- Beranda
- Stories from the Heart
The Way You Are
...
TS
ladeedah
The Way You Are
Quote:
Friendship is not always about finishing each other's sentences or remind you to the lyrics you forget. Many times, friendship is about how fluent are both of you in speaking silence.
-- Maxwell.
INDEKS
Spoiler for Indeks:
Diubah oleh ladeedah 08-09-2019 07:30
evywahyuni dan 11 lainnya memberi reputasi
12
24.9K
185
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•4Anggota
Tampilkan semua post
TS
ladeedah
#30
Rough Road
"Mi goreng dua, mi kuah satu!" Hans memesan makanan ke pelayan yang berdiri di balik etalase. Malam itu kami bertiga makan di luar sepulang kerja. Jangankan masak, untuk menyetir hingga sampai depan rumah saja perut dan rasa lelah sudah tandem untuk menolak.
Gue bukan fans chinese food, tapi gue juga sudah tidak punya energi untuk memilih tempat makan. Pilihannya hanya ada chinese food dan McD di jalan ini. Hans tidak akan mau menyentuh McD, dia sudah pensiun makan McD sejak berusia 16 tahun karena dia bilang itu tidak sehat. Boring Hans!
Max duduk di hadapan gue lalu meletakkan keningnya di atas meja, rambutnya yang ikal kecoklatan semakin gondrong dan berantakan jatuh ke meja. Gue sisirkan jari gue ke kepalanya. Dia menyukai itu, saat gue garuk pelan kepalanya dengan ujung-ujung kuku, apalagi pake alat relaksasi kepala yang bentuknya seperti adukan kue/whisker yang dipotong ujungnya.
"Gimana hari ini, Baby?" Hans meletakkan kepalanya di bahu gue dan satu tangannya ia selipkan di antara kedua kaki yang gue silangkan. Ada lelah di suaranya. Pertanyaannya juga terdengar retoris hanya untuk mengisi kesepian di antara kami.
Sudah jam 8:45 malam. Hanya ada kami bertiga di dalam tempat makan yang tidak besar. Musim yang baru memasuki musim semi masih terasa dingin dan hujan yang turun setiap hari juga membuat sendi terasa kaku untuk digerakkan, meningkatkan rasa lelah dan malas.
"Sama kayak kalian." Jawab gue juga lelah. Max masih tidak bergerak dengan sisiran jari kanan gue. Dari nafasnya gue yakin dia tidur.
"Dee?"
Sebuah suara memanggil gue dari belakang gue dan Hans. Kami menoleh.
"Hai Orin!"
Gue berdiri dan bercipika-cipiki dengannya.
"Hans, ini Orin. Orin ini Hans. Ini Max. Dia tidur haha!"
Hans dan Orin bersalaman.
"Lo sendirian Rin?"
"Enggak, gue sama cowok gue! Itu dia!"
Seorang pria yang juga Asian seperti Orin masuk tempat makan. Mereka menarik kursi ke meja kami setelah berkenalan.
"Kalian temen kerja?" Tanya Hans setelah mereka memesan makanan.
"Bukan temen satu tempat kerja, tapi Orin kerja jadi wholesale suplier bahan-bahan yang aku beli." Jelas gue dijawab anggukan mantap oleh Orin.
"Dia sakit?" Tanya Lee, pacar Orin sambil menunjuk Max yang tak bergerak dari posisinya sejak mereka datang. Tangan kiri gue masih bermain di kepalanya.
"Enggak, dia tidur, kecapean! Kami juga baru pulang kerja." Jawab Hans.
Makanan kami bertiga datang.
"Maxie! Bangun!" Gue bangunkan Max. Dengan muka bantal dan ences di bibirnya dia mengangkat kepala kaget, lalu melihat sekitar dan segera mengelap mulutnya dengan lengan jaketnya.
"Sorry! Gue ga tau kalo ada yang gabung! Hai!" Max mengulurkan tangannya menyalami Orin dan Lee. Dia pamit ke kamar mandi dan kembali tak lama kemudian.
"Lo kerja dimana Lee?" Tanya Hans
"Gue di MH Autos. Lo?"
"Multiplex Construction."
"Oh! Yang gedung baru sebelah Commbank?" Sahut Lee bersemangat.
"Kok tau?" Tanya Hans heran.
"Iya patung di depannya eyecatching!"
"Oh thanks! Tuhkan bener patung itu bawa hoki Max!" Hans dan Max tertawa.
"Lo mau coba mi gue ga? Enak tau kek Indomie!" Max menyumpit minya dan menyuapkan ke mulut gue.
"Aaaww kalian sweet banget! Ga salah kalo kalian jadi suami istri!" Pekik Orin sambil bertepuk tangan kecil dan meringis ke arah gue dan Max. Gue, Hans dan Max menatap Orin terpaku lalu tertawa terbahak bersamaan.
"Suami gue yang ini, Orin!" Gue peluk lengan Hans. Max dan Hans tetap tertawa.
"Oops....abisnya lo bilang lo punya suami, maaf Haans gue kira..."
"Its OK Orin! Dee emang punya dua suami! Hahaha!" Hans memotong Orin yang seketika pucat karena malu.
“Dee, gue mau ke rumah Kakek weekend ini. Lo mau ikut ga?”
“Dimana rumah Kakek lo?”
“Queensland.”
“Yah jauh! Mana boleh sama Papa!”
“Coba aja bilang, Dee. Sampe hari Selasa aja kok!”
“Udahlah pasti ga boleh Max kalo ga ada Mama atau Papa.”
Max mendesah pelan.
“Eh sepatu lo baru??”
Gue baru menyadari Vans berwarna hitam bergaris putih di kakinya masih mulus baru.
“WEITS! MAU LO INJEK YA! ENAK AJA!” Max langsung berlari dan gue kejar.
“Anjing capek, Dee! Udah udah ampun!”
“Haaaa kena lo!”
Max adalah pelari yang payah. Dia tidak suka lari-lari sementara gue lebih unggul secara stamina. Satu-satunya pelajaran yang nilai gue lebih tinggi dari Max adalah pelajaran PE/Penjaskes. Wkwkwk. Mudah bagi gue mengalahkan Max dan menginjak-injak sepatu barunya.
“Udah sih Dee! Huhuhuuu!” Max memohon sambil meringis kesakitan. Dia duduk di lapangan sambil membenarkan tali sepatu dan membersihkan sepatunya.
“Hari ini lo les gitar kan?” Tanyanya saat gue telentang kelelahan di lapangan basket yang diteduhi pepohonan. Gue mengangguk. Rasa haus terasa sangat mencekat namun botol minum terlalu jauh di kelas. Max menyusul gue berbaring.
Langit siang yang sangat biru menjadi kontras bagi daun-daun yang hijau segar. Musim semi tengah berlangsung. Aroma bunga-bunga yang bermekaran di dekat pagar menyapa hidung yang melewatinya, namun sering tak bertahan lama karena siswa-siswi Prep selalu memetik bunga-bunga itu.
“Gue mau beli skateboard sama Mama di Kmart ntar pulang sekolah.” kata Max.
"Udah kumpul tabungan lo?"
Max memang menabung untuk bisa membeli skateboard pertamanya. Skateboard incarannya berwarna hitam dan merah seharga $20. Max sudah menabung lebih dari sebulan untuk skateboard itu.
Kami anak-anak di Australia tidak diberi uang saku saat sekolah, terutama saat kami SD yang pulang pergi sekolah dijemput, juga tidak ada kantin di sekolah sehingga makanan kami hanya bekal yang dibawa dari rumah. Orang tua gue dan Max juga tidak mudah memberi kami uang atau apapun yang kami minta.
Papa selalu menyuruh gue membereskan membaca buku tertentu kalau gue mau uang atau minta dibelikan sesuatu. Orang tua Max menyuruh Max membantu pekerjaan rumah atau membersihkan kebun di sekeliling rumah jika ingin dapat uang.
Masa kecil kami susah, Kakak!!
"Udah, $23! Lumayan yang $3 bisa gue beliin slurpee di SevEl!" Max bangkit dan mengulurkan tangannya agar gue bangkit juga.
“Emang lo udah bisa maen skateboard?”
“Belom dongo! Makanya gue beli biar gue belajar!”
“Apa spesialnya dari skateboard? Bukannya enakan naek sepeda ya?”
“Gue beberapa kali nyobain punya Bobby enak sih, bisa bediri, ga harus selalu gowes kayak sepeda."
“Terus lo mau latian dimana? Depan rumah?”
“Ya sambil jalan ajalah ke sekolah juga!”
Gue tidak ikut memilih skateboard pertama Max. Namun yang pasti, keesokan harinya dia sudah membawa skateboard barunya ke sekolah. Masih mengenakan helm, pelindung lutut dan siku, dia kletek-kletek dengan gugup. Wkwkwk.
“Wohohoy! Udah bisa lo??”
“Belom! Minggir!” teriaknya. Gue segera memberinya tempat untuk dia meluncur di lapangan. Dia coba lagi dengan beberapa kali miring dan hampir jatuh. Hari itu dan hari-hari berikutnya, dia semakin mahir berskateboard.
"Lo mau ngapain ntar weekend?” Tanyanya. Gue bantu dia mengemasi beberapa baju ke dalam tas punggung yang akan dia bawa.
Gue dan Max tidak pernah berpisah jauh selain di rumah masing-masing. Kepergiannya ke Queensland adalah perpisahan terjauh yang akan kami lakukan saat itu. Biasanya Kakek Neneknya yang datang berkunjung saat liburan. Weekend-weekend pun kami selalu bersama, namun weekend berikutnya mungkin akan terasa berbeda saat Max tidak ada.
"Ga tau. Belum ada rencana apa-apa sama ortu gue."
"Eh sore ini ke Fitzroy Garden yuk Dee!"
"Jauh oy! Myki (tiket transportasi umum) gue dibawa Papa!"
"Pake punya Bobby aja! Kan deket sama kantor Papa gue, ntar pulangnya kita bareng dia!"
"Yaudah deh!"
Kami pamit ke Mama Max untuk pergi dan menelepon Papa gue bahwa kami akan main di Fitzroy Garden. Max membawa skateboardnya dan memamerkan beberapa trik yang sudah dia kuasai di jalan menuju stopan tram.
"Lo pengen punya anjing ga Dee?"
"Pengen banget! Tapi sama Papa belum boleh karena di rumah kami yang sekarang ga boleh piara anjing."
"Kakek gue punya usaha breeding anjing. Kalo lo mau gue mintain ke mereka."
"Lo mau miara anjing??"
"Gue ga tau, pengen juga sih. Tapi belum tau pengen yang jenis apa."
"Golden!"
"Hmm, mungkin."
Kami tiba di Fitzroy Garden, salah satu taman yang terletak di pusat kota Melbourne. Cukup besar dan tidak terlalu ramai sehingga Max bebas berlatih skateboardnya.
"Sini cobain!"
Max tarik tangan gue untuk naik ke atas papan beroda empat itu. Gue berusaha menyeimbangkan tangan meskipun dia masih memegang ujung jari gue.
"Jangan lepasin gue! Jangan lepasin gue!!" Teriak gue panik. Max mendorong skateboard dengan kakinya dan skateboard meluncur pelan. Bersamaan dengan luncurannya, dia lepaskan tangan gue. Lajunya yang pelan segera berhenti dan gue ingin mencoba lagi. Max ajari gue cara menyeimbangkan kaki meskipun gue hanya berdiri dan dia dorong skateboardnya.
"OI BRANISLAV BOY WITH HIS BITCH AGAIN!"
Kami menoleh. Ada lima anak laki-laki dan satu perempuan melangkah ke arah kami. Gue tidak pernah melihat mereka sebelumnya. Melihat ukuran tubuh mereka tampaknya bukan seumuran kami tapi lebih ke anak-anak Senior High (SMP-SMA).
"Siapa Max?" Tanya gue.
"Temen-temennya Bobby."
"Oi liat skateboard baru!" Salah satunya merebut dengan kaki skateboard Max yang masih di satu kaki gue. Gue kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk. Mereka tertawa.
"Skateboard murahan nih!" Kata salah satunya sambil memeriksa papan dan roda skateboard.
"Whose the name of your bitch, Branislav?" Tanya yang lainnya.
Ada yang hidup di era 90an saat kalian saling manggil nama temen dengan nama Bapaknya? Lebih ke bulian , membuli dengan nama Bapaknya. Anak-anak bule melakukan hal yang sama dengan memanggil nama belakang karena nama belakang adalah Family Name yang turun temurun. Branislav adalah nama Kakek Max dari Mamanya dan nama itu juga masih melekat di nama Mamanya.
Gue dan Max juga sering memanggil nama belakang keluarga kami saat becanda. Jadi tergantung konteks. Namun saat itu gue lihat Max tidak nyaman dengan kehadiran mereka. Max selalu menggigit sudut bibir kanan bawahnya saat berada di keadaan yang membuat dia tidak nyaman dan akan terus ia gigit sampai berdarah jika dia tidak segera menemukan solusi dari kegugupannya.
Gue segera tau teman-teman Bobby ini adalah bully.
"I am Dee!" Jawab gue berani.
"Yo Dee! Lo bawa duit ga?" Salah satu dari anak laki-lakinya mendekati gue.
"Punya tapi ga akan gue kasih ke lo!" Bentak gue. Memang ada receh $5 di saku celana gue saat itu.
"Kasih ke gue, pinjem dulu ntar gue balikin ke Bobby!" Katanya dan disambut tawa oleh teman-temannya.
"Go away you Guys! Leave us alone, please!" Pinta Max.
"Kasih kita duit atau bekel kalian deh!"
"Kami cuma bawa minum! Ga bawa apa-apa!"
"Yaudah duit lo sini Dee!" Pinta si bocah nakal.
"NO!" Tolak gue.
"YOU BITCH!" Si perempuan mengambil alih dan menarik rambut gue. Teman-temannya bersorak agar kami gelut.
Gue mempertahankan diri. Gue lakukan yang gue bisa.
Gue kepalkan tinju gue dan memukul sekenanya ke badan dan mukanya. Begitu pula kaki yang tak ketinggalan menendang. Dia juga sama, rambut gue yang memang lebih panjang memudahkan untuk dijambak.
"STOP IT!" Max berusaha melepaskan cengkeraman tangan si Sundal di rambut gue namun teman-teman laki-lakinya menarik Max. Gue berhasil lepas dan mendorong tubuh si Sundal hingga terguling jatuh. Max juga melawan dan berhasil melepaskan diri. Dia tarik tangan gue untuk lari dari mereka.
"Run Dee! Dont stop!" Ajaknya.
Kami berusaha lari ke tempat terbuka yang dapat dilihat orang dewasa.
"Oi Branislav! Your skateboard!"
Gue dan Max menoleh. Mereka tidak mengejar tapi mengacungkan skateboard Max ke udara dengan kedua tangannya. Lalu dalam sekali bantingan ke aspal ada yang terpental dari skateboardnya, rodanya lepas dan terpental karena papannya masih utuh saat mereka acungkan lagi sambil tertawa. Max mendengus kesal dan menarik gue untuk lari lagi.
"Skateboard lo..."
Gue memandang tengkuk Max yang berjalan cepat di depan gue. Di tetap diam.
"Maxie!" Gue tarik lengannya untuk menunggu gue. Saat gue sudah disampingnya, air mata sudah mengalir di pipinya yang memerah. Hidung dan matanya yang berkulit putih juga memerah.
"Maxie, I am sorry!" Gue tahan lengannya agar berhenti, lalu gue tarik Max ke pelukan gue dan dia menangis tanpa suara.
"Gue beli itu pake uang gue sendiri Dee!" Bisiknya diantara sedunya.
"I know! Its OK, we will figure it out, Buddy!"
Gue usap air matanya dengan ujung jaket gue.
"Bibir lo luka. Stop biting your lip!" Gue usap darah yang bercampur air mata dan ingus di antara bibirnya. Kebiasaan Max saat panik dan menggigit bibir sering membuat dia melukai dirinya sendiri.
"Lo ga kenapa-kenapa Dee?"
"Gue belajar gelut kayak lo! Gue setrong! Hahaha!"
"Jeez! Lo berantakan Dee!"
Gue memang merasakan sakit di kulit kepala akibat jambakan tadi dan perih di beberapa di bagian tubuh gue terkena cakaran Si Sundal.
"Kayaknya gue tau anjing apa yang harus lo piara, Max!" Gue mengusap bekas cakaran-cakaran yang berdarah dan membasahinya dengan air liur gue.
"Apa?"
"K9!"
"German Shepherd?" Max meyakinkan.
"German Shepherd Dog! Buat ngejarin bully bully kita!"
"Hahaha! Bener juga! Gue akan bilang ke Kakek!"
Tak lama kemudian Papa Max datang menjemput kami dan mengantar gue pulang. Beruntung hari sudah hampir petang sehingga dia tidak melihat berantakannya kami setelah gelut.
"Waduh, kamu habis ngapain Dee?" Papa mengamati wajah gue yang baru masuk rumah.
"Jatoh dari skateboard." Jawab gue singkat. Mama duduk di depan tivi melihat gue lekat.
"Sini Mama periksa, Sayang!" Mama mengulurkan tangannya.
"Ga usah!" Gue melengos ke kamar.
"DEE! TIDAK BOLEH BEGITU KE MAMA! SINI KAMU!"
Bentakan Papa tidak membuat gue kembali ke ruang tamu. Gue justru semakin erat menarik selimut dan sembunyi di baliknya.
Gue bukan fans chinese food, tapi gue juga sudah tidak punya energi untuk memilih tempat makan. Pilihannya hanya ada chinese food dan McD di jalan ini. Hans tidak akan mau menyentuh McD, dia sudah pensiun makan McD sejak berusia 16 tahun karena dia bilang itu tidak sehat. Boring Hans!
Max duduk di hadapan gue lalu meletakkan keningnya di atas meja, rambutnya yang ikal kecoklatan semakin gondrong dan berantakan jatuh ke meja. Gue sisirkan jari gue ke kepalanya. Dia menyukai itu, saat gue garuk pelan kepalanya dengan ujung-ujung kuku, apalagi pake alat relaksasi kepala yang bentuknya seperti adukan kue/whisker yang dipotong ujungnya.
"Gimana hari ini, Baby?" Hans meletakkan kepalanya di bahu gue dan satu tangannya ia selipkan di antara kedua kaki yang gue silangkan. Ada lelah di suaranya. Pertanyaannya juga terdengar retoris hanya untuk mengisi kesepian di antara kami.
Sudah jam 8:45 malam. Hanya ada kami bertiga di dalam tempat makan yang tidak besar. Musim yang baru memasuki musim semi masih terasa dingin dan hujan yang turun setiap hari juga membuat sendi terasa kaku untuk digerakkan, meningkatkan rasa lelah dan malas.
"Sama kayak kalian." Jawab gue juga lelah. Max masih tidak bergerak dengan sisiran jari kanan gue. Dari nafasnya gue yakin dia tidur.
"Dee?"
Sebuah suara memanggil gue dari belakang gue dan Hans. Kami menoleh.
"Hai Orin!"
Gue berdiri dan bercipika-cipiki dengannya.
"Hans, ini Orin. Orin ini Hans. Ini Max. Dia tidur haha!"
Hans dan Orin bersalaman.
"Lo sendirian Rin?"
"Enggak, gue sama cowok gue! Itu dia!"
Seorang pria yang juga Asian seperti Orin masuk tempat makan. Mereka menarik kursi ke meja kami setelah berkenalan.
"Kalian temen kerja?" Tanya Hans setelah mereka memesan makanan.
"Bukan temen satu tempat kerja, tapi Orin kerja jadi wholesale suplier bahan-bahan yang aku beli." Jelas gue dijawab anggukan mantap oleh Orin.
"Dia sakit?" Tanya Lee, pacar Orin sambil menunjuk Max yang tak bergerak dari posisinya sejak mereka datang. Tangan kiri gue masih bermain di kepalanya.
"Enggak, dia tidur, kecapean! Kami juga baru pulang kerja." Jawab Hans.
Makanan kami bertiga datang.
"Maxie! Bangun!" Gue bangunkan Max. Dengan muka bantal dan ences di bibirnya dia mengangkat kepala kaget, lalu melihat sekitar dan segera mengelap mulutnya dengan lengan jaketnya.
"Sorry! Gue ga tau kalo ada yang gabung! Hai!" Max mengulurkan tangannya menyalami Orin dan Lee. Dia pamit ke kamar mandi dan kembali tak lama kemudian.
"Lo kerja dimana Lee?" Tanya Hans
"Gue di MH Autos. Lo?"
"Multiplex Construction."
"Oh! Yang gedung baru sebelah Commbank?" Sahut Lee bersemangat.
"Kok tau?" Tanya Hans heran.
"Iya patung di depannya eyecatching!"
"Oh thanks! Tuhkan bener patung itu bawa hoki Max!" Hans dan Max tertawa.
"Lo mau coba mi gue ga? Enak tau kek Indomie!" Max menyumpit minya dan menyuapkan ke mulut gue.
"Aaaww kalian sweet banget! Ga salah kalo kalian jadi suami istri!" Pekik Orin sambil bertepuk tangan kecil dan meringis ke arah gue dan Max. Gue, Hans dan Max menatap Orin terpaku lalu tertawa terbahak bersamaan.
"Suami gue yang ini, Orin!" Gue peluk lengan Hans. Max dan Hans tetap tertawa.
"Oops....abisnya lo bilang lo punya suami, maaf Haans gue kira..."
"Its OK Orin! Dee emang punya dua suami! Hahaha!" Hans memotong Orin yang seketika pucat karena malu.
======
“Dee, gue mau ke rumah Kakek weekend ini. Lo mau ikut ga?”
“Dimana rumah Kakek lo?”
“Queensland.”
“Yah jauh! Mana boleh sama Papa!”
“Coba aja bilang, Dee. Sampe hari Selasa aja kok!”
“Udahlah pasti ga boleh Max kalo ga ada Mama atau Papa.”
Max mendesah pelan.
“Eh sepatu lo baru??”
Gue baru menyadari Vans berwarna hitam bergaris putih di kakinya masih mulus baru.
“WEITS! MAU LO INJEK YA! ENAK AJA!” Max langsung berlari dan gue kejar.
“Anjing capek, Dee! Udah udah ampun!”
“Haaaa kena lo!”
Max adalah pelari yang payah. Dia tidak suka lari-lari sementara gue lebih unggul secara stamina. Satu-satunya pelajaran yang nilai gue lebih tinggi dari Max adalah pelajaran PE/Penjaskes. Wkwkwk. Mudah bagi gue mengalahkan Max dan menginjak-injak sepatu barunya.
“Udah sih Dee! Huhuhuuu!” Max memohon sambil meringis kesakitan. Dia duduk di lapangan sambil membenarkan tali sepatu dan membersihkan sepatunya.
“Hari ini lo les gitar kan?” Tanyanya saat gue telentang kelelahan di lapangan basket yang diteduhi pepohonan. Gue mengangguk. Rasa haus terasa sangat mencekat namun botol minum terlalu jauh di kelas. Max menyusul gue berbaring.
Langit siang yang sangat biru menjadi kontras bagi daun-daun yang hijau segar. Musim semi tengah berlangsung. Aroma bunga-bunga yang bermekaran di dekat pagar menyapa hidung yang melewatinya, namun sering tak bertahan lama karena siswa-siswi Prep selalu memetik bunga-bunga itu.
“Gue mau beli skateboard sama Mama di Kmart ntar pulang sekolah.” kata Max.
"Udah kumpul tabungan lo?"
Max memang menabung untuk bisa membeli skateboard pertamanya. Skateboard incarannya berwarna hitam dan merah seharga $20. Max sudah menabung lebih dari sebulan untuk skateboard itu.
Kami anak-anak di Australia tidak diberi uang saku saat sekolah, terutama saat kami SD yang pulang pergi sekolah dijemput, juga tidak ada kantin di sekolah sehingga makanan kami hanya bekal yang dibawa dari rumah. Orang tua gue dan Max juga tidak mudah memberi kami uang atau apapun yang kami minta.
Papa selalu menyuruh gue membereskan membaca buku tertentu kalau gue mau uang atau minta dibelikan sesuatu. Orang tua Max menyuruh Max membantu pekerjaan rumah atau membersihkan kebun di sekeliling rumah jika ingin dapat uang.
Masa kecil kami susah, Kakak!!
"Udah, $23! Lumayan yang $3 bisa gue beliin slurpee di SevEl!" Max bangkit dan mengulurkan tangannya agar gue bangkit juga.
“Emang lo udah bisa maen skateboard?”
“Belom dongo! Makanya gue beli biar gue belajar!”
“Apa spesialnya dari skateboard? Bukannya enakan naek sepeda ya?”
“Gue beberapa kali nyobain punya Bobby enak sih, bisa bediri, ga harus selalu gowes kayak sepeda."
“Terus lo mau latian dimana? Depan rumah?”
“Ya sambil jalan ajalah ke sekolah juga!”
Gue tidak ikut memilih skateboard pertama Max. Namun yang pasti, keesokan harinya dia sudah membawa skateboard barunya ke sekolah. Masih mengenakan helm, pelindung lutut dan siku, dia kletek-kletek dengan gugup. Wkwkwk.
“Wohohoy! Udah bisa lo??”
“Belom! Minggir!” teriaknya. Gue segera memberinya tempat untuk dia meluncur di lapangan. Dia coba lagi dengan beberapa kali miring dan hampir jatuh. Hari itu dan hari-hari berikutnya, dia semakin mahir berskateboard.
"Lo mau ngapain ntar weekend?” Tanyanya. Gue bantu dia mengemasi beberapa baju ke dalam tas punggung yang akan dia bawa.
Gue dan Max tidak pernah berpisah jauh selain di rumah masing-masing. Kepergiannya ke Queensland adalah perpisahan terjauh yang akan kami lakukan saat itu. Biasanya Kakek Neneknya yang datang berkunjung saat liburan. Weekend-weekend pun kami selalu bersama, namun weekend berikutnya mungkin akan terasa berbeda saat Max tidak ada.
"Ga tau. Belum ada rencana apa-apa sama ortu gue."
"Eh sore ini ke Fitzroy Garden yuk Dee!"
"Jauh oy! Myki (tiket transportasi umum) gue dibawa Papa!"
"Pake punya Bobby aja! Kan deket sama kantor Papa gue, ntar pulangnya kita bareng dia!"
"Yaudah deh!"
Kami pamit ke Mama Max untuk pergi dan menelepon Papa gue bahwa kami akan main di Fitzroy Garden. Max membawa skateboardnya dan memamerkan beberapa trik yang sudah dia kuasai di jalan menuju stopan tram.
"Lo pengen punya anjing ga Dee?"
"Pengen banget! Tapi sama Papa belum boleh karena di rumah kami yang sekarang ga boleh piara anjing."
"Kakek gue punya usaha breeding anjing. Kalo lo mau gue mintain ke mereka."
"Lo mau miara anjing??"
"Gue ga tau, pengen juga sih. Tapi belum tau pengen yang jenis apa."
"Golden!"
"Hmm, mungkin."
Kami tiba di Fitzroy Garden, salah satu taman yang terletak di pusat kota Melbourne. Cukup besar dan tidak terlalu ramai sehingga Max bebas berlatih skateboardnya.
"Sini cobain!"
Max tarik tangan gue untuk naik ke atas papan beroda empat itu. Gue berusaha menyeimbangkan tangan meskipun dia masih memegang ujung jari gue.
"Jangan lepasin gue! Jangan lepasin gue!!" Teriak gue panik. Max mendorong skateboard dengan kakinya dan skateboard meluncur pelan. Bersamaan dengan luncurannya, dia lepaskan tangan gue. Lajunya yang pelan segera berhenti dan gue ingin mencoba lagi. Max ajari gue cara menyeimbangkan kaki meskipun gue hanya berdiri dan dia dorong skateboardnya.
"OI BRANISLAV BOY WITH HIS BITCH AGAIN!"
Kami menoleh. Ada lima anak laki-laki dan satu perempuan melangkah ke arah kami. Gue tidak pernah melihat mereka sebelumnya. Melihat ukuran tubuh mereka tampaknya bukan seumuran kami tapi lebih ke anak-anak Senior High (SMP-SMA).
"Siapa Max?" Tanya gue.
"Temen-temennya Bobby."
"Oi liat skateboard baru!" Salah satunya merebut dengan kaki skateboard Max yang masih di satu kaki gue. Gue kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk. Mereka tertawa.
"Skateboard murahan nih!" Kata salah satunya sambil memeriksa papan dan roda skateboard.
"Whose the name of your bitch, Branislav?" Tanya yang lainnya.
Ada yang hidup di era 90an saat kalian saling manggil nama temen dengan nama Bapaknya? Lebih ke bulian , membuli dengan nama Bapaknya. Anak-anak bule melakukan hal yang sama dengan memanggil nama belakang karena nama belakang adalah Family Name yang turun temurun. Branislav adalah nama Kakek Max dari Mamanya dan nama itu juga masih melekat di nama Mamanya.
Gue dan Max juga sering memanggil nama belakang keluarga kami saat becanda. Jadi tergantung konteks. Namun saat itu gue lihat Max tidak nyaman dengan kehadiran mereka. Max selalu menggigit sudut bibir kanan bawahnya saat berada di keadaan yang membuat dia tidak nyaman dan akan terus ia gigit sampai berdarah jika dia tidak segera menemukan solusi dari kegugupannya.
Gue segera tau teman-teman Bobby ini adalah bully.
"I am Dee!" Jawab gue berani.
"Yo Dee! Lo bawa duit ga?" Salah satu dari anak laki-lakinya mendekati gue.
"Punya tapi ga akan gue kasih ke lo!" Bentak gue. Memang ada receh $5 di saku celana gue saat itu.
"Kasih ke gue, pinjem dulu ntar gue balikin ke Bobby!" Katanya dan disambut tawa oleh teman-temannya.
"Go away you Guys! Leave us alone, please!" Pinta Max.
"Kasih kita duit atau bekel kalian deh!"
"Kami cuma bawa minum! Ga bawa apa-apa!"
"Yaudah duit lo sini Dee!" Pinta si bocah nakal.
"NO!" Tolak gue.
"YOU BITCH!" Si perempuan mengambil alih dan menarik rambut gue. Teman-temannya bersorak agar kami gelut.
Gue mempertahankan diri. Gue lakukan yang gue bisa.
Gue kepalkan tinju gue dan memukul sekenanya ke badan dan mukanya. Begitu pula kaki yang tak ketinggalan menendang. Dia juga sama, rambut gue yang memang lebih panjang memudahkan untuk dijambak.
"STOP IT!" Max berusaha melepaskan cengkeraman tangan si Sundal di rambut gue namun teman-teman laki-lakinya menarik Max. Gue berhasil lepas dan mendorong tubuh si Sundal hingga terguling jatuh. Max juga melawan dan berhasil melepaskan diri. Dia tarik tangan gue untuk lari dari mereka.
"Run Dee! Dont stop!" Ajaknya.
Kami berusaha lari ke tempat terbuka yang dapat dilihat orang dewasa.
"Oi Branislav! Your skateboard!"
Gue dan Max menoleh. Mereka tidak mengejar tapi mengacungkan skateboard Max ke udara dengan kedua tangannya. Lalu dalam sekali bantingan ke aspal ada yang terpental dari skateboardnya, rodanya lepas dan terpental karena papannya masih utuh saat mereka acungkan lagi sambil tertawa. Max mendengus kesal dan menarik gue untuk lari lagi.
"Skateboard lo..."
Gue memandang tengkuk Max yang berjalan cepat di depan gue. Di tetap diam.
"Maxie!" Gue tarik lengannya untuk menunggu gue. Saat gue sudah disampingnya, air mata sudah mengalir di pipinya yang memerah. Hidung dan matanya yang berkulit putih juga memerah.
"Maxie, I am sorry!" Gue tahan lengannya agar berhenti, lalu gue tarik Max ke pelukan gue dan dia menangis tanpa suara.
"Gue beli itu pake uang gue sendiri Dee!" Bisiknya diantara sedunya.
"I know! Its OK, we will figure it out, Buddy!"
Gue usap air matanya dengan ujung jaket gue.
"Bibir lo luka. Stop biting your lip!" Gue usap darah yang bercampur air mata dan ingus di antara bibirnya. Kebiasaan Max saat panik dan menggigit bibir sering membuat dia melukai dirinya sendiri.
"Lo ga kenapa-kenapa Dee?"
"Gue belajar gelut kayak lo! Gue setrong! Hahaha!"
"Jeez! Lo berantakan Dee!"
Gue memang merasakan sakit di kulit kepala akibat jambakan tadi dan perih di beberapa di bagian tubuh gue terkena cakaran Si Sundal.
"Kayaknya gue tau anjing apa yang harus lo piara, Max!" Gue mengusap bekas cakaran-cakaran yang berdarah dan membasahinya dengan air liur gue.
"Apa?"
"K9!"
"German Shepherd?" Max meyakinkan.
"German Shepherd Dog! Buat ngejarin bully bully kita!"
"Hahaha! Bener juga! Gue akan bilang ke Kakek!"
Tak lama kemudian Papa Max datang menjemput kami dan mengantar gue pulang. Beruntung hari sudah hampir petang sehingga dia tidak melihat berantakannya kami setelah gelut.
"Waduh, kamu habis ngapain Dee?" Papa mengamati wajah gue yang baru masuk rumah.
"Jatoh dari skateboard." Jawab gue singkat. Mama duduk di depan tivi melihat gue lekat.
"Sini Mama periksa, Sayang!" Mama mengulurkan tangannya.
"Ga usah!" Gue melengos ke kamar.
"DEE! TIDAK BOLEH BEGITU KE MAMA! SINI KAMU!"
Bentakan Papa tidak membuat gue kembali ke ruang tamu. Gue justru semakin erat menarik selimut dan sembunyi di baliknya.
kicquck dan doctorkelinci memberi reputasi
2
Tutup
. Mau ditambah bumbu rempah dari India, Spanyol, Meksiko, Italia, Prancis, tetep aja susah buat ga boring. Atau mungkin real life gue aja yang boring ya 

