- Beranda
- Stories from the Heart
[TAMAT] Always Be My Baby
...
TS
saleskambing
[TAMAT] Always Be My Baby
![[TAMAT] Always Be My Baby](https://s.kaskus.id/images/2019/03/21/8577467_201903211113170946.png)
Mulustrasi, sumber
Tokoh dan karakter di cerita ini diambil dari cerita ini, boleh dibaca dulu biar tau, tapi lebih baik nggak usah.
Spoiler for Part 1:
Aku menurunkan bocah kecil ini dari gendongan, sedikit berjongkok agar bisa merapikan setelan seragamnya yang agak sedikit berantakan, lalu mulai memandangnya, persis seperti apa yang sedang dilakukan oleh orang tua lain yang juga ada di sini.
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
***
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
***
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
Quote:
You'll always be apart of me
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
🎶 Always Be My Baby - David Cook
Diubah oleh saleskambing 19-11-2025 13:09
jenggalasunyi dan 58 lainnya memberi reputasi
55
57.9K
Kutip
335
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saleskambing
#167
Part 7
Love Someone - Lukas Graham
Spoiler for :
"yahh.. ?"
"hmm.. Anaknya ayah yang ganteng sekarang mau nanya apa lagi? "
Aku dan bocah kecil ini sedang berada diantara ramainya jalanan menuju rumah sakit tempat Dhara berdinas, saat seperti biasa, sosoknya yang tidak bisa disuruh diam barang sebentar saja itu kembali membuka suara setelah baru saja aku dibuat gemas karena harus menanggapi pertanyaannya yang aneh aneh bin ajaib. Kini entah apa lagi hal baru yang ingin dia ketahui. Tetapi sebagai seorang ayah yang tampan sekaligus pengertian tentu aku harus selalu 'welcome'dengan pertanyaan pertanyaan absurd yang biasa dia lontarkan, karena aku juga memaklumi kalau bocah seusianya memang sedang pengen pengennya tahu banyak hal. Yaah meski aku hanya menanggapi omongannya sekenanya saja karena aku juga harus fokus menyetir. Kan nggak lucu, kalau aku keasikan nanggepin celoteh nya nih mobil malah ambyar kemana mana. Mana angsuran nya belom kelar lagi, jangankan angsuran nya, DP-nya aja masih pake uang bokapnya Dhara. *lah malah curhat.
Oke, balik lagi kearah ramainya jalanan dimana aku masih menunggu pertanyaan apa lagi yang akan Irfan ucapkan.
"emm.. duluu, ayah sama bunda nikahnya gimana sih? " Tanyanya sambil memandang kearah badut lampu merah yang sedang beraksi. "emang bener ya, kalo kata om Apis bunda nikah sama ayah gara gara bunda abis nginjek kodok? "
"yee sembarangan, ada juga tante Lydia tuh yang keseringan nginjek kodok.. " Sahutku nggak terima. "om Apis kamu percaya, dia itu nggak pernah mau terima kalo ayah jauh lebih keren dari dia.. "
"Jadii, yang bener gimana yah? "
Aku kemudian mengambil uang receh yang banyak kusimpan di dashboard mobil, memberikannya pada Irfan, lalu membuka kaca mobil agar bocah kecil itu bisa memberikannya pada badut yang sepertinya lagi butuh uang itu.
"ya nggak gimana gimana, kita berdua saling mencintai, sama sama cocok, sama sama udah siap, jadi yaa, nikah deh.. " jelasku.
Setelah mendengar kata kataku, Irfan kemudian memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi terlihat seperti bahwa bocah ngeselin itu sama sekali tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Bahkan dari raut wajahnya, aku bisa melihat kalau dia sedang menyepelekan aku, ayahnya sendiri. Nih anak bibit nyebelin nya nurun dari siapa sih..
"cinta? cocok?" Tanyanya terdengar ragu. "Beneran itu, yah? "
"iya lah, nggak percaya? " Balasku cepat. "Asal kamu tau ya, dulu itu malah bunda kamu yang mati matian ngejar ayah. Suka ngasih ayah perhatian, suka ngingetin makan, suka bikinin ayah makanan walau daridulu masakannya tetep gak enak. Suka ngajak ayah jalan. Jadinya ayah yang nggak tegaan ini jadi luluh deh sama bunda kamu, padahal waktu itu ayah juga lagi deket lho sama banyak cewek.. " Ucapku jumawa. Sementara Irfan masih memperhatikanku, sambil sesekali mengangguk.
"hmm.. gitu ya yahh.. " Balas bocah ini, masih sambil manggut-manggut.
"iya, gitu.. " Ucapku meyakinkannya. "Nah, sekarang kamu percaya kan? "
"hehe, enggak.. "
"hahaha, dasar bocah dablekk... " Aku mencubit pelan pipinya, lalu sedikit mengacak acak rambutnya. "emang napa sih, nanya nanya nikah segala? Sunat aja belom berani udah ngomongin nikah aja.. "
"hehe, itu yah. Thalia.. "
"kenapa emang sama Thalia? " Tanyaku. "Mau kamu nikahin? "
"hehe.. "
Irfan tidak menjawab kata kataku, ia hanya tersenyum malu malu sambil memalingkan wajahnya. Lucu sekali melihat ekspresinya yang sedang salah tingkah itu. Membuat aku juga ikut tersenyum lalu hendak melemparnya ke jalanan saking gemasnya.
"hahaha, tapi emang Thalia nya mau sama kamu? "
"mau sih yah, cuma ya itu. Dia bilang di keluarganya itu kalo mau nikah harus sodaraan dulu. Ayahnya nikah sama bundanya, omnya nikah sama tante nya, terus kakeknya nikahnya juga sama neneknya yah.. "
"... "
"makanya Irfan nanya ayah tadi, ayah dulu sebelum nikah sodaraan gak sama bunda? "
"hahaha.. " Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaannya yang polos. Darimana ceritanya lelaki pengertian plus lemah lembut dan nggak tegaan sepertiku bisa sodaraan dengan wanita bar-bar ngeselin bin galak setengah mampus seperti Dhara.
Tapi kalau dipikir dan diingat ingat lagi, dulu kondisiku memang lebih mirip seperti sodaranya sih. Aku kenal cukup dekat dengan keluarganya, aku sering numpang makan dirumahnya, aku jarang bayar uang kos meski jelas jelas aku ngekos dirumahnya, aku dan Dhara juga kemana mana sering pergi berdua. Dan andai saat itu kita nggak bisa dikatakan serasi sebagai sepasang kekasih, aku dan Dhara mungkin masih bisa diterima sebagai sepasang 'kakak adek'. Meski kondisinya juga sedikit berbeda karena aku lebih terlihat seperti anak pungut dan kakak angkat karena lebih sering dimintai tolong dan disuruh suruh. Tapi yaudahlah, kapan lagi kakak yang blangsak sepertiku bisa punya adek gemesin seperti Dhara, hahaha..
"yahh.. heh, ditanyain kok malah senyum senyum.. "
"eh, iya. Hehe, kamu nanya apa tadi? "
"itu yaah, yang sodaraan.. "
"haha, udah lah. Kamu itu masih kecil, belajar dulu yang bener, tar kalo dah gede baru deh mikir nikah.. " Aku masih tertawa menanggapi kata katanya, kemudian mulai memarkirkan mobil LCGC murah pabrikan negara asal Doraemon ini karena aku sudah sampai di area rumah sakit tempat Dhara berdinas.
"tapi bener kan yah, kalo mo nikah ga perlu sodaraan dulu? " Tanyanya saat aku membuka pintu mobil dan menurunkannya.
Kita kemudian berjalan saling berdampingan menuju gedung rumah sakit untuk menjemput Dhara. Dengan tanganku yang selalu menuntunnya agar terus mengikutiku, karena kalo dibiarin jalan sendiri, nih anak bisa 'mblarah' kemana mana. Seperti dulu, bukannya mengikutiku, dia malah nyasar sampe masuk ke ruang pemeriksaan kandungan.
"iya, nggak perlu. Yang penting kamu belajar dulu yang bener. Ntar kalo dah gede, udah pinter, udah kerja, baru deh boleh nikah. Kalo udah gede terus punya banyak uang, Thalia pasti mau nikah sama kamu.. " Ucapku memberi penjelasan pada Irfan, sambil melempar senyum pada seorang suster muda yang kebetulan berpapasan dengan kami.
"lho, ayah ga kerja, tapi bisa tuh nikah ama bunda.. " Celetuknya tiba tiba, membuat seorang suster yang kembali berpapasan dengan kami terlihat sedang menahan senyum dan langsung mempercepat langkahnya. Yang untungnya sih yang ini nggak lebih muda dan lebih cantik dari suster yang pertama tadi.
"hush.. sembarangan. " Ucapku sambil menghentikan langkah, lalu kemudian menggendongnya dan berjalan cepat kedalam. Lama lama ngeladenin omongannya yang polos tapi ngeselin bisa makin jatuh harga diriku.
"ngemong bocah dablek kaya kamu juga pekerjaan berat tau..."
Setelah berjalan beberapa saat, aku yang sedang berjalan sambil menggendong Irfan akhirnya bertemu dengan sosok suster cantik yang sedari tadi kucari cari. Saat itu dia terlihat baru saja keluar dari ruang perawatan. Tidak sendiri, saat itu doi terlihat sedang berjalan bersama seorang lelaki. Mengenakan pakaian serba putih layaknya seorang dokter, plus sebuah stetoskop yang melingkar dan menggantung di lehernya, lelaki yang mungkin usianya sepantaran denganku ini harus kuakui punya tampang yang lumayan. Walau (menurutku) jelass masih gantengan aku sih.
"hei yah.. " Ucap Dhara saat melihatku dan Irfan yang sedang berjalan menghampirinya. "udah lama ya? "
"hehe, enggak kok bun.. " Jawabku setengah tersenyum, lalu mencoba menarik tangannya agar jauh jauh dari dokter yang mukanya keliatan tengil ini. "baru aja dateng.. "
"oh iya yah, kenalin. Ini dokter Rangga.. " Ucap Dhara kemudian. "Dok kenalin, ini.. "
"Sopir kamu, ya? " Potongnya cepat sebelum Dhara sempat menyelesaikan kata katanya, wah kampret juga nih dokter.
"hehe, bukan dok. Ini suami saya.. "
"haha, iya iya.. " Dia tersenyum, lalu menyodorkan telapak tangannya kearahku. "maafin saya ya, saya emang suka bercanda. Oh iya, kenalin, saya Rangga. Rangga Widjaja, dokter spesialis disini. "
Dia mengulurkan tangan seraya memperkenalkan diri, tak lupa dia juga sedikit menekankan nada bicaranya saat mengucap kata 'spesialis'. Entah apa maksudnya, aku juga tidak tahu apa spesialisasinya. Tapi apapun itu, semoga saja dia bukan spesialis perebut istri orang.
"haha, iya. Santai aja dok, saya juga suka bercanda kok.. " Balas ku sambil menurunkan Irfan dari gendongan dan menyambut uluran tangannya. "Oh iya, saya Irfan. Irfan Eka Nugraha, senang berkenalan dengan anda, dokter Rangga Widjaja. "
"haha, iya iya.. " Ucapnya masih sambil tersenyum. Lalu sedikit menundukkan badannya. "Dan jagoan kecil ini? "
Dia mengulurkan tangan pada Irfan, yang kemudian dibalas dengan malu malu oleh bocah kecil itu.
"I.. Irfan Junior om.. "
"haha, anak pintar.. " Ucapnya sambil mengusap usap rambut kepala Irfan. "untung meski namanya mirip bapaknya, tapi wajahnya masih ngikut ibunya.. "
"hehe.. "
"hehe.. "
Mendengar kata katanya, Dhara hanya tersenyum garing. Sementara aku, aku juga menunjukkan ekspresi yang sama, sekedar mencoba memaklumi karakternya yang dia bilang suka bercanda itu. Meski sebenarnya jauh dilubuk hati terdalam, aku ingin sekali mengoperasi bibir dan mulutnya yang kurang ajar itu.
"yaudah, Sus, saya duluan ya. Besok jangan lupa lho, kita ada jadwal operasi.. "
Setelah berbasa-basi sebentar, dokter kampret itu akhirnya berjalan menjauh. Tidak ada pertumpahan darah yang terjadi setelah itu karena aku masih bisa menahan amarahku. Lagipula meskipun terdengar nyelekit, yang dia ucapkan tadi emang benar kok. Suka nggak suka, orang yang baru melihat kita memang tak akan langsung percaya jika aku dan Dhara adalah sepasang suami istri.
"cemberut aja sih yah.. " Dhara membuka obrolan saat kita sedang berjalan saling berdampingan meninggalkan rumah sakit. Dengan aku yang masih kebagian tugas gendong Irfan biar dia nggak belok kemana mana. "udahlah, ga usah diambil hati. Dia orangnya emang gitu kok. "
"iya, aku tau kok dia cuma bercanda.. "
"terus, kok kayaknya masih ga terima gitu.. " Ucapnya. "Lagi mikirin apa sih? "
"emm.. Bunda sering ya, kerja sama dia? " Tanyaku kemudian.
"sering, seharian ini bunda malah nemenin dia doang.. " Jawabnya santai sambil merapatkan tubuhnya padaku.
"berarti kenal deket dong ama dia.. "
"lumayan.. "
"Udah punya istri belom dia? "
"hmm.. masih nyari yang cocok katanya yah.. " Jawabnya. "Emang kenapa sih?"
"Nggak papa.."
Aku kemudian membuka pintu mobil bagian belakang, lalu menidurkan Irfan yang sudah molor duluan dalam gendongan ku. Nih anak kalo melek gak bisa diem, tapi giliran diem bentar aja langsung molor. Aneh banget, anak siapa sih ini..
Beberapa saat kemudian, mobil yang kita kendarai sudah ada diantara ramainya jalanan sore hari. Hanya ada suara mesin dan ramainya jalanan yang mengiringi perjalanan kita, suasana didalam mobil mendadak hening semenjak kita berjalan meninggalkan rumah sakit. Entah kenapa, setelah mendengar kata kata yang diucapkan Dhara tadi mood ku seperti mendadak hilang dan menguap entah kemana. Apalagi setelah aku tau kalau istriku punya hubungan yang cukup dekat dengan dokter tampan rekan kerjanya itu.
"yah.. " Ucap Dhara memecah kesunyian. "kok diem aja sih.. "
"Dokter Rangga hebat ya bun.. "
"eh.. "
"Masih muda, ganteng, punya pekerjaan bagus.. "
"yaah.. "
"Beda banget sama ay.."
"Sst.."
Dhara kemudian meraih telapak tangan kiriku, mengelus nya sebentar lalu tersenyum kearahku. Senyum yang selalu bisa meluruhkan segala rasa kesal ku, senyum tipis yang selalu bisa membuatku merasa jadi lelaki paling beruntung didunia, dan senyum yang selalu saja bisa membuatku rela, bahwa seluruh sisa hidupku akan kuhabiskan hanya untuk memandang senyumnya.
"hmm kenapa? "
"hehe, pinggirin dulu deh mobilnya. Aku mau ngomong bentar sama kamu.. "
Tanpa menjawab kata katanya, aku kemudian menepikan mobil tepat disebelah warung yang cahayanya sedikit temaram. Entah ini masuk kategori warung remang remang atau bukan.
"Gini ya Irfan sayaang.. " Dhara kembali meraih telapak tanganku, sementara pandangan kita juga kembali saling bertemu. Mata yang biasanya melotot kearahku itu kini terlihat begitu teduh. Bibir yang biasanya 'liar' dan 'ganas' itu kini terlihat begitu lembut. Ah, kamu ini sebenarnya cantik ra, cantik banget malah, sayang rada nyebelin..
"... "
"seumur hidup, aku udah ketemu sama banyak laki laki. Aku pernah ketemu sama laki laki yang jauh lebih ganteng dari kamu, aku pernah ketemu sama laki laki yang tajir nya minta ampun, jauh lebih kaya dari kamu. Aku juga pernah ketemu sama laki laki yang jauh lebih sempurna dari kamu fan, jauh lebih baik dari kamu, yang dari dulu masih 'gini gini aja' haha.. "
"... " Aku tidak menjawab kata katanya, namun juga ikut tersenyum kecut saat menyadari kalau dari dulu aku memang 'gini gini aja'.
"Tapi yang terjadi apa? Daripada milih untuk hidup sama orang orang tadi, sekarang aku justru ada disini fan, duduk di samping kamu. Di mobil kita yang bahkan dpnya aja belum kamu lunasin, sekarang aku ada disebelah kamu fan, di depan anak kita, yang udah tertidur pulas di jok belakang gara gara kecapean nungguin bundanya.. "
".. "
"aku bisa aja kan fan, tetep bertahan sama Firman, atau sama Ramon karena mereka jelas lebih ganteng dan lebih kaya dari kamu. Tapi kenyataannya gimana? Aku malah jatuh hati sama kamu, cowok jelek, item, dekil yang dulu suka ngajak aku main layangan, ahaha.. "
"haha, masih inget aja.. "
"jadii, yang kamu harus tau, sejelek jeleknya kamu, se nggak punya nggak punya apa apanya kamu, atau serendah rendahnya kamu nilai diri kamu sendiri, kamu ga boleh berpikir kalau aku juga punya pikiran yang sama. Bagiku, kamu itu tetep sosok terbaik yang dikirimkan Tuhan buat aku.."
Dhara kembali tersenyum, senyum yang kembali membuatku sadar betapa bodohnya aku yang bisa bisanya meragukan perasaannya. Aku kemudian menariknya, lalu mendekap tubuhnya erat erat seraya mengelus rambut panjangnya.
"..."
"Kalo orang lain bilang kamu beruntung bisa dapetin aku, menurutku justru kebalik fan. Aku yang beruntung bisa dapetin kamu, kamu mungkin cuma dapet figur istri dan ibu buat anak anak kamu. Sementara aku, aku dapet paket lengkap fan. Dari kamu, aku bisa dapet suami, imam keluarga, sopir pribadi, tukang kebun, babysitter, tukang ledeng, tukang listrik, tukang angkat galon, tukang kuras bak mandi, macem macem deh, haha.."
"hehe, dasarr.. Tapi makasih ya raa, eh bun.. maafin ayah juga ya.. "
Aku menarik wajahnya dari pelukanku, dia lagi lagi hanya tersenyum. Entah sudah yang ke berapa kalinya hari ini, tapi rasanya selalu seperti yang pertama. Senyum yang selalu membuatku ingin menyambut ujung bibirnya dengan ujung bibirku. Dan entah kenapa, sepertinya dia juga merasakan hal yang sama. Terlihat dari ujung bibirnya juga sedang bergerak mendekat.
CUUUPP!!!
"mmpphh.. "
Kita akhirnya kembali saling berciuman, ciuman lembut yang entah kapan terakhir kali kudapatkan akibat kebiasaan sadis dan masokis nya.
Cukup lama aku menikmati lembut dan hangat bibirnya, cukup lama juga kita saling bertukar air liur, hingga akhirnya sebuah gerakan dan suara dari jok belakang mobil membuyarkan semuanya.
"eh.. ayah sama bunda lagi ngapain? "
"hmm.. Anaknya ayah yang ganteng sekarang mau nanya apa lagi? "
Aku dan bocah kecil ini sedang berada diantara ramainya jalanan menuju rumah sakit tempat Dhara berdinas, saat seperti biasa, sosoknya yang tidak bisa disuruh diam barang sebentar saja itu kembali membuka suara setelah baru saja aku dibuat gemas karena harus menanggapi pertanyaannya yang aneh aneh bin ajaib. Kini entah apa lagi hal baru yang ingin dia ketahui. Tetapi sebagai seorang ayah yang tampan sekaligus pengertian tentu aku harus selalu 'welcome'dengan pertanyaan pertanyaan absurd yang biasa dia lontarkan, karena aku juga memaklumi kalau bocah seusianya memang sedang pengen pengennya tahu banyak hal. Yaah meski aku hanya menanggapi omongannya sekenanya saja karena aku juga harus fokus menyetir. Kan nggak lucu, kalau aku keasikan nanggepin celoteh nya nih mobil malah ambyar kemana mana. Mana angsuran nya belom kelar lagi, jangankan angsuran nya, DP-nya aja masih pake uang bokapnya Dhara. *lah malah curhat.
Oke, balik lagi kearah ramainya jalanan dimana aku masih menunggu pertanyaan apa lagi yang akan Irfan ucapkan.
"emm.. duluu, ayah sama bunda nikahnya gimana sih? " Tanyanya sambil memandang kearah badut lampu merah yang sedang beraksi. "emang bener ya, kalo kata om Apis bunda nikah sama ayah gara gara bunda abis nginjek kodok? "
"yee sembarangan, ada juga tante Lydia tuh yang keseringan nginjek kodok.. " Sahutku nggak terima. "om Apis kamu percaya, dia itu nggak pernah mau terima kalo ayah jauh lebih keren dari dia.. "
"Jadii, yang bener gimana yah? "
Aku kemudian mengambil uang receh yang banyak kusimpan di dashboard mobil, memberikannya pada Irfan, lalu membuka kaca mobil agar bocah kecil itu bisa memberikannya pada badut yang sepertinya lagi butuh uang itu.
"ya nggak gimana gimana, kita berdua saling mencintai, sama sama cocok, sama sama udah siap, jadi yaa, nikah deh.. " jelasku.
Setelah mendengar kata kataku, Irfan kemudian memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi terlihat seperti bahwa bocah ngeselin itu sama sekali tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Bahkan dari raut wajahnya, aku bisa melihat kalau dia sedang menyepelekan aku, ayahnya sendiri. Nih anak bibit nyebelin nya nurun dari siapa sih..
"cinta? cocok?" Tanyanya terdengar ragu. "Beneran itu, yah? "
"iya lah, nggak percaya? " Balasku cepat. "Asal kamu tau ya, dulu itu malah bunda kamu yang mati matian ngejar ayah. Suka ngasih ayah perhatian, suka ngingetin makan, suka bikinin ayah makanan walau daridulu masakannya tetep gak enak. Suka ngajak ayah jalan. Jadinya ayah yang nggak tegaan ini jadi luluh deh sama bunda kamu, padahal waktu itu ayah juga lagi deket lho sama banyak cewek.. " Ucapku jumawa. Sementara Irfan masih memperhatikanku, sambil sesekali mengangguk.
"hmm.. gitu ya yahh.. " Balas bocah ini, masih sambil manggut-manggut.
"iya, gitu.. " Ucapku meyakinkannya. "Nah, sekarang kamu percaya kan? "
"hehe, enggak.. "
"hahaha, dasar bocah dablekk... " Aku mencubit pelan pipinya, lalu sedikit mengacak acak rambutnya. "emang napa sih, nanya nanya nikah segala? Sunat aja belom berani udah ngomongin nikah aja.. "
"hehe, itu yah. Thalia.. "
"kenapa emang sama Thalia? " Tanyaku. "Mau kamu nikahin? "
"hehe.. "
Irfan tidak menjawab kata kataku, ia hanya tersenyum malu malu sambil memalingkan wajahnya. Lucu sekali melihat ekspresinya yang sedang salah tingkah itu. Membuat aku juga ikut tersenyum lalu hendak melemparnya ke jalanan saking gemasnya.
"hahaha, tapi emang Thalia nya mau sama kamu? "
"mau sih yah, cuma ya itu. Dia bilang di keluarganya itu kalo mau nikah harus sodaraan dulu. Ayahnya nikah sama bundanya, omnya nikah sama tante nya, terus kakeknya nikahnya juga sama neneknya yah.. "
"... "
"makanya Irfan nanya ayah tadi, ayah dulu sebelum nikah sodaraan gak sama bunda? "
"hahaha.. " Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaannya yang polos. Darimana ceritanya lelaki pengertian plus lemah lembut dan nggak tegaan sepertiku bisa sodaraan dengan wanita bar-bar ngeselin bin galak setengah mampus seperti Dhara.
Tapi kalau dipikir dan diingat ingat lagi, dulu kondisiku memang lebih mirip seperti sodaranya sih. Aku kenal cukup dekat dengan keluarganya, aku sering numpang makan dirumahnya, aku jarang bayar uang kos meski jelas jelas aku ngekos dirumahnya, aku dan Dhara juga kemana mana sering pergi berdua. Dan andai saat itu kita nggak bisa dikatakan serasi sebagai sepasang kekasih, aku dan Dhara mungkin masih bisa diterima sebagai sepasang 'kakak adek'. Meski kondisinya juga sedikit berbeda karena aku lebih terlihat seperti anak pungut dan kakak angkat karena lebih sering dimintai tolong dan disuruh suruh. Tapi yaudahlah, kapan lagi kakak yang blangsak sepertiku bisa punya adek gemesin seperti Dhara, hahaha..
"yahh.. heh, ditanyain kok malah senyum senyum.. "
"eh, iya. Hehe, kamu nanya apa tadi? "
"itu yaah, yang sodaraan.. "
"haha, udah lah. Kamu itu masih kecil, belajar dulu yang bener, tar kalo dah gede baru deh mikir nikah.. " Aku masih tertawa menanggapi kata katanya, kemudian mulai memarkirkan mobil LCGC murah pabrikan negara asal Doraemon ini karena aku sudah sampai di area rumah sakit tempat Dhara berdinas.
"tapi bener kan yah, kalo mo nikah ga perlu sodaraan dulu? " Tanyanya saat aku membuka pintu mobil dan menurunkannya.
Kita kemudian berjalan saling berdampingan menuju gedung rumah sakit untuk menjemput Dhara. Dengan tanganku yang selalu menuntunnya agar terus mengikutiku, karena kalo dibiarin jalan sendiri, nih anak bisa 'mblarah' kemana mana. Seperti dulu, bukannya mengikutiku, dia malah nyasar sampe masuk ke ruang pemeriksaan kandungan.
"iya, nggak perlu. Yang penting kamu belajar dulu yang bener. Ntar kalo dah gede, udah pinter, udah kerja, baru deh boleh nikah. Kalo udah gede terus punya banyak uang, Thalia pasti mau nikah sama kamu.. " Ucapku memberi penjelasan pada Irfan, sambil melempar senyum pada seorang suster muda yang kebetulan berpapasan dengan kami.
"lho, ayah ga kerja, tapi bisa tuh nikah ama bunda.. " Celetuknya tiba tiba, membuat seorang suster yang kembali berpapasan dengan kami terlihat sedang menahan senyum dan langsung mempercepat langkahnya. Yang untungnya sih yang ini nggak lebih muda dan lebih cantik dari suster yang pertama tadi.
"hush.. sembarangan. " Ucapku sambil menghentikan langkah, lalu kemudian menggendongnya dan berjalan cepat kedalam. Lama lama ngeladenin omongannya yang polos tapi ngeselin bisa makin jatuh harga diriku.
"ngemong bocah dablek kaya kamu juga pekerjaan berat tau..."
Setelah berjalan beberapa saat, aku yang sedang berjalan sambil menggendong Irfan akhirnya bertemu dengan sosok suster cantik yang sedari tadi kucari cari. Saat itu dia terlihat baru saja keluar dari ruang perawatan. Tidak sendiri, saat itu doi terlihat sedang berjalan bersama seorang lelaki. Mengenakan pakaian serba putih layaknya seorang dokter, plus sebuah stetoskop yang melingkar dan menggantung di lehernya, lelaki yang mungkin usianya sepantaran denganku ini harus kuakui punya tampang yang lumayan. Walau (menurutku) jelass masih gantengan aku sih.
"hei yah.. " Ucap Dhara saat melihatku dan Irfan yang sedang berjalan menghampirinya. "udah lama ya? "
"hehe, enggak kok bun.. " Jawabku setengah tersenyum, lalu mencoba menarik tangannya agar jauh jauh dari dokter yang mukanya keliatan tengil ini. "baru aja dateng.. "
"oh iya yah, kenalin. Ini dokter Rangga.. " Ucap Dhara kemudian. "Dok kenalin, ini.. "
"Sopir kamu, ya? " Potongnya cepat sebelum Dhara sempat menyelesaikan kata katanya, wah kampret juga nih dokter.
"hehe, bukan dok. Ini suami saya.. "
"haha, iya iya.. " Dia tersenyum, lalu menyodorkan telapak tangannya kearahku. "maafin saya ya, saya emang suka bercanda. Oh iya, kenalin, saya Rangga. Rangga Widjaja, dokter spesialis disini. "
Dia mengulurkan tangan seraya memperkenalkan diri, tak lupa dia juga sedikit menekankan nada bicaranya saat mengucap kata 'spesialis'. Entah apa maksudnya, aku juga tidak tahu apa spesialisasinya. Tapi apapun itu, semoga saja dia bukan spesialis perebut istri orang.
"haha, iya. Santai aja dok, saya juga suka bercanda kok.. " Balas ku sambil menurunkan Irfan dari gendongan dan menyambut uluran tangannya. "Oh iya, saya Irfan. Irfan Eka Nugraha, senang berkenalan dengan anda, dokter Rangga Widjaja. "
"haha, iya iya.. " Ucapnya masih sambil tersenyum. Lalu sedikit menundukkan badannya. "Dan jagoan kecil ini? "
Dia mengulurkan tangan pada Irfan, yang kemudian dibalas dengan malu malu oleh bocah kecil itu.
"I.. Irfan Junior om.. "
"haha, anak pintar.. " Ucapnya sambil mengusap usap rambut kepala Irfan. "untung meski namanya mirip bapaknya, tapi wajahnya masih ngikut ibunya.. "
"hehe.. "
"hehe.. "
Mendengar kata katanya, Dhara hanya tersenyum garing. Sementara aku, aku juga menunjukkan ekspresi yang sama, sekedar mencoba memaklumi karakternya yang dia bilang suka bercanda itu. Meski sebenarnya jauh dilubuk hati terdalam, aku ingin sekali mengoperasi bibir dan mulutnya yang kurang ajar itu.
"yaudah, Sus, saya duluan ya. Besok jangan lupa lho, kita ada jadwal operasi.. "
Setelah berbasa-basi sebentar, dokter kampret itu akhirnya berjalan menjauh. Tidak ada pertumpahan darah yang terjadi setelah itu karena aku masih bisa menahan amarahku. Lagipula meskipun terdengar nyelekit, yang dia ucapkan tadi emang benar kok. Suka nggak suka, orang yang baru melihat kita memang tak akan langsung percaya jika aku dan Dhara adalah sepasang suami istri.
"cemberut aja sih yah.. " Dhara membuka obrolan saat kita sedang berjalan saling berdampingan meninggalkan rumah sakit. Dengan aku yang masih kebagian tugas gendong Irfan biar dia nggak belok kemana mana. "udahlah, ga usah diambil hati. Dia orangnya emang gitu kok. "
"iya, aku tau kok dia cuma bercanda.. "
"terus, kok kayaknya masih ga terima gitu.. " Ucapnya. "Lagi mikirin apa sih? "
"emm.. Bunda sering ya, kerja sama dia? " Tanyaku kemudian.
"sering, seharian ini bunda malah nemenin dia doang.. " Jawabnya santai sambil merapatkan tubuhnya padaku.
"berarti kenal deket dong ama dia.. "
"lumayan.. "
"Udah punya istri belom dia? "
"hmm.. masih nyari yang cocok katanya yah.. " Jawabnya. "Emang kenapa sih?"
"Nggak papa.."
Aku kemudian membuka pintu mobil bagian belakang, lalu menidurkan Irfan yang sudah molor duluan dalam gendongan ku. Nih anak kalo melek gak bisa diem, tapi giliran diem bentar aja langsung molor. Aneh banget, anak siapa sih ini..
Beberapa saat kemudian, mobil yang kita kendarai sudah ada diantara ramainya jalanan sore hari. Hanya ada suara mesin dan ramainya jalanan yang mengiringi perjalanan kita, suasana didalam mobil mendadak hening semenjak kita berjalan meninggalkan rumah sakit. Entah kenapa, setelah mendengar kata kata yang diucapkan Dhara tadi mood ku seperti mendadak hilang dan menguap entah kemana. Apalagi setelah aku tau kalau istriku punya hubungan yang cukup dekat dengan dokter tampan rekan kerjanya itu.
"yah.. " Ucap Dhara memecah kesunyian. "kok diem aja sih.. "
"Dokter Rangga hebat ya bun.. "
"eh.. "
"Masih muda, ganteng, punya pekerjaan bagus.. "
"yaah.. "
"Beda banget sama ay.."
"Sst.."
Dhara kemudian meraih telapak tangan kiriku, mengelus nya sebentar lalu tersenyum kearahku. Senyum yang selalu bisa meluruhkan segala rasa kesal ku, senyum tipis yang selalu bisa membuatku merasa jadi lelaki paling beruntung didunia, dan senyum yang selalu saja bisa membuatku rela, bahwa seluruh sisa hidupku akan kuhabiskan hanya untuk memandang senyumnya.
"hmm kenapa? "
"hehe, pinggirin dulu deh mobilnya. Aku mau ngomong bentar sama kamu.. "
Tanpa menjawab kata katanya, aku kemudian menepikan mobil tepat disebelah warung yang cahayanya sedikit temaram. Entah ini masuk kategori warung remang remang atau bukan.
"Gini ya Irfan sayaang.. " Dhara kembali meraih telapak tanganku, sementara pandangan kita juga kembali saling bertemu. Mata yang biasanya melotot kearahku itu kini terlihat begitu teduh. Bibir yang biasanya 'liar' dan 'ganas' itu kini terlihat begitu lembut. Ah, kamu ini sebenarnya cantik ra, cantik banget malah, sayang rada nyebelin..
"... "
"seumur hidup, aku udah ketemu sama banyak laki laki. Aku pernah ketemu sama laki laki yang jauh lebih ganteng dari kamu, aku pernah ketemu sama laki laki yang tajir nya minta ampun, jauh lebih kaya dari kamu. Aku juga pernah ketemu sama laki laki yang jauh lebih sempurna dari kamu fan, jauh lebih baik dari kamu, yang dari dulu masih 'gini gini aja' haha.. "
"... " Aku tidak menjawab kata katanya, namun juga ikut tersenyum kecut saat menyadari kalau dari dulu aku memang 'gini gini aja'.
"Tapi yang terjadi apa? Daripada milih untuk hidup sama orang orang tadi, sekarang aku justru ada disini fan, duduk di samping kamu. Di mobil kita yang bahkan dpnya aja belum kamu lunasin, sekarang aku ada disebelah kamu fan, di depan anak kita, yang udah tertidur pulas di jok belakang gara gara kecapean nungguin bundanya.. "
".. "
"aku bisa aja kan fan, tetep bertahan sama Firman, atau sama Ramon karena mereka jelas lebih ganteng dan lebih kaya dari kamu. Tapi kenyataannya gimana? Aku malah jatuh hati sama kamu, cowok jelek, item, dekil yang dulu suka ngajak aku main layangan, ahaha.. "
"haha, masih inget aja.. "
"jadii, yang kamu harus tau, sejelek jeleknya kamu, se nggak punya nggak punya apa apanya kamu, atau serendah rendahnya kamu nilai diri kamu sendiri, kamu ga boleh berpikir kalau aku juga punya pikiran yang sama. Bagiku, kamu itu tetep sosok terbaik yang dikirimkan Tuhan buat aku.."
Dhara kembali tersenyum, senyum yang kembali membuatku sadar betapa bodohnya aku yang bisa bisanya meragukan perasaannya. Aku kemudian menariknya, lalu mendekap tubuhnya erat erat seraya mengelus rambut panjangnya.
"..."
"Kalo orang lain bilang kamu beruntung bisa dapetin aku, menurutku justru kebalik fan. Aku yang beruntung bisa dapetin kamu, kamu mungkin cuma dapet figur istri dan ibu buat anak anak kamu. Sementara aku, aku dapet paket lengkap fan. Dari kamu, aku bisa dapet suami, imam keluarga, sopir pribadi, tukang kebun, babysitter, tukang ledeng, tukang listrik, tukang angkat galon, tukang kuras bak mandi, macem macem deh, haha.."
"hehe, dasarr.. Tapi makasih ya raa, eh bun.. maafin ayah juga ya.. "
Aku menarik wajahnya dari pelukanku, dia lagi lagi hanya tersenyum. Entah sudah yang ke berapa kalinya hari ini, tapi rasanya selalu seperti yang pertama. Senyum yang selalu membuatku ingin menyambut ujung bibirnya dengan ujung bibirku. Dan entah kenapa, sepertinya dia juga merasakan hal yang sama. Terlihat dari ujung bibirnya juga sedang bergerak mendekat.
CUUUPP!!!
"mmpphh.. "
Kita akhirnya kembali saling berciuman, ciuman lembut yang entah kapan terakhir kali kudapatkan akibat kebiasaan sadis dan masokis nya.
Cukup lama aku menikmati lembut dan hangat bibirnya, cukup lama juga kita saling bertukar air liur, hingga akhirnya sebuah gerakan dan suara dari jok belakang mobil membuyarkan semuanya.
"eh.. ayah sama bunda lagi ngapain? "
Quote:
There are days
I wake up and I pinch myself
You're with me, not someone else
And I'm scared, yeah, I'm still scared
That it's all a dream
'Cause you still look perfect as days go by
Even the worst ones, you make me smile
I'd stop the world if it gave us time
'Cause when you love someone
You open up your heart
When you love someone
You make room
If you love someone
And you're not afraid to lose 'em
You probably never loved someone like I do
You probably never loved someone like I do
I wake up and I pinch myself
You're with me, not someone else
And I'm scared, yeah, I'm still scared
That it's all a dream
'Cause you still look perfect as days go by
Even the worst ones, you make me smile
I'd stop the world if it gave us time
'Cause when you love someone
You open up your heart
When you love someone
You make room
If you love someone
And you're not afraid to lose 'em
You probably never loved someone like I do
You probably never loved someone like I do
Love Someone - Lukas Graham
Diubah oleh saleskambing 19-12-2024 11:12
jenggalasunyi dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas