Kaskus

Story

blackrosestAvatar border
TS
blackrosest
THE OTHER PERSONALITY
THE OTHER PERSONALITY



THE OTHER PERSONALITY


THE OTHER PERSONALITY
Pict by google



Di dunia maya, saat ini tengah jadi perbincangan hangat tentang salah satu game (permainan) yang digolongkan ke dalam kriteria scary (menakutkan) dengan tingkat bahaya medium (menengah). Mereka menyebutnya The Other Personality.

Aku termasuk orang yang suka dengan misteri dan akan berusaha memecahkannya. Semakin adrenalinku terpacu, aku semakin bahagia.

Game scary ini tengah menjadi pusat perhatianku. Beberapa kali menggali info dari beberapa situs di internet, akhirnya aku mengetahui bagaimana cara memainkannya.
Setelah beberapa perlengkapan yang dibutuhkan sudah komplet, malam nanti akan menjadi awal permainan ini.

***

Tepat tengah malam–jam dua belas–aku kunci pintu dan jendela kamar, juga gorden. Lampu pun sudah dalam keadaan mati, harus dipastikan tak ada sedikit pun cahaya masuk, termasuk ponsel dan jam digital. Karena jika ada bias cahaya meskipun sedikit, permainan ini akan gagal.

Berikutnya, cermin sudah kuletakkan di atas meja. Sebuah kertas bertuliskan Rose–nama lengkapku–berada di sebelahnya. Mainan kesayangaku dari kecil, yaitu boneka kayu yang matanya telah copot sebelah karena termakan usia, kubaringkan di atas kertas nama tadi.

Cerminnya sedikit kugeser agar bisa menangkap jelas bayangan wajahku. Hati-hati aku menyalakan lilin, kemudian menaruhnya dengan posisi yang pas sehingga hanya area wajahku saja yang terlihat terang.

Saatnya mantra diucapkan!

“Keluar!”

“Keluar!”

“Keluaaar!” Mantra ketiga kuucapkan dengan sedikit hentakan, juga dengan wajah menatap cermin.

Hening, gelap, kutatap pantulan wajahku di dalam cermin. Tak ada perubahan.

Satu detik ... dua detik ... tiga! Berhasil! Tiba-tiba wajah dalam cermin berubah. Seolah menampakkan sisi jahat diriku. Ia terlihat buas, seram, dengan mata melotot tajam, dan bibir menyeringai penuh dendam.

Mataku terus menatap wajah menyeramkan itu. Dia terlihat hidup, matanya mengedip sendiri, padahal mataku masih melotot padanya. Ini bukan seperti bayangan, tapi terlihat seperti sosok yang terperangkap dalam cermin.

Arahan terakhir dalam permainan ini, seharusnya aku keluar meninggalkan kamar sampai matahari terbit. Namun, aku cukup lelah, jadi kuputuskan untuk tidur saja. Inilah kesalahan fatal yang kulakukan! Melanggar aturan permainan.

***

Pagi ini berjalan normal seperti biasa. Ah, permainan semalam hanya mitos semata, cerita omong kosong. Sampai aku dikejutkan saat tengah menyisir rambut. Refleks, sisir di tangan melayang ke arah cermin. Terkejut melihat bayanganku di sana, makhluk dalam cermin semalam. Ia menyeringai buas, matanya memerah.

“Rose ... Rose ....” Sayup kudengar sebuah bisikan. Kututup kedua telinga, kemudian bergegas keluar dari kamarku.

Kejadian itu terus berulang, setiap berkaca, sisi menyeramkan dalam diriku lah yang muncul. Terkadang berbisik, mengajakku melakukan hal-hal bodoh. Mulai saat itu, aku takut melihat cermin.

***

Sedikit malas, kupaksakan juga bangun dari tidurku, ketika mendengar suara ribut-ribut. Paling dari tetangga depan rumah, orang yang hobi bikin onar. Terakhir aku adu mulut gara-gara anjingnya yang hampir saja menggigitku. Dari dulu, aku benci anjing itu.

Bangun dari tempat tidur, samar kucium seperti bau amis darah. Ya Tuhan! Ada noda darah kering di tanganku. Setengah panik mengecek seluruh badan, memastikan tak ada yang luka. Normal, tidak ada luka sedikitpun. Bahkan aku tak merasakan sakit.

Bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri, setelah itu menghampiri meja makan untuk sarapan.

“Mam, tadi pagi ada suara ribut apa, sih?” tanyaku pada mama.

“Itu bu Dendi histeris pas liat anjingnya mati mengenaskan. Kepalanya buntung, isi perutnya keluar,” jawab mama. Sontak aku tersedak, kaget antara percaya atau tidak. Siapa yang tega melakukan hal sadis macam itu. Meski aku sangat membencinya, tapi tak akan setega itu.

Namun, hal janggal mendadak masuk dalam pikiranku. Selesai makan, aku kembali ke dalam kamar. Memikirkan tentang mimpiku semalam.

“Rose ... Rose... bangun ... bunuh dia, Rose!” Aku tengah terlelap, tetapi antara mimpi dan nyata bisikan itu datang.

Baru teringat, dalam mimpi aku ternyata yang membunuh anjing itu. Darah di tanganku? Apa ini artinya bukan hanya sekadar mimpi? Tidak mungkin! Aku mulai frustrasi, mengacak-acak rambutku dengan kasar sambil mondar-mandir tak jelas.

Ujung mataku menangkap kilatan benda tajam di kolong ranjang, kemudian aku mendekatinya.
‘Sialan!’ rutukku dalam hati. Gemetar menggenggam pisau berlumuran darah.

Di seberang sana, dalam cermin, kembali wajahku menyeringai. Sontak kulempar kaca itu dengan pisau di tangan.

Prank! Pecah berhamburan, membuat kaget mama yang langsung datang memasuki kamarku.

Kini, cermin menjadi musuhku. Setiap melihatnya aku akan berteriak histeris, ketakutan. Makhluk sialan itu selalu menggangguku. Aku menjadi aneh dan sering ketakutan. Bahkan wajah menyeringai itu terlihat dalam pantulan piring. Lalu berakhir berserakan di lantai akibat kubanting.

Bukan hanya aku yang frustasi, tapi mama dan papa terlihat shok. Anaknya–aku–hanya mengurung diri di kamar, antara waras dan tidak.

Pada akhirnya, di sinilah tempatku. Sepi, sendiri, dalam gelap. Terkadang, aku melihat mama sering terisak di kamarku. Air matanya membasahi wajahku dalam figura yang selalu ia peluk. Kamar sudah kembali normal, kacapun sudah dipasang seperti semula.

“Ma, aku masih di sini,” ucapku. Namun, selalu gagal seberapa kuatnya aku berteriak, mama tak akan mendengar.

Sedikit peraturan yang kulanggar ternyata malah merenggut nyawaku. Bisikan membunuh dari iblis sialan itu terus terngiang. Tak ingin mama dan papa jadi korban, kuputuskan mengakhiri permainan ini. Goresan kaca diurat nadiku lah yang membuat ‘game over’ (tamat).

Sekarang, kaca adalah rumah baruku. Aku bisa menatap siapa saja yang bercermin. Terkadang aku menjaili mereka demi membunuh rasa sepiku. Bisa tertawa puas ketika melihat orang berlari ketakutan.

Mau bertemu denganku? Bercerminlah tengah malam dalam keadaan gelap, jadikan lilin sebagai cahaya. Maka, aku akan menemanimu.

-END-
Black Rose
03.07.19

---***---

KUMPULAN INDEKS

The Blind Maiden

WHITE STRING
Diubah oleh blackrosest 21-08-2019 16:19
KnightDruidAvatar border
anasabilaAvatar border
someshitnessAvatar border
someshitness dan 8 lainnya memberi reputasi
9
7K
45
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
blackrosestAvatar border
TS
blackrosest
#43
WHITE STRING
kaskus-image
Pict by google


Quote:



------------------------------------------------------

WHITE STRING


Bel tanda waktunya pulang sudah berdenting, disusul riuhnya teman-teman yang sudah tak sabar melepaskan diri dari pelajaran yang membuat penat isi kepala. Termasuk aku, yang langsung menghela napas panjang kemudian mengembuskannya kembali. Berharap mengurangi rasa dongkol yang sejak pagi kurasakan. Bagaimana tidak, hampir semua teman-teman sibuk memamerkan anting baru yang bergelantung indah di telinga mereka. Sepertinya hanya aku yang belum memakainya. Karena kedua orang tuaku masih mempercayai mitos lama para leluhur yang mengatakan bahwa tidak baik jika anak perempuan menindik telinga mereka.

“Aku pulang ...,” ucapku sembari merebahkan diri di atas sofa. Mama muncul dari arah dapur, membawa piring berisi hidangan untuk makan siang kami.

“Rose, wajahmu kenapa? Persis kertas koran yang habis dibaca, kusut.” Mama masih sibuk menata meja makan sambil sesekali memperhatikanku.

“Mom, please. Kasih izin aku buat tindik kuping, ya? Semua teman-teman sudah memakai anting cantik di kuping mereka. Hanya aku yang masih ketinggalan zaman,” rutukku. Masih dengan wajah ditekuk.

“Tapi Rose—“

“Mom, ayolah ... jangan termakan mitos. Ini sudah zaman modern. Buktinya sekarang banyak perempuan yang sudah menindik kuping mereka, dan mereka baik-baik saja.”

“Baiklah, nanti Mama bicarakan ini dengan Ayahmu.”

Aku melonjak kegirangan mendengar jawabannya. Lantas segera menuju kamar untuk berganti pakaian.

***

Usai makan malam, kami berkumpul di ruang keluarga untuk nonton TV. Sedangkan aku tengah sibuk membaca novel.

“Rose, ini uang untuk pergi ke dokter. Tindik kuping di sana supaya aman.” Ayah menyerahkan beberapa lembar uang yang langsung kusambut dengan sangat antusias.

“Ok, Yah. Thank’s,” ucapku sambil memeluk tubuh tegapnya.

***

“By, pulang sekolah anterin aku ke dokter ya. Mau tindik kuping nih. Sebelum itu kita ke mall dulu, buat cari anting yang bagus,” ujarku pada Ruby, sahabat sekaligus teman sebangku.

“Ok! Eh tapi, daripada ke dokter, mending tindik sendiri aja. Sayang duitnya, Rose. Mending buat beli yang lain.” Perkataan Ruby membuatku berpikir ulang.

“Hmm ... tapi kamu bantuin aku, ya?”

“Tenang aja,” jawab Ruby.

***

Di dalam kamar Ruby, kami berdua mulai menyiapkan jarum dan lilin. Ruby mulai memanaskan jarum tersebut sebelum melubangi daun telingaku. Rasa takut mulai merayap, membuat dada sedikit berdebar. Namun, perasaan itu perlahan hilang saat melihat anting yang berada di genggaman.

“Kau siap, Rose?” Pertanyaan Ruby kujawab dengan anggukan, lalu disusul satu tarikan napas sambil memejamkan mata. Sedetik kemudian, rasa sakit dan perih langsung terasa saat jarum panas itu menusuk daun telingaku.

“Nah, selesai. Rose, lihatkah kau semakin cantik dengan anting-anting ini.” Ruby menyerahkan sebuah cermin yang langsung kugunakan untuk memastikan ucapannya.

“Ruby, ini sungguh luar biasa. Thank’s,” ucapku dengan senyuman tersungging kala menatap pantulan wajahku dalam cermin tersebut.

***

Aku tak pernah merasa bersemangat pergi sekolah seperti hari ini. Kurasa terakhir kali merasakannya saat mulai masuk SMP satu tahun lalu. Kali ini, semangat itu dipicu karena telah ada sepasang anting yang bergelantung cantik menghias kedua telingaku. Tak sabar ingin segera memperlihatkannya kepada teman-teman yang lain, dan membayangkan pujian kata cantik yang memberondongku.

“Rose ... wow, kamu cantik memakai anting itu,” puji Khatrine.

“Iya, antingnya lucu dan cantik,” timpal Rania.

Akhirnya kami tenggelam dalam pembicaraan tentang model anting terbaru, harga termurah, dan lain-lain seputar perhiasan tersebut.

***

Malam semakin larut, tetapi sedari tadi tubuhku hanya bolak-balik gelisah di atas tempat tidur. Ini diakibatkan karena rasa gatal dan panas di kedua telingaku. Dengan perasaan kesal, akhirnya kulangkahkan kaki menghampiri cermin untuk melepas anting-anting ini. Setelah lepas, tampak bagian yang ditindik terlihat memerah seperti radang. Tak hanya itu, seperti ada seutas benang putih yang sangat halus menjulur keluar. Entah, benang apa itu. Karena penasaran, aku pun menariknya. Namun seperti tanpa ujung, benang itu terus saja memanjang. Merasa tak sabar, akhirnya kuputuskan memotongnya menggunakan gunting. Akan tetapi, tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

“Mama ... Ayaaah, toloong!” Teriakanku seketika pecah, disusul suara langkah kaki yang terdengar setengah berlari.

“Ada apa, Rose?” Mama langsung bertanya.

“Ma, kenapa semuanya gelap?” jawabku dengan tangisan histeris. Mama dan Ayah langsung panik kemudian segera membawaku ke rumah sakit terdekat.

“Mengapa kamu jadi begini?” tanya Dokter yang memeriksaku. Kemudian mengalirlah cerita dari awal aku dan Ruby menindik telinga dengan jarum. Pipiku telah kuyup oleh air mata.

“Maafkan aku, sepertinya kamu akan menjalani ini seumur hidupmu,” ucap sang Dokter. Seolah ada yang meremas dan mencabut jantungku, hingga detaknya terasa berhenti.

“Ma-maksud Dokter?” tanya Mama yang juga terdengar syok.

“Benang putih itu tak seharusnya dipotong hingga berakibat fatal seperti ini,” ujar Dokter mulai menjelaskan.

“Jadi, sebenarnya benang apa itu?” Ayah ikut bertanya.

“Itu adalah saraf mata.”

End
Black Rose
21.08.19
DeYudi69
DeYudi69 memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.