkin. Aku bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan Jakarta. Sejak umur 17 tahun, aku tinggal sendiri di kota ini. Tanpa satupun anggota keluarga atau kerabat jauh. Tak ada yang kukenal saat pertama kali aku menginjakkan kakiku di sini 10 tahun lalu, tepatnya di bulan Agustus 2009.

Aku lahir dan besar di sebuah desa, berseberangan dari tempatku tinggal. Jauh dan butuh sekitar 24 jam perjalanan darat dan laut. Sekarang sudah bisa dilewati transportasi udara, walau tetap harus memakan waktu 6 jam jika ditotal untuk tiba di desaku. Desa terpencil yang tampak tenang, tak ada masalah namun tetap dengan stigma buruk di masyarakat Indonesia. Banyak yang bilang desaku ini sarangnya ilmu hitam dengan orang-orang berhati jahat yang tak segan-segan menelan bulat-bulat manusia lainnya. Well, tak sepenuhnya benar, seingatku aku belum pernah makan daging manusia. 

Aku ini tak cantik, tak manis, tak menarik perhatian, seingatku seperti itu. Dari kecil aku dibesarkan oleh orangtua yang keras mendidikku, tumbuh besar bersama hutan, teriknya matahari dan gersangnya tanah desa. Aku ini kumal, hitam legam, tak ada anggun-anggunnya. Masa kecilku kuhabiskan bermain layangan, menerobos hutan mengumpulkan sayuran, mendaki gunung mengumpulkan buah-buahan, bermain di pantai mengumpulkan kerang dan merebusnya untuk makanan dan entah kenapa aku waktu kecil selalu jadi korban pelecehan.

Ch.1: Adik Ibuku
Ingatanku sedikit samar, mungkin waktu itu aku masih kelas 1 sekolah dasar dan di momen kumpul keluarga yang aku lupa untuk acara apa.
Seperti biasanya, rumah orangtuaku selalu menjadi tempat berkumpulnya keluarga besar setiap diadakannya hajatan keluarga. Mungkin karena Ibuku sedang sukses-suksesnya saat itu, anak kedua dari 8 bersaudara, dan rumah keluargaku termasuk yang paling luas dan memungkinkan untuk digunakan sebagai tempat hajatan keluarga mulai dari pernikahan sampai sekedar pengajian.
Sore itu, Ibu dan adik-adiknya sedang sibuk di halaman belakang yang cukup luas. Mereka mempersiapkan hidangan untuk hajatan esok paginya (Di desaku memang terbiasa selalu memasak sendiri untuk hajatan). Saat itu, hanya aku dan kakak laki-lakiku cucu di keluarga besar ini karena memang Ibuku anak kedua dan anak pertama a.k.a Kakaknya Ibu belum memiliki keturunan seingatku. Aku asik bermain dengan kakakku di ruang tengah, ditemani oleh adik Ibu yang paling bungsu, namanya Om Yuda. Om Yuda umurnya tidak berbeda jauh dari kakakku, hanya berbeda sekitar 6-7 tahunan.
Selayaknya anak-anak, aku bermain bersama kakak hanya menggunakan celana pendek dan kaos dalaman tanpa lengan karena memang cuaca juga sedang panas-panasnya saat itu. Saat kakakku sibuk dengan robot-robotannya, Om Yuda memanggilku.

"Dik, adik.. Sini"
Dia menarik kursi kayu di pojok ruangan dan menaruhnya di tengah ruangan. Saat itu di ruang tengah hanya ada kami bertiga dan kakakku acuh, asik dengan mainannya.

"Kenapa om?", tanyaku.

Om Yuda yang kemudian duduk di kursi kayu dan tersenyum menatapku tajam. Dia memegang lenganku dan berkata:
"Coba, buka celanamu deh"

Aku yang saat itu masih bodoh dan belum mengerti betul perkara organ intim yang boleh dan tidak boleh dilihat lawan jenis dengan polosnya langsung menuruti Om Yuda.
Om Yuda saat itu menatap kemaluanku dengan tatapan tajam sejurus kemudian membuka celana dan mengeluarkan kemaluannya. Dia kembali menatap mataku tajam.

"Untuk membuktikan kalau kita keluarga, Om harus nempelin ini ke tempat pipismu dik. Ok?", tangan kirinya yang masih memegang lenganku terasa dingin dan sedikit gemetar. Aku hanya mengangguk menuruti perkataan Om Yuda, lagi-lagi dengan polosnya.
Kegiatan menjijikkan itu tak berlangsung lama, aku juga tak memperhatikan apa yang dia lakukan karena aku masih sibuk memainkan boneka yang ada di genggamanku. Tak sampai 2 menit sepertinya, Om Yuda melepaskan kemaluannya yang menempel di area pubisku dan aku reflek melirik ke arah kemaluanku. Ada cairan putih di sana yang dengan cepat langsung diseka oleh Om Yuda. 
 "Apa itu Om?", tanyaku.
"Itu cat putih, tadi om tuang untuk menguatkan hubungan keluarga kita. Udah, pake celananya lagi. Jangan cerita-cerita, nanti kamu dimakan setan", ancamnya serius.

Pelecehan pertama, yang tak pernah kusadari sampai beberapa tahun terakhir. Terkubur dan terlupakan begitu saja mungkin karena saat itu aku terlalu kecil untuk mengerti dan mengingat hal tak bermoral itu.


Ch.2: Puber & Foto Mesum
Bertahun-tahun berlalu, banyak yang kulalui. Pelecehan-pelecehan minor yang tak perlu kujelaskan di sini, selain karena kisahnya hanya seputar catcall, dipegang, dll, aku juga sudah mulai lupa kisah-kisah ini.
Kita akan lanjut ke kisah saat aku masuk SMA ya.

Dulu, waktu aku masih bayi, Ibuku sudah pindah ke rumah baru yang dibangun di atas tanah sawah milik almarhum kakekku. Rumah itu cukup besar hingga bisa menampung Ibu, Ayah, Kakak, Aku, 1 Adik perempuan Ibu, 2 Adik laki-laki Ayah, dan 1 kerabat jauh Ibu (laki-laki). Ibu dan Ayah saat itu menyekolahkan mereka sampai semuanya lulus SMA, dengan kondisi keuangan Ayah yang juga pas-pasan. Adik-adik Ibu dan Ayah sukses dan bekerja, mereka juga sangat amat sayang padaku. Berbeda dengan kerabat jauh Ibu yang memutuskan untuk menjadi buruh bangunan saja saat itu. Ibu tidak melarang sama-sekali, malah mendukung dan membantunya.
Sebut saja si kerabat Ibu ini Om Sapri. Om Sapri ini baik orangnya, merawatku dari lahir sampai aku umur 4 tahun sebelum akhirnya memutuskan berkeluarga dan pindah ke rumahnya sendiri. Aku dianggap seperti anak sendiri oleh Om Sapri, dan aku menganggap beliau seperti Ayahku sendiri.
Tak ada yang berarti, semua berjalan baik-baik saja saat itu. Setiap Ibu ingin merenovasi rumah, membetulkan genteng atau sekedar mempercantik rumah, Om Sapri selalu menawarkan membantu Ibu. Aku juga senang, bisa bertemu Om Sapri lebih sering dan bisa dimanjakan Om Sapri saat itu. Hal ini berlangsung terus sampai Ibuku memutuskan membuka bisnisnya sendiri saat aku masuk SMP, Ibu makin jarang di rumah. Bahkan seringkali aku tidak bertemu Ibu seharian. Bangun tidur, Ibu sudah berangkat kerja begitupun Ayah. Pulang sekolah, rumah sepi, kakakku sibuk les. Mereka baru akan pulang saat aku dan kakak sudah tertidur pulas di kamar masing-masing.
Kesepianku ini berlanjut sampai aku duduk di bangku SMA, sama saja tanpa orangtua. Ibu dan Ayah jadi semakin sering marah-marah hanya karena perkara sepele. Aku jadi semakin malas jika mereka ada di rumah, aku jadi semakin menikmati kesendirianku.

Siang itu sepulang sekolah, aku langsung masuk rumah, mengunci kamar, menyalakan pendingin ruangan dan menjatuhkan diri di atas kasurku yang empuk. Beperapa hari belakangan Ibu meminta tolong Om Sapri untuk memasang plafon di ruang tamu bersama dengan tukang-tukang lain. Tapi setibanya aku di rumah, aku tak melihat Om Sapri dan teman-temannya, mungkin sedang istirahat siang. (FYI, posisi ruang tamuku ada di sebelah kiri kamarku, di depan kamarku ruang tengah, di sebelah kananku kamar kakak, dan di depan kamar kakak adalah ruang keluarga).
Cuaca siang itu sungguh terik, badanku rasanya penuh dengan keringat tapi rasanya malas sekali berganti pakaian. Aku hanya melepas rok dan membuka beberapa kancing baju bagian atas. Tiduran hanya dengan underwear, bra dan kemeja sekolah yang terbuka sana-sini. 'Ah tak ada yang liat, aku di kamar sendirian. Lagipula, pintu juga sudah kukunci', fikirku. FYI, sejak aku puber di kelas 3 SMP (maaf) bagian payudaraku tumbuh dengan cepat dan saat aku menginjak kelas 1 SMA, payudaraku sudah termasuk sangat besar untuk anak sekolah seusiaku (kalau tidak salah sudah cup C saat itu, sekarang cup D).

Aku masih asik tenggelam dengan novel teenlit yang kubeli beberapa hari lalu saat  tiba-tiba aku melihat sekelebat cahaya putih di ventilasi atas pintu kamarku (di desaku, setiap pintu dan jendela dilengkapi ventilasi berukuran sekitar 60x100cm di bagian atas agar memudahkan udara segar keluar masuk ruangan). Kuperhatikan bagian ventilasi yang mulai berdebu itu namun tak ada yang mencurigakan, aku kembali melanjutkan membaca novelku sambil sesekali melirik ke arah ventilasi.

2 menit berlalu, aku seperti mendengar bunyi-bunyian di depan pintu kamarku. Seperti bunyi gesekan ke pintu kamar. Jantungku mulai berdegup kencang, di rumah sedang tak ada siapa-siapa seingatku. Lalu siapa yang sedang berdiri di depan pintu kamarku? Kulihat di celah bagian bawah pintu, nampak bayangan orang yang berdiri mondar-mandir namun tak ada suara hanya dengusan nafasnya yang terdengar sedikit berat. Aku semakin panik, saat itu aku hanya bisa memikirkan maling yang masuk rumah karena beberapa tahun lalu rumahku juga kemalingan dan malingnya membawa pisau hampir menyerangku yang baru saja tiba di rumah saat itu.

Selang beberapa detik diantara kepanikanku, tiba-tiba cahaya putih itu kembali muncul di ventilasi kamar. Kali ini diiringi dengan bunyi 'ckrekkk' berkali-kali, yang menyadarkanku kalau itu ternyata flash kamera. Aku semakin panik, ada orang memotretku dari luar, dan sialnya posisiku saat itu setengah telanjang. "MAMPUS", gumamku dalam hati. Aku gemetaran, tak tau harus berbuat apa. Badanku kaku, aku hanya bisa pura-pura tak tau apa yang terjadi saat itu. Tapi tak dapat dipungkiri, aku sudah mau hampir menangis berharap orang itu cepat-cepat pergi. Namun disela-sela ketakutanku, tiba-tiba aku mendengar suara,

"Ngapain Mas Sapri? Ventilasinya rusak?", tanya orang itu. Aku tak mendengar sahutan dari orang yang tengah berdiri di depan pintu kamarku.

'Anj***********ng', umpatku lirih. Orang yang daritadi memotretku ternyata Om Sapri. Mau apa dia dengan foto-fotoku? Apa dia lupa kalau aku ini anak dari saudara yang sudah membesarkannya? Kenapa dia malah bertindak tidak senonoh seperti ini?

Banyak pertanyaan yang berputar-putar dalam kepalaku, tanpa kusadari aku mulai menangis tersedu-sedu di dalam kamar tanpa berani keluar. Sampai malam tiba dan kakak serta papaku pulang, aku masih belum berani keluar kamar.

Papa mengetuk-ngetuk pintu kamarku bertanya kenapa aku mengurung diri. Aku takut, tapi kupaksakan keluar. Kubuka pintu kamar perlahan, masih dengan sedikit terisak. Papa kebingungan melihatku yang amburadul dengan rambut acak-acakan dan mata yang sembab.

"Kenapa dik?", tanya Papaku.

"Gak kenapa-kenapa pa, cuma banyak PR adik capek", sahutku masih dengan sedikit bergetar.

Papa mengelus kepalaku pelan dan memelukku. Dia menyuruhku untuk segera mandi, berganti pakaian dan mengajakku makan malam. Sepanjang makan malam, aku diam membisu. Tak ada sepatah kata yang berani kukeluarkan.

Beberapa hari setelah itu, aku sudah kembali ceria. Aku tak lagi memikirkan apa yang terjadi, yah namanya anak sekolah. Seperti biasa, pukul 14.00 aku langsung bergegas pulang ke rumah untuk melanjutkan novel teenlit yang belum selesai kubaca. Di rumah juga sepi, hanya ada aku dan beberapa tukang. Tak lama setelah aku pulang, kakakku juga pulang dari sekolahnya. Dia langsung lari ke ruang keluarga dan bermain game konsolnya yang baru dibeli beberapa hari lalu. Kubiarkan sajalah, fikirku. 

Aku langsung masuk ke kamar, mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Hari ini terlalu panas dan aku terlalu gerah untuk langsung baca novel, karena itu kuputuskan untuk mandi dan makan siang dahulu.

Kamar mandiku terletak di belakang ruang keluarga, di area dapur bersih menuju ke dapur kotor dan di depan kamar mandi terdapat lorong selebar 2 meter yang cukup gelap jika tidak dinyalakan lampu. Ditengah-tengah aktifitas mandiku yang berisik karena aku juga bersenandung, lagi-lagi aku terkejut dengan cahaya putih yang muncul sekelebat di atas ventilasi pintu kamar mandiku. Aku langsung panik, "Anj*ng, aku telanjang loh ini! Om Sapri gak kapok-kapok!", umpatku dalam hati. Dengan cepat aku bersembunyi di pojok belakang pintu kamar mandi agar dia tak bisa memotretku dari sela ventilasi. Bunyi kamera itu masih terus kudengar sekitar 3-4 kali selama aku bersembunyi dan kemudian hening, tak ada suara apa-apa. Dan sesaat Om Sapri memanggilku, "Dik? Kamu di kamar mandi? Om baru mau pipis nih. Masih lama gak?", tanyanya menyelidik.

Tak ada kata yang keluar dari mulutku, aku diam tak berani bersuara. Om Sapri kembali memanggil, "Dik? Kamu gausah takut Om cuma nanya", timpalnya lagi.

'Hah? Takut? Apa-apaan sih? Apa maksudnya? Kenapa dia malah jadi seperti om-om cabul yang mau merudapaksaku?', aku masih tak bersuara sama sekali, hanya bisa menangis dalam diam dan ketakutanku. Jantungku berdegub kencang sekali dengan ketakutanku diapa-apakan dan tanpa kusadari sudah 1 jam aku mengurung diri di dalam kamar mandi sampai kakakku menggedor-gedor kamar mandi dengan paniknya, "Dik? Dik??!!! Kamu pingsan? Mandi kok gak kelar-kelar? Dikkk????".

"Iya kak, aku cuma lagi gosok-gosok kaki", sahutku lega. Kakakku ternyata masih ada di luar.

"Yaudah cepetan mandinya, kita makan siang. Kakak laper", jawabnya.

"Iya kak, ini udah kok".

Aku tak berani menatap Om Sapri setelah itu, aku juga tak berani menceritakan pada siapa-siapa perkara hal ini. Beberapa bulan berlalu semenjak itu, tak ada lagi teror foto-foto itu, aku fikir masalah sudah selesai. Mungkin aku yang terlalu panik.

Tapi ternyata? Belum, belum selesai. Masih ada yang akan terjadi di depanku....

AKAN ADA KELANJUTANNYA, PANJANG GAN HAHA.

AKU AKAN CURHAT BERKALA, KARENA SAMBIL KERJA.
NAMANYA JUGA CURHAT :").

MOHON MASUKANNYA KALAU ADA KEKURANGAN, TRIMS.

 



Diubah oleh deadtree 20-12-2019 10:59
qisatriaAvatar border
pencarilendi170Avatar border
jamalfirmans282Avatar border
jamalfirmans282 dan 61 lainnya memberi reputasi
60
130.3K
629
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
deadtreeAvatar border
TS
deadtree
#167
Chapter 18 - Duniaku Hancur

Herri ini sempat menjadi pria yang pernah kubayangkan menjadi suamiku kelak. Dia baik, penyayang dan sangat amat memperlakukanku dengan baik saat itu. Dia taat ibadah, hormat pada Ibu dan sayang adik-adiknya. Dia sopan, santun dan pandai membawa dirinya. Herri tidak terlalu tampan, tapi dianugerahi kulit yang putih bersih, bibir merah, hidung yang tak terlalu mancung dengan alis tebal. Herri tidak terlalu tinggi, hanya beda 10cm dariku. Herri yang kukenal saat itu clingy, seolah-olah aku ini seisi dunianya. Dia manja padaku, seolah aku ini Ibunya. Herri sering sekali mengajakku bicara tentang kehidupan kami nanti setelah menikah yang dia janjikan saat kami menginjak usia 25tahun. Herri ini tak ada kurangnya saat itu di mataku kecuali perkara Agama dan Ibunya yang mulai menunjukkan tabiat kurang sukanya padaku.

"Kamu bilang apa tadi?", tanyaku dengan nada bergetar menahan tangis.
"Gugurin...", ucapnya lagi perlahan.
"Kenapa? Ini anakmu juga. Aku tau kita bikin salah, tapi anak ini gak salah!", aku mulai bercucuran air mata.
Herri terdiam dan sejurus kemudian bicara sedikit melengking, "Aku masih mau punya masa depan!", bentaknya lagi.

Hari itu seluruh duniaku hancur. Aku mengutuk hidupku, mengutuk diriku sendiri. Aku menyalahkan semua yang terjadi padaku selama aku hidup. Semua memori buruk itu kembali memenuhi isi kepalaku. Hatiku hancur tak karu-karuan. Aku mengerti aku dan Herri sudah berbuat salah, tapi aku tak ingin anak ini yang jadi korbannya. Bagaimanapun dia darah dagingku yang harus aku pertahankan.
Pagi itu aku bertengkar hebat dengan Herri, semua isi kamar kulempar kesana kemari. Aku tantrum mengutuk semuanya yang ada di hidupku. Herri tak melawan sedikitpun, tapi tetap teguh dengan pendiriannya kalau dia tak bisa tanggung jawab karena dia masih ingin mengejar cita-citanya dan dia tak berani pada Ibunya. Siang itu, Herri aku usir dari rumah.

(Skip ya GanSis, aku sedikit lupa gimana cerita aku bisa ngehubungin papanya Herri. Langsung aja ke bagian situ ya)

Beberapa hari kemudian, pagi-pagi kudengar deru motor masuk ke halaman rumah. Aku yang masih lemas karena muntah-muntah bangun dan membukakan pintu depan. Kulihat sosok seorang pria seumuran Ayahku, dengan wanita berjilbab seumuran dengan Ibuku dan Herri yang ada di belakang mereka berdua.

"Mila ya, halo selamat pagi. Saya papanya Herri, Om Danu. Ini mama tirinya Herri, Tante Ratna."
"Oh selamat pagi Om, Tante. Silahkan masuk dulu.", ucapku sopan dan mengajak mereka duduk di ruang tamu.
"Kamu bilang kemarin ada yang mau diomongin penting dan harus ada tante juga. Ada apa ya Mila? Om khawatir soalnya Herri ga mau cerita sama sekali", buka Om Danu.
Kulihat Herri hanya menunduk lesu tak berani menatapku, "Om, Tante. Maaf sekali sebelumnya. Tapi aku gak nemu jalan keluar pas ngomong sama Herri, jadi aku butuh penengah. Aku....aku hamil Om. Dan Herri minta aku untuk gugurin karena dia gak mau masa depannya rusak", ucapku pelan dan sambil menahan tangis.
Seketika seisi ruangan terasa tegang dan tanpa suara sampai Tante Ratna memecah keheningan, "Pa, kamu ajak Herri ngomong di luar ya. Aku biar ngomong sama Mila".

Herri dan Om Danu beranjak duduk dan bicara di teras, Tante Ratna menanyaiku macam-macam sambil meminta maaf atas tanggapan Herri padaku.
"Mila, kamu atau Herri sudah cerita sama Ibu yang di Surabaya?", tanya Tante Ratna.
"Sudah tante. Aku mengiriminya pesan karena Ibu tak mau telepon aku, gara-gara dia merasa aku yang buat Herri menjauh darinya. Ameminta maaf juga di awal dan bilang soal kehamilanku. Aku kirim foto testpack juga.", kalimatku terhenti disitu.
"Lalu? Apa tanggapan Ibu?"
"Tante baca sendiri aja ya", aku menyodorkan hapeku yang berisi chat dengan Ibu Herri.

LAKNAT!!!! Dasar wanita laknat!!!!! Kamu merusak anakku, kamu renggut dia dari keluargaku dari aku dari adik-adiknya. Gak sudi aku terima anak itu jadi cucuku, gak sudi aku terima kamu jadi bagian dari keluarga ini. Aborsi! Buang anak jahanam itu! Jangan sampai aku tau dia hidup atau aku yang bunuh diri! Bunuh anak itu!!!!!

Tante Ratna hanya diam, tapi kemudian dia berusaha mencari jawaban dariku.
"Disini Ibu bilang kamu merusak Herri. Itu benar?", tanya Tante.
"Herri sudah pernah berhubungan intim sebelum denganku, itu pengakuannya beberapa bulan lalu. Dengan mantannya saat kuliah, mereka belum sempat gituan tapi Herri bilang dia ketagihan. Saat pacaran denganku, Herri seringkali exploitasi dadaku, dia bilang dia suka aku karena dadaku besar, badanku padat dll. Dulu kami hanya sekali berhubungan intim dan belum sempat gituan, Herri langsung tanya aku udah berapa kali gituin cowok. Aku marah dan sempat minta putus tapi Herri minta maaf. Akhirnya kita baikan lagi, sejak itu Herri makin sering minta ke aku dan ngomongin dadaku begini begitu. Dan perkara Herri mulai jarang hubungi keluarganya, aku gak tau. Karena aku gak pernah cek hapenya Herri. Herri cuma bilang 'aku capek, aku sibuk, ntar aja' setiap aku bilang untuk hubungin orangtuanya. Dan setiap aku minta Herri meluruskan masalah ini, Herri cuma diam dan gak ada kelanjutannya lagi", ceritaku panjang lebar.
"Oke, Tante ngerti sekali perkara Ibu dan Herri. Om sudah sering cerita. Memang mereka sedikit complicated. Kamu gimana? Mau terusin anak ini kan?", tanya Tante lagi.
"Iya Tante, aku gak akan buang dia. Terserah Herri mau terus atau pergi aku gak perduli. Aku tanggungjawab dengan atau tanpa dia", jawabku.

Tak lama kemudian Herri dan Om Danu masuk ke rumah dan bergabung bersama kami. Om Danu menyarankan untuk Herri menikahiku dan tak menuruti kata-kata Ibu untuk menggugurkan kandungan. Herri hanya diam dan mengangguk. Sejurus kemudian Om Danu dan Tante Ratna pulang, dan Herri tetap di rumah menemaniku. Hari itu, Herri nampak berbeda dari biasanya. Dia lebih baik, menawarkan banyak hal dari aku ngidam apa dan mau dimanjain gimana. Tak ada keributan, tapi ada yang mengganjal di hatiku saat itu.

(maaf bagian ini lupa lagi, skip ya)

Pagi-pagi sekali, Herri menjemputku untuk mengajakku berkeliling biar hatiku senang katanya. Aku memakai pakaian terbaikku hari itu, kami pergi jalan-jalan naik motorku ke daerah Jakarta Pusat, berkeliling dan berhenti sebentar di warung diberikan minum oleh Herri karena dia haus. Herri terlihat sedang mengetik pesan ke seseorang dan sejurus kemudian mengajakku lanjut, melewati gang dan sampai akhirnya berhenti di sebuah ruko. Yang kuingat, di depan Ruko itu ada jembatan dan dibawahnya ada sungai besar.
"Yuk masuk bentar", ajak Herri
Aku yang juga sedang capek langsung nurut begitu saja, sampai disana Herri mengisi buku tamu dan kami menunggu sebentar sebelum kemudian dipanggil. Di ruangan itu ada seorang dokter dengan jas putih dan seorang perawat, lengkap dengan meja periksa dan alat USG. Wajahku cerah, karena Herri ternyata memberiku kejutan cek kandungan hari itu. Dokter yang nampak paruh baya itu dengan lembut mengoleskan gel di perutku dan cerita kalau kandunganku sudah 3 bulan dan jalan 4 bulan, dia menunjukkan bulatan berisi kantung janinku dan sang calon bayi yang masih sangat amat kecil. Aku senyum sumringah dan kemudian diajak turun pindah ke ruangan selanjutnya. Di ruangan sebelah ruang USG itu ada tempat tidur obgyn (itu istilahnya di google), lengkap dengan 3 perawat dan rak-rak peralatan medis. Aku duduk disana dan diminta buka celana panjang dan celana dalamku. Disitu aku mulai curiga, tapi entah kenapa masih kuturuti saja mereka. 2 orang perawat kemudian memegangiku dan bilang 'tahan ya, sakitnya sebentar aja'.
Aku panik, aku tau apa yang sedang mereka lakukan. Aku menangis meraung meminta turun tapi Herri bilang 'lanjutkan aja', sebuah alat melesak masuk ke vaginaku dan kemudian disusul dengan benda panjang dan terdengar suara sesuatu seperti mengerok sesuatu dan bunyi sedotan yang berisik. Aku menangis di ruangan itu dan kemudian dibentak entah siapa, 'mau gugurin gak sih!". Aku takut, tubuhku gemetar, lidahku kelu saat merasakan sakit teramat sangat di bagian rahim dan vaginaku. Penderitaan itu berlangsung kurang lebih 15 menit sampai akhirnya mereka memasangkan pembalut dan celanaku, membantuku berdiri dan memapahku ke sebuah ruangan kecil berukuran 3x2m dengan tempat tidur kecil dan meja di sebelahnya. Kulihat Herri mengikutiku dari belakang. Saat aku ditidurkan dan Herri duduk di sebelahku, aku langsung menamparnya dan memukul-mukul Herri dengan sisa tenagaku.
"Aku udah siapin namaaa...", ucapku dalam tangis
".............."
"Aku mau besarin anakku", lanjutku lagi masih dengan isak tangis.
"........."
"PUAS KAMU DENGAN MASA DEPAN TAIKMU ITU????", teriakku kemudian.

Herri hanya diam, kulihat dia memandangi handphonenya. Di layar tertulis 'Ibu' dan kalimat "sudah digugurin?".
ariid
emzehd26
nomorelies
nomorelies dan 17 lainnya memberi reputasi
18
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.