Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

m60e38Avatar border
TS
m60e38
Kembalilah (Tak Terungkap) | Ketulusan Cinta Para Bidadari | R-17

Quote:



Apa kau percaya dengan Hukum Kekekalan Energi?
Kalau aku percaya dengan Hukum Kekekalan Cinta.
Bahwa Cinta itu tidak dapat dibuat atau dimusnahkan.
Tetapi hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Itulah cinta yang kupercaya.


Ini adalah kisah nyata tentang mereka.
Tentang semua cinta yang tak terbalas.
Tentang semua rasa yang tak terungkap.
Yang terukir indah dalam 874 lembar buku harianku sejak SMA.
Ditambah 101 halaman dari kisahku yang hilang bersama seseorang.


Maka, saat kau bertanya, mengapa kau masih ingat?
Buku harianku yang mengingatkanku.
Disana tertulis nama lengkap mereka.
Disana tertulis semua perkataan antara aku dan mereka
Disana tertulis semua proses pendewasaanku.


Ini kisah nyata.
Buku harian 975 lembar letter size itu saksi sejarahnya.
Ditulis dengan font Times New Roman 10 Pt.
Dan akan kutulis ulang semuanya untuk kalian.
Bidadari yang pernah datang mengisi hariku.
Bidadari yang mendewasakanku.




Orang bilang, jatuh cinta itu menyenangkan.
Aku mengakui itu, sepanjang aku jatuh cinta, rasanya menyenangkan.


Tetapi orang juga bilang, jatuh cinta itu menyakitkan.
Entah, tetapi aku tidak pernah setuju dengan frasa bahwa cinta itu menyakitkan.


Cinta adalah saat kita menginginkan orang yang kita cintai bahagia.
Tidak peduli seberapa sakitnya kita dibuatnya.
Karena ketulusan yang akan mengobati semua sakit.
Di atas senyum bahagia, dia yang kita cintai.


Namum, apabila ada banyak hati yang saling mencinta.
Apakah akan berakhir bencana?
Ataukah ketulusan yang akan menyembukan mereka.
Ini kisah tentang mereka.


Bidadari sempurna yang hadir dalam hidupku.



Kembalilah (Tak Terungkap) | Ketulusan Cinta Para Bidadari





MAKLUMAT


Cerita ini berdasarkan kisah nyata, nama karakter disamarkan sesuai dengan kebutuhan untuk melindungi privasi dari tokoh yang ada di dalam cerita ini. Dan cerita ini sebisa mungkin menggunakan kaedah sastra secara teknis, sehingga akan dibutuhkan waktu yang lama untuk dicerna.

Rating dalam cerita ini adalah R-17, dengan kata lain, cerita ini mengandung bahasa yang kasar dan juga isi cerita yang hanya sesuai untuk usia 17 tahun atau di atasnya, dan atau usia di bawahnya dengan bimbingan orang yang lebih dewasa.

Perlu diingat, rating Restricted tidak serta merta hanya mengacu kepada konten cerita yang mengandung adegan dewasa, belajar dari cerita sebelumnya, saya selaku authorakan meminimalisir cerita dengan adegan dewasa di thread ini. Restricted di sini mengacu kepada kompleksitas cerita yang akan mempengaruhi ideologi pada pembaca, khususnya remaja yang memiliki usia di bawah 17 tahun.

Penggunaan bahasa yang tidak pantas, serta adegan yang penuh dengan konspirasi dan atau tindakan kejahatan juga menjadi pertimbangan saya untuk tetap mempertahankan rating Restricted di dalam cerita ini, jadi terlebih dahulu harus dipahami mengapa saya tetap menggunakan rating R-17 pada cerita ini, dan bukan serta merta karena adanya adegan yang kurang pantas di sini.

Mohon untuk pembaca memahami bahwa tidak semua adagan dalam cerita ini bisa dicontoh, ditiru, dan atau diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, terlebih untuk material yang hanya boleh dilakukan untuk pasangan pernikahan yang sah. Pembaca dimohon untuk mengambil hikmah dari cerita ini sebaik-baiknya.

Kritik dan saran dari pembaca sangatlah saya harapkan, dan mohon maaf apabila banyak tulisan dari karya saya yang masih jauh menyimpang dari Sastra Indonesia. Saya mohon koreksinya dari pembaca, karena saya ingin tetap mempertahankan kaedah menulis Sastra, bukan asal cerita.

Demikian maklumat dari saya, Terima Kasih.



Quote:


Quote:


Quote:


Quote:


Quote:


OVERTURE



     Selamat pagi rekan-rekan Kaskuser, khususnya di Sub-Forum Story from the Heart, perkenalkan, saya Faristama Aldirch, selaku Nubie SR di sini untuk berbagi kisah. Sebelumnya pasti rekan-rekan semua tahu apa alasan saya menggunakan User ID m60e38, tentunya ada hubungannya antara mesin BMW M60 dan sasis BMW E38.


     Tentu saja, cerita ini berawal dari saya yang jatuh cinta kepada Aerish Rivier, menyatakan cinta kepada gadis itu, dan membuat saya menanti akan sebuah balasan yang tak berujung. Menutup hati dari banyak hati yang berusaha mengisi hati saya dan berusaha tak acuh dengan apa yang saya alami sendiri. Hingga pada akhirnya banyak hal yang terlewatkan hingga semuanya menjadi satu.

     Tetapi, hal tersebut tidak pernah disadari oleh saya, Cauthelia Nandyadatang dengan membawa cinta dan keikhlasan yang begitu luar biasa, tertuang dalam diary-nya sejak tahun 2002. Nadine Helvelina datang dengan cinta dan ketulusan yang tidak pernah bisa diragukan. Shinta Adinda yang menjadi sahabat terbaik saya juga datang dengan ketulusan yang benar-benar membuat saya berpikir tidak akan meninggalkannya.

     Arteana Andrianti, seorang Guru penjaga UKS yang merasakan bahwa saya adalah laki-laki yang telah menyelamatkannya di satu peristiwa pada pertengahan 2006. Hingga Aluna Amelia, gadis berdarah Oriental yang begitu cantik, mempercayakan segala perasaannya kepada saya atas semua apa yang pernah saya lakukan kepadanya.

     Ketulusan mereka semua sudah tidak mungkin diragukan lagi, apapun mereka lakukan bukan serta merta menginginkan saya bahagia, tetapi ingin yang lainnya bahagia. Memang ini terlihat menyenangkan, dicintai banyak wanita sekaligus, dan mereka terlihat begitu akrab dan juga akur satu sama lainnya, padahal hal tersebut benar-benar menjadi sebuah beban yang begitu luar biasa untuk saya.

     Semenjak kedatangan Erik di kehidupan saya, semuanya mulai terasa begitu berat, dengan anak buahnya, ia berusaha untuk mendekati satu per satu bidadari untuk sekadar mengancam saya, atau mungkin melakukan hal yang buruk kepada mereka. Hal tersebut membuat saya benar-benar was-was, terlebih saat ini saya tidak bisa tenang karena Cauthelia tidak bisa dihubungi.

     Satu persatu masalah muncul dan semuanya bermuara ke satu nama, yaitu Markus, siapakah orang itu? Entahlah, hanya Sang Jabbar yang tahu siapakah Markus itu, yang pasti semenjak kedatangan Nancy malam itu, setidaknya selain hengkangnya Erik perlahan dari kehidupan saya, muncul aliansi baru yang akan membantu saya mengungkap siapa dan apa tujuan Markus sebenarnya.

     Semoga cerita ini bisa menjadi salah satu kawan di kala senggang untuk rekan-rekan Kaskuser yang senang membaca cerita dengan format baku seperti yang saya suguhkan. Tidak perlu banyak kata-kata dalam pembukaan ini, saya akan melanjutkannya pada kisah yang akan saya tulis dengan format yang sama seperti cerita saya sebelumnya. Atas perhatian dan kerjasama Anda, saya mengucapkan Terima Kasih.

Quote:


Polling
0 suara
Siapa Karakter Perempuan Favorit Reader dalam Cerita Ini?
Diubah oleh m60e38 04-02-2024 03:41
fajar1908
redalion101
jamalfirmans282
jamalfirmans282 dan 24 lainnya memberi reputasi
23
302.4K
2.4K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
m60e38Avatar border
TS
m60e38
#2349
Tentang Sebuah Nama: Talita | Bagian 9
TENTANG SEBUAH NAMA: TALITA (BAGIAN 9)


      April 2006.

      Sesaat, kumpulan remaja yang barusan memenuhi lahan parkir di area ini langsung tercerai berai. Riuh suara yang tercipta dari tiap-tiap lisan yang terlontar membuat kegaduhan yang cukup mengganggu di telingaku. Bukan aku tidak suka keramaian, tetapi ini semua karena rasa yang telah membuatku begitu tidak nyaman.

      Bahkan ketika genggaman hangat Talita mencoba untuk merasuk di tubuhku, semuanya terasa hambar.

      Sungguh, rasa kecewa yang kurasakan lebih dari apapun yang dapat kutoleransi saat ini. Batinku seolah terus berontak, mempertanyakan apa yang telah seorang Nadine lakukan kepada Shinta, sahabat yang telah menjadi kekasih hatiku sejak lama.

      “Masih kepikiran ya Tam?” tanya Talita pelan.

      Aku mengangguk, “boong kalo aku gak kepikiran Lit.”

      “Dan begonya, aku baru sadar sama perasaan aku sendiri saat Shinta ngomong begitu tadi pagi,” ujarku lemah, merasa menjadi orang yang paling bodoh telah menyia-nyiakan segenap perasaan cinta Shinta yang begitu luar biasa untukku.

      Talita, ia tersenyum seraya menggenggam tanganku yang saat ini begitu kelu. Entah apa yang kurasakan kini, tetapi aku benar-benar tidak dapat mengungkapkan apapun yang saat ini bergejolak di dalam dadaku. Segenggam sekam emosi yang terus-menerus membakar rasa yang telah lama pergi untuk gadis yang mungkin saat ini telah merasa di atas angin.

      Gadis itu lalu memimpin langkahnya, pagutan jemarinya masih terasa begitu hangat di kala dinginnya udara Maribaya pagi ini. Kuikuti kemana derapnya menuju, aku hanya menjadi pengikutnya kini, membenamkan diri dalam lautan kekecewaan yang entah bagaimana aku harus ungkap lagi. Sesak rasanya hanya dapat melihat gadis yang kucintai dipagut jemarinya oleh laki-laki yang sebenarnya tidak ia cintai.

      Tetapi, apa yang dapat kulakukan untuk dapat membuat Shinta menjauhi Agung?

      Apa yang harus kulakukan selain hanya bisa menatap lekat-lekat keindahan gadis itu mulai terlihat sirna di antara redupnya cahaya Sang Sol yang diselimuti mega, bergandengan di atas kami seolah menakut-nakuti dengan suara gemuruh pelan yang terdengar sedikit menentramkan di pagi ini.

      Tak henti-hentinya celotehan manja Talita menggelitik indraku, senyumannya yang begitu manis bahkan dengan mudah kutepis di dalam hatiku. Tidak ada hal yang lebih menenangkanku selain melihat Shinta yang saat ini masih mencuri pandangnya, meletakkan ekor matanya ke arahku meskipun hanya sedetik-dua detik.

      Menyunggingkan senyuman yang selalu kurindukan, bahkan saat ini berada di dekatku.

      “Sorry Lit,” ujarku pelan, “aku bener-bener gak bisa berenti mikirin Tata.”

      Talita lalu menghentikan langkahnya, menolehkan wajah manisnya ke arahku, menyunggingkan senyuman yang begitu indah tatkala ia memagutkan kedua tangannya di antara jemariku. Tidak ada kata-kata yang teruntai dari lisannya, tetapi aku benar-benar mengerti apa yang coba ia siratkan di sepasang bibir tipis merah muda miliknya, yang tidak pernah menyerah untuk menarikku dari kehancuran ini.

      “Kamu gak marah, Lit?” tanyaku pelan, menghela napas pendek seraya memandang ke arah mata cokelatnya yang begitu indah.

      Ia menggelengkan kepalanya pelan, masih dengan senyuman yang sama, “gak ada sedikitpun aku marah sama kamu Tam.”

      “Justru aku mau coba bikin kamu ngerti, kalo masih ada orang yang peduli sama kamu sekarang,” Talita lalu menurunkan pandangannya, menyembunyikan air mukanya yang sempat berubah sesaat sebelum ia menundukkan kepalanya, “dan aku salah satunya.”

      Deg!

      Ucapannya seketika membuatku terperanjat, membekukanku dalam bahasa tubuhnya yang selalu menyapa penuh dengan kelembutan. Sekali lagi aku terdiam di dalam bisunya lisan Talita, teruntai di antara tatapan tulus, diiringi senyum yang mengembang tak pernah lelah untukku.

      “Kenapa harus kamu, Lit?” tanyaku pelan, kuhela napas panjang, tak pantas rasanya sosok seanggun Talita harus menyerahkan segenap perhatiannya kepada diriku yang begitu hina ini.

      “Kenapa harus aku yang kamu peduliin?”

      Gadis masih memandangku, senyumannya yang begitu indah membuatku tidak dapat mengujarkan satu patah katapun, kecuali perasaan sesal yang semakin lama semakin menumpuk, menambah sesak tiap helaan napas yang teruntai ketika waktu yang begitu berharga ini seolah berhenti.

      Ia menggelengkan kepalanya, pelan namun pasti, sepasang labia orisnya pun sedikit terbuka, selayaknya hendak mengujarkan sesuatu, namun diakhiri dengan helaan napas panjang, seraya dadanya terlihat turun begitu pelan dan akhirnya senyumannya pun sirna.

      Hanya pandangan kesedihan yang tampak dari sepasang matanya, begitu tajam menghunjam hatiku.

      “Apa kamu pernah tanyain itu, Tam?”

      “Apa kamu pernah tanyain, kenapa kamu begitu jatuh cinta sama Aerish?”

      Pagutan tangannya semakin menguat, “kamu tanya ke diri kamu sendiri, kenapa kamu begitu merendahkan diri kamu ke Aerish?”

      Tidak ada lisan yang dapat kusenandungkan untuk mematahkan lantunan Talita barusan, hanya gelengan pelan dan helaan napas panjang yang bisa kuberikan untuk menjawab pertanyaan gadis itu.

      “Kamu juga enggak bisa jawab, kan?”

      “Sama Tam.”

      “Kalo kamu tanya apa, ato kenapa, aku pun enggak bisa jawab.”

      “Yang tahu cuma hati aku, dan aku gak bisa ungkapin itu ke kamu.”

      Mungkin aku terlalu naif, menganggap apa-apa harus menuruti logika, padahal siapa yang bisa mengatur hati yang berkehendak untuk mencinta?

      “Maafin aku, Lit.”

      “Aku emang bego,” ujarku, sesal itu tercipta begitu saja saat pandangan Talita terhentak melihat ke arahku, “aku gak bisa tahu apa yang terjadi di luar Aerish.”

      “Gak gitu Tam,” ujar Talita pelan.

      Aku menggeleng, “aku paham Lit, makasih udah ada buat aku, meski mungkin aku gak pernah anggap itu.”

      “Makasih udah kasih aku semangat, meskipun aku baru paham sekarang.”

      Gadis itu langsung menundukkan pandangannya, “maafin aku Tam.”

      “Kamu gak salah Lit,” ujarku, tersenyum kepadanya, “aku yang gak paham.”

      “Dan aku baru paham sekarang.”

      “Kalo seorang Talita Radisha adalah orang yang selama ini kasih aku tulisan semangat yang aku temuin di dalem tas aku tiap kali aku mau ngerjain PR.”

      “Jujur,” ujarku lalu menghela napas pendek, “aku gak tahu kalo itu kamu.”

      “Aku pikir itu kerjaannya Nadine, dan aku selalu dibuat yakin sama perasaan aku sendiri, kalo kalimat itu datengnya dari Nadine.”

      “Dan sekarang aku baru sadar, kalo kamu lah yang tulis kata-kata penyemangat itu buat aku,” ujarku lalu memandang ke arahnya, masih menundukkan pandang tanpa berani sedetikpun memandang ke arahku, “dan aku yang baru paham itu semua sekarang.”

      “Dari mana kamu tahu, Tam?” tanya gadis itu pelan, ia tampak malu menunjukkan air mukanya kepadaku.

      “Apa kamu pernah tanyain, kenapa kamu begitu jatuh cinta sama Aerish?” ujarku mengulangi perkataannya, “kamu tanya ke diri kamu sendiri, kenapa kamu begitu merendahkan diri kamu ke Aerish?”

      “Aku inget kamu tulis kata-kata itu dua hari abis aku bolos seharian di belakang sekolah,” ujarku pelan, “dan aku bener-bener gak nyangka kalo cewek sesempurna kamu lakuin itu ke aku.”

      Gadis itu lalu mengangkat kepalanya, wajahnya begitu merah dihiasi senyum simpul yang tampak acuh tak acuh mengembang, menyambut segala pernyataanku barusan. Tampak ada kelegaan yang terpancar dari pandangan matanya yang begitu berbinar memagutku, dan tak ada hal lain yang dapat kulakukan selain mengusap kepalanya saat ini.

      “Makasih udah jadi penyemangat buat aku, Lit.”

      “Andai aku bisa lebih peka lagi, mungkin sekarang kamu udah jadi sama aku sekarang.”

      Ia menggeleng, “kita kan udah jadian kemarin,” ujar Talita pelan, “dan itu akan selalu jadi hari jadian kita sampe kapanpun.”

      “Aku cinta kamu, Faristama Aldrich.”

---o0o---


      Sol bertengger malu-malu di atas zenit, membelah cakrawala kelabu yang semenjak tadi menyelimuti langit Maribaya, memberikan sebuah kesejukan sendiri di antara embun dan embusan angin yang terus menerus terasa begitu menusuk kulitku. Waktu yang berjalan detik demi detik seolah menyiksaku dengan kenyataan yang harus kuhadapi saat ini.

      Talita bergabung bersama siswi SMA yang melakukan kegiatan terpisah dengan kami, para siswa. Jujur, aku banyak sekali mencari celah untuk menghindari kontak mata dengan Agung yang tampak sejak tadi terus menerus bersama rekannya sesama kabid OSIS, saling melempar pandang ke arahku.

      Mungkin benar apa yang dikatakan Talita dan Shinta tadi pagi, Agung sengaja memerintahkan kabid OSIS dan Nadine untuk mengawasiku, menghilangkan presensiku di atas hati Shinta yang jelas-jelas sudah kumenangkan sejak awal. Tetapi, aku tidak perlu terlihat dan ada di antara mereka, cukup gravitasi cinta yang ada di antara kami sudah menuntaskan separuh ruang dan waktu yang fana ini.

      Bahkan harum tubuh Shinta masih benar-benar bisa kurasakan meskipun aku tidak menemukannya di sudut manapun sejauh mataku memandang. Hanya sebuah kesedihan yang tersirat di antara embusan angin yang sejak tadi begitu lembut menyentuhku.

      “Kayaknya hari ini loe gak ada semangatnya Tam,” ujar Andri, ia menepuk pundakku pelan.

      Kuhela napas panjang, mencoba tersenyum kepadanya, “cuma kurang tidur doang kok.”

      “Halah, boong,” ujar Andri, “gue kenal loe dari dulu Tam, dan loe cuma begini kalo loe lagi mikirin sesuatu.”

      “Talita,” jawabku singkat, “kan loe udah tau dari kemaren juga.”

      Andri lalu memandangku dengan serius, tampak ada yang ingin ia utarakan ketika aku menyebut nama Talita barusan, “yakin loe Tam, akhirnya kepikiran?”

      Aku hanya mengangguk, menjawab pertanyaan Andri yang tampak sedikit aneh setelah kemarin ia memintaku untuk menerima apa yang Talita tawarkan kepadaku. Helaan napasku seolah terhenti ketika gadis itu tiba-tiba muncul di antara kami, menyunggingkan senyuman yang begitu tulus seolah tidak ada beban yang tertoreh di sana.

      “Istirahat yuk Tam,” ajak Talita, begitu ringan seraya tangannya langsung memagut jemariku.

      “Eh eh, gue ikutan dong,” pinta Andri kepada Talita.

      Gadis itu menggeleng pelan, “apaan sih Ndri, gangguin orang pacaran aja.”

      “Eh, loe berdua?”

      Aku menggeleng cepat, “enggak enggak, gue gak pacaran sama Lita.”

      Talita lalu tersenyum, “loh kan kemaren kamu yang ngomong Tam, kita jadian.”

      “Satu hari itu kan 24 jam.”

      “Tapi kan aku bilangnya satu malem aja, Lit,” sanggahku.

      Gadis ini tidak menggubrisnya, ia tetap menarik tanganku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sungguh sejuta tanya tersirat dari pandangan Andri yang sekejap hilang saat laju Talita semakin cepat meninggalkan keramaian remaja yang begitu hiruk pikuk menikmati siang hari di Maribaya yang amat sejuk ini.

      Ah, luar biasa. Seraya sang mega masih bertengger, menyembunyikan limpahan sinaran Sang Sol yang hanya menyisakan pendaran di balik gelapnya tirai yang menyelimuti zenit hingga horizon di siang ini, Talita mengajakku untuk menikmati keindahan pemandangan tempat ini dari sisi lain, jauh dari kebisingan yang masih saja tercipta di sekelilingku.

      Hanya kami berdua, terisolasi di antara lembah, menampakkan warna monokromatik hijau yang begitu menyejukkan mata seraya dinginnya embusan angin Maribaya di bawah temaramnya cahaya langit. Sungguh, romansa itu tercipta begitu saja, genggaman tangan Talita seolah semakin membuat ini terlihat tidak nyata.

      Lisan kami terkunci dalam diam, hanya suara angin dan kicauan burung yang menemani bahasa tubuh kami yang tampak berbagi kehangatan dari pagutan jemari gadis ini. Sesekali aku memandang wajahnya, dan aku selalu menemukan sorot mata teduh di atas senyuman indah yang terus saja ia sunggingkan untukku. Ia tidak pernah lelah, menunjukkan hal itu sejak dahulu.

      Kuhela napas panjang, memandang wajah manis Talita yang tampak begitu mengagumi apa yang ia lihat saat ini, “maafin aku Lit,” ujarku seraya memejamkan mataku, “maaf kalo aku gak pernah peka.”

      “Eh,” ujar gadis itu, tersenyum ke arahku saat pipiku terasa panas sejurus aku membuka kedua mataku, mendapati senyumannya begitu menusuk ke jantungku.

      “Iya,” ujarku, menganggukkan kepalaku pelan, “aku gak pernah pede sama apa yang aku punya Lit.”

      “Aku cuma anak biasa, gak pernah mikir bisa disukain sama seorang Talita Ardisha.”

      Gadis itu menggeleng pelan, “yeee, siapa juga yang suka sama Tama.”

      Hening. Tiada suara apapun kecuali gemercik dedaunan yang terembus oleh sejuknya angin pegunungan, mengalun begitu syahdu mengiringi rasa yang benar-benar membuatku tertunduk atas lisan Talita barusan. Entah apa yang kupikirkan saat aku melontarkan kata-kata itu.

      “Aku gak pernah suka sama kamu,” ujar Talita, setelah sekian lama membisu dalam harmoni alam yang melarutkanku, “tapi aku jatuh cinta sama kamu.”

      Deg!

      Sesak rasanya, sekali lagi mendengar pengakuan cinta dari seorang gadis yang kurasa bahkan begitu tidak mungkin mengatakan kalimat tadi dengan begitu jelas.

      Sorot matanya begitu meneduhkan di sela-sela senyuman indah yang tersungging di atas wajahnya yang memerah, sedikit memercikan air muka yang begitu bahagia.

      Tidak mungkin.

      Kuhela napas begitu panjang, mencoba membalas senyuman gadis itu dengan pagutan tanganku di jemari mungilnya yang begitu putih bersih, “maafin aku Lit.”

      “Gak ada yang bisa aku omongin lagi Lit,” ujarku, seraya memejamkan mataku, mencoba untuk memaafkan diriku sendiri yang telah dengan mudahnya meniadakan presensi Talita yang sejak dahulu ada di sisiku tanpa aku sadari.

      “Gak ada lagi yang bisa aku bela,” aku lalu memandangnya.

      Alih-alih menampakkan wajah yang sedih, gadis cantik ini justru menyunggingkan senyum yang begitu meneduhkan hati. Pagutan hanya jemarinya di antara ruas-ruas jemariku seolah menyatakan sebuah perasaan yang begitu tidak pernah aku bisa terjemahkan.

      Seluruh instruction set di dalam registerku terasa berada dalam mode C2, stop-clock. Semua pemrosesan berhenti di tahap visual, hanya dapat melihat sebuah senyuman manis seorang Talita yang tidak dapat di decode setelah instruction fetch yang jelas-jelas teruntai dari kata-kata gadis itu.

      Tubuhku terasa kaku, tidak dapat kurasakan apapun selain kehangatan yang bertumpu di atas jemarinya, menghentikan waktu yang seolah saat ini berpihak kepadaku dengan kemurahan hati, mendekapku dengan sebuah rasa indah yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.

      “Tam,” panggil suara yang amat kukenal itu, serta merta membuyarkan segenap perasaan yang saat menguasaiku.

      “Tata?” tanyaku tidak percaya saat gadis itu berjalan perlahan menuruni satu demi satu anak tangga yang masih berupa tanah dan ditahan dengan sebilah bambu di setiap pijakannya.

      Tanpa mengatakan satu patah katapun, di antara senyum yang terlihat begitu pahit dan pandangan nanarnya, ia langsung mendekapku dengan begitu erat, seolah tidak acuh dengan apa yang tengah Talita lakukan kepadaku barusan.

      Dan ajaibnya, tidak ada raut wajah marah, sedih, ataupun menyesal yang tampak dari tiap-tiap milimeter wajah Talita, hanya sebentuk senyuman yang masih belum bisa kumengerti sepenuhnya teruntai amat indah di setiap detik yang berlalu sejak aku dan dirinya berada di sini.

      Aku tidak bisa memungkiri, perasaan ini begitu menjebakku di dalam sebuah retorika permainan hati yang begitu hebat, aku bahkan tidak tahu, apakah aku harus menerimanya, atau aku harus meninggalkan segenap perasaan cinta yang terlanjur datang begitu saja. Ia hadir begitu cepat, selayang pandang, tertanam di hati, dan tidak mungkin langsung berlalu pergi.

      “Ta,” bisikku pelan, ketika telinga gadis itu ada di ujung Labia orisku, “gak harus gini kan?”

      Ia tidak menggubrisku, dekapannya semakin erat, tubuhnya semakin erat seraya genggaman tangannya meremas punggungku, “mana bisa aku jauh dari kamu, Tam.”

      “Tapi Ta,” ujarku pelan, “kalo Agung ato Nadine tahu, kamu bisa kenapa-napa.”

      Ia makin menyandarkan tubuhnya, “yang mereka tau, aku lagi ke toilet, terus kamu lagi jalan sama Talita.”

      Sejenak, aku lalu memandang ke arah Talita, gadis itu hanya tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Ia pun sesekali tampak sibuk memandang ke arah atas lembah, mungkin ia berusaha untuk melindungi Shinta yang saat ini tengah begitu tenggelam dalam perasaan yang sama denganku.

      “Kenapa kamu malah bikin bahaya ke diri kamu sendiri, Ta?” tanyaku pelan, “gak seharusnya kan kamu ada di sini sekarang.”

      Gadis itu masih mendekapku, seolah tidak peduli dengan apa yang akan terjadi nanti.

      “Andai ini adalah hal terakhir yang harus aku lakuin sama kamu,” ujar Shinta pelan di telingaku, “aku rela kok Tam.”

      “Aku gak mau kita harus jauhan gara-gara kebodohan aku terima permintaan Agung dulu.”

      “Bukan begitu Ta,” ujarku pelan, “bukan itu.”

      “Aku cuma gak mau kamu kenapa-kenapa Ta.”

      “Tapi kenapa, Tam?” tanya gadis itu pelan, tepat di samping telingaku.

      Hening, hanya desir angin yang terdengar di telingaku seraya degup jantungku berdetak begitu keras dan menyesakkan dada. Tidak ada kata yang dapat kuucapkan saat dekapan yang gadis itu lakukan semakin menenggelamkanku dalam semesta hati yang tidak pernah dapat kujelaskan.

      Kuhela napas begitu panjang, “karena aku cinta sama kamu, Ta.”





Diubah oleh m60e38 16-02-2020 17:21
g.gowang
doctorkelinci
dj13th
dj13th dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.