bototokAvatar border
TS
bototok
(kisah nyata) Suluk Kyai Guru
Pagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. Di lereng gunung sebelah selatan, nampak berjejer kobong pondokan santri tak teratur. Sayup terdengar suara wirid para santri di bagian tengah pondokan, rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian dihamparkan dengan rapi, sehingga kalau diinjak kaki akan terdengar bunyi derit bambu yang khas. Nampak para santri yang jumlahnya 15 orang duduk melingkar khusuk dalam wiridnya.

Sang Kyai yang juga ada dalam lingkaran juga duduk bersila, orang tak akan menyangka mana Kyai mana murid. Sebab semua sama, hanya ketika Sang Kyai mengangkat tangannya dan wirid semuanya berhenti. Kemudian Sang Kyai menyuruh wirid yang lain, santri pun melanjutkan. Orang tak akan menyangka yang disebut Kyai ini seorang remaja, kira-kira umurnya 12 tahun, kulitnya putih bersih, dengan wajah biasa, namun memancarkan wibawa yang tiada taranya. Presiden sekalipun akan dibuat tunduk bila berdiri di hadapannya.

Di sebelah rumah Sang Kyai ada rumah bambu lagi yang lumayan besar, dindingnya dari kerai, yaitu bambu yang disisik halus kecil-kecil kemudian disusun rapi dengan tambang, sehingga bisa dibuka tutup dengan digulung, dalamnya juga beralaskan bambu seperti di rumah Kyai, nampak banyak orang lelaki tiduran dengan nyenyak. Mereka ada sekitar 20 orang, kesemuanya lelaki. Karena tempat para tamu perempuan ada tempatnya sendiri.

Para tamu ini bukanlah orang yang biasa-biasa. Seperti pak Udin, yang seorang tentara yang punya kedudukan di angkatan udara. Pak Yusup yang seorang jaksa dari Jakarta, juga ada para pemilik perusahaan raksasa di Indonesia. Ada lagi yang aku tidak tahu, kata temanku dua orang menteri, seorang duta besar, juga ada artis, tukang cukur rambut, tukang es keliling dan lain-lain, semua tidur sama kedudukannya.

Siapakah sebenarnya Sang Kyai, akupun tak tau pasti. Yang ku tau lelaki muda usia itu, sering dipanggil Kyai Lentik, dari ayahnya nasabnya sampai Sunan Gunung Jati, dari ibunya sampai ke Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.

Kyai yang tuturnya lembut berkasih sayang kepada siapa saja. Pagi itu seperti biasa, mbok Titing, janda tua penjual sarapan pagi nasi uduk lewat di depan rumah Kyai. Umur tua dan tubuh yang mulai bongkok ditambah rinjing di punggungnya yang penuh dengan nasi uduk bungkus diikat dengan selendang, tangan kanannya menjinjing tas krawangan berisi lauk pauk.

Seperti biasa pula, nenek tua itu berhenti di depan pintu Kyai sambil menawarkan dagangannya, sekalipun dia tau bahwa Kyai Lentik tiap hari puasa, nenek itu hanya menunggu Kyai menjawab teriakannya menawarkan dagangannya, meser Kyai? ndak bogah duwit mbok. Dan cuma itu jawaban Kyai, sudah membuat girang bukan main, dan segera berlalu, tersenyum bahagia dan tak sampai setengah jam dagangannya sudah habis ludes dibeli orang. Nenek itu sangat murung, apabila dia menawarkan dagangannya di depan pintu Kyai, tapi Kyai ternyata pergi, itu baginya berarti perjuangan seharian menawarkan dagangan, dan itupun belum tentu habis, itulah tiap pagi yang terjadi di pondok Pacung, lereng gunung putri.

Masih banyak kejadian yang kadang tak masuk di akal di balik kesederhanaan Sang Kyai. Waktu maghrib itu, santri yang menjalankan puasa, telah selesai berbuka dengan singkong rebus dan air putih, seperti biasa juga Kyai ikut berbuka dengan kami dengan beralaskan daun pisang singkong yang sudah masak dituang di atas daun pisang dan dinikmati bersama-sama sambil jongkok, tak ada yang istimewa, tak ada pecel lele Lamongan, rendang Padang, soto Madura, soto babat bahkan nasi pun tak ada.

Tapi tak pernah kami perduli, itu hanya makan, lebih baik makan apa adanya tapi untuk beribadah, daripada makan yang enak-enak ujung-ujungnya untuk berbuat maksiat. Setelah makan kami mengelilingi toples yang berisi tembakau, itu barang berharga kami, tembakau oleh-oleh dari Lukman yang pulang dari ngejalani ngedan, kami semua mengalami, yaitu pergi tanpa bekal, menyerahkan diri di kehendak Allah, pakaian compang-camping, sambil terus di hati mengingat Allah, berjalan kemanapun kaki melangkah, tanpa tujuan kecuali Allah, kalau lapar tak boleh meminta pada siapapun kecuali Allah, kadang mencari makan dari mengorek sampah, tidur kadang di hutan, sawah juga kuburan.

Nah, pada waktu itu setiap ada yang ngejalani, santri pada memesan uthis yaitu puntung rokok, di jalan, dikumpulkan sampai satu kresek nanti dibawa pulang, sampai di pondok dibuka satu-satu dipisahkan tembakau dan kertas rokoknya. Aku mengambil kertas koran lalu membuat lintingan, dari korek kapuk kunyalakan kuhisap dalam dan asap pun bergumpal-gumpal keluar dari hidung dan mulutku, kadang kutiupkan asap sambil asap mengepul dari tembakau dan bau kertas koran yang terbakar, aku menengadah, sambil meresapi asap keluar dari mulutku, seakan suatu kenikmatan tiada tara, santri yang laen juga sepertiku.

Saat aku menengadahkan wajah entah untuk yang keberapa kali, kulihat melayang bayangan hitam di antara pohon kelapa yang banyak bertebaran, aku kaget sekali, jelas bayangan itu manusia yang melayang tak terlalu cepat, karena saat petang maka bayangan itu kelihatan hitam. Bayangan itu melintasi pohon jengkol di dekat dapur sebelah kanan rumah Kyai, lalu melayang dengan indah turun di depan rumah Kyai. Kami segera memburu ke arah orang itu, yang sejak tadi kami ribut menebak-nebak apa sebenarnya. Deg-degan kami menghampiri, ternyata bayangan yang terbang itu seorang wanita tua, rambutnya semua memutih, dia terbang menggunakan sajadah, jelas bahwa ilmu meringankan tubuhnya teramat tinggi, yang mungkin kalau sekarang kami tidak melihat dengan mata kepala kami sendiri, tentu kami akan menyangka ilmu seperti itu hanya ada di cerita silat, atau film di televisi, arahan imajinasi.

Kami semua melongo melihat perempuan itu melipat sajadah yang tadi digunakan untuk terbang, aku teringat kisah aladin, tapi ini nyata, perempuan tua tinggi kurus, berpakaian putih kusam ringkas membentak,
“Dimana Kyai Karismatik, aku ingin mengadu ilmu.”

“Nyai siapa?” kataku menguasai keterkejutan.

“ah mana Kyai Karismatik? Hai Kyai keluar!!” katanya, karena menantang-nantang dan sama sekali tak memperdulikan kata-kataku, aku pun segera bergegas menghadap Kyai, yang aku yakini tengah berada di musolla menunggu sholat berjama’ah.
Aku kawatir perempuan tua itu ilmunya teramat tinggi, bagaimana nanti Kyai menghadapinya, setahuku Kyai tak punya ilmu kanuragan, juga tak pernah mengajarkan kanuragan, tapi memang kalau dipikir-pikir aneh juga, kami para santri, tak pernah dilatih kanuragan, ilmu silat apapun kami tak tahu, karena memang di pesantren Pacung ini kami hanya diajar bagaimana mendekatkan diri pada Allah, bukan lewat teori tapi praktek, bagaimana bertawakal, syukur, houf, rojak, dan bagaimana membersihkan hati dari segala sifat yang menjadi penyakit hati.

Tapi para penduduk sekitar juga para tamu yang datang, selalu berkeyakinan kalau pesantren ini adalah pesantren kanuragan, yang muridnya sakti-sakti kebal senjata, bisa terbang dan cerita-cerita yang dilebih-lebihkan, aku masih takut bagaimana jadinya kalau Kyai bertarung dengan nenek sakti ini? Selama ini yang aku tahu Kyai sangat menguasai ilmu pengobatan, sakit apapun, dari sakit gila, sakit luar, penyakit dalam, sampai penyakit kena santet, kena guna-guna kena jin, kena narkoba, semua bisa disembuhkan, orang pengen jadi lurah, camat, bupati, gubernur, sampai mau jadi presiden larinya ke Kyai, dan Kyai hanya mendo’akan saja, tapi kalau ilmu kanuragan, aji kesaktian, aku tak tau, aku jadi ingat ada seorang tentara mau dikirim menjadi pasukan. Pasukan penjaga perdamaian di Kuwait namanya Iqbal, dia datang dengan tamu yang lain mau meminta sareat ilmu kekebalan, dia ngantri dengan tamu yang lain lalu menghadap Kyai, pas giliran si Iqbal, Kyai bicara sebelum Iqbal ngomong.

Begitulah Kyai selalu tahu maksud kedatangan orang sebelum orang itu menyampaikan maksudnya. Bahkan tahu hari, tanggal, tahun kelahiran serta siapa bapak ibunya. Bahkan orang itu habis melakukan maksiat apa Kyai pun tahu, dan kadang diucapkan Kyai tanpa tedeng aling-aling. Begitu saja mengalir.
Diubah oleh bototok 05-02-2021 14:00
AddIgonjbg
frogz
tien212700
tien212700 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
55.2K
416
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Supranatural
SupranaturalKASKUS Official
15.6KThread10.7KAnggota
Tampilkan semua post
bototokAvatar border
TS
bototok
#399
(kisah nyata) Suluk Kyai Guru 84
Malam itu toko seperti biasa tutup jam sepuluh malam, aku dan dua temanku Edi sama Ikhrom pun berjalan keluar dari plaza, tapi sampai di halaman, sebuah mobil avanza berhenti di depan kami,

“Mbak Lina..” kata Edi pelan di sampingku, memang kaca mobil terbuka, dan muncul seraut wajah ayu, yang sudah bikin aku was-was aja.

“Ayo masuk..!” katanya enteng dan merdu, kami bertiga diam, ndak ada yang nyaut, ya mungkin kami ini orang yang terlalu miskin, jangankan naik mobil mewah, menyentuhnya aja ndak berani, karena mungkin sering melihat mobil mewah yang kalau disentuh terus jadi bunyi tit-tit-tit, ribut banget, jangan-jangan kami sentuh nanti bunyi, itu mungkin pikiran terlalu ndeso ya? Ya setidaknya itu mungkin salah satu pikiran dari 700 pikiran yang melintas di otak kami bertiga, aku dua temanku ini berpikir lain aku juga ndak tau, tapi aku lebih memilih pikiran yang simpel aja, aku tak mau nyari masalah, atau nyari pintu menuju kesuntukan jalan pikiran, nambah beban, mungkin dari orang yang paling berpikir simpel, aku mungkin adalah orang yang paling mencari pikiran yang paling gampang dan paling ndak ada unsur njlimet, bukan takut terbeban dengan pikiran, tapi takut membuang waktu percuma, dan di akhirat nanti setiap tarikan napasku dipertanyakan, lalu aku harus menjelaskan setiap waktu yang aku lewati, ah betapa rumit, dan lamanya. Simpel kan jalan pikiranku, kalau menurut orang lain njlimet ya aku mau bilang apa?

“Ayo…!” kata Lina lagi.

“Kok malah pada bengong.” si Edi garuk-garuk kepala, si Ikhrom ku lirik dlengeh senyum dikit aja, membuka bibirnya yang memang hitam sejak dari sononya, aku mau bergaya apa, juga ndak ingin, juga ku pikir tak ada gunanya, maka aku manyun aja, tersenyum enggak, apalagi garuk-garuk, karena ndak punya alasan untuk menggaruk, la ndak ada yang gatal, terpaksa diam manyun aja, atau tidak terpaksa, tapi memang itu pembawaan orokku, cuwek, ndak perduli, tapi akhirnya kami pun masuk ke dalam mobil juga, ndak tau siapa yang mulai masuk dan tidak tau siapa yang ngasih komando, ya yang jelas kami bertiga sudah ada di dalam mobil, aku sama Ikhrom di jok belakang sementara Edi duduk di depan sama mbak Lina.

Dan mobil pun jalan, ku lihat wajah Ikhrom di sampingku nampak tegang tapi tersungging senyum, tapi aku biasa saja, apa ketegangan yang disemburatkan di wajah Ikhrom ini karena naik mobil mewah ini atau karena naik mobil yang disetiri si cewek cantik dan kaya Lina? Atau karena alasan lain, aku tak bertanya, dan tak ingin bertanya karena itu pasti kan membuatnya tersinggung dan tak nyaman di sampingku, biarlah kami menyimpan alasan masing-masing, sejahat atau sesadis alasan apapun asal masih disimpan di dalam hati kurasa tak membahayakan orang lain, dan masih tak terjangkau hukum dunia manapun, jadi andai Ikhrom punya alasan yang teramat sadis aku tak mau mempertanyakannya, dari pada alasan itu kalau ku tanya jadi keluar dan teramat berbahaya, ah kok aku malah nglantur.

Mobil sudah jalan, mungkin aku tak punya bayangan punya mobil mewah, atau mungkin tak punya keinginan seujung rambut pun untuk naik mobil mewah, malah punya 1 baut aja tak terbayangkan, dan tak termimpikan, jadi aku biasa-biasa naik mobil mewah, ndak geli, ndak kerasa apa-apa, juga tidak enak, malah menurutku enakan tidur molor di kasur yang udah kempir karena kapuknya udah nipis, tidur, dan tidur nunggu pagi.

“Mau kemana nih?” tanya mbak Lina membuka pembicaraan, kayak orang pikun ja, la wong dia yang ngajak kok bertanya, tapi pertanyaan ini jelas bukan pertanyaan orang yang lupa jalan.

“La kemana to mbak, mbak Lina kan yang ngajak kita, ya kita ngikut aja.” ku dengar jawaban Edi, bukan jawaban guru agama atau wakil DPR tapi jawabannya menurutku cukup diplomatis, setidaknya dalam mobil yang lagi jalan ini, karena ndak ada suara lainnya,

“Gimana mas Ian? Kemana kita?” tanya mbak Lina lagi ditujukan ke arahku, tanpa matanya beralih ke jalan.

“Ya kemana aja…, la kok malah tanya, dibawa kemana juga kita ndak bakalan ngelawan.” jawabanku lebih aneh di telinga siapa pun, bahkan di telingaku sendiri, bahkan aku tidak berpikir kalau jawaban itu kayaknya lebih pantas diucapkan oleh orang yang dalam keadaan di sandera,

“Ya udah ke restoran aja ya…?” tanya mbak Lina lagi, aku cuma mendengus, tapi dalam pikirku, la daripada ke restoran mending ke warung bakso, atau ke warung mi ayam, mungkin apa yang ku pikirkan tidak jauh beda amat dengan apa yang dipikirkan oleh Edi atau Ikhrom, ya mengingat pengalamanku sendiri, mungkin juga pengalaman mereka, kalau di restoran itu kebanyakan menjual gengsi aja, kalau enaknya makan ku rasa ndak ngalahin enaknya makan bakso, panas asli, atau mi ayam, habis makan lalu ngrokok, tapi ini kan dalam mobilnya mbak Lina, kayaknya bayangan pentol bakso harus dibuang jauh-jauh, dasar wong aku ini orangnya ndableg, tetep aja aku bertanya.

“La ada baksonya ndak mbak di sana?” tanyaku kayak anak kecil yang ngerasa kawatir dengan sesuatu yang tak didapat.

“Ada kok mas Ian, pingin bakso ya?” tanya mbak Lina sekaligus memberi jawaban atas pertanyaanku, Ikhrom mencolek tanganku, lalu bisiknya,

“Jangan kampungan, bikin malu.” aku cuma mengsem, la orang takut dibilang kampungan, lalu kelaparan karena mempertahankan gengsi yang tak ada isinya, dan tak ada nilainya, setidaknya menurut pandanganku, mending jujur aja, dari pada habis makan nggrundel, karena makanan ndak enak, la kok tidak besyukur itu kok salah satunya muncul dari sikap yang kayak gitu, ndak jujur, jadi yang diperoleh tidak sesuai takaran yang diinginkan, akibatnya nggrundel, kalau dalam hal makanan, ya kok kayaknya saru, nggrundeli makanan yang sudah terlanjur ditelan, tapi aku rasa juga banyak orang yang melakukan hal yang seperti itu, nggrundeli makanan yang sudah di telan, la kayak makanan yang sudah di telan itu mau untuk tabungan aja, atau mau untuk membuat apa gitu, la kok menurut aku keterlaluan banget nggrundeli, makanya kanjeng Nabi nglarang banget nggrundeli makanan yang tak kita sukai, karena makanan itu hanya untuk mencetak kotoran, yang susah-susah kita cetak juga ujung ujungnya dibuang, ndak ada orang yang kotorannya dipajang di lemari sebagai hiasan, walau kotoran itu dari barang yang paling mahal sekalipun, yang harga seporsi mencapai jutaan.

Tak terasa mobil berhenti, dan kami turun semua, ku lihat restoran lumayan mewah, dan kami masuk berendeng di belakang mbak Lina, nampak pelayan restoran juga sudah akrab sekali dengan mbak Lina, menunjukkan mbak Lina sering masuk ke restoran ini, kami bertiga pun duduk mojok kayak orang asing, yah malah kayak tawanan yang telah benar-benar ditaklukkan, mbak Lina yang wira-wiri, milih makanan,

“Kamu mau milih makanan apa mas Yan?” tanyanya padaku, aku diam, ah repot amat, kali aja di sini nama makanan jadi aneh-aneh, la mau makan apa juga jadi repot pesennya, pesennya harus dengan gaya gengsi yang tinggi, mungkin nama bakso juga jadi berubah di sini,

“Mbakso bener ada mbak di sini?” tanyaku, cuma dijawab mantuk oleh mbak Lina, lalu dia pesankan, dan penilaianku ternyata tidak jauh meleset, baksonya ndak enak. Air kuahnya aja dingin, la ini bakso apa sirup? Tapi aku ndak ngedumel ku seropot aja, Ikhrom sama Edi pesen nasi goreng, lah dasar orang kampung di restoran juga tetap pesennya balik-balik nasi goreng.
77665.123456
77665.123456 memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.