- Beranda
- Stories from the Heart
The Way You Are
...
TS
ladeedah
The Way You Are
Quote:
Friendship is not always about finishing each other's sentences or remind you to the lyrics you forget. Many times, friendship is about how fluent are both of you in speaking silence.
-- Maxwell.
INDEKS
Spoiler for Indeks:
Diubah oleh ladeedah 08-09-2019 07:30
evywahyuni dan 11 lainnya memberi reputasi
12
24.9K
185
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ladeedah
#61
The Falling Dancer
"Apa sih Papa liatin Ajeng kayak gitu?"
Papa tidak menyentuh oat dan yoghurt yang sudah gue siapkan. Secangkir kopi di sisi kanan mangkok sarapannya juga hanya dia minum sekali. Koran di sisi kiri mangkok masih terlipat rapi tidak ia sentuh sama sekali. Matanya menatap gue penuh selidik dengan kedua tangan terlipat rapi di atas meja. Papa membungkukkan badannya mendekat ke gue yang duduk tepat di hadapannya. Masih tidak bicara apa-apa.
Gue hanya menatapnya sesekali antara novel yang sedang gue baca, Atonement oleh Ian McEwan.
Suara heels Mama yang sedang menuruni tangga marmer dari lantai dua menciptakan echo ketukan hingga ke dapur. Tak lama kemudian dia hadir di meja sarapan dengan wrap dress hijau lumut bermotif abstrak coretan berwarna silver. Rambutnya sudah berwarna auburn padahal kemarin masih berwarna hitam.
"Good morning, My Love! Good morning, Baby Dee!" Mama mencium pipi Papa.
"Good morning to you too, Sexy!" Jawab Papa.
"Good morning Mother."
I've never had a moment's doubt. I love you. I believe in you completely. You are my dearest one. My reason for life. Cee.
Gue membaca tepat di baris itu, saat:
"Aku ga tau kamu pernah ke Amsterdam, Bram! Kapan kamu beli kemeja di Amsterdam kalo gitu?"
"YES THAT'S IT! Itu bukan punyaku, Gendis!" Senyum Papa melebar dan terseringai ke arah gue. Oh.
"Kemeja siapa dong itu di jemuran?"
"Cuma bertiga yang hidup di rumah ini! Kalo kamu dan aku ga tau, siapa lagi yang tau!" Papa tertawa melihat gue seksama.
"Punya Max." Jawab gue masih tidak menghiraukan dua orang yang menatap gue curious.
"Nope! Its not!" Sergah Papa.
"Why not?" Lawan gue.
"Itu Laundry Industry loh merknya, tokonya cuma ada di Amsterdam, ga ada di Australia, Sayang!" Jawab Mama.
"Hahaha! Funny! Sekarang orang bisa belanja online beli dimana aja darimana aja!"
"Not that one! Seenggaknya Max ga akan pilih brand itu! I know Max!" Kilah Papa.
"Nonsense!" Potong gue.
"Oh come on!! Papa tau itu kemejanya siapa! Celananya siapa! Jasnya siapa! Boxernya siapa! Kamu tidur sama Hans ya?? Hihihih!"
"NOO!!"
"Masa sih? Baju dia udah kamu cuciin sampe dalemannya! Udah siap jadi istri Hans ya?" Kejar Papa.
"No. Kami ga ngapa-ngapain! Itu cuma kehujanan dan ketinggalan di mobil, jadi aku cuciin!"
"Hmm....I dont believe you Dee! Come on! Tell me more!" Desak Papa diantara tawanya yang meledek.
Sarapan gue sudah habis. Gue berdiri dari meja, mencuci mangkok bekas gue. Papa masih mengikuti gue dengan matanya.
"Ayolah Dee! Papa kan pengen tau anak gadisnya diperawanin siapa! Hahahaha!"
"Dont worry, Father! I am still a virgin! You can sacrifice me to Satan!" Jawab gue kesal.
Sudah dua malam berlalu sejak malam itu. Gue masih kesal dengan sikap Hansen. Gue kesal karena gue sudah mengijinkan dia tapi dia membuat gue kentang, lalu dia tidak menelepon atau mengSMS gue terkait malam itu! Seakan-akan menjadi virgin adalah aib buat gue!! Setidaknya itu yang gue rasakan dari penolakan Hans.
"Yah! Ga ada cerita hot pagi ini, Dis! Eh eh! Nebeng ke kantor ya, Cantik! HANSEN GA MAU JEMPUT BOSNYA NIH!" Papa masih berusaha meledek gue yang memilih melanjutkan membaca di ruang TV menjauh dari Papa dan Mama.
Ding. Panjang umur, baru aja gue batin, dia SMS.
"MAXWEELLLL!!!" Gue berteriak memanggil nama Max sambil berlari memasuki ruang kelas. Max sedang ngobrol bersama Sarah dan teman-teman yang lain saat ia menoleh ke arah pintu.
"Gue mau ke Sydney Opera House!!" Gue angkat kedua tangan gue tinggi-tinggi. Max terbelalak.
"Serius??"
Gue mengangguk berkali-kali. Beberapa teman ikut kagum, beberapa biasa saja. Yang kagum adalah yang belum pernah kesana dan pengen kesana, yang biasa saja adalah yang sudah pernah kesana atau iri belum pernah kesana wkwkwk. Kids!
"Kapan?"
"Weekend ini! Mama ada acara disana!"
"Ikuuuttt Dee!"
"Nanti Baby Vin siapa yang ngurusin, Bego!"
"Lo lama ga di Sydney?"
"Cuma tiga hari sih. Senin malem balik kesini lagi, Selasa gue sekolah!"
"Oke Dee! call me! You have to call me and tell me everything!"
"Sure! Kalian lagi ngomongin apa sih?"
Gue melihat beberapa teman tampak serius mengobrol tidak memedulikan kabar cetar yang gue bawa.
"Sarah punya pacar!" Bisik Max saat Sarah keluar kelas.
"Whaaat!! Siapaa?"
"Anak SMP katanya! SMP mana Tim?"
"PCW!"
Wuuuhhh! PCW adalah salah satu sekolah Swasta favorit dan terkenal di daerah Armadale.
Sarah memang memiliki Kakak perempuan yang sekolah disana jadi tidak heran jika dia banyak kenal anak PCW, tapi pacaran?
Papa selalu bilang masih SD ga boleh pacaran Dee, kamu tau kenapa? Karena SD di negara kita itu seragamnya Merah Putih kayak bendera. Warnanya masih dikasih hormat, masih polos, suci dan lugu, kayak anak kecil yang murni. Jadi yang seragamnya merah putih itu masih sesuci bendera, belum layak pacaran wkwkkw
Bukan, bukan. Papa tidak pernah bilang begitu wkwkw!
Papa bilang usia TWEEN (antara 9-12 tahun) adalah usia perkembangan yang sakral, gue selalu disuruh sibuk mengikuti kegiatan ini itu agar otak gue terbiasa berpikir karena kebiasaan yang ditanamkan di usia tersebut akan membentuk keteraturan dan disiplin rutinitas. Usia-usia tersebut hanya memikirkan: Just Do, jadi harus diarahkan ke kegiatan-kegiatan positif. Jika tidak maka akan tertelan ke dalam kemalasan atau sosial media yang pola pikirnya akan terbawa sampai dewasa. Papa memang tidak membiarkan gue nganggur saat gue SD selain saat baca. Jadi gue tidak pernah punya waktu untuk melamun tentang pria atau punya waktu untuk curi-curi hangout bersama begundal tukang bully.
Mendengar Sarah sudah punya pacar memang menjadi bahan pikiran buat gue. Dia tidak pernah cerita apa-apa ke gue tentang pacar. Kami selalu sibuk membicarakan buku atau komik atau...
Oh...mungkin gue bukan teman yang baik!
Gue seketika sadar selama ini selalu tentang gue dan Max, pertemanan kami selalu terisi cerita tentang gue dan Max tanpa gue pernah tanya apa kesukaan Sarah, bagaimana kegiatan weekend Sarah saat tidak bersama gue dan Max...
Gue mencari Sarah di kamar mandi dan menemukan dia sedang ngobrol bersama Cindy.
"Sarah!"
"Ya Dee?"
"Gue denger--" Gue melihat Cindy.
"Gue punya pacar?" Tebak Sarah. Gue mengangguk.
"Udah lama! Glenn anak PCW, temennya Debbie (Kakaknya)!" kata Cindy.
"Oh. How is he? Is he nice?" Gue ikutan bersandar di tembok kamar mandi.
"He is handsome!" Jawab Cindy yang tampaknya sudah tau Glenn.
"Kita sering ketemu kok kalo pulang sekolah! Glenn sengaja gitu naik tram kesini buat bareng! Bayangin dari Armadale ke North Melbourne!"
"Oh. Jadi itu kenapa Mama lo ga pernah jemput lo lagi?"
"Iya!" Jawab Sarah sumringah.
"How is it?"
"How what?"
"Rasanya punya pacar?"
Sarah dan Cindy tertawa kompak.
"Rasanya kayak lo yang ngefans sama Shane Filan, majang poster di kamar, tapi bedanya Shane Filan lo ada di depan mata dan bisa lo peluk terus lo cium hihihi!"
Ah ketaun kan gue ngefans Shane Filan wkwkw
Gue menggeleng tak paham karena memang gue tidak paham. Gue sering ditanya Papa apa yang akan kamu lakukan kalo kamu ketemu sama Westlife, Dee?
Gue tidak tau! Nyanyi mungkin?? Atau teriak UWAAWW UWAAW!! Tapi perumpamaan Sarah tidak mampu gue cerna. Gue tidak pernah membayangkan mencium Shane Filan! Gue tidak pernah membayangkan mencium pria manapun selain Papa!
"The time will come Dee! Someday lo akan jatuh cinta dan lo akan tau rasanya! Mungkin Maxwell?" Canda Cindy.
"No, there's nothing like that between Maxwell and I."
"Are you sure? Friendship selalu berujung cinta kok! Beat me to it!" Yakin Sarah.
"No. Not Maxwell." Gue masih berusaha mengelak.
"Have you ask Max?" Tambah Cindy. Gue hanya menggeleng.
Obrolan ini malah jadi membuat gue terpojok. Gue meninggalkan mereka berdua namun tetap saja tak bisa berhenti berpikir tentang itu. Gue tidak akan pernah mananyakan ini pada Max. Kami berdua tau kami tidak seperti itu. Gue rasa.
Mama sudah mengepak pakaian yang akan gue bawa ke Sydney. Gue sedang mengemasi jajan di dapur saat Papa sambil berdendang Sway masuk dari pintu belakang. Di telinganya ada earphone yang masih tersambung ke walkmannya. Dia letakkan tasnya di meja dapur dan melakukan dansa sendiri, membuat gue tertawa cekikikan.
I can hear the sounds of violins
Long before it begins
Make me thrill as only you know how
Sway me smooth, sway me now
Nyanyinya saat ia tarik tangan gue dan me-loudspeaker walkmannya. Gue sering melihat Mama berdansa, gue tau cara berdansa. Gue ikuti gerak langkah Papa, satu satu, dua dua, spin, and catch! Papa sendiri sudah terlatih karena sempat mengikuti kelas Mama beberapa kali dan mereka berdua sering berdansa di rumah. Dengan cekatan Papa memimpin kaki gue melakukan Tango.
"I can copy Mama!" Gue melakukan solo dance seperti Mama sambil berjinjit menirukan Mama yang selalu berheels tinggi.
"You did better, Girl! Yeah!"
Dansa kami berakhir dengan gue di pelukan Papa.
"Hahahah! Kamu emang anaknya Gendis! You have her talent in you! Wonderful Diajeng as always!" Papa bertepuk tangan dan gue membungkuk-bungkukkan badan seakan-akan berterima kasih kepada audience.
"Udah selesai packingnya?"
"Udah, Mama udah siapin bajunya! Dee lagi nyari jajan buat dibawa!"
Papa membantu gue mengumpulkan snack dan memasukkannya ke tas.
"Jam berapa sih Pa pesawatnya?"
"Jam empat, empat jam lagi, makanya ayo cepetan! Mama bentar lagi jemput kita!"
Gue sempatkan memasukkan kamera Kodak dengan empat rol film ke tas punggung gue, kamera milik Max dan rol yang kami beli berdua untuk mengabadikan kunjungan gue di Sydney.
Perjalanan ke Sydney membutuhkan dua jam dengan pesawat. Mama duduk bersama timnya di kursi yang terpisah dengan kami, namun beberapa kali dia melambaikan tangannya kepada kami, memberikan blow-kiss dan memesankan eskrim untuk gue dan wine untuk Papa ke pramugari dengan disertai catatan kecil: "I Love You, Both!"
"Pa?"
"Yeah?"
"Sarah punya pacar."
"Oh! Siapa?"
"Anak PCW."
Papa tidak berkomentar apa-apa.
"Emang iya Pa Max bisa cinta ke Dee kayak Sarah sama pacarnya?"
"Umm--"
"Hey, Love!" Mama menghampiri kami dan mencium pipi Papa lalu pipi gue. Papa berdiri untuk memberi kursinya ke Mama dan dia jongkok disamping Mama.
Obrolan gue dan Papa terhenti karena Mama dan Papa mengobrol tentang hotel yang akan kami tempati. Lalu gue tertidur sebelum obrolan mereka selesai.
Malam itu gue sudah segar setelah tidur di pesawat dan di jalan menuju hotel. Rangkaian acara dimulai malam itu juga.
Gue duduk bersebelahan dengan Papa di gedung icon terbesar Sydney!
Panggung dengan pemain orkestranya tertata elegan di auditorium. Semua pria mengenakan jas, semua wanita mengenakan dress, termasuk gue dengan dress terusan bermodel Sailor Dress berwarna navy. Papa dengan setelan jas dan celana hitam, kemeja berwarna lilac dan dasi navi bermotif dot silver.
Antara excited berada dalam gedung SOH, tidak sabar melihat Mama yang akan tampil di panggung megah, penuhnya orang-orang yang berpakaian rapi, serta aroma gedung yang wangi dan segar, gue terus mengoceh tentang banyak hal dan berbinar melihat sekeliling! Gue terus menggenggam tangan Papa! Gue ingin menangis saking senangnya!
Pertunjukan dimulai. Pembawa acara laki-laki dan perempuan naik panggung bergandengan tangan dan membaca sambutan ini itu seperti pembawa acara Oscar.
Gue tidak peduli yang mereka katakan! Gue hanya menunggu nama Mama disebut dan Mama gue tampil! Mama akan membawakan dansa pembuka di acara besar itu! OPENING DANCE!! The Great Dance Teacher will dance! Its like THE BEST OF THE BEST DANCER!
".....Gendis Prameswari!"
"PAPAAA ITU MAMAAAA!!"
Papa harus menarik gue untuk duduk anteng karena kaki ini ingin terus berdiri bahkan mungkin lari lalu duduk sila di atas panggung!
Pembawa acara turun dari panggung. Cahaya diredupkan dan musik Libertango oleh Astor Piazolla dimulai oleh para pemain orkestra.
Mama keluar dari pintu samping panggung dengan dress 3/4 berwarna hitam yang terbelah hingga ke pangkal paha kanannya, satu lengannya berlengan panjang dan lengan lainnya telanjang. Otot lengan dan pahanya yang toned dan putih terpampang seksi dengan warna kontras dressnya. Heels runcing tinggi tampak tak menjadi masalah baginya untuk bergerak cepat loncat kesana-sini.
Lalu pasangannya keluar dari sisi panggung yang lain.
Dengan gerakan masing-masing yang tegas, sensual dan cepat, mereka saling mendekat satu sama lain.
Tidak ada bahasa yang lebih seksi dibanding dansa. Puisi paling sensual oleh EE Cumming, Allen Ginsberg, H.D., atau Adrienne Rich pun masih tidak bisa mengalahkan sensualitas Tango. Orang mungkin tidak bisa menikmati frasa dalam buku atau orang juga tidak bisa menikmati sisi sensual dari sebuah musik, tapi saat musik dipadukan dengan dansa Tango, saat itulah gue mengerti bahwa Divine is There. Semua orang bisa memahami artinya. Sensualitas yang terterjemahkan secara universal.
Its more than a movement. Its more than a music. It is a language. It is the ultimate language.
Mama dan pasangannya bertemu di tengah panggung. Dia memeluk Mama dari belakang, tangan kirinya di perut Mama, tangan kanannya di paha Mama, bersama-sama mereka menatap audience, menatap gue dan Papa yang duduk tepat di depan panggung....
.....saat itulah ingatan gue mengalir seperti air dam yang bendungannya ambruk.
Gue mengingat wajahnya.
Him. Dia.
Yang bercumbu dengan Mama di dalam hotel di Kuala Lumpur. Setahun silam.
Run Dee. Run.
Cry Dee. Cry.
Scream Dee. Scream.
Fall Dee. Fall.
Gue lari dari dalam auditorium. Gue berlari tanpa arah, tapi gue hanya ingin keluar dari dalam sana....
Gue tidak bisa melihat apa-apa karena air mata sudah membuat pandangan gue buram....
"DIAJENG!" Tangkapan lengannya di tubuh gue yang masih ingin terus berlari membuat gue terjatuh dan terguling di atas lantai berkarpet.
"Papa...Papa...where are you Papa!"
"I am here, Ajeng! Papa is here! Ada apa Ajeng??"
Gue terus menangis dan Papa hanya bisa menggendong gue untuk kembali ke kamar hotel.
Little Dee tidak berhenti menangis. Hatinya masih terlalu kecil untuk bisa menyimpan rahasia lebih lama lagi. Kakinya masih terlalu pendek untuk meneruskan berjalan d tempat asing yang tidak ia ketahui.
Papa berlutut di hadapan Little Dee.
"Diajeng?"
"That man over there, yang dansa sama Mama...Mama dan dia...di hotel Kuala Lumpur...mereka..."
Little Dee kesulitan menyusun cerita yang ingin dia sampaikan. Tapi Bramanti adalah pria yang sangat cerdas untuk sekedar bisa menebak arah cerita Little Dee.
"Oh God....."
Papa tidak menyentuh oat dan yoghurt yang sudah gue siapkan. Secangkir kopi di sisi kanan mangkok sarapannya juga hanya dia minum sekali. Koran di sisi kiri mangkok masih terlipat rapi tidak ia sentuh sama sekali. Matanya menatap gue penuh selidik dengan kedua tangan terlipat rapi di atas meja. Papa membungkukkan badannya mendekat ke gue yang duduk tepat di hadapannya. Masih tidak bicara apa-apa.
Gue hanya menatapnya sesekali antara novel yang sedang gue baca, Atonement oleh Ian McEwan.
Suara heels Mama yang sedang menuruni tangga marmer dari lantai dua menciptakan echo ketukan hingga ke dapur. Tak lama kemudian dia hadir di meja sarapan dengan wrap dress hijau lumut bermotif abstrak coretan berwarna silver. Rambutnya sudah berwarna auburn padahal kemarin masih berwarna hitam.
"Good morning, My Love! Good morning, Baby Dee!" Mama mencium pipi Papa.
"Good morning to you too, Sexy!" Jawab Papa.
"Good morning Mother."
I've never had a moment's doubt. I love you. I believe in you completely. You are my dearest one. My reason for life. Cee.
Gue membaca tepat di baris itu, saat:
"Aku ga tau kamu pernah ke Amsterdam, Bram! Kapan kamu beli kemeja di Amsterdam kalo gitu?"
"YES THAT'S IT! Itu bukan punyaku, Gendis!" Senyum Papa melebar dan terseringai ke arah gue. Oh.
"Kemeja siapa dong itu di jemuran?"
"Cuma bertiga yang hidup di rumah ini! Kalo kamu dan aku ga tau, siapa lagi yang tau!" Papa tertawa melihat gue seksama.
"Punya Max." Jawab gue masih tidak menghiraukan dua orang yang menatap gue curious.
"Nope! Its not!" Sergah Papa.
"Why not?" Lawan gue.
"Itu Laundry Industry loh merknya, tokonya cuma ada di Amsterdam, ga ada di Australia, Sayang!" Jawab Mama.
"Hahaha! Funny! Sekarang orang bisa belanja online beli dimana aja darimana aja!"
"Not that one! Seenggaknya Max ga akan pilih brand itu! I know Max!" Kilah Papa.
"Nonsense!" Potong gue.
"Oh come on!! Papa tau itu kemejanya siapa! Celananya siapa! Jasnya siapa! Boxernya siapa! Kamu tidur sama Hans ya?? Hihihih!"
"NOO!!"
"Masa sih? Baju dia udah kamu cuciin sampe dalemannya! Udah siap jadi istri Hans ya?" Kejar Papa.
"No. Kami ga ngapa-ngapain! Itu cuma kehujanan dan ketinggalan di mobil, jadi aku cuciin!"
"Hmm....I dont believe you Dee! Come on! Tell me more!" Desak Papa diantara tawanya yang meledek.
Sarapan gue sudah habis. Gue berdiri dari meja, mencuci mangkok bekas gue. Papa masih mengikuti gue dengan matanya.
"Ayolah Dee! Papa kan pengen tau anak gadisnya diperawanin siapa! Hahahaha!"
"Dont worry, Father! I am still a virgin! You can sacrifice me to Satan!" Jawab gue kesal.
Sudah dua malam berlalu sejak malam itu. Gue masih kesal dengan sikap Hansen. Gue kesal karena gue sudah mengijinkan dia tapi dia membuat gue kentang, lalu dia tidak menelepon atau mengSMS gue terkait malam itu! Seakan-akan menjadi virgin adalah aib buat gue!! Setidaknya itu yang gue rasakan dari penolakan Hans.
"Yah! Ga ada cerita hot pagi ini, Dis! Eh eh! Nebeng ke kantor ya, Cantik! HANSEN GA MAU JEMPUT BOSNYA NIH!" Papa masih berusaha meledek gue yang memilih melanjutkan membaca di ruang TV menjauh dari Papa dan Mama.
Ding. Panjang umur, baru aja gue batin, dia SMS.
Quote:
========
"MAXWEELLLL!!!" Gue berteriak memanggil nama Max sambil berlari memasuki ruang kelas. Max sedang ngobrol bersama Sarah dan teman-teman yang lain saat ia menoleh ke arah pintu.
"Gue mau ke Sydney Opera House!!" Gue angkat kedua tangan gue tinggi-tinggi. Max terbelalak.
"Serius??"
Gue mengangguk berkali-kali. Beberapa teman ikut kagum, beberapa biasa saja. Yang kagum adalah yang belum pernah kesana dan pengen kesana, yang biasa saja adalah yang sudah pernah kesana atau iri belum pernah kesana wkwkwk. Kids!
"Kapan?"
"Weekend ini! Mama ada acara disana!"
"Ikuuuttt Dee!"
"Nanti Baby Vin siapa yang ngurusin, Bego!"
"Lo lama ga di Sydney?"
"Cuma tiga hari sih. Senin malem balik kesini lagi, Selasa gue sekolah!"
"Oke Dee! call me! You have to call me and tell me everything!"
"Sure! Kalian lagi ngomongin apa sih?"
Gue melihat beberapa teman tampak serius mengobrol tidak memedulikan kabar cetar yang gue bawa.
"Sarah punya pacar!" Bisik Max saat Sarah keluar kelas.
"Whaaat!! Siapaa?"
"Anak SMP katanya! SMP mana Tim?"
"PCW!"
Wuuuhhh! PCW adalah salah satu sekolah Swasta favorit dan terkenal di daerah Armadale.
Sarah memang memiliki Kakak perempuan yang sekolah disana jadi tidak heran jika dia banyak kenal anak PCW, tapi pacaran?
Papa selalu bilang masih SD ga boleh pacaran Dee, kamu tau kenapa? Karena SD di negara kita itu seragamnya Merah Putih kayak bendera. Warnanya masih dikasih hormat, masih polos, suci dan lugu, kayak anak kecil yang murni. Jadi yang seragamnya merah putih itu masih sesuci bendera, belum layak pacaran wkwkkw
Bukan, bukan. Papa tidak pernah bilang begitu wkwkw!
Papa bilang usia TWEEN (antara 9-12 tahun) adalah usia perkembangan yang sakral, gue selalu disuruh sibuk mengikuti kegiatan ini itu agar otak gue terbiasa berpikir karena kebiasaan yang ditanamkan di usia tersebut akan membentuk keteraturan dan disiplin rutinitas. Usia-usia tersebut hanya memikirkan: Just Do, jadi harus diarahkan ke kegiatan-kegiatan positif. Jika tidak maka akan tertelan ke dalam kemalasan atau sosial media yang pola pikirnya akan terbawa sampai dewasa. Papa memang tidak membiarkan gue nganggur saat gue SD selain saat baca. Jadi gue tidak pernah punya waktu untuk melamun tentang pria atau punya waktu untuk curi-curi hangout bersama begundal tukang bully.
Mendengar Sarah sudah punya pacar memang menjadi bahan pikiran buat gue. Dia tidak pernah cerita apa-apa ke gue tentang pacar. Kami selalu sibuk membicarakan buku atau komik atau...
Oh...mungkin gue bukan teman yang baik!
Gue seketika sadar selama ini selalu tentang gue dan Max, pertemanan kami selalu terisi cerita tentang gue dan Max tanpa gue pernah tanya apa kesukaan Sarah, bagaimana kegiatan weekend Sarah saat tidak bersama gue dan Max...
Gue mencari Sarah di kamar mandi dan menemukan dia sedang ngobrol bersama Cindy.
"Sarah!"
"Ya Dee?"
"Gue denger--" Gue melihat Cindy.
"Gue punya pacar?" Tebak Sarah. Gue mengangguk.
"Udah lama! Glenn anak PCW, temennya Debbie (Kakaknya)!" kata Cindy.
"Oh. How is he? Is he nice?" Gue ikutan bersandar di tembok kamar mandi.
"He is handsome!" Jawab Cindy yang tampaknya sudah tau Glenn.
"Kita sering ketemu kok kalo pulang sekolah! Glenn sengaja gitu naik tram kesini buat bareng! Bayangin dari Armadale ke North Melbourne!"
"Oh. Jadi itu kenapa Mama lo ga pernah jemput lo lagi?"
"Iya!" Jawab Sarah sumringah.
"How is it?"
"How what?"
"Rasanya punya pacar?"
Sarah dan Cindy tertawa kompak.
"Rasanya kayak lo yang ngefans sama Shane Filan, majang poster di kamar, tapi bedanya Shane Filan lo ada di depan mata dan bisa lo peluk terus lo cium hihihi!"
Ah ketaun kan gue ngefans Shane Filan wkwkw
Gue menggeleng tak paham karena memang gue tidak paham. Gue sering ditanya Papa apa yang akan kamu lakukan kalo kamu ketemu sama Westlife, Dee?
Gue tidak tau! Nyanyi mungkin?? Atau teriak UWAAWW UWAAW!! Tapi perumpamaan Sarah tidak mampu gue cerna. Gue tidak pernah membayangkan mencium Shane Filan! Gue tidak pernah membayangkan mencium pria manapun selain Papa!
"The time will come Dee! Someday lo akan jatuh cinta dan lo akan tau rasanya! Mungkin Maxwell?" Canda Cindy.
"No, there's nothing like that between Maxwell and I."
"Are you sure? Friendship selalu berujung cinta kok! Beat me to it!" Yakin Sarah.
"No. Not Maxwell." Gue masih berusaha mengelak.
"Have you ask Max?" Tambah Cindy. Gue hanya menggeleng.
Obrolan ini malah jadi membuat gue terpojok. Gue meninggalkan mereka berdua namun tetap saja tak bisa berhenti berpikir tentang itu. Gue tidak akan pernah mananyakan ini pada Max. Kami berdua tau kami tidak seperti itu. Gue rasa.
Mama sudah mengepak pakaian yang akan gue bawa ke Sydney. Gue sedang mengemasi jajan di dapur saat Papa sambil berdendang Sway masuk dari pintu belakang. Di telinganya ada earphone yang masih tersambung ke walkmannya. Dia letakkan tasnya di meja dapur dan melakukan dansa sendiri, membuat gue tertawa cekikikan.
I can hear the sounds of violins
Long before it begins
Make me thrill as only you know how
Sway me smooth, sway me now
Nyanyinya saat ia tarik tangan gue dan me-loudspeaker walkmannya. Gue sering melihat Mama berdansa, gue tau cara berdansa. Gue ikuti gerak langkah Papa, satu satu, dua dua, spin, and catch! Papa sendiri sudah terlatih karena sempat mengikuti kelas Mama beberapa kali dan mereka berdua sering berdansa di rumah. Dengan cekatan Papa memimpin kaki gue melakukan Tango.
"I can copy Mama!" Gue melakukan solo dance seperti Mama sambil berjinjit menirukan Mama yang selalu berheels tinggi.
"You did better, Girl! Yeah!"
Dansa kami berakhir dengan gue di pelukan Papa.
"Hahahah! Kamu emang anaknya Gendis! You have her talent in you! Wonderful Diajeng as always!" Papa bertepuk tangan dan gue membungkuk-bungkukkan badan seakan-akan berterima kasih kepada audience.
"Udah selesai packingnya?"
"Udah, Mama udah siapin bajunya! Dee lagi nyari jajan buat dibawa!"
Papa membantu gue mengumpulkan snack dan memasukkannya ke tas.
"Jam berapa sih Pa pesawatnya?"
"Jam empat, empat jam lagi, makanya ayo cepetan! Mama bentar lagi jemput kita!"
Gue sempatkan memasukkan kamera Kodak dengan empat rol film ke tas punggung gue, kamera milik Max dan rol yang kami beli berdua untuk mengabadikan kunjungan gue di Sydney.
Perjalanan ke Sydney membutuhkan dua jam dengan pesawat. Mama duduk bersama timnya di kursi yang terpisah dengan kami, namun beberapa kali dia melambaikan tangannya kepada kami, memberikan blow-kiss dan memesankan eskrim untuk gue dan wine untuk Papa ke pramugari dengan disertai catatan kecil: "I Love You, Both!"
"Pa?"
"Yeah?"
"Sarah punya pacar."
"Oh! Siapa?"
"Anak PCW."
Papa tidak berkomentar apa-apa.
"Emang iya Pa Max bisa cinta ke Dee kayak Sarah sama pacarnya?"
"Umm--"
"Hey, Love!" Mama menghampiri kami dan mencium pipi Papa lalu pipi gue. Papa berdiri untuk memberi kursinya ke Mama dan dia jongkok disamping Mama.
Obrolan gue dan Papa terhenti karena Mama dan Papa mengobrol tentang hotel yang akan kami tempati. Lalu gue tertidur sebelum obrolan mereka selesai.
Malam itu gue sudah segar setelah tidur di pesawat dan di jalan menuju hotel. Rangkaian acara dimulai malam itu juga.
Gue duduk bersebelahan dengan Papa di gedung icon terbesar Sydney!
Panggung dengan pemain orkestranya tertata elegan di auditorium. Semua pria mengenakan jas, semua wanita mengenakan dress, termasuk gue dengan dress terusan bermodel Sailor Dress berwarna navy. Papa dengan setelan jas dan celana hitam, kemeja berwarna lilac dan dasi navi bermotif dot silver.
Antara excited berada dalam gedung SOH, tidak sabar melihat Mama yang akan tampil di panggung megah, penuhnya orang-orang yang berpakaian rapi, serta aroma gedung yang wangi dan segar, gue terus mengoceh tentang banyak hal dan berbinar melihat sekeliling! Gue terus menggenggam tangan Papa! Gue ingin menangis saking senangnya!
Pertunjukan dimulai. Pembawa acara laki-laki dan perempuan naik panggung bergandengan tangan dan membaca sambutan ini itu seperti pembawa acara Oscar.
Gue tidak peduli yang mereka katakan! Gue hanya menunggu nama Mama disebut dan Mama gue tampil! Mama akan membawakan dansa pembuka di acara besar itu! OPENING DANCE!! The Great Dance Teacher will dance! Its like THE BEST OF THE BEST DANCER!
".....Gendis Prameswari!"
"PAPAAA ITU MAMAAAA!!"
Papa harus menarik gue untuk duduk anteng karena kaki ini ingin terus berdiri bahkan mungkin lari lalu duduk sila di atas panggung!
Pembawa acara turun dari panggung. Cahaya diredupkan dan musik Libertango oleh Astor Piazolla dimulai oleh para pemain orkestra.
Mama keluar dari pintu samping panggung dengan dress 3/4 berwarna hitam yang terbelah hingga ke pangkal paha kanannya, satu lengannya berlengan panjang dan lengan lainnya telanjang. Otot lengan dan pahanya yang toned dan putih terpampang seksi dengan warna kontras dressnya. Heels runcing tinggi tampak tak menjadi masalah baginya untuk bergerak cepat loncat kesana-sini.
Lalu pasangannya keluar dari sisi panggung yang lain.
Dengan gerakan masing-masing yang tegas, sensual dan cepat, mereka saling mendekat satu sama lain.
Tidak ada bahasa yang lebih seksi dibanding dansa. Puisi paling sensual oleh EE Cumming, Allen Ginsberg, H.D., atau Adrienne Rich pun masih tidak bisa mengalahkan sensualitas Tango. Orang mungkin tidak bisa menikmati frasa dalam buku atau orang juga tidak bisa menikmati sisi sensual dari sebuah musik, tapi saat musik dipadukan dengan dansa Tango, saat itulah gue mengerti bahwa Divine is There. Semua orang bisa memahami artinya. Sensualitas yang terterjemahkan secara universal.
Its more than a movement. Its more than a music. It is a language. It is the ultimate language.
Mama dan pasangannya bertemu di tengah panggung. Dia memeluk Mama dari belakang, tangan kirinya di perut Mama, tangan kanannya di paha Mama, bersama-sama mereka menatap audience, menatap gue dan Papa yang duduk tepat di depan panggung....
.....saat itulah ingatan gue mengalir seperti air dam yang bendungannya ambruk.
Gue mengingat wajahnya.
Him. Dia.
Yang bercumbu dengan Mama di dalam hotel di Kuala Lumpur. Setahun silam.
Run Dee. Run.
Cry Dee. Cry.
Scream Dee. Scream.
Fall Dee. Fall.
Gue lari dari dalam auditorium. Gue berlari tanpa arah, tapi gue hanya ingin keluar dari dalam sana....
Gue tidak bisa melihat apa-apa karena air mata sudah membuat pandangan gue buram....
"DIAJENG!" Tangkapan lengannya di tubuh gue yang masih ingin terus berlari membuat gue terjatuh dan terguling di atas lantai berkarpet.
"Papa...Papa...where are you Papa!"
"I am here, Ajeng! Papa is here! Ada apa Ajeng??"
Gue terus menangis dan Papa hanya bisa menggendong gue untuk kembali ke kamar hotel.
Little Dee tidak berhenti menangis. Hatinya masih terlalu kecil untuk bisa menyimpan rahasia lebih lama lagi. Kakinya masih terlalu pendek untuk meneruskan berjalan d tempat asing yang tidak ia ketahui.
Papa berlutut di hadapan Little Dee.
"Diajeng?"
"That man over there, yang dansa sama Mama...Mama dan dia...di hotel Kuala Lumpur...mereka..."
Little Dee kesulitan menyusun cerita yang ingin dia sampaikan. Tapi Bramanti adalah pria yang sangat cerdas untuk sekedar bisa menebak arah cerita Little Dee.
"Oh God....."
Diubah oleh ladeedah 27-08-2019 03:58
kicquck memberi reputasi
1
. Mau ditambah bumbu rempah dari India, Spanyol, Meksiko, Italia, Prancis, tetep aja susah buat ga boring. Atau mungkin real life gue aja yang boring ya 

