Kaskus

Story

ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
The Way You Are
Quote:




Friendship is not always about finishing each other's sentences or remind you to the lyrics you forget. Many times, friendship is about how fluent are both of you in speaking silence.

-- Maxwell.




Diubah oleh ladeedah 08-09-2019 07:30
someshitnessAvatar border
bukhoriganAvatar border
evywahyuniAvatar border
evywahyuni dan 11 lainnya memberi reputasi
12
24.9K
185
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
#41
Vin
"Kamu cemburuan Hans?" Papa berdiri dan meletakkan piring bekas sarapannya di wastafel. Hans menghentikan kunyahannya dan menatap gue yang duduk di depannya. Tadi mereka ngobrol tentang pertarungan alot kandidat perdana menteri Australia Bill Shorten dan Tony Abbot, lalu tiba-tiba menikung ke arah ini.

"Umm..." Hans melihat Papa dan gue bergantian, kebingungan harus menjawab apa. Gue melengos dan melanjutkan bacaan gue.

"Cemburu itu wajar. Nothing is wrong with that." Papa kembali lagi ke meja makan dan menatap gue dan Hans dengan tatapan meledek.

"Kami ga pacaran!" Timpal gue kesal. Papa selalu sok tau memulai obrolan yang aneh-aneh.

"Oh. Emang siapa yang bilang kalian pacaran?" Papa tambah meledek gue dengan setengah tawanya yang annoying. Hans menatap gue sebentar lalu kembali menunduk.

"Dia kesini buat jemput Papa kan? Udah pergi sana!"

Gue tatap Hans dan dia hanya mengangkat kedua alisnya lalu melanjutkan makannya.

"Kamu kenal Max kan Hans?" Lanjut Papa.

"Kami baru dua kali ketemu, Bram. Waktu nonton Monster Jam sama sekali waktu nganter Dee ke Cooking Class." Jawab Hans.

"He is my boy, Hans! My best boy! Jangan kuatir soal dia, ya ga Dee?"

"Apaan sih Papa! Max masih jauh lebih boyfriend-material dibanding Hansen! Dibanding pria manapun di dunia ini!" Teriak gue.

"Ouch. It hurts me so bad." Lirih Hans tanpa melihat gue.

"Okay! Okay! Kerja Hans kerja! Hihihi! Dee marah!" Papa memakai jasnya dan Hans hanya menggoyangkan kepalanya sambil memamerkan barisan giginya yang sangat rapih dan putih dan sangat ingin gue tonjok. Bibirnya mengucapkan sorry dan bye bye tanpa suara.

"Gue benci sama Papa yang jodoh-jodohin gue sama si Hans!" Gue perdalam injakan kaki gue di pedal gas.

"Muka ganteng, kerjaan oke, bawa Porsche 911, apalagi sih Dee yang kurang! Dia adalah Pangeran ber-Porsche putih yang diimpikan oleh setiap wanita!" Max tetap memainkan ukulele di tangannya dan bersenandung. Jalanan Dandenong Road agak lengang, gue dan Max hendak berkunjung ke rumah Maggy, Tante Max yang tinggal di pinggiran Dandenong.

"Itu masalahnya! Dia diimpikan banyak wanita, Maxie! Gue ga suka punya pasangan yang diimpikan banyak wanita! Gue milih pasangan yang mukanya pas-pasan dan kere! Ga kayak dia yang Apple of Eye-nya tiap perempuan! Disgusting pig!"

"Dia Apple of Eye lo juga dong?" Max membalikkan pernyataan gue.

"Fuck No!"

"Lo kenapa sih benci banget sama dia? Dia kan cuma numpang bernafas di rumah lo tiap pagi gara-gara Bokap lo mager banget buat nyetir dan minta dijemput sama dia! Kenapa lo bete dah! Suruh Bokap lo minta jemput yang lain kenapa! Atau lo anter kek Bokap lo ke kantor!"

"Oh jadi sekarang salah gue kalo gue bete?? Rumah rumah gue! Lo kenapa sih Max!"

"Fuck Dee! Lo yang kenapa! Lo ngeselin ya kalo udah mulai mikir kek cewek! Lo paksa gue buat bela lo dengan gue benci Hans atas alasan yang ga gue ngerti! Cewek banget kan! Nyari-nyari pembelaan atas hal yang bukan masalah gede! Fuck you and your problems! Lo lagi mens?? Mau coklat? Tinggal beli di Coles Dee! Ga usah ngamuk-ngamuk!"

"FUCK YOU MAX!"

"WELL FUCK YOU TOO!! ULTRA MEGA FUCK YOU!!"

Max meletakkan ukulelenya dan menaikkan volume EDM.

Beberapa hari sebelumnya:

"Dee, boleh minta nomer telepon kamu ga?" Hans menghampiri gue saat kami baru selesai membereskan dapur di cooking class.

"Umm...sure!" Gue ketik nomer gue di hapenya yang dia berikan ke gue.

"Thank you." Hans mengamati nomer gue di layarnya.

"Kamu mau kemana malem ini?" Sambungnya saat gue tidak menyambung obrolan.

"Ga ada acara sih, mau pulang, mandi, peluk Lexi sambil baca buku."

"Sounds nice!"

"Yeah! Kamu mau ngapain?" Tanya gue balik.

"Belum kepikiran."

Kami berjalan keluar restoran tempat kami belajar masak.

"Dee!"

"Ya?"

"Aku boleh anterin kamu pulang ga?"

"Tapi aku bawa mobil, Hans."

"Oh. Umm..aku boleh traktir kamu minum ga?"

Haha smooth Hans! Gue melihat matanya yang berkilat dan terus menatap gue.

"Oke, dimana?"

"Workers Club Fitzroy? Aku sering kesana dan tempatnya enak."

"Oh, aku sama Papa juga sering kesana!"

"Justru aku taunya emang dari Bram (Papa gue)! Haha!"

"Oh hahaha! Ketemu disana atau gimana?"

"Bareng aja gimana? Disana susah nyari parkirnya." Tawar Hans.

Gue melihat Porschenya yang terparkir tepat di belakang mobil gue.

"Bawa mobilku aja ya?" Tawar gue. Hans hanya tersenyum dan mengangkat bahu tanda terserah.

"Aku boleh nyoba nyetir ga?" Hans menatap Chevy Impala 1967 berwarna hitam dan merah di hadapan kami.

Gue tidak pernah mengijinkan pria lain menyetir mobil gue selain Max dan Papa. Mobil ini adalah hadiah kelulusan sarjana gue sekaligus welcoming gift atas kembalinya Diajeng ke Melbourne lagi. The Devil adalah segalanya buat gue hingga segala barang juga gue tumpuk di dalamnya. Tapi gue juga ingat Hans sering antar jemput Papa dan dia juga nice orangnya.

"Sure! Be gentle!" Gue berikan kunci mobil ke Hans.

"Wow! Thanks!"

Kami naik ke mobil. Hans memegang setir dengan lembut dan meremasnya. Tawanya tidak meninggalkan bibirnya. Dia amati interior mobil yang berwarna beige.

"Keren Dee! Aku ga pernah naik mobil klasik! Pernah sekali, Ferrari Monza! Itu juga cuma nyobain pas pameran! Ga pernah nyoba jalan beneran! Ini keren! Beli dimana?"

"Papa pesen langsung dari Texas."

"Serius?? Bram is MAD!!" Hans memutar kontak dan BRRRMMMM!! Mesin The Devil menggeram.

"FUUCCKK!! SO FUCKING BADASSSSS!! V8? THE ORIGINAL??"

Gue mengangguk dan tertawa melihat tingkahnya.

"Aahh fuck! So badasss!!" Hans tertawa dan berjingkrak sendiri di kursi kemudi. Dia menatap gue dan bertingkah seperti anak kecil yang baru mendapat mainan baru.

"Oh God! Aku nervous dan pengen ngebut nih! Boleh ga Dee?"

"You have the wheel, Hans!"

Memang dasarnya racer, dia bisa membawa mobil gue tampak lebih keren dengan menyalip sana-sini di sepanjang St. Kilda Road.

"I love it! I LOVE IT!! I LOOVEEE ITTT!!" Hans refleks memeluk gue saat kami turun di depan Workers Club. Kami memilih duduk di dekat jendela dengan The Devil terparkir di seberang jalan.

"Kamu belajar nyetir manual darimana?"

"Max yang ngajarin aku nyetir. Dia punya sedan Subaru di rumahnya, mobilnya udah tua, punya Papanya waktu masih bujang dan ga dipake lagi. Max belajar pake itu dan ngajarin aku."

"Wow! Cool! Cheers for The Devil!" Hans mengangkat botol birnya. Gue mengangkat gelas wine gue dan kami toast.

"Kamu tau darimana kalo namanya The Devil?"

"Dari Bram."

"Kok bisa ngomongin The Devil?"

"Umm sebenernya ngomongin kamu, terus nyambung ke The Devil!" Hans melihat gue dan mobil gue bergantian.

"Kalian ngomongin aku di kantor?"

"Aku yang sering nanya tentang kamu ke Papa kamu." Akunya sambil menunduk dan kembali melihat gue dengan senyumnya yang cerah. Gue dibuatnya mati gaya dan hanya bisa tertawa.

"Sorry. Aku pengen tau aja tentang kamu. Tiap liat foto kamu di meja Bram ada aja yang pengen aku tanyain."

"Apa yang udah kamu tau tentang aku?"

"Lovely girl."

"Hahaha stop it! Tell me!"

"Beneran! Aku suka denger Bram cerita tentang masa kecil kamu, tentang buku-buku yang kamu suka. Tentang kamu yang manja banget sama Papa kamu. You are lovely, Dee. I want to know more about you." Hans menatap gue lekat. Jantung gue berhenti berdetak beberapa detik dan gue menahan nafas atas sikapnya yang berubah tiba-tiba hangat dan lembut.

"Aku pengen dengar tentang kamu dari kamu." Tambahnya disertai menyentuh tangan gue yang terletak di atas meja.

"Hans?" Seorang wanita menghampiri kami berdua.

"Hai....Tammy!" Hans menarik tangannya dan memandang gue gugup. Wanita bernama Tammy itu melihat gue sinis.

"Who's this bitch?" Tanyanya marah. Gue melihat Hans yang menarik pinggangnya untuk duduk di pangkuannya.

"Dia...Dee. Temenku. Nothing, kita ga punya hubungan apa-apa, Tammy. Please!"

"Bitch!" Tammy menyebut kata itu sekali lagi....dengan siraman koktailnya ke muka gue....

Gue berdiri dan PLAK! gue tampar Sundal berambut coklat di pangkuan Hans. Semua orang melihat kami dan bartender sudah berkacak pinggang di balik bar, pertanda JANGAN RIBUT DI BAR GUE WOY!

"Jangan pernah temuin gue lagi Hans!" Gue acungkan telunjuk gue ke muka Hans.

"Dee, please!"

"GUE UDAH NGASIH LO IJIN BUAT NYETIR MOBIL GUE, BRENGSEK!! FUCK YOU, HANSEN! FUCK YOU AND FUCK YOUR baik!"

Gue keluar dari bar tanpa menoleh lagi meskipun dari sudut mata gue bisa melihat dia melihat gue dari jendela.

Untung tadi bawa mobil gue!

==========


"Lo bikin gue kuatir Dee! Kenapa bisa begini! Kita pulang dari Fitzroy kemaren lo baik-baik aja kan? Lo sakit gara-gara berantem itu??" Max duduk di samping ranjang gue dirawat sambil menggenggam lengan gue.

Gue menggeleng.

"Ga tau Maxie, gue balik ke rumah langsung tidur dan tengah malem gue muntah-muntah. Sempet membaik tapi dua hari kemudian gue muntah-muntah lagi, terus kata dokter gue harus di rawat."

"Gue tinggal pergi ke Queensland empat hari dan lo sakit Dee. Maaf gabisa nemenin lo dari kemarin."

"Lo sekarang udah disini, Max. Makasih. Gimana liburan lo? Dapet K9-nya?"

"Lo pucet." Max mengelus kening gue.

"Seperti yang lo minta, gue bawa pulang K9, German Shepherd Dog. Lo cepet sembuh biar segera ketemu sama dia."

"I will I will! Siapa namanya?"

"Vin. You'll love him."
Diubah oleh ladeedah 21-08-2019 18:36
kicquck
kicquck memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.