Kaskus

Story

ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
The Way You Are
Quote:




Friendship is not always about finishing each other's sentences or remind you to the lyrics you forget. Many times, friendship is about how fluent are both of you in speaking silence.

-- Maxwell.




Diubah oleh ladeedah 08-09-2019 07:30
someshitnessAvatar border
bukhoriganAvatar border
evywahyuniAvatar border
evywahyuni dan 11 lainnya memberi reputasi
12
24.9K
185
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
#21
Lost Child
“Papa”
“Hmm?”
“Max cium Dee tadi.”

Papa langsung memalingkan matanya dari Carl Sagan yang sedang ia baca.

“Di pipi kanan Dee.” Tambah Dee.

Gue tidak pernah bisa menjaga rahasia apapun dari Papa. Sekecil apapun itu gue tidak pernah bisa. Ciuman Max setelah detention hari itu tidak kecil bagi Dee yang baru menginjak usia sepuluh tahun, apalagi itu adalah ciuman pertamanya dari pria seusianya.

“Maxwell bilang apa?” Papa menarik pinggang Dee untuk duduk di pangkuannya.

“He will help me and he will protect me with his life.”

“Maxwell temen yang baik, Dee. Dia sedih liat kamu dipukul sama Greg. Itu reaksi yang wajar dari seorang teman saat temannya disakiti oleh orang lain.”

“Terus ciumnya untuk apa?”

“Emmm, mungkin bukti bahwa Max sayang sama Dee, dia serius dengan apa yang dia janjikan. Kamu ga tanya sama Max?”

“Dia lari abis cium Dee. Belakangan di sekolah juga dia agak jauh dari Dee, ditambah kami ngerjain detention masing-masing jadi cuma ketemu di kelas, gabisa ngobrol lama, Papa.”

Papa merapikan rambut Dee, yang tidak lurus seperti Mamanya tapi wavy seperti rambut Eyangnya, sehingga rambut Dee lebih mudah berantakan.

“Mungkin Maxwell malu habis cium kamu, hati-hati nanyanya, nanti dia tambah malu dan jadi tambah jauh.”

“Jadi Dee harus tanya apa enggak nih Pa?”

Papa pura-pura berpikir keras dengan mengerut-ngerutkan hidungnya seperti kelinci. Dee selalu tertawa jika melihat Papanya demikian.

“Tunggu Max sendiri aja yang jelasin. Mungkin dia butuh waktu yang tepat setelah semua detention ini selesai.”

Gue masih terlalu kecil saat orang tua gue yang super hot couple itu mengalami downhill di rumah tangganya. Terlalu kecil namun sudah cukup untuk tau bahwa yang Mama lakukan adalah salah.

Gue tidak tau apa yang ada di pikiran Mama saat membawa pria asing itu ke kamar. Gue tidak tau harus bertindak atau berkata apa selain lari ke kamar Max.

Gue tidak memiliki keinginan lain selain ingin pulang ke pelukan Papa.

Perjalanan ke Kuala Lumpur adalah mimpi buruk. Terburuk dari yang gue punya. Setelah hari itu, semuanya tidak pernah sama lagi…

Namun Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu tanpa pasangan kan? Karena begitulah alam semesta ini bekerja: dalam keseimbangan. Harus ada beban yang sama di kedua timbangan agar tetap seimbang.

Gue menemukan arti sahabat dari kehidupan gue yang terasa seperti neraka sejak hari itu.

Sejak hari itu juga gue mengingat semua tentang Max karena dia satu-satunya pegangan yang Dee punya.

“Apa yang lo liat, Dee?”

Kami berdua meringkuk di tempat tidur, berhadapan saling menekuk lutut dan kotak tisu diantara kami. Max yang menjepit kedua tangan di antara lututnya dan gue yang terus mengusap mata dengan tisu karena gue rindu Papa.

Wajah pria kesayangan gue yang senyumnya tidak pernah gue lupakan.

Pria yang selalu bilang “Nonsense!” sambil tertawa setiap kali gue berbuat ulah.

Pria yang selalu berkacak pinggang dan tersenyum lebar tanpa melakukan apa-apa saat gue guling-guling nangis di mall minta dibelikan mainan.

Pria yang selalu mengenakan kaos dengan kemeja yang tak dikancingkan saat kami main ke taman, kemeja yang akan gue pakai karena gue kedinginan namun gue keras kepala tak mau pakai jaket sebelum berangkat.

Pria yang menggendong gue dengan sebelah tangannya dan tangan lainnya menenteng sepeda kayu karena Dee kecil manja susah belajar sepeda.

Pria yang tidak pernah marah saat gue cat kukunya, atau gue ikat rambutnya dan gue rias wajahnya.

Pria yang akan pergi ke kampus dengan kuku warna-warni karena tidak sempat membersihkan catnya.

Pria yang selalu berglitter entah di rambut, entah di baju, entah di kulit, dan hanya bilang "Oh shoot! Glitter?? Again??"

Pria yang selalu memanggul gue di pundaknya karena Dee kecil terlalu malas jalan jauh.

Pria yang selalu mengucapkan “Good morning, Sunshine!” saat gue bangun tidur hingga gue sudah menikah dan suami gue menggunakan sapaan yang sama, lalu Papa bilang “Hey, itu hak ciptaku Hans! Kamu ganti cari sapaan yang lain buat Dee!”.

Pria yang bisa membaca koran sambil mengaduk kopi atau mengikat rambut Dee sambil menjawab telepon yang ia jepit di antara pipi dan bahunya.

I miss him.

“Mama and I dont know who udah buka baju dan kissing di kasur.”

“Lo yakin ga pernah liat laki-laki itu?”

Gue menggeleng. Max mengambil tisu yang sudah menggumpal basah di tangan gue dan menggantinya dengan yang baru.

“Lo akan ceritain ini ke Papa lo?”

Gue menggeleng lagi.

“Ga tau Max. Tadi Mama bilang gue ga boleh cerita ke Papa.”

“Gue boleh cerita ke Mama gue ga?” Max merapikan rambut gue yang menempel di pipi.

"Jangan Max."

“Oke, gue ga akan cerita ini ke siapa-siapa.” Janjinya.

Apa yang 10 tahun-gue bisa?

Orang dewasa bukan hanya memiliki tubuh yang lebih besar dari kami, suara teriakan yang lebih kencang dari kami, umur yang lebih banyak dari kami, tapi taukah kalian apa yang dimiliki mereka dan tidak dimiliki oleh anak-anak? Power.

1. Orang dewasa punya power untuk melindungi anak-anak karena mereka memiliki kematangan berpikir untuk menghadapi resiko.

2. Orang dewasa punya power untuk mengancam anak-anak karena mereka memiliki kematangan berpikir untuk berlari dari resiko.

Kekuatan Papa selalu ada di pilihan pertama. Kekuatan Mama ada di pilihan kedua.

Sepanjang perjalanan kami ke Melbourne, Max tidak pernah melepaskan genggaman tangannya di tangan gue. Dia juga mengijinkan gue untuk duduk di dekat jendela. Dia juga menarik kepala gue untuk tidur di pundaknya dan membenarkan selimut di tubuh gue. Dia juga menyuruh gue mendengarkan lagu dari mixtape Papa dan menolak sharing earphone karena: "Lo aja, lo butuh itu", meskipun akhirnya gue colokkan juga di telinga kanannya.

“Kenapa Dee nangis terus Dis?” Tanya Mama Max ke Mama gue.
“Dia kangen Papanya.” Jawab Mama dengan tatapan pilihan kedua ke gue.

Saat itu belum populer handphone seperti sekarang, orang tua kami punya handphone tapi anak-anak tidak. Tapi kami memiliki telepon di setiap rumah. Max selalu menelepon gue sejak kami tiba di Melbourne hanya untuk menanyakan keadaan gue.

“Lo kenapa ga sekolah hari ini, Dee?”

“Gue ga enak badan.”

“Gue boleh ke rumah lo ga?”

“Mau ngapain?”

“Maenlah! Lo udah makan belom?”

“Belom.”

“Oke gue bawain lo makan juga ya!”

Menjelang maghrib Max datang dengan sepeda dan helmnya. Dia bawa sekotak tupperware agar-agar yang masih belum dingin total.

“Apa ini?” Gue angkat tupperware untuk melihat dasar jello, ada stroberi dan bluberry di dasarnya.

“Gue bikin sendiri loh jellynya! Itu buat lo semua! Harus lo abisin! Gue ga akan minta!”

“Cara bikinnya gimana?”

“Ada petunjuknya di bungkusnya! Terus gue susun buah di tupperware dan gue siram jelly di atasnya! Udah taro di kulkas dulu aja, setengah jam lagi juga jadi!”

Kami duduk berhadapan di kasur, membuka buku masing-masing, dia dengan komik Batman kesukaannya, gue dengan Terry Pratchett discworlds series, gue rasa Moving Pictures karena gue ingat membawa buku itu ke KL tapi tidak gue selesaikan.

“Lo udah cerita ke Papa lo?” Max membuka obrolan yang tak pernah gue ungkit lagi sejak kami tiba di Melbourne. Gue menggeleng.

“Lo takut sama Mama lo?”

Gue mengangguk.

“Mama lo pukul lo?”

Gue menggeleng.

“Kenapa lo takut?”

“Kalo dia pukul gue gimana?”

Max mengangguk mengerti.

“Kalo Papa lo tau, kira-kira apa yang akan dia lakukan?”

Gue menggeleng tidak tau.

“Jadi Mama lo akan hamil lagi dan lo punya adek?” Kejar Max.

Gue menggeleng.

Max diam dan kembali membaca komiknya.

Otak kami hanya mengerti satu konsep: Cheating is wrong in so many levels. Selingkuh itu salah apapun pembelaannya.

Konsep sederhana yang 10 tahun-kami mengerti adalah:
If you love someone, you dont kiss someone else.

Karena itu yang diajarin Papa saat kami mengulas tentang Sex Education!

Quote:


Max mengambil jelly di dapur.

“Kenapa Dee??” Max melihat gue heran saat gue meringis setelah menyuap ke dalam mulut. Lalu ia rebut sendok di tangan gue.

“Oh my God! Gue lupa ga ngasih gula!”

Jellynya benar-benar terasa anyep.

“Buang aja ya! Lo punya mi instan ga?”

"Hahaha! Udah ga apa-apa, gue laper banget, lagian gula kan ga baik buat gigi! Gue makan ini aja!” Gue lanjutkan makan jelly yang sangat tawar itu.

“I am sorry, sini gue bantuin ngabisin!”

“Jangan! Kan lo bilang ini buat gue semua!”

“Tapi ini ga enak, jadi akan gue bantuin ngabisin! Kalo enak, baru gue ga akan minta!”

Tapi ini ga enak, jadi akan gue bantuin ngabisin! Kalo enak baru gue ga akan minta….

That sweet fuckboy!
Diubah oleh ladeedah 19-08-2019 09:14
kicquck
kicquck memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.