Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
The Way You Are
Quote:




Friendship is not always about finishing each other's sentences or remind you to the lyrics you forget. Many times, friendship is about how fluent are both of you in speaking silence.

-- Maxwell.




Diubah oleh ladeedah 08-09-2019 00:30
someshitness
bukhorigan
evywahyuni
evywahyuni dan 11 lainnya memberi reputasi
12
24.3K
185
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
#91
Drugs Saved My Life
Sampai di bagian ini, gue akan membuka dengan sebuah saran: jika lo sudah menikah dan punya anak, lalu lo punya selingkuhan, lebih baik jujurlah pada pasangan sah lo. Akhiri salah satunya, entah akhiri dengan pasangan sah, entah akhiri dengan selingkuhan. Atau mungkin menyepakati open relationship? I dont know. Tapi saran gue: jujurlah sebelum hal yang tak diinginkan terjadi.

I know I know! Lo mungkin punya sejuta kotak rahasia buat ngumpet, tapi perselingkuhan adalah pengkhianatan masa depan bagi anak-anak.

No, I am not a perfect person, I am not a perfect wife, but I am learning in a hard way.

Ini tentang pernikahan, gue tidak bicara kalian yang masih pacaran. Gue juga tidak menghakimi kalian yang punya simpanan, entah sekedar having fun, entah memang saling cinta. Gue juga tidak tau efeknya jika belum ada anak. Gue hanyalah seorang anak yang jadi korban keegoisan orang tua yang tidak bisa dikendalikan. Efek perselingkuhan tak pernah bisa dikendalikan.

Masa lalu gue tidak indah. Gue memang mempunyai seorang Papa yang sangat kuat, sahabat seperti Maxwell yang sangat erat, tapi selalu ada penderitaan yang tidak bisa kita bagi kan? Bukan dibagi ceritanya, tapi rasa dari penderitaan psikis tersebut. Mau gue gubah dalam bahasa seindah apapun, persepsi kita akan sebuah peristiwa dipengaruhi oleh pengalaman masing-masing, maka dari itu berat di hati gue tetap tidak akan terbagi.

Papa paham itu pada akhirnya, bahwa gue tumbuh menjadi seorang Angry and Lonely Girl. Tembok tebal yang gue bangun selapis demi selapis sejak gue menyaksikan Mama tidur di ranjang bersama pria lain.

Awalnya hanya sebuah ketidaktahuan dan berlanjut ke ketidaktahuan-ketidaktahuan berikutnya.

Dee kecil hanya tau sebatas yang dilakukan Mama adalah salah.
Lalu ditambah ketidaktahuan saat harus diam tapi kepikiran.
Semakin tidak tau saat Papa tau padahal gue tau ancaman yang akan terjadi saat gue muntahkan rahasia itu.
Gue semakin tidak tau saat gue terbuang. Dibuang oleh orang tua gue yang katanya sibuk menyelesaikan masalah.

Hey! Anak kecil itu peka terhadap time span/jangka waktu! Kalo lo punya anak/adek/ponakan, lo janjiin besok: dia akan ingat besok adalah hari setelah hari ini. Saat lo janjikan hari Minggu, maka dia akan ingatkan lo saat hari Minggu. Karena anak kecil itu masih fokus sama apa yang dijanjikan padanya. Mereka memiliki target untuk tiba ke hari itu. Mereka menunggu hari itu sebagai hadiah. Polos kan? Sangat polos. Dan kita sebagai orang tua seringkali menyepelekan penantian mereka dengan ingkar bilang "besok lagi ya" atau simply ignored.

Tidak sekali dua kali Papa menjanjikan "iya Ajeng, nanti cawu/semester depan pindah ke Melbourne", "iya Ajeng taun depan pindah ke Melbourne", "iya Ajeng bulan depan Papa pulang", "iya Ajeng nanti Papa ajak Mama pulang".

Let me spy with my little eye, something that start with letter N: Nothing!

Kemarahan gue atas ketidaktahuan-ketidaktahuan yang boro-boro gue mengerti, gue tau aja enggak, inipun menumpuk dan meninju gue dengan problematic teenager.

Mama datang ke Jakarta saat gue kelas satu SMA. Dia mengurus semua finansial termasuk ATM yang dia janjikan ke gue. Lagi, dia bilang itu rahasia. Gue menurut kali ini, bukan karena gue takut lagi, tapi karena gue sudah tidak peduli. Gue hanya mau uang di dalam kartu berwarna hitam putih itu.

Dua puluh lima juta.

Dua puluh lima juta di tangan seorang anak SMA yang sudah problematic.

Satu hal yang tidak diketahui kedua orang tua gue dan tidak diketahui Eyang gue adalah gue memiliki teman-teman yang bukan dalam kategori baik menurut mereka.

I wish I'd met you earlier
Or maybe it's better we met as adults
You taught me how to stop thinking so much
Thinking never got me anywhere

How I spun in circles before you came
The sober mind is a messy thing
Those who know I'm a solid candidate
Believe when I say
Drugs saved my life

Showed me an open hand
I owe more than I can say
To those select days

Eyes each moment anew
I know it's not right to say
But if you've walked through those fields
Then you know what I mean

I'm sorry about those things I said
Before I met you myself
Those who hate you the most
Have never kissed you on the mouth

Mama terus mensuplai lima-sepuluh juta setiap bulan dan tidak pernah menanyakan uang itu gue gunakan untuk apa. Bahkan dia tidak menanyakan apa-apa. Stupid? Lo hanya tidak tau bahwa guilty bisa membuat seseorang menyerah dan akan melakukan apa saja demi sebuah maaf.

I was a rich teenager. Gue tidak banyak bicara. Gue tidak banyak komplain. Papa, Mama dan Eyang melihat gue tampak normal-normal saja.

Someday, Dee remaja pulang ke Melbourne.

Hubungan gue dan Max drifted away. Gue tidak peduli. Dia juga sepertinya tidak peduli. Mungkin sama-sama sibuk, mungkin sama-sama punya teman baru. Saat gue pulang ke Melbourne, gue tidak pernah mencari dia. DIa yang kadang datang ke rumah, mengobrol beberapa saat lalu dia pergi lagi karena gue yang tidak tertarik dengan kebersamaan kami.

Kamarnya masih ada di rumah, dengan barang-barang yang selalu tertata rapi. Kata Papa dia akan menginap di rumah untuk dua malam atau tiga malam, terutama saat dia ada tugas atau ujian karena Papa akan telaten mengajarinya. I dont fuckin' care.

"Dee? Kita bisa bicara sebentar?" Papa memanggil gue yang sedang membaca buku di balkon lantai dua.

It was summer.

Gue turun ke arah suara Papa. Ada Mama. Gue tidak tau kapan dia datang, tapi sejak dua hari kedatangan gue di Melbourne, Mama tidak ada di rumah.

Mereka berdua duduk di ruang makan.

Gue menyusul duduk saat keduanya tidak bicara apa-apa dan hanya melihat gue. Meja kayu berkursi enam, Papa di kursi utama, Mama di kursi sebelahnya, gue memilih kursi di seberang Mama.

"Papa mau rujuk sama Mama."

Gue mengangguk.

"Mama akan kembali tinggal sama kita di rumah ini lagi."

Gue mengangguk.

"Kesepakatan hubungan baru kami adalah kami akan menjalaninya dalam open relationship."

Gue diam. Gue tidak tau apa itu Open Relationship. Gue hanya melihat Papa dan Mama bergantian.

"Open Relationship adalah saat Mama dan Papa tidak terikat dalam aturan pernikahan pada umumnya. Papa dan Mama boleh berhubungan dengan list orang-orang yang kami sepakati, namun hubungan di luar pernikahan kami tidak akan mengganggu pernikahan kami."

"Then what's the point?" Celetuk gue dingin.

Papa hanya mengangguk dan menatap Mama. Tangan mereka masih berpegangan sejak gue datang bergabung tadi.

"Tiga tahun kami berusaha untuk mencari solusi hubungan kami Dee. Kami tidak ingin berpisah, God Forbid! Kami saling mencintai, hanya saja ada beberapa hal yang tidak terhindari, harus dihadapi."

"Nonsense!" Pekik gue.

"I know I know!" Jawab Papa.

Papa melepaskan tangan Mama. Dia berdiri dari kursinya dan berlutut di samping gue.

"Its OK kalo kamu tidak mengerti hari ini. Kami hanya ingin terbuka ke kamu, Sayang. Papa tidak mau kehilangan Mama apalagi kamu."

How on hell pria ini mau diperlakukan wanitanya demikian??

"Papa juga punya simpanan?"

Papa langsung menggeleng.

"Tidak. Hanya ada Mama di hati Papa dan Papa tidak pernah berhubungan dengan wanita lain selain urusan pekerjaan."

"THEN WHY??"

"Diajeng, Papa mencintai Mama dengan seluruh hidup dan mati Papa. Semua paket Mama, kebenaran dan kesalahannya akan Papa terima."

"KENAPA MAMA GABISA BERHENTI SIH? PUTUSIN PASANGAN MAMA DAN KEMBALI KE PAPA??" Gue tatap Mama marah.

Mama menangis.

"Diajeng. Ini bukan tentang bahas pilihan, ini keputusan. I am alright. Papa sudah belajar menerima ini selama tiga tahun dan sekarang ini tidak membebani Papa sama sekali. Kalau kamu memikirkan bagaimana perasaan Papa, maka Papa pastikan ke kamu, Papa tidak bermasalah. Papa terima permintaan Mama."

"WELL, PAPA MIKIRIN PAPA SENDIRI! MAMA MIKIRIN MAMA SENDIRI! GA ADA YANG MIKIRIN AJENG! SEMUANYA SELESAI DENGAN PENJELASAN TANPA ADA YANG MAU TAU GIMANA PERASAAN AJENG?? MENURUT PAPA, AJENG ROBOT YANG CUMA RESPON 0 ATAU 1?? I HAVE A FUCKING FEELING TOO! WELL, FUCK YOU TWO!!"

Gue meninggalkan mereka di meja makan.

Max sudah berdiri di tangga saat gue pergi ke kamar lalu turun lagi. Dia ikuti gue yang berjalan cepat dan menangis. Gue nyalakan rokok dan Max masih mengikuti gue. Hingga kami tiba di Rockley Garden, gue duduk di salah satu bangku dan menangis disana.

"Fuck!" Max menarik gue ke pelukannya. Dia menangis, namun seperti layaknya remaja pria, dia segera mengusap tangisnya dan menunjukkan dia bisa kuat untuk gue.

"Gue ga tau lo ngerokok." Bisiknya.

"Apa yang lo tau dari gue, Max."

Max mengangguk, "iya Dee, gue ga tau tentang lo lagi. Maafin gue."

"Gue boleh nyoba?"

Gue berikan bungkus Marlboro Merah yang gue bawa dari Jakarta untuknya.

"Taste like shit!" Makinya sambil terbatuk beberapa kali.

"It is."

"Se-enggak enak apapun rasanya, gue akan temenin lo!" Max menghisap lagi rokoknya. Habis batang pertama dia muntah. Gue hanya diam dan menikmati rokok gue. Max berlari ke drinking fountain dan minum.

"Gue ga akan nyerah!" Max nyalakan batang kedua. Dia kembali ke drinking fountain dan minum lagi. DIa gelisah, berdiri lalu duduk. Duduk lalu berdiri. Hingga habis batang kedua.

"I can do it!" Max nyalakan batang ketiga.

Dia tatap mata gue di bawah temaramnya lampu taman.

"Ada yang pernah bilang ke lo kalo lo cantik?" Lirihnya saat dia sudah tampak tenang dengan hisapannya. Gue mengangguk.

"Lo punya pacar Dee?"

Gue mengangguk.

"Kalo Greg liat lo sekarang, gue yakin dia bakal cinta sama lo."

"Haha bullshit!"

Kenangan gue ditonjok Greg dan Max yang gelut dengan Greg membuat kami tertawa ke kenangan masa lalu.

"Gue serius. Sejak pertama kali gue liat lo, gue amazed lo cantik banget." Max menghentikan tawanya dan menatap gue yang entah sudah menghabiskan berapa batang rokok tapi tak pernah ada jeda di antara selipan bibir gue.

"What? Do you want to kiss me?" Gue menoleh pada Max yang tak kunjung berpaling.

"May I?"

Gue majukan tubuh gue dan mendaratkan bibir gue ke bibirnya. Max meraih tengkuk gue dan membalas ciuman gue. Bibirnya terasa bergetar dengan nafasnya yang memburu, namun berusaha ia stabilkan dalam tempo selembut mungkin.

"You taste sweet." Bisiknya. Kami lanjutkan ciuman kami.

"Ouch!" Teriak Max saat abu rokok di jepitan jemari kiri gue jatuh ke pahanya yang hanya bercelana pendek.

"Hahaha! Sorry!"

Kami tertawa gugup.

"Lo punya pacar Max?"

Max menggeleng.

"Lo cewek pertama yang gue cium, Dee."

"Bullshit!"

"Sumpah!"

Gue tertawa.

"Gue denger apa yang lo obrolin sama ortu lo tadi. Papa lo juga udah bilang ke gue tentang itu."

"Jangan omongin mereka lagi."

Max mengangguk dan mengalungkan tangannya ke bahu gue.

"Whatever it is, no matter how hard it is, I promise you won't be alone."

"Gampang buat bilang begitu Max. Nanti gue balik lagi ke Indo, lo juga udah lupa."

"Jarak emang brengsek ya Dee. Kita yang dulu seakrab itu, cuma gara-gara jarak kita bisa berantakan dan drifted away." Max menengadahkan kepalanya menatap langit cerah di atas kami.

"Lo ada acara apa besok?" Tanya gue.

"Gue ada latian footy sampe jam enam, lo?"

"Gue akan di rumah."

"Gue akan ke rumah lo beres latian."

I knew a friend. A friend who knew a friend. A friend who knew a friend knew another another another friend. Gue mengunci kamar seharian. Tidak menghiraukan ketukan Papa atau Mama. Gue setel Rammstein sekencang-kencangnya, tidur dan bangun di antara buku-buku gue yang berserakan di lantai dan tempat tidur.

Gue ke dapur, mengambil beberapa roti dan camilan untuk gue bawa ke kamar saat gue lihat Papa dan Mama meninggalkan rumah. Gue telepon a friend who knew another another another friend itu untuk datang dan membawakan apa yang gue pesan.

"Dee, what are you doing?"

Max sudah berdiri di pintu kamar saat gue berlutut di depan bed side table, snorting barisan ketiga bubuk meth, dengan tiga jejer masih terjajar rapi, dan kartu ATM ternodai bubuk putih di sisi-sisinya.

Fuck.

"Dee.....what are you doing?"

Gue masih ingat sangat jelas malam itu. Max menutup pintu lalu melorot duduk bersandar di pintu. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Max meremas rambutnya dan menangis melihat gue. Dia tidak melakukan apa-apa. Lalu dia peluk kedua lututnya yang masih mengenakan kaos kaki setinggi lutut dengan noda tanah di paha dan celana pendeknya. Max tetap menangis. Menangis dan terus menangis sampai gue hampiri dia.

"Are you this broken, Dee?"

Gue mengangguk.

"How long?"

Gue hanya mengangkat bahu. Gue merasakan efeknya yang seketika bekerja meringankan tubuh gue. Pegangan gue di lutut Max melemah. Gue telentang di lantai di hadapan Max. Gue rasakan tetesan air mata Max di pipi gue.

"You are broken Dee."

Mungkin gue tersenyum. Mungkin gue tertawa. Mungkin gue menangis. Entahlah.

"I will never let you go again. From today, I will be by your side. Protect you. Be you. You will not alone again, My Girl!"
Diubah oleh ladeedah 05-09-2019 16:59
thefresh
kicquck
kicquck dan thefresh memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.