Quote:
"Hey, kau sudah membaik?" sapa Doni di depan kelas, duduk santai bersama murid baru yang menyebalkan.
"Yah, aku mau tobat." Aku melangkah cepat, melewati mereka berdua.
"Hey, gugup sekali." Doni menyeringai. Aku terus berjalan, tak menggubrisnya.
Bel berbunyi. Semua murid dengan cepat duduk rapi di bangkunya masing-masing. Pelajaran pagi itu sedikit membosankan, yakni matematika. Ah, aku tak tahu soal hitung-menghitung, membosankan, rumus-rumus yang membuat otak meleleh, lebih baik tidur, daripada harus berhadapan dengan rumus-rumus menyebalkan. Siapa sih pencipta matematika? Hah, bikin pusing kepala saja.
Jam pelajaran kedua, lebih menarik, yakni pelajaran bahasa Indonesia. Pelajaran kali ini berubah seratus delapan puluh derajat menjadi menyebalkan. Karena apa? Aku masuk ke dalam kelompok si murid baru sialan itu. Yah, si Rahma, gadis menyebalkan yang di gila-gilai semua cowok di kelas ini, termasuk sohibku, Doni. Apa-apaan ini. Aku sempat protes, mengajukan banding, kepada Pak Guru. Tapi, tetap, dia menolak. Apa boleh buat, aku harus menahan emosi, ketika harus berhadapan dengan si Rahma.
"Ah, gak adil. Lo enak ya, satu kelompok sama si Rahma. Sedangkan gue.." protes Doni.
"Kalau lo mau, tuker aja, lagipula, siapa yang mau satu kelompok dengan Rahma. Menyebalkan."
"Lo tu aneh ya bro, si Rahma tuh bunga kelas, cantik, banyak yang suka sama dia, nah, lo sendiri, malah benci. Awas loh, biasanya, awalan benci, akhirnya jatuh cinta." Doni menyeringai lebar, bak kuda.
Kata-kata macam apa itu, tidak ada kamus di kehidupanku. Seorang Hanafi, pria terkeren di sekolah ini, jatuh cinta dengan murid baru sialan itu. Tidak akan!
"Hey, mau kemana kau?" seru Doni, bergegas memasukan buku-bukunya ke dalam tas, lantas mengejarku.
"Ke kantin lah," jawabku ketus.
"Jam segini, udah laper? Tobat dah."
"Ya, efek mabuk semalam." Aku melotot. Sebal.
"Santai kawan, gue tahu, lo pasti habis kena semprot orang tua lo ya?"
"Jelas lah, sekali lagi gue tertangkap sedang mabuk, bisa kena deportasi nih gue dari rumah, hidup gelandagan di jalanan."
"Main rapi dong, lo sih, gue kan dah bilang, kalau lo masih gak sadar, mending lo pulang ke rumah gue dulu aja. Urusan kelar."
"Alah, gak lah."
Perbincangan kami terhenti, saat si Rahma datang menemuiku. "Ngapain, si sialan itu datang," gumamku.
"Rahma, makan bareng yuk." Doni melempar senyum ter-ramahnya minggu ini, ber-basa-basi konyol, membuatku geli, pingin rasanya muntah di hadapannya.
"Gak kok, gue cuma mau ngingetin si Hanafi aja, kalau entar malam, kerja kelompoknya di rumah gue. Lo mau datang kan? Lo udah lupain soal yang kemarin kan?" ujar Rahma.
Aku diam, hanya mengganguk, mengganguk ragu, lantas meninggalkan mereka berdua di depan kantin. Aku masuk ke kantin lebih dulu, memesan es teh dan somay sambal kacang, makanan favorit-ku. Doni menyusul, senyam-senyum sendiri, sepertinya dia sedang berbunga-bunga, atau mungkin, barusan kena hipnotis dari Rahma. Entahlah.
Pagi berganti siang, siang berganti sore. Senja di sore itu sangat elok, warna cahayanya memerah, merona. Burung-burung walet berterbangan, menuju ke persinggahannya. Beberapa tetangga, sibuk memasukan hewan ternak mereka.
Tiba-tiba hp-ku berdering kencang. Sebuah nomor baru, tanpa pikir panjang, segera ku angkat.
"Halo."
"Ya, Halo, dengan Hanafi?" Suara perempuan.
"Ya, benar. Siapa ya?"
"Rahma. Lo jadi ikut kerja kelompok gak?"
Rahma menelponku. Eh..busset! Aku terdiam sejenak, tak ku sangka, dia berani menelponku.
"Halo? Hanafi? Halo?"
"Eh, iya. Aku, eh, maksud gue, gue bisa datang Jam berapa?" Aku sedikit gugup. Gila, ternyata, suara Rahma lembut sekali, bagai sutera.
"Jam delapan ya. Sudah tahu rumahku kan?"
"Belumlah."
Rahma kemudian memberikan alamat rumahnya, aku bergegas mengambil kertas dan pulpen, ku catat baik-baik alamat rumahnya.
"Oke, gue tunggu ya." Rahma menutup teleponnya.
Yosh! Ku putuskan untuk ikut belajar kelompok. Dengan memakai kemeja, celana jeans hitam, minyak wangi, rambut klimis maksimal, aku sudah siap tampil, layak Leonardo di Caprio, tampil di panggung penghargaan Hollywood. Ah, apa itu namanya. Tapi, ngomong-ngomong, darimana si murid sialan itu dapat nomor hpku?
"Bu, Hanafi pergi dulu, mau belajar kelompok di rumah temen." Aku berseru kepada Ibu yang sedang sibuk memasak di ruang belakang bersama Bibi.
"Ya, hati-hati. Jangan mabuk lagi loh!"
"Ya Bu, ini tugas sekolah kok!"
Motor matic sudah ku cuci, kinclong. Siap meluncur membelah keramaian kota metropolitan yang semakin hari, kota ini semakin sibuk dan padat. Lama-lama bisa runtuh nih kota, akibat banyak pendatang baru dari penjuru negeri.
Berputar-putar di satu tempat, tak kutemui dengan jelas, rumah si Rahma. Apa jangan-jangan, dia menipuku, memberikan alamat palsu. Awas lo, sampai beneran, gue gak segan-segan buat hidup lo sengsara.
"Jreng..jreng..jrong..jrengg."
Hp-ku kembali berbunyi, sebuah alunan klasik kesukaanku dari Johan Pachelbel selalu ku pasang sebagai nada dering. Aku lekas mengangkat.
"Halo?"
"Lo jadi kesini gak?"
"Jadi-lah, eh, lo ngasih alamat salah ya ke gue."
"Salah gimana? Bener lah. Emang lo sekarang dimana?"
"Di deket mushola, gang garuda, yang ada toko sembako."
"Oh, tunggu sebentar, gue kesana."
"Eh, tunggu.." Rahma sudah keburu menutup telepon.
Hampir sepuluh menit menunggu di samping mushola, seperti orang bego, tengok sana-tengok sini, tak jelas. Duduk diatas motor, seperti menunggu tuan puteri datang saja. Tak lama kemudian, terdengar suara motor datang. Benar dugaanku, itu si Rahma.
"Maaf, udah nunggu lama ya?" Rahma melempar senyum manisnya, lesung pipinya kian membuat jantung berhenti bekerja. Oh Tuhan, Manis sekali dia, ketika senyum. Aku baru sadar satu hal, kenapa cowok-cowok di dalam kelas, tergila-gila dengannya. Malam itu, aku tak menyalahkan Doni, karena, aku sendiri pun, ikut terhipnotis oleh senyuman mautnya. Rambut panjang tergerai kedepan, bibir merah merona, memakai jaket jeans tanpa di kancing, celana jeans pendek, membuat pahanya sedikit terlihat, mulus.
Bintang-bintang malam ini yang bertebaran di langit, tak bisa ku hitung. Mereka menjadi saksi kebisuanku ketika bertatapan dengannya. Rahma, si murid baru yang aduhai, perlahan kau menyihirku dengan senyuman mautmu. Ah, perasaan macam apa ini, apa yang dikatakan Doni benar, benci berubah jadi cinta. Alah, persetan dengan kata-kata itu, aku berusaha memantapkan hati, kalau dia adalah murid baru pembawa masalah.
"Eh, kok benggong. Yuk, Andi dan Sri sudah nunggu tuh." Rahma mengacaukan lamunanku.
"Oh ya, ayok." Motor sudah ku stater. Rahma membelokan motornya, berjalan di depanku, aku mengikutinya di belakang.
Terkejut bukan main, ternyata rumah Rahma hanya sepelemparan batu dari jalan raya. Ngapain pula, aku merangsek masuk ke dalam gang-gang sempit yang kumuh.
Rahma memarkirkan motor di sisi rumahnya, begitu pula aku. Rumahnya cukup mewah, ada beberapa pohon palem di depan rumahnya dan beberapa ukiran indah di setiap pintu rumahnya. Sepertinya, keluarga mereka suka dengan kesenian.
Rahma menyuruhku masuk, naik ke lantai dua. Rahma sesekali menjelaskan tentang keluarganya, aku sedikit antusias mendengarnya, walaupun masih ada sedikit rasa sebal di dalam dada. Kebetulan kedua orang tuanya sedang ke luar kota untuk urusan bisnis, katanya. Senyumannya yang selalu menyejukan hati, membuat rasa sebalku semakin menipis.
"Yuk, masuk." Rahma membukakan pintu kamarnya. Di dalam sudah ada Andi dan Sri yang masih sibuk mengerjakan tugas kelompok bahasa Indonesia.
"Maaf teman-teman, gue telat."
"Ya gak papa, lain kali jangan telat." sahut Andi.
Kami pun mulai sibuk mengerjakan tugas membuat cerpen. Tak kusangka, ternyata si Rahma pandai juga merangkai kata-kata bijak, tugasku disini hanya menulis saja. Andi dan Sri, mereka mendapatkan tugas menentukan alur cerita.
Sesekali aku melirik ke arah Rahma yang sedang sibuk berpikir, merangkai kata-kata bijak. Setiap kali dia berpikir, matanya selalu menatap ke atas, dari hal itulah, aku bisa melihatnya tanpa perlu rasa canggung. Tapi sialnya, jarum jam sudah menunjuk ke angka sembilan. Tugas belum selesai, Sri meminta ijin untuk pulang, Andi pun akhirnya ikut pulang mengantar Sri yang rumahnya searah. Tinggal aku sendiri di dalam kamar, bersama Rahma. Eits, jangan berpikiran yang negatif dulu ya, Aku pun ikut mereka, pamit pulang. Tapi, Rahma menghentikanku. Dia mengajakku ke taman depan rumahnya untuk sekedar berbincang, sembari meneguk teh buatannya.
"Ada yang perlu gue omongin nih ke elo," ucap Rahma.
"Apaan?" Tanyaku penasaran.
"Aku mau tanya tentang Doni nih, tapi tolong, jangan sampai tembus ke dia ya?" Pinta Rahma.
"Ya, baik-baik."
"Kemarin, Doni nembak gue, Fi."
"Lah terus? Apa urusannya dong sama gue?" Aku sedikit terkejut sih, mendengar pernyataan dari Rahma. Si Doni, berani nembak cewek. Alamak! Gila bener tuh orang. Udah gentle aja dia. Sejak kapan dia belajar tembak-menembak? Jangan-jangan dia belajar dari mitos si Cupid.
"Aku binggung, Fi. Aku harus bagaimana?" Rahma memajukan bibirnya ke depan.
"Lah, bagaimana? Gue kan gak tahu. Yang akan ngejalanin kan elo sendiri. Masa lo harus tanya ke gue, soal itu.
Rahma terdiam, berkali-kali memainkan jari-jari tangannya. Menggigit bibir.
"Pertanyaannya, lo suka gak ama dia?" Aku mencoba bertanya hal itu, menatap matanya yang indah, bulat, bagai bola pim-pong.
"Gak sih, tapi gimana ya, dia baik banget, Fi. Gue, gue gak enak buat nolak." Rahma kembali terlihat panik, seperti menghadapi seratus soal matematika di depannya.
"Ya udah, lo pikir sendiri ajalah, kok gue jadi ikut pusing. Gue mau pulang dululah, udah malam." Aku berdiri, bersiap melangkah menuju ke parkir.
"Ah, gak asik lo. Ya udah, sampai ketemu besok. Tolong jangan bocorin ke Doni ya. Please!" Rahma memohon.
"Iya, iya." Aku sudah duduk rapi di atas jok motor, memakai helm, menyalakan, dan bersiap menarik gas. "Ya dah, gue pamit pulang dulu."
Rahma tersenyum, kali ini lesung pipinya benar-benar membuatku tak bisa tidur semalaman. Bahkan setiap kali tertidur, selalu memimpikannya. Sampai-sampai, paginya aku kesiangan. Ini semua gara-gara si murid baru bernama Rahma, selalu saja mengacaukan kehidupan tentramku.
***
Pagi itu, aku di hukum di lapangan sekolah. Hanya dua orang saja yang kebetulan telat di hari itu. Ah, ini sangat memalukan, bisa kena omel Bapak nih. Lagipula, sekolah ini merupakan sekolah elit dan disiplin. Telat sedikit, dapat surat panggilan orang tua.
"Iqbal Hanafi. Anak kelas dua IPA dua. Sudah dua kali, dalam satu semester kamu telat, dan apa hukumannya sekarang?" Guru BK mendelik, menatapku bak seorang kriminal kelas kakap.
"Dapat surat peringatan, Pak," jawabku lirih.
"Bagus. Kamu sadar juga. Nanti siang, datang ke ruangan Bapak!" Guru BK meninggalkanku dan satu murid yang ikut telat di tengah lapangan.
Pagi itu, matahari menyengat, tidak seperti hari-hari biasanya. Lagipula, aku akan terus berdiri di tengah lapangan, sampai jam istirahat tiba, ini benar-benar melelahkan dan akan menjatuhkan martabat seorang cowok terkeren di sekolah ini. Sialnya, bel istirahat belum bunyi. Beberapa murid di kelasku sudah keluar dari kelas.
"Hey, lo ngapain disana? Berjemur? Kalau mau berjemur, jangan di sini, ke Bali sononoh." Doni tertawa meledekku.
"Sialan lo, lo kira gue turis!"
Doni menghampiriku, dan berbisik, "eh, tahu gak?"
"Tahu apaan?"
Doni menutup kupingku dengan kedua tangannya, sembari membisikan kata-kata yang membuatku shock setengah mati. "Apa? Si Rahma, murid baru itu, jadi pacar lo?"
"Yoi. Yes, akhirnya, gue bisa mendapatkan hatinya. Jangan kecewa ya.." Doni menyeringai. "Eh, gue tinggal ke kantin dulu ya." Doni lekas beranjak pergi.
Selepas kabar yang mengejutkan itu, tubuhku melemas seketika, seperti tak ada tulang belulang di dalam tubuh ini. Detik itu, seakan seperti horror. Aku merasa ada yang hilang dari dalam tubuhku ini, entah apa?
"Hey, jangan benggong, nanti kesambet loh." Rahma tiba-tiba menepuk bahuku, mengacaukan pikiran kosongku. Aku menoleh, ku tatap lamat-lamat bola matanya. Dia tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya yang indah.
"Lo telat ya?" tanya Rahma.
Aku nyengir, "ya, begitulah."
"Bagaimana? Entar malam bisa kan?"
"Bisa apa?"
"Datang lagi ke rumah gue, kan tugas membuat cerpen belum kelar."
"Oh, yaya. Oke, siap." Aku nyengir.
"Oke, gue ke kantin dulu ya. Udah laper nih." Rahma mulai pergi, meninggalkanku yang masih berdiri di tengah lapangan.
Ah, kenapa tiba-tiba perasaan ini muncul begitu saja. Kenapa rasanya tak rela kalau si Rahma jadian sama Doni. Ah, bodoh-bodoh. Aku terlalu bodoh, tak memperhatikan dengan jeli, kalau sosok Rahma itu benar-benar cewek ideal. Bahkan sampai ideal-nya dia, bisa membuatku melupakan Vina. Siang ini tiba-tiba langit mendung. Ah, perasaan memang dapat berubah begitu cepat, sama hal-nya dengan cuaca di pagi ini.
Bel istirahat pertama sudah berbunyi. Aku segera cabut dari lapangan, menuju ke ruang BK. Untuk menuju ke ruang BK, harus melewati kantin terlebih dulu, karena letaknya berada di paling ujung pojok sekolah.
Berjalan cepat, melewati keramaian anak-anak sekolah yang berebut tempat ke kantin. Setiap hari seperti itu, berasa sedang berebut BLT (bantuan langsung tunai) dari pemerintah, yang sekarang mungkin sudah tidak ada.
"Hey, mau kemana lo? Gugup kali?" teriak Roni dan teman-teman geng arjuna yang sedang menikmati gorengan di kantin.
Aku menoleh, menghentikan langkah, "Ada masalah kecil."
"Lo di panggil BK ya?"
Aku hanya nyengir, lekas cabut.
Tok..tok..tok.
"Assalamualaikum.."
"Masuk!" Suara keras itu membuat detak jantung berjalan lebih cepat. "Duduk sini. Iqbal Hanafi ya?"
"Ya Pak," jawabku tegas, memasang tubuh tegap.
"Kau sudah tahu kan, apa kesalahanmu?" Bapak itu bertanya, matanya menatapku mantap dari balik kacamata minus-nya.
"Iya Pak. Terlambat."
"Hmm, bagus kalau kamu sudah sadar. Sudah berapa kali, kamu melanggar?"
"Dua kali Pak."
"Selain itu, kesalahan apa lagi?"
Bapak BK sudah macam penyelia yang mewawancari karyawan baru di sebuah perusahaan elit. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, binggung, kesalahan apa lagi ya? "Sudah, itu saja kan?" Aku menjawab ragu.
"Loh, kok itu saja. Kamu gak ingat, waktu kamu berkelahi dengan kakak kelas, beberapa minggu silam."
"Oh, itu kan sudah berlalu Pak. Lagipula, masalahnya sudah selesai."
"Tidak selesai begitu saja di sekolah elit ini, setiap masalah, akan dicatat dengan rapi di dalam buku ini." Bapak itu menunjuk ke buku tebal besar yang berisi catatan-catatan keburukan murid di sekolah ini. Kalian tahu, aku berada di ranking tiga, sebagai murid yang banyak masalah.
"Jadi, gimana Pak?" Aku memasang wajah memelas.
"Kau kena surat pernyataan dari sekolah, dan orang tua-mu, besok harus datang kesini. Kalau kamu membuat kesalahan yang fatal satu lagi, maka kami tak segan untuk mengeluarkanmu dari sekolah ini. Paham?" Bapak itu mengancamku dengan kata-kata horror-nya, membuat bulu kudukku merinding.
Hari ini pikiranku semakin kacau, tak sejernih hari-hari lalu. Kekacauan itu diawali dengan Vina yang memutuskanku begitu saja, lalu perasaan aneh ini, yang membuatku tiba-tiba menyukai murid baru sialan itu, ditambah lagi, sekarang Doni sudah berhasil merebut hatinya, dan yang terakhir, surat pernyataan terakhir. Argghh..!! Sial!