- Beranda
- Stories from the Heart
[TAMAT] Always Be My Baby
...
TS
saleskambing
[TAMAT] Always Be My Baby
![[TAMAT] Always Be My Baby](https://s.kaskus.id/images/2019/03/21/8577467_201903211113170946.png)
Mulustrasi, sumber
Tokoh dan karakter di cerita ini diambil dari cerita ini, boleh dibaca dulu biar tau, tapi lebih baik nggak usah.
Spoiler for Part 1:
Aku menurunkan bocah kecil ini dari gendongan, sedikit berjongkok agar bisa merapikan setelan seragamnya yang agak sedikit berantakan, lalu mulai memandangnya, persis seperti apa yang sedang dilakukan oleh orang tua lain yang juga ada di sini.
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
***
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
***
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
Quote:
You'll always be apart of me
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
🎶 Always Be My Baby - David Cook
Diubah oleh saleskambing 19-11-2025 13:09
jenggalasunyi dan 58 lainnya memberi reputasi
55
57.9K
Kutip
335
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saleskambing
#190
Part 8
Kryptonite - 3 Doors Down
Spoiler for :
"emh.. Pelan pelan masukin nya yahh.. "
"iya bun, ini juga udah pelan. Sempit banget soalnya.. "
"aww.. dibilangin pelan pelan. Jangan dipaksa, ntar lecet.. "
"susah buunn.. sempit bangeet, kasih ludah dulu aja ya.. "
"heh.. ngapaiin? Dasar jorookk.. Udah, lepas aja. "
"lah, yaudah.. Lagian cincin segini mana muat buat jari segitu."
Pagi ini, sebelum bertugas menjadi sopir pribadi yang harus mengantar Dhara dan Irfan, aku dan istriku satu satunya itu sedang terlibat sedikit perdebatan yang berawal dari hal kecil berupa cincin perkaawinan kita. Aku sebenarnya nggak pernah memintanya untuk selalu mengenakan cincin yang dulu kubeli dari hasil menjual kambing peliharaan ku itu, karena aku tau setelah bertahun-tahun menikah dan memiliki anak mungkin ukurannya sudah nggak 'pas' lagi. Tapi dia tetep 'keukeuh' untuk memasangnya lagi, menempatkan benda kecil berkilauan itu di jari yang sebenarnya sudah manis meski tanpa cincin itu, sekalian untuk membuktikan keraguanku padanya katanya. Dan yang terjadi, bisa kalian lihat sendiri. Cincin mungil itu 'mentok' di jari manisnya, persis seperti yang terjadi saat malam pertama kita dulu. Dengan kondisi dan situasi 'mentok' yang berbeda tentunya.
"jari segituu? Jadi maksud ayah bunda sekarang gendut gitu? Ga kaya dulu waktu kita baru nikah, iya? Gitu maksudnya yah? "
"eh, bukan gitu.. " Ucapku sedikit gelagapan. Yah, salah ngomong lagi kan. "udah deeh, ntar kita beli yang baru aja. " Lanjutku nggak mau ambil pusing. Meski tetep aja menurutnya aku masih salah. Ya, emang salah sih..
"beli yang baru? Pake apa? Pake uang bunda lagi? " Tanyanya jujur dan to the point.
"hehe, ya enggak lah.. " Balas ku sambil nyengir bego. "masa pake uang bunda terus. Ntar nih ya, kalo bisnis ayah sama mas Apis udah jalan, jangankan cuma cincin, bunda mau emas se tambang tambangnya, atau se smelter smelternya juga ayah beliin.. "
"halah, sok banget. Emang mau bisnis apa sih? " Tanyanya meremehkan ku. "Bikin rental ps ama game online aja tekor gara gara yang main temen temen ayah doang.. "
"hehe, kali ini beda bun.. " Jawabku masih sambil cengar-cengir. "Sekarang ayah sama mas Apis mau bisnis budidaya.. "
"oh ya? Mau budidaya apaan emang? "
"Ikan cupang.. "
"hah, kok ikan cupang sih? " Dhara mengerutkan dahinya. "ikan seupil yang cuma buat aduan anak SD gitu bisa bikin kaya darimana.. "
"lho, jangan salah bun. Ikan cupang itu sekarang banyak penggemarnya, nggak cuma anak kecil aja. Melihara nya nggak perlu tempat yang gede gede banget, nggak perlu pakan yang banyak banyak juga. Ngerawat nya juga nggak susah karena nggak perlu tiap hari dimandiin kayak Irfan. Dan satu lagi, ngembangbiakin ikan cupang itu nggak perlu modal banyak, karena bibitnya bisa bikin sendiri.. "
"bikin sendiri? " Dhara kembali hanya mengerutkan dahi. Sementara aku mulai tersenyum genit kearahnya.
"hehe, iya, tinggal bikin aja tiap malem.. " Ucapku tersenyum sambil memandang kearah lehernya.
"haishh.. dasarr.. " Ucapnya mencibir ku. "pagi pagi udah ngeress aja. Udah buruan berangkat yuk, kasian didepan Irfan udah nungguin. "
Dhara melepas cincin yang tadi hanya 'masuk' ke ruas pertama jari manisnya, memasukkannya lagi kedalam tas, lalu menggamit tanganku agar kita bisa berjalan saling bergandengan tangan menghampiri Irfan yang sudah menunggu didepan. Sungguh sebuah pagi yang romantis, pagi yang sebenarnya tak ingin kubiarkan berlalu begitu saja, meski disisi lain perutku juga sudah konser gara gara belum sarapan dan Dhara (lagi lagi, seperti biasa) belum sempat masak.
"Lama amat sih yah.. " Ucap Irfan saat aku membuka pintu mobil dan mendapati dirinya sedang bermain PC tablet nya sambil menungguku. "lagi main sambung bibir lagi ya sama bunda? "
"bocah kecil mau tau aja urusan orang tua.. " Ucapku sambil menutup pintu mobil lalu menyalakannya. Sementara Irfan nampak masih asik mengutak-atik gawai-nya. Tipikal bocah jaman sekarang banget.
"orang gede bercandanya jorok jorok ya yah.. "
"iya, makanya jangan ikut ikutan orang gede.. "
"tapi, ayah keliatannya kok semangat banget sih.. "
"haha, udah udah. Nih kamu makan dulu aja.. " Dhara kemudian datang, lalu menyodorkan sekotak bekal pada putra satu satunya itu.
Beberapa saat kemudian kita sudah berada ditengah ramainya jalanan, berada diantara banyaknya manusia dan kendaraan yang juga sama sama sedang berangkat menjalankan aktivitasnya. Sepanjang perjalanan sebagaimana layaknya seorang ibu, Dhara selalu memberikan petuah petuahnya pada anak semata wayangnya itu. Supaya jangan jajan sembarangan lah, di sekolah nggak boleh nakal lah, dan kata kata lain yang lumrah diucapkan orang tua pada anaknya saat berangkat sekolah. Sementara bocah kecil itu terlihat hanya manggut manggut saja sambil menikmati roti selai yang tadi dibuatkan bundanya. Pemandangan ini persis seperti yang terjadi saat aku masih kecil dulu, saat emak tiap hari memberiku 'wejangan' sambil mengantarku sekolah. Bedanya, aku dan emak harus berboncengan naik sepeda anting yang biasa beliau pakai ke pasar dulu untuk sampai di sekolah. Dan bukan roti selai coklat atau stroberi seperti yang Irfan nikmati sekarang, dulu setiap pagi aku hanya bisa menikmati sepotong singkong rebus sebagai sarapan.
Aku tersenyum mengingat saat saat itu, saat saat dimana hidupku masih terasa begitu mudah meski bisa dibilang aku bukan termasuk golongan anak anak yang beruntung secara materi. Aku merasa senang karena saat itu masih belum ada banyak hal yang harus kupikirkan. Yang ada di kepalaku saat itu mungkin hanya main, main, dan main. Tanpa harus mikirin hal hal yang sekarang sering menghampiri kepala dan pikiranku. Seperti cicilan rumah lah, angsuran mobil lah, biaya sekolah lah, sampai sindiran halus ibu dan bapak mertua karena aku masih 'gini gini aja'. Tapi ya udahlah, setidaknya sekarang keadaan Irfan sudah jauh lebih baik daripada ayahnya dulu.
Tidak lama setelah itu, mobil yang kita kendarai akhirnya sampai juga didepan gerbang sebuah taman kanak-kanak. Sebuah taman kanak-kanak berlabel 'International School' yang biaya bulanannya bisa bikin geleng-geleng kepala. Padahal kalau dilihat lihat, yang terjadi didalam kelas juga sama persis dengan sekolahku dulu yang biayanya hanya pake beras yang dibayar tiap abis panen. Sama sama main main juga, orang bocah seusia Irfan ini memang taunya cuma main. Kalau bukan karena kemauan dan gengsi bundanya, aku mungkin akan mendaftarkannya di sekolah yang 'biasa biasa' aja. Sekolah yang banyak penjual cilok, telur gulung, kembang gula, dan es goyang didepan gerbangnya. Bukan sekolah yang isinya mobil mobil keren dan orang orang penting yang nggak pernah keliatan saling sapa ini.
Sebagai seorang ayah sekaligus suami yang tampan dan pengertian, dan setelah menyadari ada embrio merah yang sudah terparkir diseberang, aku pun mengambil inisiatif untuk mengantar Irfan. Tentu sambil berharap bahwa Dhara akan tetap menunggu disini. Dan ya, Dhara ternyata lebih memilih untuk diam didalam mobil sambil sedikit memoles wajahnya.
"Jangan lama lama ya yah.. "
Aku mengantar Irfan menuju kelas dengan berjalan sambil celingukan kesana kemari. Takut kalau ternyata Marcella keburu lewat tanpa kita sempat bertemu, atau yang lebih parah Dhara malah tiba-tiba turun dari mobil dan berjalan menyusulku. Tetapi untungnya semua kemungkinan itu tidak terjadi, dan Dhara masih anteng dengan lipstik, pensil alis, maskara, mas agung, mas pur, dan entah ada barang dan mas apalagi yang ada didalam peralatan make up nya. Tapi apapun nama dan sebutannya, saat ini aku sungguh berterimakasih padanya.
Pucuk dicinta binor pun tiba, setelah mengantar Irfan masuk kelas aku akhirnya bisa kembali bertemu dengan Marcella. Kebetulan saat itu dia juga sedang mengantar putri kecilnya. Melihat kedatanganku, mantannya yang paling tampan, dia spontan tersenyum. Senyum yang bisa membuat setiap lelaki mendadak kena diabetes saking manisnya. Tanpa berkata kata, dia kemudian mengedipkan sebelah matanya, mencoba memberi isyarat agar aku mengikuti kemana dia melangkah.
Aku masih berjalan mengikutinya, sambil terus berjalan, Marcella sesekali menoleh dan tersenyum kearahku. Membuat aku semakin penasaran dan bertanya tanya kemana dia akan membawaku. Kita terus berjalan menjauhi deretan ruang kelas yang berjajar rapi, sedikit berbelok kekiri, lalu menyusuri koridor dan lorong kecil yang mengarah tepat menuju toilet sekolah.
Hah, toilet?
Marcella akhirnya benar-benar membawaku ke toilet sekolah. Perasaan bingung, heran, penasaran, 'naik', sekaligus takut digampar andai ada yang melihat lelaki sepertiku masuk ke toilet wanita seolah berkumpul menjadi satu saat aku melihat sosoknya yang tengah berhenti dipojok ruangan.
Marcella kembali menghadap kearahku, lagi lagi ia juga nampak sedang tersenyum. Senyum yang tetap manis, namun terlihat sedikit lebih 'liar' dari sebelumnya. Senyum yang juga berhasil membuatku melangkahkan kaki lagi setelah sebelumnya merasa sedikit bimbang. Bodoamat lah, digampar digampar deh..
Aku terus berjalan mendekatinya, kali ini mungkin tubuh kita hanya terpaut jarak beberapa meter. Kita juga masih saling berpandangan dan melempar senyum, dengan Marcella yang sedang tersenyum manis, dan aku yang (mungkin) terlihat mesum. Aku semakin ingin buru buru menggapai raganya saat dia tengah tersenyum sambil mulai menggigit bibirnya sendiri. Bibir tipisnya terlihat begitu menggemaskan, dan aroma parfumnya yang khas semakin membuatku kehilangan akal sehat.
"ceell.. "
"emh.. faann.. " Ucapnya disela sela pertarungan bibir kita. "aku kangeen.. "
"hshh.. sama ceell. Aku juga kangeen, apalagi sama ini.. " Balasku ngawur sambil menjamah salah satu bagian tubuhnya. "tapi emh.. maaf yaah.. kita ga bisa lama lama, diluar ada istriku.. "
"shh.. kamu jahat fan, dulu katanya mau nikahin aku.. "
"hmmhh.. bukannya shsh.. kamu yaah, yang ga mau aku nikahin.. "
"eemhh.. abiis, dulu kamu pengangguran siih.. "
"mmhh.. sekarang juga masih sih, hehe.. "
Setelah 'bercengkerama' sebentar dengan Marcella, aku buru buru kembali kedepan, takut kalo Dhara udah ngamuk gara gara kelamaan nunggu. Tentu setelah merapikan kembali pakaianku yang tadi sedikit berantakan dan beberapa kali menyemprotkan parfum agar bau parfum Marcella yang ikut nempel nggak kecium oleh Dhara. Dan untungnya saat aku sampai disana Dhara juga masih belum kelar dengan urusannya. Ternyata ada manfaatnya juga doi dandan lama lama.
"lama amat sih yaah. Buruaan, bunda udah mau telat nih. " Ucapnya ketus sambil merapikan peralatan make up nya.
"iya buun.. " Balas ku mengalah, lalu membawa mobil untuk segera tancap gas menuju rumah sakit. "oh iya bun, hari ini jadi operasi ya? " Lanjut ku mencoba mencairkan suasana, sekaligus menghilangkan wajah juteknya.
"ya jadi lah, emang ulangan harian.. kadang bisa ga jadi. "
"hehe.. operasi pasien penyakit apa sih? " Tanyaku belum menyerah.
"ituu, didalem perutnya banyak potongan besi.. " Jawab Dhara mulai sedikit melunak, dan aku bersyukur, seenggaknya dia udah nggak ketus dan nyinggung kemana aja aku tadi.
"wuih serem benerr, kok bisa sih.. "
"iya, gara gara SMS pacarnya.. "
"eh, masa cuma gara gara SMS sih? ekstrim bener, diputusin pacar bukannya move on malah makan besi.. "
"padahal pacarnya juga ga minta putus lho yah.. "
"lha terus? pacarnya udah dijodohin ama kakek kakek tua buat bayar utang bapaknya ya? "
"ish, bukan yaah. Emang jaman Siti Nurbaya apa.. "
"terus? "
"Dia itu dapet SMS dari pacarnya yang bunyinya gini 'tayang tayang, nanti jangan lupa maem tiang ya tayangkuu.. ' gitu yah."
"heh, gitu doang? bagus dong, pacarnya ngingetin makan.. "
"iyaa, tapi gara gara itu dia jadi 'maem tiang' beneran. Dan yang dia makan, tiang gawang yah.. "
"wahahaha beneran itu bun? hahaha bodoh banget asli.. "
"hahaha iya yah, bunda sebenernya kasian. Tapi jadi lucu kalo tau kronologisnya.. " Sahutnya sambil tertawa. "Haha bucin banget, kaya ayah dulu.."
"Yee mana adaa.."
Kita masih tertawa tawa didalam mobil yang terus melaju, dalam hati aku bersyukur Dhara nggak curiga terhadapku, Dhara nggak mempermasalahkan keterlambatan ku, tubuhku yang mungkin kelewat wangi juga sepertinya nggak memancing kecurigaannya. Bahkan dia malah terlihat nyaman nyaman aja, apa karena tadi sebelum berangkat aku nggak sempat mandi jadi wangi tubuhku jadi nggak 'over' menurutnya? Atau biasanya aku kelewat bau makanya sekarang dia nyaman aja dengan aku yang wangi? Entahlah, justru bagus dong kalo doi nggak curiga.
Beberapa saat kemudian mobil yang kita kendarai akhirnya sampai juga diparkiran sebuah rumah sakit swasta yang kebanyakan pasiennya adalah orang orang berduit ini. Aku kemudian turun dari mobil untuk menemaninya berjalan kedalam.
"bunda jangan ganjen ganjen ya ama si dokter serangga itu.. " Ucapku sambil berjalan disisinya. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu, padahal beberapa saat yang lalu justru aku yang 'ganjen ganjenan' sama Marcella.
"haha, dokter Rangga kali yah.. " Balasnya. "iya Irfan sayaang, kamu percaya aja sama aku.. "
"haha, yaudah aku nganter sampe sini aja.. " Ucapku tak ingin ikut masuk. "Kamu hati hati yaa.. "
"iyaa, udaah kamu cari kerja aja sana.. "
"haha, iya iya. Yaudah, aku balik ya.. "
"iyaa.. eh tunggu bentar yah. "
"ada apa bun? "
"tadi pagi waktu ayah lagi jemur pakaian dibelakang, hape ayah geter geter, ada yang nelpon.. "
"oh gitu, dari siapa? Dari mas Apis ya? Hari ini dia mau ngajak liat liat bibit katanya.. "
"bukan yah.. "
"terus, dari siapa? "
"Dari 'Tukang Ojek Depan Gang'.. "
"eh..? "
"iya bun, ini juga udah pelan. Sempit banget soalnya.. "
"aww.. dibilangin pelan pelan. Jangan dipaksa, ntar lecet.. "
"susah buunn.. sempit bangeet, kasih ludah dulu aja ya.. "
"heh.. ngapaiin? Dasar jorookk.. Udah, lepas aja. "
"lah, yaudah.. Lagian cincin segini mana muat buat jari segitu."
Pagi ini, sebelum bertugas menjadi sopir pribadi yang harus mengantar Dhara dan Irfan, aku dan istriku satu satunya itu sedang terlibat sedikit perdebatan yang berawal dari hal kecil berupa cincin perkaawinan kita. Aku sebenarnya nggak pernah memintanya untuk selalu mengenakan cincin yang dulu kubeli dari hasil menjual kambing peliharaan ku itu, karena aku tau setelah bertahun-tahun menikah dan memiliki anak mungkin ukurannya sudah nggak 'pas' lagi. Tapi dia tetep 'keukeuh' untuk memasangnya lagi, menempatkan benda kecil berkilauan itu di jari yang sebenarnya sudah manis meski tanpa cincin itu, sekalian untuk membuktikan keraguanku padanya katanya. Dan yang terjadi, bisa kalian lihat sendiri. Cincin mungil itu 'mentok' di jari manisnya, persis seperti yang terjadi saat malam pertama kita dulu. Dengan kondisi dan situasi 'mentok' yang berbeda tentunya.
"jari segituu? Jadi maksud ayah bunda sekarang gendut gitu? Ga kaya dulu waktu kita baru nikah, iya? Gitu maksudnya yah? "
"eh, bukan gitu.. " Ucapku sedikit gelagapan. Yah, salah ngomong lagi kan. "udah deeh, ntar kita beli yang baru aja. " Lanjutku nggak mau ambil pusing. Meski tetep aja menurutnya aku masih salah. Ya, emang salah sih..
"beli yang baru? Pake apa? Pake uang bunda lagi? " Tanyanya jujur dan to the point.
"hehe, ya enggak lah.. " Balas ku sambil nyengir bego. "masa pake uang bunda terus. Ntar nih ya, kalo bisnis ayah sama mas Apis udah jalan, jangankan cuma cincin, bunda mau emas se tambang tambangnya, atau se smelter smelternya juga ayah beliin.. "
"halah, sok banget. Emang mau bisnis apa sih? " Tanyanya meremehkan ku. "Bikin rental ps ama game online aja tekor gara gara yang main temen temen ayah doang.. "
"hehe, kali ini beda bun.. " Jawabku masih sambil cengar-cengir. "Sekarang ayah sama mas Apis mau bisnis budidaya.. "
"oh ya? Mau budidaya apaan emang? "
"Ikan cupang.. "
"hah, kok ikan cupang sih? " Dhara mengerutkan dahinya. "ikan seupil yang cuma buat aduan anak SD gitu bisa bikin kaya darimana.. "
"lho, jangan salah bun. Ikan cupang itu sekarang banyak penggemarnya, nggak cuma anak kecil aja. Melihara nya nggak perlu tempat yang gede gede banget, nggak perlu pakan yang banyak banyak juga. Ngerawat nya juga nggak susah karena nggak perlu tiap hari dimandiin kayak Irfan. Dan satu lagi, ngembangbiakin ikan cupang itu nggak perlu modal banyak, karena bibitnya bisa bikin sendiri.. "
"bikin sendiri? " Dhara kembali hanya mengerutkan dahi. Sementara aku mulai tersenyum genit kearahnya.
"hehe, iya, tinggal bikin aja tiap malem.. " Ucapku tersenyum sambil memandang kearah lehernya.
"haishh.. dasarr.. " Ucapnya mencibir ku. "pagi pagi udah ngeress aja. Udah buruan berangkat yuk, kasian didepan Irfan udah nungguin. "
Dhara melepas cincin yang tadi hanya 'masuk' ke ruas pertama jari manisnya, memasukkannya lagi kedalam tas, lalu menggamit tanganku agar kita bisa berjalan saling bergandengan tangan menghampiri Irfan yang sudah menunggu didepan. Sungguh sebuah pagi yang romantis, pagi yang sebenarnya tak ingin kubiarkan berlalu begitu saja, meski disisi lain perutku juga sudah konser gara gara belum sarapan dan Dhara (lagi lagi, seperti biasa) belum sempat masak.
"Lama amat sih yah.. " Ucap Irfan saat aku membuka pintu mobil dan mendapati dirinya sedang bermain PC tablet nya sambil menungguku. "lagi main sambung bibir lagi ya sama bunda? "
"bocah kecil mau tau aja urusan orang tua.. " Ucapku sambil menutup pintu mobil lalu menyalakannya. Sementara Irfan nampak masih asik mengutak-atik gawai-nya. Tipikal bocah jaman sekarang banget.
"orang gede bercandanya jorok jorok ya yah.. "
"iya, makanya jangan ikut ikutan orang gede.. "
"tapi, ayah keliatannya kok semangat banget sih.. "
"haha, udah udah. Nih kamu makan dulu aja.. " Dhara kemudian datang, lalu menyodorkan sekotak bekal pada putra satu satunya itu.
Beberapa saat kemudian kita sudah berada ditengah ramainya jalanan, berada diantara banyaknya manusia dan kendaraan yang juga sama sama sedang berangkat menjalankan aktivitasnya. Sepanjang perjalanan sebagaimana layaknya seorang ibu, Dhara selalu memberikan petuah petuahnya pada anak semata wayangnya itu. Supaya jangan jajan sembarangan lah, di sekolah nggak boleh nakal lah, dan kata kata lain yang lumrah diucapkan orang tua pada anaknya saat berangkat sekolah. Sementara bocah kecil itu terlihat hanya manggut manggut saja sambil menikmati roti selai yang tadi dibuatkan bundanya. Pemandangan ini persis seperti yang terjadi saat aku masih kecil dulu, saat emak tiap hari memberiku 'wejangan' sambil mengantarku sekolah. Bedanya, aku dan emak harus berboncengan naik sepeda anting yang biasa beliau pakai ke pasar dulu untuk sampai di sekolah. Dan bukan roti selai coklat atau stroberi seperti yang Irfan nikmati sekarang, dulu setiap pagi aku hanya bisa menikmati sepotong singkong rebus sebagai sarapan.
Aku tersenyum mengingat saat saat itu, saat saat dimana hidupku masih terasa begitu mudah meski bisa dibilang aku bukan termasuk golongan anak anak yang beruntung secara materi. Aku merasa senang karena saat itu masih belum ada banyak hal yang harus kupikirkan. Yang ada di kepalaku saat itu mungkin hanya main, main, dan main. Tanpa harus mikirin hal hal yang sekarang sering menghampiri kepala dan pikiranku. Seperti cicilan rumah lah, angsuran mobil lah, biaya sekolah lah, sampai sindiran halus ibu dan bapak mertua karena aku masih 'gini gini aja'. Tapi ya udahlah, setidaknya sekarang keadaan Irfan sudah jauh lebih baik daripada ayahnya dulu.
Tidak lama setelah itu, mobil yang kita kendarai akhirnya sampai juga didepan gerbang sebuah taman kanak-kanak. Sebuah taman kanak-kanak berlabel 'International School' yang biaya bulanannya bisa bikin geleng-geleng kepala. Padahal kalau dilihat lihat, yang terjadi didalam kelas juga sama persis dengan sekolahku dulu yang biayanya hanya pake beras yang dibayar tiap abis panen. Sama sama main main juga, orang bocah seusia Irfan ini memang taunya cuma main. Kalau bukan karena kemauan dan gengsi bundanya, aku mungkin akan mendaftarkannya di sekolah yang 'biasa biasa' aja. Sekolah yang banyak penjual cilok, telur gulung, kembang gula, dan es goyang didepan gerbangnya. Bukan sekolah yang isinya mobil mobil keren dan orang orang penting yang nggak pernah keliatan saling sapa ini.
Sebagai seorang ayah sekaligus suami yang tampan dan pengertian, dan setelah menyadari ada embrio merah yang sudah terparkir diseberang, aku pun mengambil inisiatif untuk mengantar Irfan. Tentu sambil berharap bahwa Dhara akan tetap menunggu disini. Dan ya, Dhara ternyata lebih memilih untuk diam didalam mobil sambil sedikit memoles wajahnya.
"Jangan lama lama ya yah.. "
Aku mengantar Irfan menuju kelas dengan berjalan sambil celingukan kesana kemari. Takut kalau ternyata Marcella keburu lewat tanpa kita sempat bertemu, atau yang lebih parah Dhara malah tiba-tiba turun dari mobil dan berjalan menyusulku. Tetapi untungnya semua kemungkinan itu tidak terjadi, dan Dhara masih anteng dengan lipstik, pensil alis, maskara, mas agung, mas pur, dan entah ada barang dan mas apalagi yang ada didalam peralatan make up nya. Tapi apapun nama dan sebutannya, saat ini aku sungguh berterimakasih padanya.
Pucuk dicinta binor pun tiba, setelah mengantar Irfan masuk kelas aku akhirnya bisa kembali bertemu dengan Marcella. Kebetulan saat itu dia juga sedang mengantar putri kecilnya. Melihat kedatanganku, mantannya yang paling tampan, dia spontan tersenyum. Senyum yang bisa membuat setiap lelaki mendadak kena diabetes saking manisnya. Tanpa berkata kata, dia kemudian mengedipkan sebelah matanya, mencoba memberi isyarat agar aku mengikuti kemana dia melangkah.
Aku masih berjalan mengikutinya, sambil terus berjalan, Marcella sesekali menoleh dan tersenyum kearahku. Membuat aku semakin penasaran dan bertanya tanya kemana dia akan membawaku. Kita terus berjalan menjauhi deretan ruang kelas yang berjajar rapi, sedikit berbelok kekiri, lalu menyusuri koridor dan lorong kecil yang mengarah tepat menuju toilet sekolah.
Hah, toilet?
Marcella akhirnya benar-benar membawaku ke toilet sekolah. Perasaan bingung, heran, penasaran, 'naik', sekaligus takut digampar andai ada yang melihat lelaki sepertiku masuk ke toilet wanita seolah berkumpul menjadi satu saat aku melihat sosoknya yang tengah berhenti dipojok ruangan.
Marcella kembali menghadap kearahku, lagi lagi ia juga nampak sedang tersenyum. Senyum yang tetap manis, namun terlihat sedikit lebih 'liar' dari sebelumnya. Senyum yang juga berhasil membuatku melangkahkan kaki lagi setelah sebelumnya merasa sedikit bimbang. Bodoamat lah, digampar digampar deh..
Aku terus berjalan mendekatinya, kali ini mungkin tubuh kita hanya terpaut jarak beberapa meter. Kita juga masih saling berpandangan dan melempar senyum, dengan Marcella yang sedang tersenyum manis, dan aku yang (mungkin) terlihat mesum. Aku semakin ingin buru buru menggapai raganya saat dia tengah tersenyum sambil mulai menggigit bibirnya sendiri. Bibir tipisnya terlihat begitu menggemaskan, dan aroma parfumnya yang khas semakin membuatku kehilangan akal sehat.
"ceell.. "
"emh.. faann.. " Ucapnya disela sela pertarungan bibir kita. "aku kangeen.. "
"hshh.. sama ceell. Aku juga kangeen, apalagi sama ini.. " Balasku ngawur sambil menjamah salah satu bagian tubuhnya. "tapi emh.. maaf yaah.. kita ga bisa lama lama, diluar ada istriku.. "
"shh.. kamu jahat fan, dulu katanya mau nikahin aku.. "
"hmmhh.. bukannya shsh.. kamu yaah, yang ga mau aku nikahin.. "
"eemhh.. abiis, dulu kamu pengangguran siih.. "
"mmhh.. sekarang juga masih sih, hehe.. "
Setelah 'bercengkerama' sebentar dengan Marcella, aku buru buru kembali kedepan, takut kalo Dhara udah ngamuk gara gara kelamaan nunggu. Tentu setelah merapikan kembali pakaianku yang tadi sedikit berantakan dan beberapa kali menyemprotkan parfum agar bau parfum Marcella yang ikut nempel nggak kecium oleh Dhara. Dan untungnya saat aku sampai disana Dhara juga masih belum kelar dengan urusannya. Ternyata ada manfaatnya juga doi dandan lama lama.
"lama amat sih yaah. Buruaan, bunda udah mau telat nih. " Ucapnya ketus sambil merapikan peralatan make up nya.
"iya buun.. " Balas ku mengalah, lalu membawa mobil untuk segera tancap gas menuju rumah sakit. "oh iya bun, hari ini jadi operasi ya? " Lanjut ku mencoba mencairkan suasana, sekaligus menghilangkan wajah juteknya.
"ya jadi lah, emang ulangan harian.. kadang bisa ga jadi. "
"hehe.. operasi pasien penyakit apa sih? " Tanyaku belum menyerah.
"ituu, didalem perutnya banyak potongan besi.. " Jawab Dhara mulai sedikit melunak, dan aku bersyukur, seenggaknya dia udah nggak ketus dan nyinggung kemana aja aku tadi.
"wuih serem benerr, kok bisa sih.. "
"iya, gara gara SMS pacarnya.. "
"eh, masa cuma gara gara SMS sih? ekstrim bener, diputusin pacar bukannya move on malah makan besi.. "
"padahal pacarnya juga ga minta putus lho yah.. "
"lha terus? pacarnya udah dijodohin ama kakek kakek tua buat bayar utang bapaknya ya? "
"ish, bukan yaah. Emang jaman Siti Nurbaya apa.. "
"terus? "
"Dia itu dapet SMS dari pacarnya yang bunyinya gini 'tayang tayang, nanti jangan lupa maem tiang ya tayangkuu.. ' gitu yah."
"heh, gitu doang? bagus dong, pacarnya ngingetin makan.. "
"iyaa, tapi gara gara itu dia jadi 'maem tiang' beneran. Dan yang dia makan, tiang gawang yah.. "
"wahahaha beneran itu bun? hahaha bodoh banget asli.. "
"hahaha iya yah, bunda sebenernya kasian. Tapi jadi lucu kalo tau kronologisnya.. " Sahutnya sambil tertawa. "Haha bucin banget, kaya ayah dulu.."
"Yee mana adaa.."
Kita masih tertawa tawa didalam mobil yang terus melaju, dalam hati aku bersyukur Dhara nggak curiga terhadapku, Dhara nggak mempermasalahkan keterlambatan ku, tubuhku yang mungkin kelewat wangi juga sepertinya nggak memancing kecurigaannya. Bahkan dia malah terlihat nyaman nyaman aja, apa karena tadi sebelum berangkat aku nggak sempat mandi jadi wangi tubuhku jadi nggak 'over' menurutnya? Atau biasanya aku kelewat bau makanya sekarang dia nyaman aja dengan aku yang wangi? Entahlah, justru bagus dong kalo doi nggak curiga.
Beberapa saat kemudian mobil yang kita kendarai akhirnya sampai juga diparkiran sebuah rumah sakit swasta yang kebanyakan pasiennya adalah orang orang berduit ini. Aku kemudian turun dari mobil untuk menemaninya berjalan kedalam.
"bunda jangan ganjen ganjen ya ama si dokter serangga itu.. " Ucapku sambil berjalan disisinya. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu, padahal beberapa saat yang lalu justru aku yang 'ganjen ganjenan' sama Marcella.
"haha, dokter Rangga kali yah.. " Balasnya. "iya Irfan sayaang, kamu percaya aja sama aku.. "
"haha, yaudah aku nganter sampe sini aja.. " Ucapku tak ingin ikut masuk. "Kamu hati hati yaa.. "
"iyaa, udaah kamu cari kerja aja sana.. "
"haha, iya iya. Yaudah, aku balik ya.. "
"iyaa.. eh tunggu bentar yah. "
"ada apa bun? "
"tadi pagi waktu ayah lagi jemur pakaian dibelakang, hape ayah geter geter, ada yang nelpon.. "
"oh gitu, dari siapa? Dari mas Apis ya? Hari ini dia mau ngajak liat liat bibit katanya.. "
"bukan yah.. "
"terus, dari siapa? "
"Dari 'Tukang Ojek Depan Gang'.. "
"eh..? "
Quote:
Well, I took a walk around the world to ease my troubled mind
I left my body lying somewhere in the sands of time
But I watched the world float to the dark side of the moon
I feel there's nothing I can do, yeah
I watched the world float to the dark side of the moon
After all I knew, it had to be something to do with you
I really don't mind what happens now and then
As long as you'll be my friend at the end
If I go crazy, then will you still call me Superman?
If I'm alive and well, will you be there and holding my hand?
I'll keep you by my side with my superhuman might
Kryptonite
I left my body lying somewhere in the sands of time
But I watched the world float to the dark side of the moon
I feel there's nothing I can do, yeah
I watched the world float to the dark side of the moon
After all I knew, it had to be something to do with you
I really don't mind what happens now and then
As long as you'll be my friend at the end
If I go crazy, then will you still call me Superman?
If I'm alive and well, will you be there and holding my hand?
I'll keep you by my side with my superhuman might
Kryptonite
Kryptonite - 3 Doors Down
Diubah oleh saleskambing 19-12-2024 11:53
jenggalasunyi dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas
Tutup