Kaskus

Story

deadtreeAvatar border
TS
deadtree
🚫 Let Me Tell You a Story (Konten Dewasa) 🚫
Halo,

sengaja aku buat akun baru untuk nulis cerita ini. Bukan karena apa-apa, aku gak mau ada yang tau siapa aku dan orang-orang yang akan kuceritakan disini. Sengaja juga gak daftar kreator, ahaha karena tujuanku nulis cuma pengen ngeluarin uneg-uneg yang aku simpen selama ini.

Cerita ini gak ada bagus-bagusnya, gak ada romantis-romantisnya, isinya cuma aku dan semua cobaan hidup yang kutelan sendiri dan akhirnya juga harus bangkit sendiri.

Quote:


Oke, aku mulai ya....

- Chapter 1 - Adik Ibuku
- Chapter 2 - Puber & Foto Mesum
- Chapter 3 - Kata Ibu, Aku Aib
- Chapter 4 - Aku dan Kakak Part 1
- Chapter 5 - Aku dan Kakak Part 2
- Chapter 6 - Ayah & Ibu
- Chapter 7 - Awal Mula Jatuhnya Aku Part 1
- Chapter 8 - Awal Mula Jatuhnya Aku Part 2
- Chapter 9 - Duniaku Abu-abu Part 1
- Chapter 10 - Duniaku Abu-abu Part 2
- Chapter 11 - Duniaku Abu-abu Part 3
- Chapter 12 - Babak Baru
- Chapter 13 - Sama Saja
- Chapter 14 - Mas Ibra
- Chapter 15 - Berawal Dari Twitter
- Chapter 16 - Aku Ini Murahan
- Chapter 17 - Gelap
- Chapter 18 - Duniaku Hancur
- Chapter 19 - Tuhan
- Chapter 20 - Kusut
- Chapter 21 - Selalu Begini Berulang-ulang
- Chapter 22 - Mulai Dari Nol
- Chapter 23 - Gereja dan Ustadz
- Chapter 24 - Kambing Hitam
- Chapter 25 - Cinta Yang Salah
- Chapter 26 - Selembar Perselingkuhan
- Chapter 27 - Tunas


SIDE STORY:
1 - Major Depressive Disorder
2 - Adara Putra [Part 1]

Prolog:

Namaku Kamila, saat ini umurku hampir 28 tahun. Berkeluarga? belum. Ingin berkeluarga? Ya, mungkin. Aku bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan Jakarta. Sejak umur 17 tahun, aku tinggal sendiri di kota ini. Tanpa satupun anggota keluarga atau kerabat jauh. Tak ada yang kukenal saat pertama kali aku menginjakkan kakiku di sini 10 tahun lalu, tepatnya di bulan Agustus 2009.

Aku lahir dan besar di sebuah desa, berseberangan dari tempatku tinggal. Jauh dan butuh sekitar 24 jam perjalanan darat dan laut. Sekarang sudah bisa dilewati transportasi udara, walau tetap harus memakan waktu 6 jam jika ditotal untuk tiba di desaku. Desa terpencil yang tampak tenang, tak ada masalah namun tetap dengan stigma buruk di masyarakat Indonesia. Banyak yang bilang desaku ini sarangnya ilmu hitam dengan orang-orang berhati jahat yang tak segan-segan menelan bulat-bulat manusia lainnya. Well, tak sepenuhnya benar, seingatku aku belum pernah makan daging manusia. 

Aku ini tak cantik, tak manis, tak menarik perhatian, seingatku seperti itu. Dari kecil aku dibesarkan oleh orangtua yang keras mendidikku, tumbuh besar bersama hutan, teriknya matahari dan gersangnya tanah desa. Aku ini kumal, hitam legam, tak ada anggun-anggunnya. Masa kecilku kuhabiskan bermain layangan, menerobos hutan mengumpulkan sayuran, mendaki gunung mengumpulkan buah-buahan, bermain di pantai mengumpulkan kerang dan merebusnya untuk makanan dan entah kenapa aku waktu kecil selalu jadi korban pelecehan.

Ch.1: Adik Ibuku
Ingatanku sedikit samar, mungkin waktu itu aku masih kelas 1 sekolah dasar dan di momen kumpul keluarga yang aku lupa untuk acara apa.
Seperti biasanya, rumah orangtuaku selalu menjadi tempat berkumpulnya keluarga besar setiap diadakannya hajatan keluarga. Mungkin karena Ibuku sedang sukses-suksesnya saat itu, anak kedua dari 8 bersaudara, dan rumah keluargaku termasuk yang paling luas dan memungkinkan untuk digunakan sebagai tempat hajatan keluarga mulai dari pernikahan sampai sekedar pengajian.
Sore itu, Ibu dan adik-adiknya sedang sibuk di halaman belakang yang cukup luas. Mereka mempersiapkan hidangan untuk hajatan esok paginya (Di desaku memang terbiasa selalu memasak sendiri untuk hajatan). Saat itu, hanya aku dan kakak laki-lakiku cucu di keluarga besar ini karena memang Ibuku anak kedua dan anak pertama a.k.a Kakaknya Ibu belum memiliki keturunan seingatku. Aku asik bermain dengan kakakku di ruang tengah, ditemani oleh adik Ibu yang paling bungsu, namanya Om Yuda. Om Yuda umurnya tidak berbeda jauh dari kakakku, hanya berbeda sekitar 6-7 tahunan.
Selayaknya anak-anak, aku bermain bersama kakak hanya menggunakan celana pendek dan kaos dalaman tanpa lengan karena memang cuaca juga sedang panas-panasnya saat itu. Saat kakakku sibuk dengan robot-robotannya, Om Yuda memanggilku.

"Dik, adik.. Sini"
Dia menarik kursi kayu di pojok ruangan dan menaruhnya di tengah ruangan. Saat itu di ruang tengah hanya ada kami bertiga dan kakakku acuh, asik dengan mainannya.

"Kenapa om?", tanyaku.

Om Yuda yang kemudian duduk di kursi kayu dan tersenyum menatapku tajam. Dia memegang lenganku dan berkata:
"Coba, buka celanamu deh"

Aku yang saat itu masih bodoh dan belum mengerti betul perkara organ intim yang boleh dan tidak boleh dilihat lawan jenis dengan polosnya langsung menuruti Om Yuda.
Om Yuda saat itu menatap kemaluanku dengan tatapan tajam sejurus kemudian membuka celana dan mengeluarkan kemaluannya. Dia kembali menatap mataku tajam.

"Untuk membuktikan kalau kita keluarga, Om harus nempelin ini ke tempat pipismu dik. Ok?", tangan kirinya yang masih memegang lenganku terasa dingin dan sedikit gemetar. Aku hanya mengangguk menuruti perkataan Om Yuda, lagi-lagi dengan polosnya.
Kegiatan menjijikkan itu tak berlangsung lama, aku juga tak memperhatikan apa yang dia lakukan karena aku masih sibuk memainkan boneka yang ada di genggamanku. Tak sampai 2 menit sepertinya, Om Yuda melepaskan kemaluannya yang menempel di area pubisku dan aku reflek melirik ke arah kemaluanku. Ada cairan putih di sana yang dengan cepat langsung diseka oleh Om Yuda. 
 "Apa itu Om?", tanyaku.
"Itu cat putih, tadi om tuang untuk menguatkan hubungan keluarga kita. Udah, pake celananya lagi. Jangan cerita-cerita, nanti kamu dimakan setan", ancamnya serius.

Pelecehan pertama, yang tak pernah kusadari sampai beberapa tahun terakhir. Terkubur dan terlupakan begitu saja mungkin karena saat itu aku terlalu kecil untuk mengerti dan mengingat hal tak bermoral itu.


Ch.2: Puber & Foto Mesum
Bertahun-tahun berlalu, banyak yang kulalui. Pelecehan-pelecehan minor yang tak perlu kujelaskan di sini, selain karena kisahnya hanya seputar catcall, dipegang, dll, aku juga sudah mulai lupa kisah-kisah ini.
Kita akan lanjut ke kisah saat aku masuk SMA ya.

Dulu, waktu aku masih bayi, Ibuku sudah pindah ke rumah baru yang dibangun di atas tanah sawah milik almarhum kakekku. Rumah itu cukup besar hingga bisa menampung Ibu, Ayah, Kakak, Aku, 1 Adik perempuan Ibu, 2 Adik laki-laki Ayah, dan 1 kerabat jauh Ibu (laki-laki). Ibu dan Ayah saat itu menyekolahkan mereka sampai semuanya lulus SMA, dengan kondisi keuangan Ayah yang juga pas-pasan. Adik-adik Ibu dan Ayah sukses dan bekerja, mereka juga sangat amat sayang padaku. Berbeda dengan kerabat jauh Ibu yang memutuskan untuk menjadi buruh bangunan saja saat itu. Ibu tidak melarang sama-sekali, malah mendukung dan membantunya.
Sebut saja si kerabat Ibu ini Om Sapri. Om Sapri ini baik orangnya, merawatku dari lahir sampai aku umur 4 tahun sebelum akhirnya memutuskan berkeluarga dan pindah ke rumahnya sendiri. Aku dianggap seperti anak sendiri oleh Om Sapri, dan aku menganggap beliau seperti Ayahku sendiri.
Tak ada yang berarti, semua berjalan baik-baik saja saat itu. Setiap Ibu ingin merenovasi rumah, membetulkan genteng atau sekedar mempercantik rumah, Om Sapri selalu menawarkan membantu Ibu. Aku juga senang, bisa bertemu Om Sapri lebih sering dan bisa dimanjakan Om Sapri saat itu. Hal ini berlangsung terus sampai Ibuku memutuskan membuka bisnisnya sendiri saat aku masuk SMP, Ibu makin jarang di rumah. Bahkan seringkali aku tidak bertemu Ibu seharian. Bangun tidur, Ibu sudah berangkat kerja begitupun Ayah. Pulang sekolah, rumah sepi, kakakku sibuk les. Mereka baru akan pulang saat aku dan kakak sudah tertidur pulas di kamar masing-masing.
Kesepianku ini berlanjut sampai aku duduk di bangku SMA, sama saja tanpa orangtua. Ibu dan Ayah jadi semakin sering marah-marah hanya karena perkara sepele. Aku jadi semakin malas jika mereka ada di rumah, aku jadi semakin menikmati kesendirianku.

Siang itu sepulang sekolah, aku langsung masuk rumah, mengunci kamar, menyalakan pendingin ruangan dan menjatuhkan diri di atas kasurku yang empuk. Beperapa hari belakangan Ibu meminta tolong Om Sapri untuk memasang plafon di ruang tamu bersama dengan tukang-tukang lain. Tapi setibanya aku di rumah, aku tak melihat Om Sapri dan teman-temannya, mungkin sedang istirahat siang. (FYI, posisi ruang tamuku ada di sebelah kiri kamarku, di depan kamarku ruang tengah, di sebelah kananku kamar kakak, dan di depan kamar kakak adalah ruang keluarga).
Cuaca siang itu sungguh terik, badanku rasanya penuh dengan keringat tapi rasanya malas sekali berganti pakaian. Aku hanya melepas rok dan membuka beberapa kancing baju bagian atas. Tiduran hanya dengan underwear, bra dan kemeja sekolah yang terbuka sana-sini. 'Ah tak ada yang liat, aku di kamar sendirian. Lagipula, pintu juga sudah kukunci', fikirku. FYI, sejak aku puber di kelas 3 SMP (maaf) bagian payudaraku tumbuh dengan cepat dan saat aku menginjak kelas 1 SMA, payudaraku sudah termasuk sangat besar untuk anak sekolah seusiaku (kalau tidak salah sudah cup C saat itu, sekarang cup D).

Aku masih asik tenggelam dengan novel teenlit yang kubeli beberapa hari lalu saat  tiba-tiba aku melihat sekelebat cahaya putih di ventilasi atas pintu kamarku (di desaku, setiap pintu dan jendela dilengkapi ventilasi berukuran sekitar 60x100cm di bagian atas agar memudahkan udara segar keluar masuk ruangan). Kuperhatikan bagian ventilasi yang mulai berdebu itu namun tak ada yang mencurigakan, aku kembali melanjutkan membaca novelku sambil sesekali melirik ke arah ventilasi.

2 menit berlalu, aku seperti mendengar bunyi-bunyian di depan pintu kamarku. Seperti bunyi gesekan ke pintu kamar. Jantungku mulai berdegup kencang, di rumah sedang tak ada siapa-siapa seingatku. Lalu siapa yang sedang berdiri di depan pintu kamarku? Kulihat di celah bagian bawah pintu, nampak bayangan orang yang berdiri mondar-mandir namun tak ada suara hanya dengusan nafasnya yang terdengar sedikit berat. Aku semakin panik, saat itu aku hanya bisa memikirkan maling yang masuk rumah karena beberapa tahun lalu rumahku juga kemalingan dan malingnya membawa pisau hampir menyerangku yang baru saja tiba di rumah saat itu.

Selang beberapa detik diantara kepanikanku, tiba-tiba cahaya putih itu kembali muncul di ventilasi kamar. Kali ini diiringi dengan bunyi 'ckrekkk' berkali-kali, yang menyadarkanku kalau itu ternyata flash kamera. Aku semakin panik, ada orang memotretku dari luar, dan sialnya posisiku saat itu setengah telanjang. "MAMPUS", gumamku dalam hati. Aku gemetaran, tak tau harus berbuat apa. Badanku kaku, aku hanya bisa pura-pura tak tau apa yang terjadi saat itu. Tapi tak dapat dipungkiri, aku sudah mau hampir menangis berharap orang itu cepat-cepat pergi. Namun disela-sela ketakutanku, tiba-tiba aku mendengar suara,

"Ngapain Mas Sapri? Ventilasinya rusak?", tanya orang itu. Aku tak mendengar sahutan dari orang yang tengah berdiri di depan pintu kamarku.

'Anj***********ng', umpatku lirih. Orang yang daritadi memotretku ternyata Om Sapri. Mau apa dia dengan foto-fotoku? Apa dia lupa kalau aku ini anak dari saudara yang sudah membesarkannya? Kenapa dia malah bertindak tidak senonoh seperti ini?

Banyak pertanyaan yang berputar-putar dalam kepalaku, tanpa kusadari aku mulai menangis tersedu-sedu di dalam kamar tanpa berani keluar. Sampai malam tiba dan kakak serta papaku pulang, aku masih belum berani keluar kamar.

Papa mengetuk-ngetuk pintu kamarku bertanya kenapa aku mengurung diri. Aku takut, tapi kupaksakan keluar. Kubuka pintu kamar perlahan, masih dengan sedikit terisak. Papa kebingungan melihatku yang amburadul dengan rambut acak-acakan dan mata yang sembab.

"Kenapa dik?", tanya Papaku.

"Gak kenapa-kenapa pa, cuma banyak PR adik capek", sahutku masih dengan sedikit bergetar.

Papa mengelus kepalaku pelan dan memelukku. Dia menyuruhku untuk segera mandi, berganti pakaian dan mengajakku makan malam. Sepanjang makan malam, aku diam membisu. Tak ada sepatah kata yang berani kukeluarkan.

Beberapa hari setelah itu, aku sudah kembali ceria. Aku tak lagi memikirkan apa yang terjadi, yah namanya anak sekolah. Seperti biasa, pukul 14.00 aku langsung bergegas pulang ke rumah untuk melanjutkan novel teenlit yang belum selesai kubaca. Di rumah juga sepi, hanya ada aku dan beberapa tukang. Tak lama setelah aku pulang, kakakku juga pulang dari sekolahnya. Dia langsung lari ke ruang keluarga dan bermain game konsolnya yang baru dibeli beberapa hari lalu. Kubiarkan sajalah, fikirku. 

Aku langsung masuk ke kamar, mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Hari ini terlalu panas dan aku terlalu gerah untuk langsung baca novel, karena itu kuputuskan untuk mandi dan makan siang dahulu.

Kamar mandiku terletak di belakang ruang keluarga, di area dapur bersih menuju ke dapur kotor dan di depan kamar mandi terdapat lorong selebar 2 meter yang cukup gelap jika tidak dinyalakan lampu. Ditengah-tengah aktifitas mandiku yang berisik karena aku juga bersenandung, lagi-lagi aku terkejut dengan cahaya putih yang muncul sekelebat di atas ventilasi pintu kamar mandiku. Aku langsung panik, "Anj*ng, aku telanjang loh ini! Om Sapri gak kapok-kapok!", umpatku dalam hati. Dengan cepat aku bersembunyi di pojok belakang pintu kamar mandi agar dia tak bisa memotretku dari sela ventilasi. Bunyi kamera itu masih terus kudengar sekitar 3-4 kali selama aku bersembunyi dan kemudian hening, tak ada suara apa-apa. Dan sesaat Om Sapri memanggilku, "Dik? Kamu di kamar mandi? Om baru mau pipis nih. Masih lama gak?", tanyanya menyelidik.

Tak ada kata yang keluar dari mulutku, aku diam tak berani bersuara. Om Sapri kembali memanggil, "Dik? Kamu gausah takut Om cuma nanya", timpalnya lagi.

'Hah? Takut? Apa-apaan sih? Apa maksudnya? Kenapa dia malah jadi seperti om-om cabul yang mau merudapaksaku?', aku masih tak bersuara sama sekali, hanya bisa menangis dalam diam dan ketakutanku. Jantungku berdegub kencang sekali dengan ketakutanku diapa-apakan dan tanpa kusadari sudah 1 jam aku mengurung diri di dalam kamar mandi sampai kakakku menggedor-gedor kamar mandi dengan paniknya, "Dik? Dik??!!! Kamu pingsan? Mandi kok gak kelar-kelar? Dikkk????".

"Iya kak, aku cuma lagi gosok-gosok kaki", sahutku lega. Kakakku ternyata masih ada di luar.

"Yaudah cepetan mandinya, kita makan siang. Kakak laper", jawabnya.

"Iya kak, ini udah kok".

Aku tak berani menatap Om Sapri setelah itu, aku juga tak berani menceritakan pada siapa-siapa perkara hal ini. Beberapa bulan berlalu semenjak itu, tak ada lagi teror foto-foto itu, aku fikir masalah sudah selesai. Mungkin aku yang terlalu panik.

Tapi ternyata? Belum, belum selesai. Masih ada yang akan terjadi di depanku....

AKAN ADA KELANJUTANNYA, PANJANG GAN HAHA.

AKU AKAN CURHAT BERKALA, KARENA SAMBIL KERJA.
NAMANYA JUGA CURHAT :").

MOHON MASUKANNYA KALAU ADA KEKURANGAN, TRIMS.

 



Diubah oleh deadtree 20-12-2019 10:59
qisatriaAvatar border
pencarilendi170Avatar border
jamalfirmans282Avatar border
jamalfirmans282 dan 61 lainnya memberi reputasi
60
130.2K
629
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
deadtreeAvatar border
TS
deadtree
#139
Chapter 14 - Mas Ibra

Satu bulan berlalu, Rama berkali-kali datang ke rumah dan berkali-kali juga dia kuminta pulang. Rama tak bisa menghubungiku, sejak Mas Ibra dengan konyol melempar hapeku ke tengah jalan tol dan pada akhirnya dia juga harus keluar uang untuk membelikanku hape baru. Seminggu sekali Rama sering meletakkan buket bunga di depan pintu rumah, tapi selalu kuletakkan kembali di luar pagar rumah.
Hari itu, hari minggu. Aku ada janji nonton dengan Mas Ibra sorenya, dari sehabis Dzuhur aku sudah bersiap-siap agar tampil cantik di depan Mas Ibra. Akhir-akhir ini aku dan Mas Ibra sering sekali menghabiskan waktu berdua, entah itu hanya jalan-jalan keliling komplek atau pergi nonton dan makan di restoran langganannya. Dan Mas Ibra jadi lebih rajin menghubungiku via whatsapp, bahkan niat sekali menjemput dan mengantarku ke toko setiap pagi.
Tok..tok..tok
Kudengar ketukan di pintu depan, aku bergegas membukakan pintu karena mungkin Mas Ibra datang lebih cepat. Seorang wanita berdiri di depan pintu, menangis tersedu-sedu. Dia cantik, tinggi semampai, kulitnya putih dengan rambut panjang sepinggang yang bergelombang dan dicat warna coklat tua.
"Siapa ya?", tanyaku.
"A..aku Indi. Kamu Mila kan?"
"Oh.... Ada apa lagi? Aku udah gak sama Rama", sahutku ketus.
"Iya aku tahu. Tapi aku bingung harus cari Rama kemana lagi.", jawabnya lemah
"Emang ada urusan apa lagi?"
"Aku....aku hamil Mila. Anaknya Rama", jawabnya ketakutan.
Aku hanya diam, tak ada rasa sedih. "Terus? Hubungannya sama aku apa?", sahutku lagi.
"Aku minta tolong kamu pancing Rama buat ketemu, aku gak mau Rama kabur gitu aja tanpa tanggung jawab. Aku mohon Mil, aku gak bisa kayak gini terus.", Indi mengeluarkan secarik kertas dari tasnya dan memberikannya padaku. Surat itu bertuliskan kalau Indi positif hamil beserta testpack kertas yang distaples di surat itu.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan akhirnya mempersilahkannya masuk. Kutelepon Mas Ibra untuk segera datang mendampingiku. Tak lama, Mas Ibra datang dengan tergopoh-gopoh, dia masuk dan memandang Indi dengan tatapan menyelidik.
"Ini dia?", bisik Mas Ibra padaku
"Iya"
"Kayak cewek gak bener", sahutnya lagi.
Kucubit pinggang Mas Ibra. Dia memperbolehkanku menghubungi Rama dan menyuruhnya datang ke rumah. Kami berbincang cukup lama, dari situ aku tahu ternyata Indi sudah suka dengan Rama dari sejak di bangku SMA. Rama dari dulu terkenal playboy dan hypersex tapi baru kali ini dia sebegitu gigihnya meminta wanita kembali padanya. Aku sedikit tersentuh tapi langsung dilirik Mas Ibra dengan tatapan bak seorang ayah yang melarang anaknya pacaran.
Rama datang sejurus kemudian, aku menyambutnya di pintu depan. Dia membawakanku bunga dan cinnamon roll kesukaanku, aku menerimanya dengan senyum tipis sambil mempersilahkannya masuk. Rama terperanjat saat melihat Indi disana.
"Ngapain lagi sih lo?", bentak Rama.
"Heh, jangan berantem disini. Ngomong baik-baik aja kan bisa", tegurku.
Indi kemudian bersuara dan menceritakan semuanya pada Rama. Rama hanya membisu dan menatapku sesekali berharap aku akan membelanya.
"Gini aja, aku dan Mas Ibra sebentar lagi mau pergi. Sepertinya aku udah terlalu baik mempersilahkan kalian bertemu di rumahku, tempat kalian berzinah. Aku mohon kalian bisa diskusikan ini berdua, dan aku mohon sekali jangan lagi ganggu-ganggu hidupku. Aku udah cukup menderita, jangan ditambah lagi.",ungkapku panjang lebar.

Mereka kemudian pamit, begitupun aku dan Mas Ibra yang juga pergi nonton di Bintaro Plaza. Aku dan Mas Ibra tak membahas apapun tentang yang terjadi hari itu. Kami berdua diam, meski sebenarnya aku sakit hati. Aku terganggu, aku ingin sekali menangis meraung-raung meluapkan emosiku hari itu. Kenapa selalu aku? Bagian mana dari hidupku yang salah kujalani sampai aku harus bertubi-tubi disakiti oleh semua orang yang dekat denganku.

...
Selesai nonton, Mas Ibra mengantarku pulang. Di depan pintu rumah sebelum dia pamit, dia menatapku dan memegang pipiku. Lama sekali Mas Ibra menatapku saat itu, dan entah kenapa rasa sakit di dadaku mendadak hilang lenyap tak bersisa. Aku merasakan degub kencang di dadaku yang jarang sekali kurasakan. Mas Ibra mendekatkan bibirnya ke arah bibirku dan menciumku pelan. Bibir kami saling berpagutan dan dia mengalungkan tangannya di pinggangku, memelukku erat sambil tetap sibuk dengan bibirku. Perlahan Mas Ibra mendorongku ke arah ruang tamu dan menutup pintu, menggendongku dari depan sambil tetap menciumi bibirku. Sampai akhirnya aku capek sendiri dan susah bernafas, aku minta berhenti.
CANGGUNG. Mas Ibra diam, akupun hanya mematung tak bersuara. Dia menatapku dan sejurus kemudian mencium keningku, pamit pulang. Aku langsung mengunci rumah dan beberes dan kemudian tidur. Kupaksakan mataku memejam malam itu meski susah.

Keesokan harinya, aku ke toko seperti biasanya. Mas Ibra tak nampak seharian itu, dia juga tak menghubungiku, aku juga tak mencarinya. Sore hari sepulang kantor, kulihat dari halaman depan ada kotak berwarna coklat dengan pita warna pink yang cukup besar di depan pintu teras. Awalnya kufikir itu lagi-lagi dari Rama, sampai akhirnya kubaca surat yang terselip di atas kotak itu 'Dari Ibra'.

Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan sama kamu, Mila. Besok jam 7 malam aku jemput kamu ya, kita pergi dinner sesekali.
P.s: Kadoku tolong dipakai, I know it suits you.


Kubuka kotak coklat itu, ada satu gaun berwarna biru tua. Aku ingat sekali gaun ini, beberapa minggu lalu aku pernah lihat gaun ini di etalase mall dan aku memandanginya. Bukan tak mampu beli, aku cuma merasa kurang cocok memakai pakaian yang terlalu feminim. Mas Ibra menjitakku saat itu dan bilang aku cocok pakai itu. Hehe

--
Esoknya, selepas maghrib aku sudah siap rapi dengan pakaian yang dibelikan Mas Ibra. Aku sedikit gaka nyaman, karena terbiasa berpakaian casual dan bahkan hampir tidak pernah memakai gaun. Mas Ibra menjemputku dan kami pergi ke sebuah restoran di hotel pusat kota Jakarta. Sepanjang jalan kami masih tidak banyak bicara, masih canggung rasanya. Setibanya di hotel, Mas Ibra menggandeng pinggangku dan kami duduk di tempat yang sudah dipesannya, di pojok ruangan dan menghadap ke bundaran kota. Lucunya, Mas Ibra bahkan tak menanyaiku mau makan apa. Dia langsung pesan 2 menu, kami tetap tak banyak bicara dan makan dalam diam.
Setelah makanan habis dan pelayan sudah mengangkat piring, Mas Ibra meraih tanganku dan menatapku dengan tatapan tajamnya. Kuperhatikan, Mas Ibra ini tampan lho. Kulitnya kuning bersih, rambutnya dipotong pendek belah samping, bibirnya tipis, hidungnya cukup mancung dengan badan tegap tinggi. Selama ini aku tak terlalu memperhatikan dia sebagai seorang lelaki, bagiku dia sudah seperti kakakku sendiri.
"Mila, soal kemarin maaf ya", Mas Ibra buka suara.
"Eh...iya Mas gapapa.", jawabku kikuk.
"Gak tau dari kapan, aku kayak yang sebel banget gitu pas kamu sama Rama. Tapi aku mikirnya ya karena kamu ini adikku, dan aku kena sindrom brother complex, hehe. Tapi sejak kemarin malam itu, aku kayaknya baru sadar kalau aku cemburu bukan karena kamu adikku tapi karena aku yang bodoh gak sadar selama ini aku suka sama kamu."
Aku kaget sekaget-kagetnya, mulutku menganga sampai Mas Ibra cekikikan tapi sekaligus gak enak dengan situasi ini.

"Mas, jujur kemarin itu aku seneng. Gak tau kenapa. Ada perasaan mau meledak di kepalaku pas kita ciuman. Gak pernah aku kayak gitu.", jawabku malu.
Mas Ibra menggenggam tanganku makin erat, "Iya aku juga. Aku kepikiran hal-hal aneh bahkan saat itu. Untung kamu minta berhenti. Maaf ya udah mikir aneh-aneh." Dia terdiam sejenak dan kemudian bilang, "Mila, aku suka sama kamu... Kamu, emm anu kamu mau jadi pacar aku gak?"

"Ha? Mas? Ini becanda apa serius sih?"
"Serius Mila, iya aku tau umur kita jauh beda. Agama kita beda. Tapi aku beneran pengen jagain kamu, sayangin kamu", Mas Ibra mencoba meyakinkanku.
Aku hanya bisa diam dan menunduk, berfikir keras apa yang harus kujawab. Iya jujur aku juga gak sadar sebenarnya selama ini suka sama Mas Ibra. Tapi kan aku udah rusak, udah gak perawan, suka nyakitin diri sendiri, dsb dsb dsb. Semua fikiran negatif berputar-putar dikepalaku sampai suara Mas Ibra membuyarkan lamunanku, "Gak usah difikirin yang dulu-dulu itu. Aku gak mikirin masa lalumu. Aku taunya kamu sekarang ini belajar berubah jadi lebih baik, I'll take that!".

Akhirnya aku mengangguk sambil menatapnya malu. Mas Ibra nampak sumringah, mukanya yang tadi tegang langsung berbinar-binar bahagia. Gila, aku pacaran sama orang yang udah tau busuk-busuknya aku.

---
Sudah 2 bulan aku pacaran dengan Mas Ibra, semuanya nampak begitu bahagia. Aku yang selama ini lebih sering dijadikan samsak oleh orang sekitarku kini bisa merasakan gimana nyamannya diperlakukan seperti puteri. Hubunganku dengan Mas Ibra juga sudah diketahui Ibu dan Ayah, mereka merestui asal dengan catatan kalau kami ingin menikah Mas Ibra harus masuk Islam. Aku dan Mas Ibra sama sekali tak membahas itu, kami hanya iya-iya saja.
Hari itu hari sabtu sore, Mas Ibra sedang sakit di rumahnya. Tak ada Mbak Yanti yang biasa mengurus Mas Ibra karena Mbak Yanti pulang kampung untuk menikahkan anaknya. Aku putuskan malam itu menginap saja, toh hari minggu toko tutup dan aku tak ada kegiatan juga hari itu. Sengaja aku mampir dulu ke swalayan untuk beli beberapa bahan masakan, Mas Ibra sudah merengek minta dimasakkan Sop Iga. Semalaman setelah selesai masak dan menyuapinya, aku duduk bersandar di tempat tidur, Mas Ibra tidur sambil memeluk tanganku. Kuelus-elus lembut rambutnya, dia terbangun. Setengah sadar dia menarik pipiku dan mencium bibirku, aku hanya tersenyum dan membiarkannya menciumku sepuas yang dia mau. Lembut sekali perlakuan Mas Ibra padaku, sampai aku dan Mas Ibra terhanyut. Entah siapa yang memulai, aku dan Mas Ibra sudah tak lagi berpakaian. Dia sudah di atasku sambil tangan kirinya meremas dadaku, Mas Ibra memandangku dengan wajahnya yang masih setengah lemas dan aku hanya mengangguk.
Kali pertama aku berhubungan intim dengan pria yang kusukai, tidak dengan cara dirudapaksa tapi diperlakukan lembut. Aku tau sekali ini dosa, tapi entah kenapa aku merasa seperti lega telah lepas dari semua permasalahan berat dari aku kecil sampai terakhir dengan Rama. Mas Ibra bahkan dalam hubungan sekspun memperlakukanku dengan lembut, dan semuanya terasa begitu menyenangkan. Malam itu, aku tidur dalam pelukan Mas Ibra. Pertama kali dalam hidupku aku tidur dalam pelukan seseorang dan merasa sangat aman.

Sejak hubungan malam itu, aku dan Mas Ibra masih beberapa kali berhubungan intim. Di rumahku, di rumahnya, di apartemennya sampai 2 bulan berlalu. Total aku sudah 4 bulan pacaran dengan Mas Ibra. Aku sudah siap-siap untuk kembali masuk kuliah, sibuk mengurus berkas-berkas dan persiapan magang di semester 5. Aku begitu senangnya memikirkan setelah lulus kuliah mungkin Mas Ibra akan melamarku.
Hari itu hari Rabu, Mas Ibra meneleponku untuk mengajakku bertemu. Suaranya sedikit berat dan nampak seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Aku memintanya untuk bertemu saja di rumahku, aku terlalu capek hari ini kalau harus pergi kemana-mana. Mas Ibra mengiyakan.
Sore jam 4 Mas Ibra sudah tiba di rumah, saat kubukakan pintu dia langsung masuk dan menciumiku habis-habisan. Menggendongku ke kamar dan melepas semua pakaianku, kita berhubungan seks tapi entah kenapa dia nampak lebih kasar tidak seperti biasanya. Aku tak begitu mempermasalahkan karena aku tahu dia pasti akan cerita setelahnya.
Setelah selesai, Mas Ibra duduk di tepi tempat tidur menatap dalam-dalam hapenya. Aku memeluknya dari belakang, kami berdua sama-sama masih tanpa busana. Dia menciumi tanganku sambil sesekali menatap hapenya.
"Kenapa sih Mas?", tanyaku penasaran.
"Aku harus balik ke Aussie", jawabnya lesu.
"Trus? Kok mau ke Aussie aja sampai lemas gitu?", selidikku.
"Aku kayaknya ga akan balik dalam waktu dekat", timpalnya lagi.
"Karena?", pelukanku kulepaskan dan aku beringsut duduk di sebelahnya.
"Papi, papi sakit. Dia kena kanker paru-paru dan aku gak tahu selama ini.", jawabnya lesu.
"Astaga, ya ampun Mas. Kalo gitu gapapa, aku titip salam ya?"
"Ada lagi...", potongnya.
"Hm? Kenapa?"
"Mami...mami tau soal kita. Dia gak ngerestuin kecuali kamu pindah ke Katolik".

Mas Ibra menunjukkan rekaman suara whatsapp Ibunya Mas Ibra. Aku mendengar dengan jelas Ibunya bilang kalau jangan mengecewakan Papi yang lagi sakit parah. Jangan sampai pindah agama dan Mila harus masuk katolik biar Papi senang.
Aku hanya diam, tak ada suara. Mas Ibra beranjak dari ujung kasur dan duduk di hadapanku.
"Aku gak mau kita pisah. At least aku gak akan ninggalin kamu sampai kamu nemuin pengganti aku. Aku gak mau kamu diluar sana sendirian, sakit lagi hancur lagi.", Mas Ibra menangis terisak. Aku mengenakan pakaianku dan memberikan pakaiannya. Aku diam, tak menangis. Aku tau dari awal kalau kami ini gak akan semudah itu bersatu. Tapi aku masih acuh dan tetap berhubungan dengan Mas Ibra.
Aku dan Mas Ibra akhirnya sepakat untuk berpisah, tapi tetap bertemu setiap Mas Ibra pulang ke Indonesia. Malam itu, kami tidur bersama di hotel tempat kami pertama kali mengucap cinta untuk tidur bersama terakhir kalinya.
emzehd26
Ndaru4u
nomorelies
nomorelies dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.