She finds it hard to trust someone,
She's heard the words cause they've all been sung.
She's the girl in the corner,
She's the girl nobody loved.
But I can't, I can't, can't stop thinking about you everyday,
And you can't, you can't,
you can't listen to what people say.
They don't know you baby,
Don't know that you're amazing,
But I'm here to stay.
When you lose your way and the fight is gone,
Your heart starts to break
And you need someone around now.
Just close your eyes while I put my arms above you,
And make you unbreakable.
She stands in the rain, just to hide it all.
If you ever turn around,
I won't let you fall down now.
I swear I'll find your smile,
And put my arms above you,
And make you unbreakable.
I'll make you unbreakable.
Cause she's the girl that I never had,
She's the heart that I wanted bad.
The song I heard on the radio
That made me stop and think of her.
And I can't, I can't, I can't concentrate anymore.
And I need, I need,
Need to show her what her heart is for,
It's been mistreated badly,
Now her world has started falling apart,
Falling apart.
When you lose your way and the fight is gone,
Your heart starts to break
And you need someone around now.
Just close your eyes while I put my arms above you,
And make you unbreakable.
She stands in the rain, just to hide it all.
If you ever turn around,
I won't let you fall down now.
I swear I'll find your smile,
And put my arms above you,
And make you unbreakable.
You need to know that somebody's there all the time,
I'd wait in line, and I hope it yours.
I can't walk away 'til your heart knows,
That it's beautiful.
Oh, I hope it knows, It's beautiful.
When you lose your way and the fight is gone,
Your heart starts to break
And you need someone around now.
Just close your eyes while I put my arms above you
And make you unbreakable.
She stands in the rain, just to hide it all.
If you ever turn around,
I won't let you fall down now.
I swear I'll find your smile,
And put my arms above you,
And make you unbreakable.
Cause I love, I love, I love, I love you darling.
Yes I love, I love, I love, I love you darling.
And I'll put my arms around you,
And make you unbreakable.
“Pulang yuk…” Marcella bicara sambil meletakkan mangkok yang masih tersisa setengah di gerobak mie ayam.
Gua berdiri mengeluarkan tiga lembar sepuluh ribuan dari dalam kantong dan memberikannya kepada Abang kang mie ayam. Yang kemudian disambutnya dengan cekatan.
“Mau langsung pulang?” gua bertanya ke Marcella. Sementara si Abang kang mie ayam terlihat sibuk mencari kembalian dari laci di gerobak kayunya.
“Kembalinya mas..” si Abang kang mie ayam menyodorkan beberapa lembar pecahan dua ribuan ke arah gua.
Gua menyambar uang tersebut lalu bergegas menyusul Marcella yang sudah lebih dulu berjalan keseberang jalan, menuju ke arah motor gua yang terparkir di sebelah pos security.
“Emang mau kemana dulu?” Marcella bertanya ke gua begitu kita berdua sudah duduk diatas jok motor.
“Nonton mau?” Gua memberi usul.
“Mau.. mau..” Marcella menjawab cepat sambil menganggukkan kepalanya.
“Biarin aja, paling sales kartu kredit…” gua menjawab asal, males menghentikan sepeda motor.
“Ih, angkat dulu, siapa tau penting..”
Gua lalu melambatkan laju sepeda motor, menepi dan mengeluarkan ponsel yang kini bersuara semakin nyaring begitu lepas dari saku celana gua. Nama dan Foto ‘Ilham’ muncul dilayarnya.
“Cuy… dimana luh?” Suara Ilham menggema melalui speaker. Gua sengaja menggunakan mode Loud speaker karena males ngelepas helm.
“Di jalan..” Gua menjawab sambil mendekatkan mulut ke ponsel, takut tak terdengar olehnya.
“Ada session urgent.. ke studio bisa?”
“Emang nggak bisa besok apa?”
“Ya.. bisa sih.. tapi ntar gua ngeditnya jadi buru-buru.. deadline hari selasa euy..”
“Yaudah sih, biasanya juga urgent, lo nyantai-nyantai aja.. coba telpon si Wahyu..” Gua menjawab, sambil memberikan opsi untuk menghubungi Wahyu, teman sejawat yang sama-sama berprofesi sebagai fotografer di kantor.
“Tadi udah gua WA, dia lagi nyari burung ke Bogor katanya, yaudah kalo lu gak bisa, ntar senen aja deh…” Ilham menjawab, nadanya terdengar lesu. Kemudian disusul suara ‘tut-tut’, tanda sambungan telpon terputus.
“Udah sih, bantuin aja Kak Ilham-nya…” Marcella buka suara dari jok belakang. Gua memandangnya melalui kaca spion. Wajahnya yang cantik terlihat kocak karena mengenakan helm yang kebesaran.
“Kan kita mau nonton?” Gua memberi penjelasan kepadanya.
“Ya.. nonton kan bisa, abis kelar foto..”
“Emang gpp?”
“Iya gpp..” Marcella menjawab sambil tersenyum.
Gua lalu membuka list panggilan terakhir dan mulai menghubungi Ilham. Setelah nada sambung beberapa kali berbunyi lalu disambut suaranya yang masih terdengar lesu.
“Apaan?” Ujarnya dari seberang sana.
“Studio mana?” Gua bertanya.
“Slipi..” Ilham menjawab singkat, merujuk ke salah satu studio milik kantor gua yang berada di bilangan Slipi. Yang mana satu gedung dengan kantor dimana Marcella bekerja.
“Yaudah gua kesono.., Daus ada?”
“Mantabbb… Daus baru mau gua telpon kalo lu jadi kesini, yaudah gua tunggu..”
Lalu kami berdua melaju, melalui jalan Green Garden yang perlahan mulai padat.
---
Jam menunjukkan pukul 12 siang saat kami tiba studio. Gua dan Marcella berjalan bersisian menuju ke lobby lift.
“Rasanya aneh ya rif, ke kantor tapi hari libur gini… Sepi..” Marcella buka suara sambil memandang kesekeliling. Terlihat staff kebersihan tengah menggunakan mesin untuk memoles lantai, sementara beberapa petugas keamanan duduk-duduk santai di balik meja resepsionis. Seperti tengah menikmati keheningan yang biasa menjalari gedung ini dikala weekday.
“Kalo gua mah ga aneh, kan udah sering hari libur ke kantor…”
“Trus, kalo kayak gini, libur disuru masuk, dapet uang lembur kan?” Marcella bertanya ke gua penasaran.
“Dapet dong..” Gua menjawab santai.
Beberapa menit kemudian, gua dan Marcella sudah berada di muka studio. Dimana pintu kaca besar dengan stiker buram melapisi permukaannya. Gua lalu merogoh saku, mencari kartu akses untuk membuka pintu tersebut. Setelah gua sadari ternyata emang gua nggak membawanya.
“Telpon Kak Ilham aja..” Marcella memberi usul.
Gua lalu mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Ilham. Beberapa kali gua mencobanya namun nggak diangkat.
“Ting…” suara penanda lift berbunyi. Daus lalu muncul dari dalam lift sambil bersiul pelan.
Daus lalu mengeluarkan kartu akses miliknya, menempelkannya ke sebuah mesin kotak kecil berwarna hitam disisi pintu. Indikator mesin yang tadinya berwarna merah kemudian berubah menjadi hijau, disusul suara ‘jglek’ dari sudut atas pintu kaca berstiker buram. Daus lalu membuka pintunya dan seakan mempersilahkan gua dan Marcella masuk kedalam.
Kondisi kantor dihari libur begini cukup creepy, hampir semua lampu ruangan dibiarkan mati. Hanya beberapa lampu aksesoris tanaman yang dibiarkan menyala, itupun sinarnya terbilang redup mirip dengan masa depan zul zivilia yang dipenjara gara-gara jadi bandar narkoba.
“Studio mana bang?” Daus bertanya sambil tetap berjalan didepan gua.
“Dua aja…” gua menjawab singkat, merefer ke nama studio yang biasa gua gunakan untuk mengambil foto produk.
“Lah.. nggak sempit emang?” Daus menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke gua.
“...”
“Kan pake model bang…” Daus menambahkan. Memberikan informasi yang nggak gua dapatkan dari Ilham.
“Orang apa manekin?” Gua bertanya ke Daus.
Yang lalu hanya dijawab dengan gelengan kepala olehnya.
“Yaudah, yang pojok aja..” gua lalu bicara sambil menunjuk ke ujung lorong. Sebuah studio yang berukuran cukup besar, biasa digunakan untuk proses foto dengan menggunakan model manusia maupun manekin.
Sementara, Marcella masih berada dibelakang gua. Matanya memandang sekeliling, kedua tangannya dilipat didada, sesekali ia mendekatkan dirinya ke poster-poster film terkenal yang sengaja dipasang dilorong-lorong kantor.
Sesaat kemudian, riuh menggema, suara beberapa langkah kaki terdengar semaki mendekat menuju lorong tempat kami berdiri. Marcella lalu beringsut cepat menuju ke sebelah gua, meraih lengan gua dan memeluknya.
Disudut lorong lalu muncul Ilham disusul beberapa anak editor lainnya dan creative director, atasan gua, kami biasa memanggilnya Bang Boi.
“Wadidaw… kerja ngajak pacar…” Suara Ilham lalu menggema.
“Ya kan emang waktunya pacaran.. malah disuru kerja..” Gua menjawab.
Ilham lalu mengangkat tangannya, mengajukan high five ke gua lalu disusul anak-anak editor lainnya, Yang kemudian berlalu masuk keruangan mereka. Sementara, Ilham lalu bicara ke Marcella.
“Sorry ya Cell, ganggu waktu pacaran lu..”
“Gapapa kak..” Marcella menjawab sambil tersipu.
Bang Boi lalu menghampiri kami dan menepuk pundak gua pelan sambil bertanya; “Lu daritadi?”
“Baru aja nyampe bang, oiya, kenalin nih Marcella..” Gua lalu memperkenalkan Marcella dengan Bang Boi.
Keduanya lalu saling bersalaman dan bertukar nama. “Oh ini, yang namanya Marcella..” Bang Boi lalu berkata setelah melepaskan jabat tangannya. Mendengar ucapan tersebut, Marcella mengernyitkan dahi dan memandang curiga ke arah gua.
“Lu mah udah jadi legend disini..” Bang Boi, berkata pelan sambil berlalu.
Sementara, tangan Marcella sudah berada di pinggang gua dengan posisi bersiap untuk menggunakan gerakan signature-nya: Cubitan Neraka!
“Lo cerita apa aja..” Marcella bertanya ke gua penasaran.
“Ngga cerita apa-apa, sungguh dah..” Gua menjawab pasrah sambil mengacungkan dua jari keatas.
“Masa?...”
“Paling juga si Ilham noh, emang mulutnya kayak emak-emak nggak dapet duit belanja.. lemes banget..”
Belum selesai bicara, lalu rasa pedih yang luar biasa menembus kulit pinggang gua. Kalo kalian pernah tau rasanya digigit semut api yang biasa ada di pohon jambu bol. Nah, kira-kira rasanya seperti itu, namun porsinya dikali 10.
Bang Boi merupakan sosok yang sedikit nyeleneh dan absrurd. Namun, dibalik keanehannya, sejatinya ia merupakan orang yang sangat Open Minded dan boleh dibilang cukup religius. Sebagai atasan, Bang Boi nggak hanya sering sharing perkara pekerjaan, namun terkadang juga masalah kehidupan. Jargonnya yang paling dikenal adalah “Mind is like a parachute, if it not open, then you’re fu***” , Sebuah quote yang merupakan plesetan dari quote milik Frank Zappa. “A mind is like a parachute. It doesn't work if it is not open”.
Hal, ini kadang membuatnya jadi tempat curhat para teman-teman yang lainnya, termasuk gua. Suatu ketika, gua pernah membahas problematika percintaan gua kepadanya.
Sore itu, dikantor, selepas Ashar, gua tengah duduk disebuah ruangan berukuran empat kali empat, beralas karpet tebal dengan berbagai poster terpampang didindingnya. Disebelah gua, duduk seorang pria yang menjulurkan tangan kanannya ke sela-sela jendela yang terbuka, sesekali ia menghisap dalam-dalam rokoknya dan menghembuskan asapnya ke luar jendela. Berada di ketinggian belasan lantai membuat hembusan angin semakin kuat. Suaranya, menderu cukup nyaring menembus kaca besar yang dibiarkan sedikit terbuka. Hembusan angin yang cukup kuat membuat kepulan asap tersebut kembali masuk kedalam ruangan.
“Gimana bang menurut lu?” Gua bertanya setelah menjelaskan masalah hubungan gua dengan Marcella.
Numb- Linkin Park
I'm tired of being what you want me to be
Feeling so faithless, lost under the surface
I don't know what you're expecting of me
Put under the pressure of walking in your shoes
Caught in the undertow, just caught in the undertow
Every step that I take is another mistake to you
Caught in the undertow, just caught in the undertow
I've become so numb, I can't feel you there
Become so tired, so much more aware
By becoming this all I want to do
Is be more like me and be less like you
Can't you see that you're smothering me?
Holding too tightly, afraid to lose control
'Cause everything that you thought I would be
Has fallen apart right in front of you
Caught in the undertow, just caught in the undertow
Every step that I take is another mistake to you
Caught in the undertow, just caught in the undertow
And every second I waste is more than I can take!
I've become so numb, I can't feel you there
Become so tired, so much more aware
By becoming this all I want to do
Is be more like me and be less like you
And I know I may end up failing too
But I know you were just like me with someone disappointed in you