Kaskus

Story

sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:
emoticon-Ultah

Cover:


From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)

NB: Sorry Bad Editing


Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter


Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita

Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.

Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.

Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.

Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.

Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.

Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.

Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.

Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.

Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.

Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.

***

Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.

“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.

“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.

“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.

Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.

Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.

Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.

Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.

“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.

“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.

“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.

“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.

“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”

Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.

“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.

Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.

“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.

Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.

Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.

***

Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.

Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,

“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.

“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.

Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.

“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.

Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.

Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.

“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.

“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.

“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.

“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.

Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.

Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.

Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.

Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.

“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.

“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.

‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.

Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.

Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
santinorefre720Avatar border
blackjavapre354Avatar border
rizetamayosh295Avatar border
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
#98
Chapter 31: Konklusi
Di penghujung tahun ini, terlampau banyak kenangan dan kisah yang terputar kembali dalam ingatan. Satu persatu bermunculan, ada beberapa hal memang yang berubah dalam hidupku tapi ada juga yang masih tetap sama. Aku bertemu dengan banyak orang, pengalaman demi pengalaman juga perlahan telah membuatku tumbuh lebih kuat.

Liburan kali ini, aku hanya menghabiskan waktuku di dalam rumah. Menatap layar monitor berjam-jam dalam sehari, sesekali bermain game di smartphone-ku untuk membunuh kebosananku. Sebenarnya aku punya rencana untuk mengisi waktu liburanku dengan belajar dan menambah wawasanku dalam berbahasa. Itu hanyalah rencana, terlalu banyak alasan dan godaan yang menjauhkanku dari rencana baikku tersebut.

Sepertinya berat badanku kali ini juga akan bertambah, maklum hampir sedikit keringat yang menetes karena aku jarang berolahraga. Faktanya, tidur dan makan cemilan lebih menyenangkan ketimbang menyiksa diri dengan olahraga. Padahal, jauh-jauh hari aku sudah memiliki target untuk diet guna mengurangi berat badan. Memang sesuai dengan apa kata orang, diet itu mitos.

Hari ini pun aku bangun kesiangan, semalam aku menonton video kamen rider di laptopku berjam-jam. Mataku terlalu berat untuk kubuka, dengan sedikit paksaan aku mencoba membuka kedua mataku. Kaki-kakiku melangkah beriringan menuju keluar rumah, matahari ternyata hampir berada tepat ditengah-tengah langit. Jam dinding rumahku pun sepakat demikian, aku langsung beringsut mencuci muka lantas menyantap sarapan pagiku di siang bolong.

Aku menyaksikan acara-acara di televisi yang membosankan. Kuganti dari satu channel ke channel, tak ada satupun acara yang membuat mataku lebih fresh. Sayup-sayup mataku hendak terpejam, dan tanpa kusadari aku pun terlelap lagi hingga pukul dua siang.

Kepalaku sedikit pusing karena kebanyakan tidur, aku membersihkan diriku dikamar mandi. Menghabiskan waktu didalam rumah memang sangat membosankan, seusai ini aku ingin mampir ke warung kopi guna menikmati secangkir kopi ijo serta mencari sepancar wifi.

Aku memasukkan laptopku kedalam tas yang biasa kupakai. Tak lupa juga charger jika sewaktu-waktu baterai laptopku mendadak kritis butuh aliran listrik. Aku mengambil dompet yang terletak diatas meja belajar kayu, lantas kutatap lamat-lamat isi dari dompetku yang cukup mengenaskan. Tak apalah, meski isi dompetku sedikit tapi itu cukup untuk membeli secangkir kopi nanti.

Eru kemungkinan akan pulang dari Jogja hari ini. Aku sungguh tidak sabar untuk bertemu dengannya setelah hampir empat bulan tidak bersua, apalagi ngopi bersama. Batinku, dia tak mungkin berevolusi menjadi lebih tampan ketimbang dulu, kalau lebih jelek itu mungkin. Satu hal yang pasti, jerawatnya sudah beranak pinak ketimbang dahulu.

Di jalanan, aku mengendarai motorku dengan selow sesekali sedikit ngebut jika keadaan cukup sepi. Banyak pasangan-pasangan yang melintas lalu lalang, si perempuan merangkul pacarnya yang sedang fokus berkendara. Ada rasa nyesek-nyesek yang tak bisa dituturkan dengan kata-kata ketika aku melihat pemandangan tersebut. Sungguh tak patut, bermesraan di jalan raya adalah sikap intoleransi terhadap orang tidak memiliki pasangan.

Suasana di dalam warung kopi pak Semproel sepi linglung, bangku-bangku kosong terlihat jelas menembus kedua retinaku. Aku pun menghampiri mas-mas penjaga warung untuk memesan segelas kopi ijo. Tak lupa, aku juga bertanya password wifi yang secara berkala selalu diganti oleh pihak warung kopi.

Aku duduk disalah satu bangku, persis dibawah sebuah televisi dengan layar yang menempel di dinding. Kutatap kilas, acara televisi itu adalah salah satu film lawas Indonesia. Fokusku segera kualihkan kepada smartphone-ku yang masih belum tersambung dengan wifi. Aku memasukkan password wifi sesuai dengan apa yang disampaikan oleh mas-mas penjaga warung, setelah beberapa saat menunggu akhirnya berhasil tersambung. Disusul kemudian laptop yang telah stand-by sejak beberapa detik yang lalu.

Kebetulan kuota internetku kemarin siang sudah ludes. Aku cukup gila karena terlalu boros kuota untuk browsing hal-hal yang kurang penting ditambah streaming-an di Youtube. Kuota 3GB itu pun tersapu habis dalam kurun waktu dua minggu. Aku memeriksa pesan whatsapp dan BBM di smartphone-ku yang dari kemarin off.

Satu persatu kubaca, ada sebuah pesan masuk dari Eru. Ia bertanya terkait posisiku sekarang ini. Aku tanpa banyak prasangka memberitahunya bahwa aku sedang berada di warung kopi pak Semproel. Kupikir ia sekarang masih leha-leha dirumahnya karena kelelahan diperjalanan.

Eru membalas pesanku, ia sekarang berada di warung kopi yang tak jauh dari tempatku. Aku tahu tempatnya, berhubung aku juga pernah nongkrong disana. Mengetahui aku tak jauh dari tempatnya, ia langsung menyuruhku untuk menghampirinya. Sialan nih anak, pikirku. Kopi yang kupesan tadi sudah sampai dimejaku. Aku pun buru-buru meminumnya, lidahku sedikit mati rasa karena suhu kopi masih cukup panas.

Dengan setengah tak enak hati dengan pemilik warung, aku pun meninggalkan warung. Baru kali ini, prosesi ngopi yang biasanya bertahan lama berlangsung hanya dalam kurun waktu tak sampai lima belas menit. Sedikit enggan untuk mengakuinya, tapi aku memang kangen dengan sosok gilanya. Sahabatku yang satu ini memang selalu punya cara tersendiri untuk membuat orang tertarik dengannya.

Tepat setelah aku memakirkan motorku dibawah sebuah tempat parkir khusus didekat warung yang atapnya terbuat dari asbes, aku menatap Eru yang melambaikan tangannya kearahku. Entah apa yang ada dipikirannya, mungkin ia juga kangen denganku. Sesuai dugaanku memang, ia tidak mungkin bertambah tampan, wajahnya masih sama hanya saja jerawatnya sudah bertambah.

“Apa kabar lo Megg? Kangen gue sama lo?” Eru bertanya sumringah kepadaku. Senyumnya mengembang.
“Bajingan, gue baru nyampe di warung kopi sebelah udah lo suruh kesini. Tapi gue baik-baik aja Er” Aku sedikit mengeluarkan kata-kata kasar dengan nada bercanda kearahnya, lantas kami tertawa lebar.

Aku menata tempat dudukku, lalu mengeluarkan laptopku. Aku pun berniat memesan minuman lagi sembari berbincang-bincang melepas rindu dengan Eru.

“Lo mau pesen kopi lagi Megg?” Tanya Eru heran, aku mengangguk mengiyakan. Ia lantas beringsut dari tempatnya mencegah langkahku.
“Udah lo duduk aja, sini gue yang traktir. Hahahaha.” Ia pun melangkah menuju mas-mas warung. Aku tetap duduk ditempat sembari menyambungkan wifi ke laptopku. Aku membuka sebuah website khusus download kamen rider, kebetulan aku mengoleksi video kamen rider dari berbagai seri. Itu pun juga untuk mengisi waktu-waktu liburanku, sesekali aku juga menonton film untuk menyelinginya.

Eru kembali ke meja kami sambil membawa dua gelas es teh. Ia menaruhnya pelan didekat laptopku. Aku menyeruputnya pelan untuk melepas dahaga. Kunyalakan sebatang rokok sebagai pelengkap agar pembicaraan ini lebih dapat dinikmati.

“Lo naik apa Er tadi?”
“Ini gue bareng temen, ya gue kan nggak enak kalau minta dia buat nganterin gue sampai rumah. Awalnya gue pengen turun didekat perempatan aja, eh gue berubah pikiran. Gue minta dia buat nurunin gue disini, gue kira ini hari Minggu makanya gue nggak mampir ke warungnya pak Semproel. Hahahahaha.”
“Sialan lu Er, agama lo masih kenceng nggak? Jangan-jangan lo ikut aliran sesat aja disana, hahaha.” Cetusku kepadanya, aku tertawa ringan.
“Gue masih kenceng Megg, Ihdinas Siratal Mustaqim. Gue masih berpegang teguh sama nasihat-nasihat Pak Kiai. Lo kali yang sesat, hehehe.”
“Ya gue mah tetap, cuma sholat gue sering bolong. Bangun aja gue selalu kesiangan, ya minimal buat gue sih nggak apa-apa yang penting gue masih inget Tuhan dan nggak ngelakuin dosa besar.” Aku berkata sedikit membela diri, tapi yang namanya meninggalkan sholat tetap saja dosa ditanggung di akhirat nanti.

“Ah gaya lo, tapi gue juga setuju sama lo Megg. Temen-temen gue banyak sih yang suka mabuk, clubbing, macem-macem lah. Pernah gue diajak, padahal dia itu lulusan pesantren. Rusak Megg, disana pergaulan mah bebas. Gue nggak ada niat buat nyentuh gituan, inget abang dan orangtua gue.” Jawab Eru dengan hati yang mantap.
“Sependapat gue sama lo Er. Boro-boro mau nyoba gituan, makan aja kita ngirit, hahahahah. Nih, rokok sama kopi juga udah bisa ngebuat kita menikmati hidup.” Aku menyeringai.

Obrolan kami masih tetap berlanjut panjang lebar. Ia juga tengah asik menghisap rokok filter dari merk rokok terkenal. Aku juga sesekali menyeruput es teh untuk melepas dahaga karena bercerita terlalu banyak.

Wifi di warkop ini cukup lemot, niat untuk mendownload kamen rider terpaksa dibatalkan. Aku pun dengan cepat menutup laptopku dan kembali ke pembicaraan. Eru pun mengikutiku, laptopnya juga dengan cepat ia tutup. Tanpa laptop, pembicaraan kami dapat lebih serius.

“Megg, gue kadang iri sama temen-temen gua yang udah kerja tapi lebih memilih kuliah. Didekat kos gue, ada anak jurusan filsafat. Pemikirannya gue akui emang cukup keren, dia pernah kerja di apotek gitu, gajinya lumayan. Umurnya udah dua puluhan, tapi masih memilih kuliah. Gue kan heran, trus dia cerita ke gue kalau dia itu emang pengen ngerasain bangku kuliah. Itung-itung dapet jodoh kata dia.” Eru kembali melanjutkan ceritanya.

“Sama Er, temen gue ada juga yang kayak gitu. Lulusan metalurgi, tapi malah ngambil sarjana lagi di jurusan gue. Orangnya emang udah gede sih, rentang enam tahun sama gue. Tapi pemikirannya juga unik, dia pengen fokus pendidikan dulu ketimbang kerja. Dia ngambil bahasa Jerman dengan harapan dia nanti bakalan ke Jerman buat nempuh S2.” Aku pun berbagi cerita kepada Eru.

Aku tahu, memang masalah finansial yang selama ini membebani Eru. Dia ingin selama kuliah ini memiliki penghasilan. Jika ia harus kerja sampingan, itu juga bukan pilihan yang bisa ia ambil saat ini. Takutnya ia tidak bisa membagi jadwal kuliah dan kerja, malah itu akan merugikan dirinya sendiri.

“Gue pengen terus terang sama lo Megg, selama ini kan gue selalu ngehindar kalau lo tanya tentang siapa yang gue suka. Sebenarnya lo udah tau, tapi lo nggak bakalan yakin sebelum memastikannya.” Eru memperlihatkan sebuah foto perempuan yang selama ini ia sembunyikan. Memang foto itu bukanlah foto yang asing, aku kenal baik dengan dia.
“Astaga, gue dari dulu emang dukung lo Er. Gue lega, ternyata Dewi yang emang deket sama lo. Emang dari awal gue yakin kalau kalian ini cocok banget, hahaha. Sorry ya, gue dulu pernah nembak dia, meskipun ujung-ujungnya gue ditolak.” Aku begitu senang mengetahui hubungan mereka berdua.
“Udah tau gue, ya tapi gue juga agak tekanan Megg. Lo tau kan keluarga Dewi kayak gimana? Meskipun orangtuanya baik sama gue, tapi gue juga harus memantaskan diri buat bisa bersanding dengan dia. Ngomong-ngomong tumben lo nggak curhat tentang Tiara?” Kata-kata terakhir Eru cukup membuatku terhenyak.

Aku bertutur panjang lebar, cerita tentang tingkah bodohku didepan Tiara kala itu. Tentang hubunganku yang kupikir telah menemui ujung, kandas ditengah jalan. Aku tak terlalu memikirkan hal itu sekarang, kupikir itu lebih baik untuk saat ini.

“Ah lo Megg, belajar nih sama yang ahli.” Eru menepuk bahuku pelan.
“Mending gue cerita sama pohon Er ketimbang sama lo yang jomblonya lebih akut dari gue, hehehe. Tapi lo sekarang udah punya Dewi, nah gue? Akhir tahun gini-gini aja kisah cinta gue.” Aku sedikit kesal dengan keadaanku yang sekarang.
“Santai bro, jomblo mah nggak ada salahnya. Minimal lo nggak ngelakuin dosa, kalau misalkan lo sekarang pacaran mungkin aja rem lo blong, dan nggak bisa ngebayangin deh gue. Hahahaha.” Eru menyemangatiku setengah menghinaku, aku hanya bisa tertawa. Kata-katanya tak menyakitiku sama sekali, memang daridulu kami sudah biasa saling menghina satu sama lain.
“Ya gue cuman bisa berdoa yang terbaik buat Tiara. Gue sekarang fokus ngeblog, nulis, sama buat meme kata-kata, gue pengen berkarya lewat situ. Ya semoga bisa mendatangkan rezeki, gue pengen nikah muda Er, hehehe. Gila ya gue! Tapi ini niat mulia gue Er.”
“Mulia sama diburu nafsu itu beda tipis Megg. Ya tapi nggak ada salahnya nikah muda, yang penting udah siap lahir batin. Entar jangan lupa ngundang gue yak!” Cetusnya keras.

“Yaelah, buat lo spesial deh undangannya. Belum tentu juga yang nikah duluan itu gue, barangkali lo. Ya nggak?” Pertanyaanku tak membutuhkan jawaban, hanya tawa keras yang terdengar diantara kami.

Waktu berlalu tanpa terasa, beberapa putung rokok berserakan dibawah meja kami berdua. Eru berniat untuk nebeng pulang bersamaku, berhubung dari sekian kontak yang ia hubungi tadi hanya akulah yang meresponnya. Sebenarnya Kelis juga merespon, itu pun waktunya sudah cukup sore karena ia baru bangun tidur.

“Er, ngomong-ngomong lo nyesel nggak karena dulu gagal masuk UGM?” Aku bertanya halus, sedikit mengenang masa lalu.
“Nggak Megg, gue udah ngelupain itu sejak dulu. Gue bersyukur aja dengan apa yang sekarang ada, lagian ada banyak hal yang bisa membuat gue sekarang bahagia. Masa lalu biarlah tertinggal dibelakang, itu adalah cerita berharga. Ambil sisi positifnya saja. Lo sendiri gimana nggak diterima di UI?”

“Gue sadar Er, ada banyak hikmah yang gue rasakan semenjak gue kuliah di Malang. Gue bisa sering pulang untuk ketemu keluarga, gue juga sekontrakan sama anak-anak yang asik, dan tentunya pergaulan gue untuk saat ini aman-aman. Mungkin kalau gue kuliah di Depok, pergaulan gue bebas Er. Gue yang sekarang aja sering lupa sama Tuhan, apalagi kalau gue disana. Ya intinya, disetiap sesuatu itu pasti ada hikmahnya.” Aku menjawab dengan pelan. Eru mengangguk setuju, kami berdua sama-sama telah bangkit dari kegagalan.

Pembicaraan kami tutup karena hari sudah semakin sore. Senja telah terlihat dilangit-langit, menunjukkan waktu memasuki petang. Aku menyetir motorku, sedangkan Eru dengan mantap duduk di jok belakangku. Suasana yang sama dengan beberapa bulan yang lalu, dari saat-saat SMA hingga terakhir kalinya kami berdua ngopi di awal bulan Agustus.

Sesampainya di rumah Eru, ibunya cukup terkejut dengan kedatangan Eru. Memang dari awal ia tidak memberitahu keluarganya terkait kepulangannya, aku hanya menggeleng-geleng kepala. Aku tidak sempat mampir meski ibunya melambaikan tanganku setengah berteriak untuk mampir sejenak. Aku hanya tersenyum sembari berpamitan dengan Eru dan ibunya melihat waktu sudah sore dan ibuku pun pasti cemas karena aku belum pulang.

Dalam perjalanan pulang, aku tersenyum lega mendapati sore ini yang teramat berbeda. Puing-puing kenangan masa lalu kembali terulang. Terlepas dari itu semua, sore ini mengajarkan sesuatu yang berharga lagi kepadaku.

Mungkin memang mimpi-mimpi dari seorang anak manusia itu tak selalu menjadi nyata. Bukan karena mimpi itu buruk, namun karena ada sesuatu yang lebih indah dibalik tak terwujudnya mimpi tersebut. Jika seseorang tetap tegar mengetahui kenyataan, dan melangkah sebijak demi sebijak maka ia akan menemukan sebuah konklusi utuh atas apa dan mengapa mimpi itu tak terwujud. Konklusi itu cukup untuk membuat sesorang bangkit dari kegagalan.

Memang tak ada gunanya menyesali kegagalan atas mimpi di masa lalu, ada hal yang lebih prioritas dalam hidup yaitu realita. Manusia hidup didalam realita bukan di alam dongeng, maka mereka harus menjalani apa yang ada bukan menghayal apa yang sudah tiada. Dengan itu hidup akan terasa lebih mudah tanpa penyesalan.

Kegagalan atas impian, bukan sebuah alasan untuk membuat manusia berhenti mimpi. Dari kegagalan satu mimpi, akan mekar ribuan mimpi-mimpi yang lain. Tuhan yang akan mengatur jalannya mimpi-mimpi tersebut, manusia hanya bisa berdoa dan berikhtiar.

~FINISH~

coxi98
coxi98 memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.