- Beranda
- Stories from the Heart
The Way You Are
...
TS
ladeedah
The Way You Are
Quote:
Friendship is not always about finishing each other's sentences or remind you to the lyrics you forget. Many times, friendship is about how fluent are both of you in speaking silence.
-- Maxwell.
INDEKS
Spoiler for Indeks:
Diubah oleh ladeedah 08-09-2019 07:30
evywahyuni dan 11 lainnya memberi reputasi
12
24.9K
185
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ladeedah
#58
The Bittersweet
Saat itu summer. Hujan tidak terasa dingin meskipun pakaian kami sudah basah kuyup lantaran deras yang tidak berkurang intensitasnya.
"You're sweet." Hans masih tidak melepaskan pelukannya. Tetap erat dan ujung hidung kami bertabrakan diantara deru nafas yang tak juga teratur.
"You're wet!" Lirih gue saat tetesan air dari wajahnya membasahi wajah gue.
"Are you wet?" Disertai itu Hans menekan something hard down there to mine.
"Please, no." Gue daratkan kecupan tipis di bibirnya.
"Why?"
"Just. No."
Hans tertawa dan melonggarkan pelukannya.
"I am sorry." Lirihnya.
"Wait here!" Gue buka pintu belakang dan mengambil payung.
"Ada baju Max disini, bisa kamu pake dulu." Gue mencari-cari celana training dan hoodie Max di dalam sport bag di jok belakang. Tubuh Hans dan Max tidak jauh beda baik besar dan tingginya jadi gue yakin pasti cukup.
"Sini aku pegangin payungnya! Kamu bisa lepas baju kamu dan pake baju keringnya di dalem!" Perintah gue. Hans tidak bergerak.
"What?" Ulangnya tak percaya.
"Aku ga akan liat! Come on Hansen!"
Lagipula gelap. Tapi lampu depan mobil yang menyala tetap memendarkan cahaya ke sekitar.
"Kamu kan udah sering telanjang depan perempuan, kenapa masih ragu!" Gue bersandar di pintu sambil memegang payung. Hans mulai membuka kancing kemejanya.
"Ga dalam keadaan kayak gini juga, Dee."
Gue lihat tubuh yang mulai terlucuti pakaiannya. He's hot. Of course Hans is hot!
"Are you looking at me?"
"Yeah."
Hans tidak melepas boxernya. Dia menyelinap lewat pintu depan dengan gue masih memayungi dia. Gue memutari mobil ke arah kursi kemudi, melepas kaos dan celana jeans pendek di luar mobil, menyisakan bra dan celana dalam, lalu masuk ke dalam mobil.
Gue nyalakan lampu dalam dan heater.
Hans beberapa kali melirik dengan senyum nervousnya.
Dua orang manusia dalam pakaian dalam masing-masing yang basah kuyup duduk bersebelahan di dalam mobil. Hans tetap dengan senyum gugupnya yang aneh dan gue masih lempeng sibuk mencari-cari barang di jok belakang. Boxernya yang berwarna hitam jelas basah total karena tampak kilatan air dari cahaya lampu.
"What?" Tanya gue.
"Kamu bener-bener punya segalanya di belakang situ?"
"Ini anduk! Ada boxernya Max disitu tapi aku ga yakin kamu mau pake, jadi langsung ganti aja!" Gue berikan juga setelan hoddie-celana ke Hans.
Gue raih selimut dan melepas semua pakaian dalam gue dan ganti dengan piyama.
"Nice tattoo!" Ucap gue saat melihat tato wajah serigala di dada kanannya.
"Yours too!" Balasnya sambil melihat leher gue.
"Kamu sering pergi jauh sama Max?" Hans mengamati piyama pendek berwarna pink di badan gue.
"Haha yeah! Seperti yang dia bilang, kami sering driving without destination, jadi aku selalu bawa barang-barang yang kami butuhin tiap saat."
Kami masih duduk di kursi masing-masing. Gue ambil Tanqueray. Gue tawarkan pada Hans dan dia hanya menggeleng.
"Aku aja yang nyetir!" Tawarnya saat melihat gue menenggak Tanqueray. Kami pun bertukar tempat dan kembali meresume perjalanan.
Efek alkohol membuat hangat dan enteng kepala gue. Gue masih meringkuk di kursi dan Hans beberapa kali menoleh ke gue meskipun kami tidak berkata apa-apa.
"Ada apa Hans?" Gue selonjorkan kaki di atas jok bermodel bench seat hingga ke atas pangkuannya. Hans mengelus kaki gue hingga ke lutut.
"Kissing tadi buat apa?"
"Aku selalu pengen nyobain kissing pas hujan."
Hans tertawa.
"Atau kita bisa coba di dalam shower." Tawarnya. Rabaannya di tulang kering gue dengan ujung kukunya membuat gue merinding.
"Why not here when we're dry and warm?" Jawab gue berani.
"Fuck Dee!" Hans menepi dan melepas sabuk pengaman kami untuk menarik gue ke pangkuannya.
"Don't tempt me, Baby!" Desahnya.
Kami kembali berciuman.
"You want it too, don't you?" Bisiknya di antara deru nafasnya sendiri.
Entah efek alkohol atau setan yang ikut campur, gue tidak tau siapa yang lebih dulu melepas atasan kami masing-masing dan Hans sudah berada di atas gue. Berikutnya gue hanya menatap atap mobil dan berusaha menemukan jawaban atas tindakan kami berdua.
Gue tau ini tidak gue inginkan, namun mungkin gue butuhkan.
"Be gentle. I am a virgin, Hansen."
There. Hans langsung terhenyak duduk dan melepaskan gue.
Dia menatap gue seperti Einstein yang baru menemukan Teori Relativitas. Mungkin.
Atau tatapan Po saat tau bahwa si Angsa bukan Bapaknya di Kungfu Panda.
Atau tatapan para manusia normal saat berhadapan dengan Flat Earth Believer.
"What? Kenapa berenti?" Tanya gue saat ia tercengang dan tak melakukan apa-apa.
"You what??" Ulangnya.
"I am a virgin."
"No, you lie!" Sanggahnya. Gue menggeleng pelan, "I am not lying."
"Really? Like a Virgin who never had any sexual intercourse before?"
Gue mengangguk, juga berusaha menemukan penjelasan dari apa salah gue?
"Shit! Lets go home, Dee! Its late."
Tanpa bicara apa-apa apalagi melanjutkan apa-apa, Hansen membawa The Devil menembus kegelapan Dandenong Road.
Hari-hari gue dan Max dihabiskan dengan melatih baby Vin pipis dan poopoo di tempatnya.
Lama-lama lucu juga memiliki puppy. Kami lebih sering main di rumah atau di taman dekat rumah, berlarian dengan baby Vin, berharap dia bisa menangkap bola tenis tapi masih terlalu besar untuk baby Vin. Baby Vin lebih suka squeaky toys, mainan yang ada bunyinya ngik-ngik kalo kepencet. Kami juga pergi ke perpustakaan untuk membaca buku tentang cara membesarkan atau melatih anjing dan menelepon Kakek Max untuk bertanya tentang banyak hal tentang anjing sejenis Vin.
"Dee, Sore ini kita mau pergi ke Williamstown, Papa mau ketemu temen disana, nanti Mama akan jemput kamu di sekolah dan ke kampus Papa, jadi kita berangkat bareng-bareng dari kampus." Papa memberikan kotak makan siang yang sudah diisi untuk gue masukkan ke dalam tas.
"Kenapa ga Papa aja yang jemput Dee?"
"Karena Papa ada jadwal ngelab sampe jam tujuh malem. Nanti kita perginya pake mobil Mama, Papa ga bawa mobil."
Gue mendesah pasrah.
Hubungan gue dan Mama berada dalam ruang vakum sejak Kuala Lumpur.
Sepulang kami dari KL, Mama langsung menerima pekerjaan sebagai pelatih Dance di tempatnya belajar. Mama memang memiliki tubuh yang sangat lentur dan cepat bisa melakukan gerakan-gerakan demikian. Selain kesibukannya melatih dansa, Mama juga sibuk dengan kelas piano dan bahasa Prancisnya.
Papa bukan orang yang akan bilang "inget anak, Dis" saat Mama berangkat kerja jam delapan pagi lalu pulang jam delapan malam setiap hari bahkan weekend.
Papa bukan orang yang akan membebankan pekerjaan mengurus anak apalagi pekerjaan rumah tangga seperti mencuci baju, memasak atau mencuci piring kepada istrinya.
Papa menyukai orang-orang yang sibuk mengembangkan diri dengan sesuatu yang mereka sukai.
Terutama Papa juga menyadari pernikahan muda mereka saat belum lulus sarjana membuat banyak waktu Mama untuk mengembangkan potensi jadi tersita. Ditambah setelah Mama hamil gue dan mengurus Baby Dee hingga Dee sekolah SD, Mama memiliki hak juga untuk mengembangkan diri dan melakukan yang dia sukai.
Papa tidak keberatan berbagi tugas mengurus rumah dan anak saat itu tiba di kesibukan masing-masing. Seumur hidup gue, gue tidak pernah melihat mereka bertengkar gara-gara beban tugas yang tidak seimbang. Papa sangat bisa multitasking dan sangat terorganisasi.
Sejak Mama kerja, gue memang lebih sering bersama Papa. Sering gue hanya melihat Mama di meja sarapan, namun gue tidak tau kapan dia pulang saat malam karena gue sudah tidur. Di akhir pekan, gue juga menghabiskan waktu bersama Papa dan Max. Di malam Minggu kami akan pergi makan malam bersama Mama dan membicarakan bagaimana hari-hari gue di sekolah, kejadian menarik, dan sebagainya.
Rutinitas yang perlahan gue benci setelah KL.
Gue semakin berjarak dengan Mama: tak banyak bicara dan Mama juga mungkin menganggap ini adalah safe-way dalam hubungan kami. Harga yang harus dia bayar mungkin adalah hubungan Ibu-Anak yang renggang, namun selama hubungan Mama-Papa dan Mama-selingkuhannya aman, gue rasa Mama bisa terima itu karena Mama juga tidak berusaha memperbaiki apalagi membicarakan tentang hari itu.
Ekonomi kami membaik. Salah satu sisi yang belum gue pahami tapi membuat gue happy.
Kami pindah ke rumah yang lebih besar sejak Mama kerja. Mama juga bisa membeli mobil baru sendiri, sedan Toyota Corolla berwarna putih untuk dirinya. Gue memiliki banyak baju bagus, mainan bagus, sepatu bagus, dan buku-buku yang bertambah banyak di rumah.
Selama ini biasanya kami akan meminjam buku di perpustakaan umum, tapi sejak Mama kerja, kami mulai membangun perpustakaan mini di rumah sedikit demi sedikit.
Akhirnya gue memiliki lemari buku di kamar gue sendiri yang semakin penuh dengan buku-buku.
What else do I want to have?
Mama tambah cantik,begitu kata Papa karena sejak bekerja dan karena pekerjaannya, Mama memang tambah singset, tambah langsing, tambah enerjik, dan wajahnya yang sudah cantik ia polesi make up yang membuat gue dan dia semakin berjarak seperti Bumi-Saturnus, bukan lagi istana kaca Princess Disney.
Gue bukan anak perempuan yang menandingi penampilannya dengan menjadi Little Princess, pakai dress pink atau tutu kemana-mana. Gue juga tidak pernah mau ikut kelas ballet yang tersedia di tempat Mama mengajar. Antara kami berdua, tidak ada kesamaan selain beberapa bagian wajahnya yang ia turunkan ke gue. Mata, hidung dan bentuk rahang yang terwarisi dari Mama. Hanya itu.
Your Mom is stunning, Dee! adalah pernyataan yang juga selalu gue terima setiap Mama menjemput gue ke sekolah.
Tapi seperti puzzle yang kekurangan satu keping di akhir pengerjaannya, seperti itulah perasaan gue. Gue merasakan amarah dan kebencian pada Mama. Hanya saja gue tidak mengerti mengapa itu terus terpupuk.
Mungkin karena gue tau Papa sibuk mengurusi gue, kuliah, dan rumah, sementara Mama tak pernah di rumah dan Mama mungkin akan hangout dengan teman laki-lakinya sedangkan Papa tidak pernah hangout dengan siapa-siapa selain Dee dan Max?
Atau Papa selalu berusaha hadir di hari-hari perayaan sekolah misalnya 100 Days of School, Harmony Day, atau hari apapun itu namun Mama tidak pernah berusaha untuk libur seharipun buat gue?
Gue muak menunggu Mama latihan karena melihatnya berdansa dengan pria selain Papa hanya mengingatkan gue ke hari itu.
"How are you, Sweetheart?" Mama membuka obrolan saat gue duduk di dalam mobilnya yang beraroma wangi, fresh dan eksklusif. Kami sering bepergian dengan mobil Mama, namun gue tidak menyukainya. Gue menyukai mobil Skoda Fabia milik Papa.
Mobil Papa jelek. Papa beli seken (mungkin udah 3rd, 4th, 5th, bukan 2nd lagi) dengan harga $1300, warnanya biru tua dengan beberapa karatan di bodinya. Mobil Papa juga tidak bisa melakukan perjalanan lebih dari 80 km tanpa ngadat. Mesinnya akan panas dan bahkan pernah berasap saat kami paksakan untuk pergi ke Mount Buller untuk mencoba main ski.
Tidak ada pewangi di mobil Papa, tidak ada musik selain radio yang suaranya cempreng. Bukaan jendela mobilnya juga masih manual dengan putaran, bukan tinggal dipencet otomatis seperti punya Mama.
Tidak ada heater dan AC di mobil Papa. Tapi gue suka karena Papa akan selalu menyanyi saat Hey Jude atau Yesterday atau lagu-lagu The Beatles terputar. Papa juga akan menyanyi saat ada nyanyian Andy Williams atau Perry Como di radio.
Tapi Dee kecil sangat suka saat Papa menyanyi Hey Jude karena Papa akan mengganti liriknya dengan Hey Dee. Papa juga akan menyanyikan Hey Dee saat Dee mengalami hari-hari yang tidak menyenangkan.
Meskipun mobil Papa tidak bisa ngebut, tapi Papa dan Dee akan selalu menemukan lelucon untuk menertawakan mobil kami.
Di mobil itu juga ada kenangan saat Mama belum berubah....
Saat Papa, Mama dan Dee kecil menyanyi dan tertawa tanpa rahasia....
"Not bad." Jawab gue singkat tanpa melihatnya. Mama beberapa kali menoleh ke gue. Tangan kirinya di setir dan tangan kanannya tersandar di jendela mobil sambil jempol tangan kanannya terjepit di antara kedua bibirnya, kebiasaan khasnya saat menyetir santai.
"Mama denger Max udah punya puppy. Kamu bisa punya puppy juga. Rumah kita yang sekarang boleh miara puppy atau kitten."
"Papa belum bolehin."
"Oh why?"
Gue bisa merasakan keanehan jawaban Mama. Bukankah seharusnya Mama tau mengapa Papa melarang gue memelihara binatang. Bukankah mereka seharusnya membicarakan gue sebelum tidur, apa yang gue mau, bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh orang tua? Membicarakan anak-anak mereka? Bukankah itu yang dibuku-buku, orang tua yang saling tau keadaan anak-anak mereka?
Gue makin benci Mama.
"I don't know."
Gue tau, tentu saja gue tau. Papa tidak pernah melarang tanpa alasan yang dijelaskan. Karena Papa, Mama dan kamu sibuk Dee, tidak ada yang bisa urus saat kita ga di rumah. Punya hewan peliharaan besar tanggung jawabnya. Kalo Max bisa karena Mamanya kan di rumah.
"Minggu depan kita mau ke Sydney, Sayang. Mama ada acara besar disana, Mama udah pesen tiket pesawat buat kamu sama Papa. Kalian juga akan dapet kursi VVIP di Sydney Opera House, belum pernah kesana kan kita? Mama juga excited pengen liat!" Kata Mama.
Gue langsung tersenyum senang dan mengangguk mantap saat mendengar Sydney Opera House.
Selama kami di Melbourne, kami hanya pernah ke Hobart (Tasmania) dan Kuala Lumpur, itu juga karena Papa ada konferensi di Hobart dan Mama sedang kompetisi dansa.
Papa menabung dari kerja sampingannya saat ke Hobart agar bisa mengajak kami liburan. Kami bukan keluarga yang mampu untuk jalan-jalan keluar Melbourne kala itu. Kini ada kabar gue akan melihat SOH yang hanya gue lihat gambarnya, gue lupa rasa sedih gue.
I was a kid. I was stupid. Tapi seperti itulah anak-anak, cepat marah dan cepat memaafkan.
"Lama Ma?"
"Tiga hari. Packing ya, secukupnya aja."
Gue mengangguk dan tidak sabar mengabari Max tentang ini. Max juga belum pernah ke SOH dan kali ini giliran gue yang akan pamer liburan!
"I love you, Diajeng, with all of my heart. I am sorry for I couldn't show it as much as your Father." Mama mengelus kepala gue dan mendaratkan ciuman cepat di kepala gue.
"Thank you Mother. I know you are doing your best."
Mama memalingkan wajahnya saat air mata membasahi pipinya namun segera ia usap dengan cepat.
"You're sweet." Hans masih tidak melepaskan pelukannya. Tetap erat dan ujung hidung kami bertabrakan diantara deru nafas yang tak juga teratur.
"You're wet!" Lirih gue saat tetesan air dari wajahnya membasahi wajah gue.
"Are you wet?" Disertai itu Hans menekan something hard down there to mine.
"Please, no." Gue daratkan kecupan tipis di bibirnya.
"Why?"
"Just. No."
Hans tertawa dan melonggarkan pelukannya.
"I am sorry." Lirihnya.
"Wait here!" Gue buka pintu belakang dan mengambil payung.
"Ada baju Max disini, bisa kamu pake dulu." Gue mencari-cari celana training dan hoodie Max di dalam sport bag di jok belakang. Tubuh Hans dan Max tidak jauh beda baik besar dan tingginya jadi gue yakin pasti cukup.
"Sini aku pegangin payungnya! Kamu bisa lepas baju kamu dan pake baju keringnya di dalem!" Perintah gue. Hans tidak bergerak.
"What?" Ulangnya tak percaya.
"Aku ga akan liat! Come on Hansen!"
Lagipula gelap. Tapi lampu depan mobil yang menyala tetap memendarkan cahaya ke sekitar.
"Kamu kan udah sering telanjang depan perempuan, kenapa masih ragu!" Gue bersandar di pintu sambil memegang payung. Hans mulai membuka kancing kemejanya.
"Ga dalam keadaan kayak gini juga, Dee."
Gue lihat tubuh yang mulai terlucuti pakaiannya. He's hot. Of course Hans is hot!
"Are you looking at me?"
"Yeah."
Hans tidak melepas boxernya. Dia menyelinap lewat pintu depan dengan gue masih memayungi dia. Gue memutari mobil ke arah kursi kemudi, melepas kaos dan celana jeans pendek di luar mobil, menyisakan bra dan celana dalam, lalu masuk ke dalam mobil.
Gue nyalakan lampu dalam dan heater.
Hans beberapa kali melirik dengan senyum nervousnya.
Dua orang manusia dalam pakaian dalam masing-masing yang basah kuyup duduk bersebelahan di dalam mobil. Hans tetap dengan senyum gugupnya yang aneh dan gue masih lempeng sibuk mencari-cari barang di jok belakang. Boxernya yang berwarna hitam jelas basah total karena tampak kilatan air dari cahaya lampu.
"What?" Tanya gue.
"Kamu bener-bener punya segalanya di belakang situ?"
"Ini anduk! Ada boxernya Max disitu tapi aku ga yakin kamu mau pake, jadi langsung ganti aja!" Gue berikan juga setelan hoddie-celana ke Hans.
Gue raih selimut dan melepas semua pakaian dalam gue dan ganti dengan piyama.
"Nice tattoo!" Ucap gue saat melihat tato wajah serigala di dada kanannya.
"Yours too!" Balasnya sambil melihat leher gue.
"Kamu sering pergi jauh sama Max?" Hans mengamati piyama pendek berwarna pink di badan gue.
"Haha yeah! Seperti yang dia bilang, kami sering driving without destination, jadi aku selalu bawa barang-barang yang kami butuhin tiap saat."
Kami masih duduk di kursi masing-masing. Gue ambil Tanqueray. Gue tawarkan pada Hans dan dia hanya menggeleng.
"Aku aja yang nyetir!" Tawarnya saat melihat gue menenggak Tanqueray. Kami pun bertukar tempat dan kembali meresume perjalanan.
Efek alkohol membuat hangat dan enteng kepala gue. Gue masih meringkuk di kursi dan Hans beberapa kali menoleh ke gue meskipun kami tidak berkata apa-apa.
"Ada apa Hans?" Gue selonjorkan kaki di atas jok bermodel bench seat hingga ke atas pangkuannya. Hans mengelus kaki gue hingga ke lutut.
"Kissing tadi buat apa?"
"Aku selalu pengen nyobain kissing pas hujan."
Hans tertawa.
"Atau kita bisa coba di dalam shower." Tawarnya. Rabaannya di tulang kering gue dengan ujung kukunya membuat gue merinding.
"Why not here when we're dry and warm?" Jawab gue berani.
"Fuck Dee!" Hans menepi dan melepas sabuk pengaman kami untuk menarik gue ke pangkuannya.
"Don't tempt me, Baby!" Desahnya.
Kami kembali berciuman.
"You want it too, don't you?" Bisiknya di antara deru nafasnya sendiri.
Entah efek alkohol atau setan yang ikut campur, gue tidak tau siapa yang lebih dulu melepas atasan kami masing-masing dan Hans sudah berada di atas gue. Berikutnya gue hanya menatap atap mobil dan berusaha menemukan jawaban atas tindakan kami berdua.
Gue tau ini tidak gue inginkan, namun mungkin gue butuhkan.
"Be gentle. I am a virgin, Hansen."
There. Hans langsung terhenyak duduk dan melepaskan gue.
Dia menatap gue seperti Einstein yang baru menemukan Teori Relativitas. Mungkin.
Atau tatapan Po saat tau bahwa si Angsa bukan Bapaknya di Kungfu Panda.
Atau tatapan para manusia normal saat berhadapan dengan Flat Earth Believer.
"What? Kenapa berenti?" Tanya gue saat ia tercengang dan tak melakukan apa-apa.
"You what??" Ulangnya.
"I am a virgin."
"No, you lie!" Sanggahnya. Gue menggeleng pelan, "I am not lying."
"Really? Like a Virgin who never had any sexual intercourse before?"
Gue mengangguk, juga berusaha menemukan penjelasan dari apa salah gue?
"Shit! Lets go home, Dee! Its late."
Tanpa bicara apa-apa apalagi melanjutkan apa-apa, Hansen membawa The Devil menembus kegelapan Dandenong Road.
============
Hari-hari gue dan Max dihabiskan dengan melatih baby Vin pipis dan poopoo di tempatnya.
Lama-lama lucu juga memiliki puppy. Kami lebih sering main di rumah atau di taman dekat rumah, berlarian dengan baby Vin, berharap dia bisa menangkap bola tenis tapi masih terlalu besar untuk baby Vin. Baby Vin lebih suka squeaky toys, mainan yang ada bunyinya ngik-ngik kalo kepencet. Kami juga pergi ke perpustakaan untuk membaca buku tentang cara membesarkan atau melatih anjing dan menelepon Kakek Max untuk bertanya tentang banyak hal tentang anjing sejenis Vin.
"Dee, Sore ini kita mau pergi ke Williamstown, Papa mau ketemu temen disana, nanti Mama akan jemput kamu di sekolah dan ke kampus Papa, jadi kita berangkat bareng-bareng dari kampus." Papa memberikan kotak makan siang yang sudah diisi untuk gue masukkan ke dalam tas.
"Kenapa ga Papa aja yang jemput Dee?"
"Karena Papa ada jadwal ngelab sampe jam tujuh malem. Nanti kita perginya pake mobil Mama, Papa ga bawa mobil."
Gue mendesah pasrah.
Hubungan gue dan Mama berada dalam ruang vakum sejak Kuala Lumpur.
Sepulang kami dari KL, Mama langsung menerima pekerjaan sebagai pelatih Dance di tempatnya belajar. Mama memang memiliki tubuh yang sangat lentur dan cepat bisa melakukan gerakan-gerakan demikian. Selain kesibukannya melatih dansa, Mama juga sibuk dengan kelas piano dan bahasa Prancisnya.
Papa bukan orang yang akan bilang "inget anak, Dis" saat Mama berangkat kerja jam delapan pagi lalu pulang jam delapan malam setiap hari bahkan weekend.
Papa bukan orang yang akan membebankan pekerjaan mengurus anak apalagi pekerjaan rumah tangga seperti mencuci baju, memasak atau mencuci piring kepada istrinya.
Papa menyukai orang-orang yang sibuk mengembangkan diri dengan sesuatu yang mereka sukai.
Terutama Papa juga menyadari pernikahan muda mereka saat belum lulus sarjana membuat banyak waktu Mama untuk mengembangkan potensi jadi tersita. Ditambah setelah Mama hamil gue dan mengurus Baby Dee hingga Dee sekolah SD, Mama memiliki hak juga untuk mengembangkan diri dan melakukan yang dia sukai.
Papa tidak keberatan berbagi tugas mengurus rumah dan anak saat itu tiba di kesibukan masing-masing. Seumur hidup gue, gue tidak pernah melihat mereka bertengkar gara-gara beban tugas yang tidak seimbang. Papa sangat bisa multitasking dan sangat terorganisasi.
Sejak Mama kerja, gue memang lebih sering bersama Papa. Sering gue hanya melihat Mama di meja sarapan, namun gue tidak tau kapan dia pulang saat malam karena gue sudah tidur. Di akhir pekan, gue juga menghabiskan waktu bersama Papa dan Max. Di malam Minggu kami akan pergi makan malam bersama Mama dan membicarakan bagaimana hari-hari gue di sekolah, kejadian menarik, dan sebagainya.
Rutinitas yang perlahan gue benci setelah KL.
Gue semakin berjarak dengan Mama: tak banyak bicara dan Mama juga mungkin menganggap ini adalah safe-way dalam hubungan kami. Harga yang harus dia bayar mungkin adalah hubungan Ibu-Anak yang renggang, namun selama hubungan Mama-Papa dan Mama-selingkuhannya aman, gue rasa Mama bisa terima itu karena Mama juga tidak berusaha memperbaiki apalagi membicarakan tentang hari itu.
Ekonomi kami membaik. Salah satu sisi yang belum gue pahami tapi membuat gue happy.
Kami pindah ke rumah yang lebih besar sejak Mama kerja. Mama juga bisa membeli mobil baru sendiri, sedan Toyota Corolla berwarna putih untuk dirinya. Gue memiliki banyak baju bagus, mainan bagus, sepatu bagus, dan buku-buku yang bertambah banyak di rumah.
Selama ini biasanya kami akan meminjam buku di perpustakaan umum, tapi sejak Mama kerja, kami mulai membangun perpustakaan mini di rumah sedikit demi sedikit.
Akhirnya gue memiliki lemari buku di kamar gue sendiri yang semakin penuh dengan buku-buku.
What else do I want to have?
Mama tambah cantik,begitu kata Papa karena sejak bekerja dan karena pekerjaannya, Mama memang tambah singset, tambah langsing, tambah enerjik, dan wajahnya yang sudah cantik ia polesi make up yang membuat gue dan dia semakin berjarak seperti Bumi-Saturnus, bukan lagi istana kaca Princess Disney.
Gue bukan anak perempuan yang menandingi penampilannya dengan menjadi Little Princess, pakai dress pink atau tutu kemana-mana. Gue juga tidak pernah mau ikut kelas ballet yang tersedia di tempat Mama mengajar. Antara kami berdua, tidak ada kesamaan selain beberapa bagian wajahnya yang ia turunkan ke gue. Mata, hidung dan bentuk rahang yang terwarisi dari Mama. Hanya itu.
Your Mom is stunning, Dee! adalah pernyataan yang juga selalu gue terima setiap Mama menjemput gue ke sekolah.
Tapi seperti puzzle yang kekurangan satu keping di akhir pengerjaannya, seperti itulah perasaan gue. Gue merasakan amarah dan kebencian pada Mama. Hanya saja gue tidak mengerti mengapa itu terus terpupuk.
Mungkin karena gue tau Papa sibuk mengurusi gue, kuliah, dan rumah, sementara Mama tak pernah di rumah dan Mama mungkin akan hangout dengan teman laki-lakinya sedangkan Papa tidak pernah hangout dengan siapa-siapa selain Dee dan Max?
Atau Papa selalu berusaha hadir di hari-hari perayaan sekolah misalnya 100 Days of School, Harmony Day, atau hari apapun itu namun Mama tidak pernah berusaha untuk libur seharipun buat gue?
Gue muak menunggu Mama latihan karena melihatnya berdansa dengan pria selain Papa hanya mengingatkan gue ke hari itu.
"How are you, Sweetheart?" Mama membuka obrolan saat gue duduk di dalam mobilnya yang beraroma wangi, fresh dan eksklusif. Kami sering bepergian dengan mobil Mama, namun gue tidak menyukainya. Gue menyukai mobil Skoda Fabia milik Papa.
Mobil Papa jelek. Papa beli seken (mungkin udah 3rd, 4th, 5th, bukan 2nd lagi) dengan harga $1300, warnanya biru tua dengan beberapa karatan di bodinya. Mobil Papa juga tidak bisa melakukan perjalanan lebih dari 80 km tanpa ngadat. Mesinnya akan panas dan bahkan pernah berasap saat kami paksakan untuk pergi ke Mount Buller untuk mencoba main ski.
Tidak ada pewangi di mobil Papa, tidak ada musik selain radio yang suaranya cempreng. Bukaan jendela mobilnya juga masih manual dengan putaran, bukan tinggal dipencet otomatis seperti punya Mama.
Tidak ada heater dan AC di mobil Papa. Tapi gue suka karena Papa akan selalu menyanyi saat Hey Jude atau Yesterday atau lagu-lagu The Beatles terputar. Papa juga akan menyanyi saat ada nyanyian Andy Williams atau Perry Como di radio.
Tapi Dee kecil sangat suka saat Papa menyanyi Hey Jude karena Papa akan mengganti liriknya dengan Hey Dee. Papa juga akan menyanyikan Hey Dee saat Dee mengalami hari-hari yang tidak menyenangkan.
Meskipun mobil Papa tidak bisa ngebut, tapi Papa dan Dee akan selalu menemukan lelucon untuk menertawakan mobil kami.
Di mobil itu juga ada kenangan saat Mama belum berubah....
Saat Papa, Mama dan Dee kecil menyanyi dan tertawa tanpa rahasia....
"Not bad." Jawab gue singkat tanpa melihatnya. Mama beberapa kali menoleh ke gue. Tangan kirinya di setir dan tangan kanannya tersandar di jendela mobil sambil jempol tangan kanannya terjepit di antara kedua bibirnya, kebiasaan khasnya saat menyetir santai.
"Mama denger Max udah punya puppy. Kamu bisa punya puppy juga. Rumah kita yang sekarang boleh miara puppy atau kitten."
"Papa belum bolehin."
"Oh why?"
Gue bisa merasakan keanehan jawaban Mama. Bukankah seharusnya Mama tau mengapa Papa melarang gue memelihara binatang. Bukankah mereka seharusnya membicarakan gue sebelum tidur, apa yang gue mau, bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh orang tua? Membicarakan anak-anak mereka? Bukankah itu yang dibuku-buku, orang tua yang saling tau keadaan anak-anak mereka?
Gue makin benci Mama.
"I don't know."
Gue tau, tentu saja gue tau. Papa tidak pernah melarang tanpa alasan yang dijelaskan. Karena Papa, Mama dan kamu sibuk Dee, tidak ada yang bisa urus saat kita ga di rumah. Punya hewan peliharaan besar tanggung jawabnya. Kalo Max bisa karena Mamanya kan di rumah.
"Minggu depan kita mau ke Sydney, Sayang. Mama ada acara besar disana, Mama udah pesen tiket pesawat buat kamu sama Papa. Kalian juga akan dapet kursi VVIP di Sydney Opera House, belum pernah kesana kan kita? Mama juga excited pengen liat!" Kata Mama.
Gue langsung tersenyum senang dan mengangguk mantap saat mendengar Sydney Opera House.
Selama kami di Melbourne, kami hanya pernah ke Hobart (Tasmania) dan Kuala Lumpur, itu juga karena Papa ada konferensi di Hobart dan Mama sedang kompetisi dansa.
Papa menabung dari kerja sampingannya saat ke Hobart agar bisa mengajak kami liburan. Kami bukan keluarga yang mampu untuk jalan-jalan keluar Melbourne kala itu. Kini ada kabar gue akan melihat SOH yang hanya gue lihat gambarnya, gue lupa rasa sedih gue.
I was a kid. I was stupid. Tapi seperti itulah anak-anak, cepat marah dan cepat memaafkan.
"Lama Ma?"
"Tiga hari. Packing ya, secukupnya aja."
Gue mengangguk dan tidak sabar mengabari Max tentang ini. Max juga belum pernah ke SOH dan kali ini giliran gue yang akan pamer liburan!
"I love you, Diajeng, with all of my heart. I am sorry for I couldn't show it as much as your Father." Mama mengelus kepala gue dan mendaratkan ciuman cepat di kepala gue.
"Thank you Mother. I know you are doing your best."
Mama memalingkan wajahnya saat air mata membasahi pipinya namun segera ia usap dengan cepat.
Diubah oleh ladeedah 25-08-2019 13:53
kicquck memberi reputasi
1
. Mau ditambah bumbu rempah dari India, Spanyol, Meksiko, Italia, Prancis, tetep aja susah buat ga boring. Atau mungkin real life gue aja yang boring ya 

