Kaskus

Story

ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
The Way You Are
Quote:




Friendship is not always about finishing each other's sentences or remind you to the lyrics you forget. Many times, friendship is about how fluent are both of you in speaking silence.

-- Maxwell.




Diubah oleh ladeedah 08-09-2019 07:30
someshitnessAvatar border
bukhoriganAvatar border
evywahyuniAvatar border
evywahyuni dan 11 lainnya memberi reputasi
12
24.9K
185
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
#98
A Cliff
Gue harus kembali ke Indonesia seminggu kemudian. Selama itu juga Max tidak banyak bicara. Dia selalu datang ke kamar gue sepulang sekolah, duduk di tempat tidur dan tidak bicara apa-apa selain menyaksikan setiap pergerakan gue di dalam kamar. Tidak ada yang gue sembunyikan darinya lagi. Gue ngedrugs di depan dia. High di depan dia.

Di saat yang bersamaan, gue juga tidak memiliki bahasan apapun selain mengajaknya pergi cari makan, atau dia ajak gue cari makan. Selebihnya benar-benar tak ada yang bicara di antara kami. Gue, Max, meth, rokok, dan musik. Hingga gue kembali, dia mengantarkan gue ke bandara, tidak mengatakan apa-apa selain memeluk gue. Matanya sembab karena beberapa kali menangis, tampak cekung dan memerah di kelopak, kantung mata dan cuping hidungnya.

Gue tidak bicara dengan Papa dan Mama. Tawaran mereka untuk memindahkan gue ke Melbourne sehingga kami bisa menjalani keluarga kecil kami seperti dulu gue tolak. Untuk apa?

Gue memilih Indonesia karena gue muak atas rujuknya Papa dan Mama dan aturan hubungan baru tak masuk akal mereka. Gue jelas butuh rumah. Tapi rumah mewah dua lantai seharga lebih dari lima juta dolar di kawasan suburb termahal di Melbourne itu tidak terasa seperti rumah buat gue.

Gue tidak membenci orang kaya. Buat apa? Gue hanya membenci kedua orang tua gue yang saling berusaha balas dendam dengan harta:

Papa membeli rumah semewah itu yang diatas namakan Diajeng Dahasrarya Wengka untuk apa? Untuk gue? Bukan. Itu untuk showing off his testosteron pride karena Mama lebih sukses darinya dan selingkuh dengan seorang pria yang juga lebih kaya dari Papa saat Papa masih kuliah.

Papa bilang alasan dia membelikan Mama Lamborghini Gallardo karena cinta dan sebagai welcoming gift atas rujuknya mereka. Really?? Nope! Itu hanya pelampiasan Bram atas ketidakmampuannya dulu.

Papa terlalu sibuk memperbaiki hubungannya dengan Mama hingga mau bertekuk lutut atas apapun permintaan Mama.

Papa memang berhasil menumpas musuh-musuhnya, termasuk Mama, dengan kesuksesannya. Pria yang sangat kuat dan cerdas. Papa bisa melesat jauh lebih kaya dari Mama dan dari selingkuhan Mama. Papa adalah contoh nyata manusia yang disebut dalam quotes: THE BEST REVENGE IS BEING SUCCESS! Papa menjadikan kekayaannya sebagai garansi bahwa tidak ada yang bisa mengusik ikatan pernikahan Bram-Gendis.

Gue tidak kekurangan materi. Uang Mama tetap mengalir ke gue. Kartu kredit Master Card atas namanya juga bisa gue gesek dimana saja, kapan saja, untuk apa saja. Mama juga tidak komplain saat gue pernah party dengan teman-teman gue dan menghabiskan lebih dari empat puluh juta dalam semalam. Tentu saja Papa tidak tau, tapi buat apa juga dia tau?

Tentu saja itu yang Ajeng si Pemarah dan Pendiam pahami. What else?

Apa harga yang harus dibayarkan ketidaktahuan Papa? Segalanya. Sama dengan besarnya harga yang gue bayar atas ketidaktahuan gue. Segalanya.

Gue butuh rumah. Bukan rumah Papa. Gue butuh rumah Eyang Putri. Satu-satunya orang yang akan memeluk gue, menghapus air mata gue, tidak pernah menyakiti gue, dan tidak pernah menginterogasi gue atas apapun! Lo tau apa yang Eyang gue lakukan di depan wali kelas saat mengambil rapot saat gue tidak naik kelas? Dia memeluk gue, mencium berkali-kali wajah gue yang menangis, sambil bilang: "tidak apa-apa Ajeng, inilah belajar, ada kalanya kita gagal, tidak apa-apa! Ajeng punya banyak waktu untuk memperbaiki!"

Saat orang tua lainnya mungkin udah mecutin anaknya!

Gue memilih Eyang Putri dengan rumahnya yang sederhana, dengan hidupnya yang sederhana, dengan cintanya yang sederhana. Gue tinggalkan Melbourne dan berjanji tak akan kembali kecuali Papa menjemput gue ke Jakarta.

"Dee, gue hamil." -- Sarah.

Kabar itu ternyata bisa membuat gue kembali ke Melbourne kurang dari satu tahun kemudian! Yeah teenager selalu membuat janji sendiri dan mereka ingkari sendiri....

Gue dan Sarah cukup akrab dengan saling chat dan gue seakan jadi default listener bagi Sarah yang akan mendengarkan semua curhatannya. Selalu katanya: "gue cuma cerita ke lo Dee", tapi apa pentingnya juga kalau dia ceritakan itu ke orang lain? Gue sudah tidak memiliki sense of trust lagi. Gue mendengarkan dia karena dia satu-satunya teman gue yang tidak putus asa menghubungi gue meskipun saat gue tidak merespon dengan semangat terhadap cerita-ceritanya.

Sarah adalah tipe orang yang tidak peduli akan achievement akademis apalagi keglamouran sosialita ala remaja yang suka belanja.

Sarah hanya peduli laki-laki. Kita selalu punya temen yang kayak gitu kan saat remaja, yang dia pedulikan hanya cewek atau cowok.

Si A hot, si B putus sama pacarnya, si C pacaran sama D, si E gay, si F nyapa dia saat ngajak anjingnya jalan-jalan, si G video pornonya kesebar, si H selingkuh. All about boys. Cowok-cowok yang awalnya gue tau hanya dari nama dan fotonya yang di share Sarah, tapi saat melihat mereka langsung di Melbourne, gue seakan sudah bisa membaca cowok-cowok itu seperti buku yang terbuka: thanks to Sarah.

"Siapa Bapaknya?"

Gue langsung ke rumah Sarah saat gue tiba di Melbourne. Dia meringkuk di kasur dengan airmata yang terus mengalir, kamar yang tertutup tirainya dan mati lampunya. Bau apek dan lembab juga sampah snack dimana-mana. Entah sudah berapa lama Sarah mengurung diri.

"Gue ga tau Dee."

"Lo tidur sama siapa aja?"

"Ben, Freddy, sama Max."

"Max?? Branislav??"

Sarah mengangguk. Wow. Ini shocking. Cowok yang setahun lalu kissing gue pertama kalinya sekarang sudah berani nidurin temennya sendiri!!

"Terus??"

"Yang pasti bukan Max sih kayaknya, gue pake pengaman pas main sama Max."

"Ortu lo udah tau?"

Sarah mengangguk.

"Mereka nyuruh gue aborsi aja Dee."

17 tahun dan hamil. Gue sendiri tidak paham turbulensi kekalutan yang Sarah rasakan. Lulus SMA saja belum, prianya juga tidak ketauan yang mana, seandainya ketauan mereka juga masih belum memiliki apapun untuk tanggung jawab. Lalu orang tuanya yang pasti sangat marah dengan kenyataan ini, pasti menyalahkan Stephanie, Kakak Sarah, karena sering mengajak Sarah hangout bersama teman-temannya. Gue bisa melihat kekacauan di wajah Mama Sarah, Papa Sarah, juga Stephanie saat gue jumpai mereka di ruang tamu tadi. Wajah mereka kaku, tanpa senyum, tanpa obrolan.

"Terus kalo lo sendiri?"

"Gue bingung Dee."

Papa sedang memotong rumput dengan lawn mower saat gue memasuki gerbang rumah. Dia matikan mesinnya dan menghampiri gue.

"Kamu ga bilang kalo pulang! Bukannya ga libur ya? Bolos aja terus Ajeng! Kangen Papa ya anak gadis Papa?" Cerocosnya sambil memeluk gue.

"No."

Gue melepaskan diri tanpa menghiraukan Papa yang masih berdiri mengamati gue.

"Ajeng! Come on, Baby! Lets have few words!" Papa mengejar gue ke kamar. Gue tidak membuka pintu dan memutuskan untuk tidur.

Gue hanya sesekali membalas chat Maxwell namun dari foto-foto dan cerita-cerita yang sering dia share ke gue, gue tau dimana dia nongkrong. Riverslide Park. Gue pergi ke taman skateboard itu menjelang petang. Banyak orang-orang sedang main skateboard membuat suara kletek-kletek-jedak dimana-mana. Tidak sedikit juga yang sekedar nongkrong dan ngobrol.

Dari balik hoodie yang gue tutupkan ke kepala, gue mencari sosok Max. Gue temukan dia sedang main hape dengan skateboard tersandar di sampingnya.

Ding. Sebuah pesan masuk ke hape gue.

Max: I miss you, Dee. I wish you were here, Girl.

Gue mendekatinya perlahan dan jongkok di hadapannya yang tetap terpaku pada layar hapenya.

"I miss you too, and yes I am here Maxy!"

"Holy shit!" Max kaget disertai robohnya skateboardnya karena tersikut. Matanya yang berkaca menatap gue sumringah dengan tawa tak percayanya. Dia peluk gue sangat erat. Dalam setaun rambutnya yang dulu rapi sudah lebih gondrong dan tidak rapi. Tubuhnya juga tambah kurus dari yang terakhir gue ingat.

Kami duduk mengamati mereka yang main sambil menghisap rokok masing-masing. Dia sudah master melinting tembakau sendiri dalam lintingan yang kurus tapi padat. Ada beberapa lintingan yang dia letakkan di dalam kotak rokok bekas.

"Lo tau kan rokok disini mahal!" Max menghisap lintingannya. Gue hanya mengangguk dan menawarkan Marlboro mentol yang gue bawa.

"Kapan lo sampe, Dee?"

"Tadi pagi."

"Gue takut gue ga bisa liat lo lagi." Lirihnya parau tanpa melihat gue.

"Sarah hamil." Jawab gue.

"Not mine."

"I know, Max."

"Lets go!" Max berdiri dan mengulurkan tangannya.

"Kemana?"

"Somewhere."

Dia tenteng skateboardnya. Kami naik tram ke Footscray dan menelusuri perumahan hingga tiba di sebuah gudang tak terpakai. Gelap dan sudah ditumbuhi tanaman liar yang menjalar. Gue tetap mengikutinya tanpa bertanya apa-apa. Kami meloncati pagar kawat yang tersobek dari tiangnya, lengan gue tergores salah satu ujungnya, namun tak gue hiraukan. Ada cahaya api menyala di sudut gudang yang sudah hampir ambruk. Api yang berasal dari ember cat yang di pakai penghangat sekaligus pencahayaan dengan beberapa kayu.

"Oy Mate! Who's that?"

Ada lima orang disana. Dua orang segera berdiri dan menghampiri kami dengan wajah kaku.

"Ga usah kuatir, dia temen gue."

Keduanya menatap gue dan Max bergantian.

"Gue Dee!" Gue ulurkan tangan gue.

"I know you!" Satu dari tiga orang yang duduk di dekat api unggun mendekati gue.

"Dia pernah beli ke gue."

Oh, dia adalah temennya temen gue yang kenal temennya dia yang kenal temennya dia. Dia yang hari itu datang ke rumah mengantarkan meth. Kami duduk di dekat api unggun. peralihan cuaca dari musim dingin ke musim semi masih membawa angin dingin.

"Masih make?" The Stranger Seller menunjukkan sebungkus kecil meth ke gue. Gue mengangguk dan menerimanya lalu memberikan beberapa lembar dua puluhan dolar dan lima puluhan dolar.

Dia juga memberikan bungkusan kepada Max.

"Lo...?" Gue tidak meneruskan pertanyaan gue saat Max menatap gue dan tersenyum.

"Gue ga tau apa yang lo rasain dengan perlakuan orang tua lo. Gue cuma bisa ngerasain yang lo rasain lewat apa yang lo lakuin."

Max menuangkan bubuk itu di punggung tangannya dan menghirupnya kuat-kuat. Tanpa ragu, tanpa kaku. Seakan dia sudah biasa melakukannya juga.

"Maxwell..."

"I miss you Dee."

Apa definisi lo atas sahabat yang baik?

Orang yang selalu jadi penguat lo saat lo lemah? Selalu menampar lo saat lo jatuh? Selalu menjadi positif saat lo negatif? Selalu menjadi putih saat lo hitam?

Atau orang yang akan ikut lemah saat lo lemah? Ikut jatuh saat lo jatuh? Menjadi negatif saat lo negatif? Menjadi hitam saat lo hitam?

Atau keduanya, bergantung pada situasi? Ah bullshit! Bagi gue, mereka yang bisa menjadi keduanya adalah orang yang paling tidak bisa dipercaya keabsahannya sebagai sahabat yang baik!

Gue bicara tentang sahabat, bukan tentang pasangan hidup atau soulmate. Jelas untuk pasangan hidup atau soulmate, gue akan memilih dia yang bisa menjadi penyeimbang. The Yin for my Yang. Paham kapan harus menjadi Good Cop dan bisa mengandalkan gue saat dia menjadi Bad Cop. Ini adalah partnership dalam relationship.

Tapi sahabat tidak termasuk ke dalam kategori partnership. Sahabat adalah ikatan yang lebih kencang dari partnership, lebih kencang dari parentship. Sahabat adalah seseorang yang tidak ragu atas apapun yang akan dia lakukan untuk lo, sekalipun itu nyebur jurang.

Stupid? That is friendship! Ikatan yang dibangun diatas kebodohan karena ikatan yang dibangun diatas kecerdasan akan berakhir di partnership.

Maxwell adalah tipe kedua dalam definisi persahabatan versi gue. Dia tidak berperan sebagai superhero yang menarik gue dari Dark World. Hell, cuma Tuhan yang bisa jadi definisi pertama: Always being The Good Guy yadda-yadda! Atau Munafikers yang kerjanya cari muka, berusaha tampak positif padahal hancur lebur personalnya!

Maxwell juga tidak mempertanyakan mengapa ini, mengapa begitu.
Maxwell juga bukan pecundang yang ketakutan lalu menjauhi apalagi melaporkan.

Gue tidak pernah mengancam Max untuk tidak melapor ke Papa atau Mama. Gue sudah tidak peduli dengan campur tangan orang tua gue. Tapi Max terbukti tetap diam karena kalau Papa tau, pasti akan tau dari Max. No one knows but Max.

Simply, Maxwell lebih perhatian sejak kami berpisah lagi. Dia selalu mengirimi gue SMS atau chat di YM, mengirimi gue gambar sesederhana: "liat nih sepatu gue mangap, laper mau makan lo!" disertai foto sneakernya yang sobek di bagian depan, atau dia kirimi gue foto skateboardnya yang baru dia lukis. Chat dan SMS yang jarang gue balas karena gue menganggap sikapnya hanya untuk mengasihani gue.

Saat lo jatuh, lo akan resistant dengan sikap orang lain mau sekecil apapun itu. Itulah pride. Harga diri. Gengsi. Satu-satunya hal yang gue miliki untuk melindungi diri gue sendiri. Gue hanya lupa mengunci pintu malam itu saat Max masuk tanpa ketuk pintu dan menyaksikan gue ngedrugs. Lalu dia bersikap berbeda ke gue, gue merasa itu hanya bullshit.

Gue memilih tidak bercerita ke siapapun tentang gue karena saat mereka tau kisah gue, penderitaan atau kegelapan gue akan menjadi kriptonite buat gue sendiri.

Tapi Max tetap menghubungi gue. Tanpa bertanya kenapa gue tidak pernah balas pesan-pesannya atau mengangkat teleponnya.

Dan disanalah My Boy, dia ikut gue terjun ke jurang gue. Ikut masuk ke dalam kegelapan. Tanpa banyak tanya. Tanpa ragu.

"Sejak lo balik ke Indonesia, gue mulai pake kokain."

Gue dan Max tumbuh di bawah asuhan Bramanti. Kami adalah anak yang sangat sehat, sibuk, dan produktif. Berbagai kelas mulai dari pengembangan karakter, Sex Education, Science Camp, Scouting, Tracking, hingga Summer Camp atau Footy Camp kami ikuti. Mustahil kedua anak ini bisa terdampar disini, di sudut gudang tua, snorting meth and cocain.

Di antara kekacauan arah hidup gue, akhirnya gue menemukan utara, meskipun utara gue menuju ke Flying Dutchman. Gue menemukan tujuan meskipun itu pusaran Segitiga Bermuda. Gue tidak peduli. Akhirnya gue memiliki seseorang untuk gue jadikan rumah selain Eyang. Gue memahami arti sahabat dari Maxwell.

"Persahabatan itu ga selalu tentang nyambung obrolan atau ngingetin ke lagu yang kita lupa liriknya, Dee. Sering, persahabatan adalah tentang betapa lancarnya kita bicara bahasa diam."

Gue mengangguk.

"I can't take away your pain, Dee, I wish I can, but I can't! So I get into it. I just want you to know that I care about you."

Gue raih tubuh Maxwell dan memeluknya. Menumpahkan semua keraguan gue, melepaskan kesendirian gue, mencari Little Maxwell and Little Dee, menemukan mereka dan memeluk tubuh kecil mereka, bersumpah akan melindungi dari apapun yang mencoba menyentuh mereka, menghajar semua bully, dan membunuh semua rasa sakit......
Diubah oleh ladeedah 07-09-2019 05:10
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.