- Beranda
- Stories from the Heart
Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN
...
TS
gelandangan143
Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN
Assalamualaikum wr. wb.
Salam sejahtera semuanya. Mohon ijin untuk menceritakan ulang Kisah Sang Guru yg bermuatan banyak pelajaran Hikmah kehidupan yg bermuatan Religi, Supranatural dan Spiritual.
Index Thread :
Sebuah Kisah Nyata Perjalanan Hidup, Spiritual & Supranatural

CHAPTER 1
Pagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. Di lereng gunung sebelah selatan, nampak berjejer kobong pondokan santri tak teratur. Sayup terdengar suara wirid para santri di bagian tengah pondokan, rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian dihamparkan dengan rapi, sehingga kalau diinjak kaki akan terdengar bunyi derit bambu yang khas. Nampak para santri yang jumlahnya 15 orang duduk melingkar khusuk dalam wiridnya.
Sang Kyai yang juga ada dalam lingkaran juga duduk bersila, orang tak akan menyangka mana Kyai mana murid. Sebab semua sama, hanya ketika Sang Kyai mengangkat tangannya dan wirid semuanya berhenti. Kemudian Sang Kyai menyuruh wirid yang lain, santri pun melanjutkan. Orang tak akan menyangka yang disebut Kyai ini seorang remaja, kira-kira umurnya 12 tahun, kulitnya putih bersih, dengan wajah biasa, namun memancarkan wibawa yang tiada taranya. Presiden sekalipun akan dibuat tunduk bila berdiri di hadapannya.
Di sebelah rumah Sang Kyai ada rumah bambu lagi yang lumayan besar, dindingnya dari kerai, yaitu bambu yang disisik halus kecil-kecil kemudian disusun rapi dengan tambang, sehingga bisa dibuka tutup dengan digulung, dalamnya juga beralaskan bambu seperti di rumah Kyai, nampak banyak orang lelaki tiduran dengan nyenyak. Mereka ada sekitar 20 orang, kesemuanya lelaki. Karena tempat para tamu perempuan ada tempatnya sendiri.
Para tamu ini bukanlah orang yang biasa-biasa. Seperti pak Udin, yang seorang tentara yang punya kedudukan di angkatan udara. Pak Yusup yang seorang jaksa dari Jakarta, juga ada para pemilik perusahaan raksasa di Indonesia. Ada lagi yang aku tidak tahu, kata temanku dua orang menteri, seorang duta besar, juga ada artis, tukang cukur rambut, tukang es keliling dan lain-lain, semua tidur sama kedudukannya.
Siapakah sebenarnya Sang Kyai, akupun tak tau pasti. Yang ku tau lelaki muda usia itu, sering dipanggil Kyai Lentik, dari ayahnya nasabnya sampai Sunan Gunung Jati, dari ibunya sampai ke Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.
Kyai yang tuturnya lembut berkasih sayang kepada siapa saja. Pagi itu seperti biasa, mbok Titing, janda tua penjual sarapan pagi nasi uduk lewat di depan rumah Kyai. Umur tua dan tubuh yang mulai bongkok ditambah rinjing di punggungnya yang penuh dengan nasi uduk bungkus diikat dengan selendang, tangan kanannya menjinjing tas krawangan berisi lauk pauk.
Seperti biasa pula, nenek tua itu berhenti di depan pintu Kyai sambil menawarkan dagangannya, sekalipun dia tau bahwa Kyai Lentik tiap hari puasa, nenek itu hanya menunggu Kyai menjawab teriakannya menawarkan dagangannya, meser Kyai? ndak bogah duwit mbok. Dan cuma itu jawaban Kyai, sudah membuat girang bukan main, dan segera berlalu, tersenyum bahagia dan tak sampai setengah jam dagangannya sudah habis ludes dibeli orang. Nenek itu sangat murung, apabila dia menawarkan dagangannya di depan pintu Kyai, tapi Kyai ternyata pergi, itu baginya berarti perjuangan seharian menawarkan dagangan, dan itupun belum tentu habis, itulah tiap pagi yang terjadi di pondok Pacung, lereng gunung putri.
Masih banyak kejadian yang kadang tak masuk di akal di balik kesederhanaan Sang Kyai. Waktu maghrib itu, santri yang menjalankan puasa, telah selesai berbuka dengan singkong rebus dan air putih, seperti biasa juga Kyai ikut berbuka dengan kami dengan beralaskan daun pisang singkong yang sudah masak dituang di atas daun pisang dan dinikmati bersama-sama sambil jongkok, tak ada yang istimewa, tak ada pecel lele Lamongan, rendang Padang, soto Madura, soto babat bahkan nasi pun tak ada.
Tapi tak pernah kami perduli, itu hanya makan, lebih baik makan apa adanya tapi untuk beribadah, daripada makan yang enak-enak ujung-ujungnya untuk berbuat maksiat. Setelah makan kami mengelilingi toples yang berisi tembakau, itu barang berharga kami, tembakau oleh-oleh dari Lukman yang pulang dari ngejalani ngedan, kami semua mengalami, yaitu pergi tanpa bekal, menyerahkan diri di kehendak Allah, pakaian compang-camping, sambil terus di hati mengingat Allah, berjalan kemanapun kaki melangkah, tanpa tujuan kecuali Allah, kalau lapar tak boleh meminta pada siapapun kecuali Allah, kadang mencari makan dari mengorek sampah, tidur kadang di hutan, sawah juga kuburan.
Nah, pada waktu itu setiap ada yang ngejalani, santri pada memesan uthis yaitu puntung rokok, di jalan, dikumpulkan sampai satu kresek nanti dibawa pulang, sampai di pondok dibuka satu-satu dipisahkan tembakau dan kertas rokoknya. Aku mengambil kertas koran lalu membuat lintingan, dari korek kapuk kunyalakan kuhisap dalam dan asap pun bergumpal-gumpal keluar dari hidung dan mulutku, kadang kutiupkan asap sambil asap mengepul dari tembakau dan bau kertas koran yang terbakar, aku menengadah, sambil meresapi asap keluar dari mulutku, seakan suatu kenikmatan tiada tara, santri yang laen juga sepertiku.
Saat aku menengadahkan wajah entah untuk yang keberapa kali, kulihat melayang bayangan hitam di antara pohon kelapa yang banyak bertebaran, aku kaget sekali, jelas bayangan itu manusia yang melayang tak terlalu cepat, karena saat petang maka bayangan itu kelihatan hitam. Bayangan itu melintasi pohon jengkol di dekat dapur sebelah kanan rumah Kyai, lalu melayang dengan indah turun di depan rumah Kyai. Kami segera memburu ke arah orang itu, yang sejak tadi kami ribut menebak-nebak apa sebenarnya. Deg-degan kami menghampiri, ternyata bayangan yang terbang itu seorang wanita tua, rambutnya semua memutih, dia terbang menggunakan sajadah, jelas bahwa ilmu meringankan tubuhnya teramat tinggi, yang mungkin kalau sekarang kami tidak melihat dengan mata kepala kami sendiri, tentu kami akan menyangka ilmu seperti itu hanya ada di cerita silat, atau film di televisi, arahan imajinasi.
Kami semua melongo melihat perempuan itu melipat sajadah yang tadi digunakan untuk terbang, aku teringat kisah aladin, tapi ini nyata, perempuan tua tinggi kurus, berpakaian putih kusam ringkas membentak,
“Dimana Kyai Lentik, aku ingin mengadu ilmu.”
“Nyai siapa?” kataku menguasai keterkejutan.
“ah mana Kyai Lentik? Hai Kyai keluar!!” katanya, karena menantang-nantang dan sama sekali tak memperdulikan kata-kataku, aku pun segera bergegas menghadap Kyai, yang aku yakini tengah berada di musolla menunggu sholat berjama’ah.
Aku kawatir perempuan tua itu ilmunya teramat tinggi, bagaimana nanti Kyai menghadapinya, setahuku Kyai tak punya ilmu kanuragan, juga tak pernah mengajarkan kanuragan, tapi memang kalau dipikir-pikir aneh juga, kami para santri, tak pernah dilatih kanuragan, ilmu silat apapun kami tak tahu, karena memang di pesantren Pacung ini kami hanya diajar bagaimana mendekatkan diri pada Allah, bukan lewat teori tapi praktek, bagaimana bertawakal, syukur, houf, rojak, dan bagaimana membersihkan hati dari segala sifat yang menjadi penyakit hati.
Tapi para penduduk sekitar juga para tamu yang datang, selalu berkeyakinan kalau pesantren ini adalah pesantren kanuragan, yang muridnya sakti-sakti kebal senjata, bisa terbang dan cerita-cerita yang dilebih-lebihkan, aku masih takut bagaimana jadinya kalau Kyai bertarung dengan nenek sakti ini? Selama ini yang aku tahu Kyai sangat menguasai ilmu pengobatan, sakit apapun, dari sakit gila, sakit luar, penyakit dalam, sampai penyakit kena santet, kena guna-guna kena jin, kena narkoba, semua bisa disembuhkan, orang pengen jadi lurah, camat, bupati, gubernur, sampai mau jadi presiden larinya ke Kyai, dan Kyai hanya mendo’akan saja, tapi kalau ilmu kanuragan, aji kesaktian, aku tak tau, aku jadi ingat ada seorang tentara mau dikirim menjadi pasukan. Pasukan penjaga perdamaian di Kuwait namanya Iqbal, dia datang dengan tamu yang lain mau meminta sareat ilmu kekebalan, dia ngantri dengan tamu yang lain lalu menghadap Kyai, pas giliran si Iqbal, Kyai bicara sebelum Iqbal ngomong.
Begitulah Kyai selalu tahu maksud kedatangan orang sebelum orang itu menyampaikan maksudnya. Bahkan tahu hari, tanggal, tahun kelahiran serta siapa bapak ibunya. Bahkan orang itu habis melakukan maksiat apa Kyai pun tahu, dan kadang diucapkan Kyai tanpa tedeng aling-aling. Begitu saja mengalir.
Aku jadi ingat waktu aku pertama kali, datang ketempat Kyai. Kyai mengupas aku habis-habisan tentang pacar-pacarku. Apa yang kulakukan dengan si Hani, dengan Umi, dengan si Dyah dengan si Faty, Dina, semua disebutkan satu-satu oleh Kyai plus nama orang tua gadis itu. Jelas membuatku jengah, malu dan aku yang sebelumnya datang ke pesantren ini karena bekerja yaitu membuat kaligrafi dari semen, akhirnya memutuskan untuk mondok dan belajar ilmu dari Kyai.
Bersambung ke Chapter 2
Salam sejahtera semuanya. Mohon ijin untuk menceritakan ulang Kisah Sang Guru yg bermuatan banyak pelajaran Hikmah kehidupan yg bermuatan Religi, Supranatural dan Spiritual.
Index Thread :
Spoiler for Index Thread :
Sebuah Kisah Nyata Perjalanan Hidup, Spiritual & Supranatural

CHAPTER 1
Pagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. Di lereng gunung sebelah selatan, nampak berjejer kobong pondokan santri tak teratur. Sayup terdengar suara wirid para santri di bagian tengah pondokan, rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian dihamparkan dengan rapi, sehingga kalau diinjak kaki akan terdengar bunyi derit bambu yang khas. Nampak para santri yang jumlahnya 15 orang duduk melingkar khusuk dalam wiridnya.
Sang Kyai yang juga ada dalam lingkaran juga duduk bersila, orang tak akan menyangka mana Kyai mana murid. Sebab semua sama, hanya ketika Sang Kyai mengangkat tangannya dan wirid semuanya berhenti. Kemudian Sang Kyai menyuruh wirid yang lain, santri pun melanjutkan. Orang tak akan menyangka yang disebut Kyai ini seorang remaja, kira-kira umurnya 12 tahun, kulitnya putih bersih, dengan wajah biasa, namun memancarkan wibawa yang tiada taranya. Presiden sekalipun akan dibuat tunduk bila berdiri di hadapannya.
Di sebelah rumah Sang Kyai ada rumah bambu lagi yang lumayan besar, dindingnya dari kerai, yaitu bambu yang disisik halus kecil-kecil kemudian disusun rapi dengan tambang, sehingga bisa dibuka tutup dengan digulung, dalamnya juga beralaskan bambu seperti di rumah Kyai, nampak banyak orang lelaki tiduran dengan nyenyak. Mereka ada sekitar 20 orang, kesemuanya lelaki. Karena tempat para tamu perempuan ada tempatnya sendiri.
Para tamu ini bukanlah orang yang biasa-biasa. Seperti pak Udin, yang seorang tentara yang punya kedudukan di angkatan udara. Pak Yusup yang seorang jaksa dari Jakarta, juga ada para pemilik perusahaan raksasa di Indonesia. Ada lagi yang aku tidak tahu, kata temanku dua orang menteri, seorang duta besar, juga ada artis, tukang cukur rambut, tukang es keliling dan lain-lain, semua tidur sama kedudukannya.
Siapakah sebenarnya Sang Kyai, akupun tak tau pasti. Yang ku tau lelaki muda usia itu, sering dipanggil Kyai Lentik, dari ayahnya nasabnya sampai Sunan Gunung Jati, dari ibunya sampai ke Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.
Kyai yang tuturnya lembut berkasih sayang kepada siapa saja. Pagi itu seperti biasa, mbok Titing, janda tua penjual sarapan pagi nasi uduk lewat di depan rumah Kyai. Umur tua dan tubuh yang mulai bongkok ditambah rinjing di punggungnya yang penuh dengan nasi uduk bungkus diikat dengan selendang, tangan kanannya menjinjing tas krawangan berisi lauk pauk.
Seperti biasa pula, nenek tua itu berhenti di depan pintu Kyai sambil menawarkan dagangannya, sekalipun dia tau bahwa Kyai Lentik tiap hari puasa, nenek itu hanya menunggu Kyai menjawab teriakannya menawarkan dagangannya, meser Kyai? ndak bogah duwit mbok. Dan cuma itu jawaban Kyai, sudah membuat girang bukan main, dan segera berlalu, tersenyum bahagia dan tak sampai setengah jam dagangannya sudah habis ludes dibeli orang. Nenek itu sangat murung, apabila dia menawarkan dagangannya di depan pintu Kyai, tapi Kyai ternyata pergi, itu baginya berarti perjuangan seharian menawarkan dagangan, dan itupun belum tentu habis, itulah tiap pagi yang terjadi di pondok Pacung, lereng gunung putri.
Masih banyak kejadian yang kadang tak masuk di akal di balik kesederhanaan Sang Kyai. Waktu maghrib itu, santri yang menjalankan puasa, telah selesai berbuka dengan singkong rebus dan air putih, seperti biasa juga Kyai ikut berbuka dengan kami dengan beralaskan daun pisang singkong yang sudah masak dituang di atas daun pisang dan dinikmati bersama-sama sambil jongkok, tak ada yang istimewa, tak ada pecel lele Lamongan, rendang Padang, soto Madura, soto babat bahkan nasi pun tak ada.
Tapi tak pernah kami perduli, itu hanya makan, lebih baik makan apa adanya tapi untuk beribadah, daripada makan yang enak-enak ujung-ujungnya untuk berbuat maksiat. Setelah makan kami mengelilingi toples yang berisi tembakau, itu barang berharga kami, tembakau oleh-oleh dari Lukman yang pulang dari ngejalani ngedan, kami semua mengalami, yaitu pergi tanpa bekal, menyerahkan diri di kehendak Allah, pakaian compang-camping, sambil terus di hati mengingat Allah, berjalan kemanapun kaki melangkah, tanpa tujuan kecuali Allah, kalau lapar tak boleh meminta pada siapapun kecuali Allah, kadang mencari makan dari mengorek sampah, tidur kadang di hutan, sawah juga kuburan.
Nah, pada waktu itu setiap ada yang ngejalani, santri pada memesan uthis yaitu puntung rokok, di jalan, dikumpulkan sampai satu kresek nanti dibawa pulang, sampai di pondok dibuka satu-satu dipisahkan tembakau dan kertas rokoknya. Aku mengambil kertas koran lalu membuat lintingan, dari korek kapuk kunyalakan kuhisap dalam dan asap pun bergumpal-gumpal keluar dari hidung dan mulutku, kadang kutiupkan asap sambil asap mengepul dari tembakau dan bau kertas koran yang terbakar, aku menengadah, sambil meresapi asap keluar dari mulutku, seakan suatu kenikmatan tiada tara, santri yang laen juga sepertiku.
Saat aku menengadahkan wajah entah untuk yang keberapa kali, kulihat melayang bayangan hitam di antara pohon kelapa yang banyak bertebaran, aku kaget sekali, jelas bayangan itu manusia yang melayang tak terlalu cepat, karena saat petang maka bayangan itu kelihatan hitam. Bayangan itu melintasi pohon jengkol di dekat dapur sebelah kanan rumah Kyai, lalu melayang dengan indah turun di depan rumah Kyai. Kami segera memburu ke arah orang itu, yang sejak tadi kami ribut menebak-nebak apa sebenarnya. Deg-degan kami menghampiri, ternyata bayangan yang terbang itu seorang wanita tua, rambutnya semua memutih, dia terbang menggunakan sajadah, jelas bahwa ilmu meringankan tubuhnya teramat tinggi, yang mungkin kalau sekarang kami tidak melihat dengan mata kepala kami sendiri, tentu kami akan menyangka ilmu seperti itu hanya ada di cerita silat, atau film di televisi, arahan imajinasi.
Kami semua melongo melihat perempuan itu melipat sajadah yang tadi digunakan untuk terbang, aku teringat kisah aladin, tapi ini nyata, perempuan tua tinggi kurus, berpakaian putih kusam ringkas membentak,
“Dimana Kyai Lentik, aku ingin mengadu ilmu.”
“Nyai siapa?” kataku menguasai keterkejutan.
“ah mana Kyai Lentik? Hai Kyai keluar!!” katanya, karena menantang-nantang dan sama sekali tak memperdulikan kata-kataku, aku pun segera bergegas menghadap Kyai, yang aku yakini tengah berada di musolla menunggu sholat berjama’ah.
Aku kawatir perempuan tua itu ilmunya teramat tinggi, bagaimana nanti Kyai menghadapinya, setahuku Kyai tak punya ilmu kanuragan, juga tak pernah mengajarkan kanuragan, tapi memang kalau dipikir-pikir aneh juga, kami para santri, tak pernah dilatih kanuragan, ilmu silat apapun kami tak tahu, karena memang di pesantren Pacung ini kami hanya diajar bagaimana mendekatkan diri pada Allah, bukan lewat teori tapi praktek, bagaimana bertawakal, syukur, houf, rojak, dan bagaimana membersihkan hati dari segala sifat yang menjadi penyakit hati.
Tapi para penduduk sekitar juga para tamu yang datang, selalu berkeyakinan kalau pesantren ini adalah pesantren kanuragan, yang muridnya sakti-sakti kebal senjata, bisa terbang dan cerita-cerita yang dilebih-lebihkan, aku masih takut bagaimana jadinya kalau Kyai bertarung dengan nenek sakti ini? Selama ini yang aku tahu Kyai sangat menguasai ilmu pengobatan, sakit apapun, dari sakit gila, sakit luar, penyakit dalam, sampai penyakit kena santet, kena guna-guna kena jin, kena narkoba, semua bisa disembuhkan, orang pengen jadi lurah, camat, bupati, gubernur, sampai mau jadi presiden larinya ke Kyai, dan Kyai hanya mendo’akan saja, tapi kalau ilmu kanuragan, aji kesaktian, aku tak tau, aku jadi ingat ada seorang tentara mau dikirim menjadi pasukan. Pasukan penjaga perdamaian di Kuwait namanya Iqbal, dia datang dengan tamu yang lain mau meminta sareat ilmu kekebalan, dia ngantri dengan tamu yang lain lalu menghadap Kyai, pas giliran si Iqbal, Kyai bicara sebelum Iqbal ngomong.
Begitulah Kyai selalu tahu maksud kedatangan orang sebelum orang itu menyampaikan maksudnya. Bahkan tahu hari, tanggal, tahun kelahiran serta siapa bapak ibunya. Bahkan orang itu habis melakukan maksiat apa Kyai pun tahu, dan kadang diucapkan Kyai tanpa tedeng aling-aling. Begitu saja mengalir.
Aku jadi ingat waktu aku pertama kali, datang ketempat Kyai. Kyai mengupas aku habis-habisan tentang pacar-pacarku. Apa yang kulakukan dengan si Hani, dengan Umi, dengan si Dyah dengan si Faty, Dina, semua disebutkan satu-satu oleh Kyai plus nama orang tua gadis itu. Jelas membuatku jengah, malu dan aku yang sebelumnya datang ke pesantren ini karena bekerja yaitu membuat kaligrafi dari semen, akhirnya memutuskan untuk mondok dan belajar ilmu dari Kyai.
Bersambung ke Chapter 2
Diubah oleh gelandangan143 23-08-2019 07:26
ir.rahma92 dan 37 lainnya memberi reputasi
30
62.6K
226
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
gelandangan143
#106
CHAPTER 15a
Malam itu kembali aku menginap di setasiun, besoknya aku ikut kereta api KRD ke Surabaya, setelah dapat tempat duduk, aku pun tenggelam dalam wiridku, kereta belum juga berangkat, walau jam telah melewati waktu jadwal keberangkatan, di sebelahku kursi kosong, datang seorang pemuda kurus ceking dan duduk di sebelahku,
“Assalamualaikum mas…” sapa pemuda kurus di sebelahku.
“Waalaikum salam….” jawabku acuh, karena masih tenggelam menulis lafad Alloh di kalbuku.
“Maaf mas, mengganggu….” katanya.
“Tak apa-apa, wong tempat duduk ini disediakan untuk penumpang.” kataku tak acuh.
“Bukan itu mas, maksudku mas kan yang gila di setasiun Bojonegoro? Sebab tadi saya tanya para pedagang asong, kalau yang selama ini jadi orang gila di setasiun itu mas.” kata lelaki ceking itu, dan membuatku terperanjat.
“Ada apa sampean mencari saya?” tanyaku heran.
“Anu mas, biar saya ceritakan saja diri saya, saya dari keluarga berbagai macam agama, di keluarga saya ada yang Hindu, Budha, Kristen, dan saya bingung mau milih agama apa? Saya pernah mencoba berbagai agama, selain Islam, tapi saya tak pernah merasa sreg dan cocok, nurani saya mengatakan semua tak benar, nah seminggu yang lalu saya ke salah satu kyai di Kediri minta petunjuk, lhoh kok dia malah menyuruhku minta petunjuk pada orang gila yang masih muda, berambut gondrong yang ada di setasiun Bojonegoro, kemaren saya sudah datang di setasiun tapi orang gila yang dicirikan oleh kyai Kediri itu tidak ada di setasiun Bojonegoro, lalu saya malamnya menginap di seorang kenalan, lalu tadi pagi saya datang lagi ke setasiun, saya cari-cari, juga tak ada, lalu saya tanya pada penjual asongan ciri-ciri orang gila yang ada di setasiun, pasti mereka pernah melihat, lalu mereka pada menunjukkan mas, yang saat itu tengah duduk di bangku, saya ragu, sebab mas tak seperti orang gila, maaf, pakaian, tubuh, juga tampang bersih, jadi saya ragu, lalu mas naik kereta jurusan Surabaya, ya daripada pencarian saya tak mendapatkan hasil, maka saya samperin aja mas, dan inilah yang terjadi.”
“Siapa namamu?” tanyaku.
“Saya, Arifin mas, dari Jombang. ” jawabnya.
“Lalu apa yang kau inginkan dariku?”
“Aku minta petunjuk dari mas, apa yang harusnya ku lakukan?” katanya, sementara kereta mulai jalan.
“Kau sudah mendapat hidayah dari Alloh, memeluk agama Islam, adalah hidayah yang lebih mahal dari nyawa, karena apa gunanya amaliyah segunung, kalau tidak muslim, maka tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kebaikan di dunia, di akhirat hanya menerima rentetan siksa demi siksa tanpa ujung dan perhentian, maka jika kamu bisa menjadi Islam, sungguh suatu karunia yang tiada terkira, di suatu daerah aku pernah melihat anak kecil seorang anak keluarga Kristen, tapi aneh walau anak itu baru berumur 10 tahun, dia telah masuk Islam, tanpa ada yang mengajak, waktu ulang tahun yang diminta ke orang tuanya apa? Peci, baju taqwa, dan sajadah, lalu dia ikut jamaah di masjid, orang tuanya tau itu kemudian marah, dia dipukul sampai babak belur, disiksa, tapi tetap saja dia ke masjid, nah itulah hidayah dari Alloh,”
“Aku jadi merinding mas, lalu apa yang harus ku lakukan mas…?”
“Pergilah ke kyai Maimun Zubair, Sarang Rembang, ceritakan keadaanmu, dan mintalah diIslamkan.”
“Prak… bug… prak..!” tiba-tiba terjadi ribut dalam kereta, tepat di depanku dua preman berantem, dan terjadi pergumulan yang seru, karena entah merebutkan apa, nampak pemuda yang satu sudah benjol wajahnya karena dipukul, para penumpang menjerit, tiba-tiba pemuda yang benjol mencabut pisau dan dihujamkan ke pemuda musuhnya, sepersekian detik aku tak sadar begitu saja melompat, tanganku menangkis pisau, hingga pisau mental, dan otomatis aku di tengah jadi sasaran pukulan kedua preman yang telah gelap mata, kedua tanganku ku bentang menangkis kedua pergelangan dua pemuda itu, “krak..!” Kedua pemuda itu mengaduh dan mundur memegangi pergelangan masing-masing, keduanya menatapku, heran dan ada pandangan takut, padahal bodi keduanya besar jauh di atasku,
“Kalau bikin ribut dalam kereta, ku lempar kalian keluar…!” bentakku.
“Enggak mas…! Enggak.,” jawab mereka berdua mundur-mundur, dan sebentar datang kondektur menenangkan suasana, dan aku pun duduk di tempat dudukku semula.
“Wah mas berani, aku sudah takut kalau sampai ada yang terluka,” kata Arifin.
“Ah tak apa-apa, cuma anak berandalan.” kataku tenang.
“Lalu bagaimana mas, tentang saya?”
“Iya kamu pergi aja ke pesantren Sarang Rembang.” kataku menerangkan agak keras, karena suara rem kereta yang berderit keras, dan kereta perlahan berhenti di setasiun Babat.
“Aku turun sini aja.” kataku pada Arifin.
“Lho ndak ke Surabaya to mas?” tanya arifin.
“Enggak” jawabku sambil lalu berdesakan dengan para penumpang yang mau naik kereta.
Setelah turun kereta, aku pun mencari warung untuk sarapan pagi, ku masuk sebuah warung dan memesan pecel khas Lamongan, makan dan sambil memandang orang yang lalu lalang.
Seharian tak ada aktifitas yang ku lakukan, kecuali diam di mushola setasiun menjalankan wirid sampai tertidur, lalu sholat dzuhur dan wirid lagi, tenggelam di dasar suara hati.
Malam itu, sekitar pukul 3 dini hari, aku tidur sendiri di musholla setasiun, tiba-tiba serasa ada yang membangunkanku. Aku terperanjat dan bangun, tengak tengok tak ada siapa-siapa, aku heran, lalu siapa yang membangunkanku? Aku bangkit dan keluar dari mushola, di luar segera angin dingin berhembus, menebar bau minyak pelumas roda kereta yang tercecer, suasana teramat hening, tak ada seorangpun berkeliaran, ku berjalan ke salah satu kursi tunggu, duduk dan mengeluarkan rokok Djarum dan menyalakan dengan korek.
Belum sampai lima menit aku duduk di kursi tunggu, kereta barang tiba dari Surabaya, suara rodanya beradu dengan rel menjerit Cumiakkan telinga, kereta berhenti perlahan, beberapa penumpang gelap melompat dari sambungan gerbong, turun, aku tetap santai menikmati hisapan demi hisapan rokok.
Tiga penumpang, yang turun dari sambungan gerbong ternyata pemuda-pemuda, dan ketiganya menghampiriku, dan aku kaget, ternyata salah satunya adalah pemuda yang kemarin siang ku tangkis pisaunya,
“Benar ini orangnya.” kata pemuda yang kemarin ku tangkis pisaunya.
“Wiiit… wiiiet..!” pemuda yang lain bersiul nyaring.
Dan dari setiap gerbong melompat pemuda, dan banyak sekali, dan membuatku tergetar juga, mungkin sebanyak 20 orang atau bahkan lebih, dan kilauan pedang di setiap genggaman mereka.
“Apa mau kalian?” kataku berdiri dari kursi, dan menikmati sedotan terakhir dari puntung rokok yang ku pegang. Ah mati aku, tentu mereka akan mengeroyokku, aku membayangkan tubuhku dicacah pedang dan dibiarkan tergeletak dirubung lalat, dan kemudian dibungkus tikar, lalu tercatat di surat kabar, seorang gelandangan dibunuh di setasiun, dan ayah ibuku menangisi kematianku, ah betapa pendeknya usia, berdesir darahku, suara jantungku bledag bledug tak karuan, aku manusia biasa, yang tak tau kapan akan mati, dan akan mati yang bagaimana?
Ah benar-benar membuat keberanianku kuncup, terbang atau entah kemana?
Aku jadi ingat waktu jadi ketua gank dan dikeroyok 20 orang, dulu aku nekat, tapi sekarang, hidup dengan iman begitu nikmat dan mengasikkan, andai disuruh memilih mati yang bagaimana? Aku lebih memilih mati dalam keadaan sholat, tidak mati dikeroyok, tapi apa dayaku, aku coba tenang dan membangkitkan tenaga yang selama ini mengeram di pusarku, walau ku lihat sudah tidak keburu, karena kulihat semua orang telah merangsek maju, memburu menikam dan membacok tubuhku, aku hanya sempat mengucap takbir, melompat maju, membuat perlawanan sekenanya….
Berkelit kesana sini dan melepas bogem, sekenanya, tanpa memilih mana dan siapa yang kupukul, yang jelas perlawanan karena ditimbulkan dalam kepanikan, tapi hatiku yang telah tiap hari ku gantungkan padaNya tak lupa berdoa, “Wahai Dzat, wahai Kekasih…, apakah kau biarkan aku teraniaya mati di sini? Engkau yang lebih kuasa dari segala sesuatu….”
Mungkin baru 2 orang yang kupukul, dan dalam kengerian dan kepengecutanku aku memukul dengan mata terpejam teramat rapat.
Suasana sepi, aku belum membuka mata, apakah aku telah mati? Membuka mata ku rasa lebih menakutkan.
Tanganku masih mengepal gemetar, mata masih terpejam, suara kereta api barang telah tak ada, bau minyak rem, terbawa desir angin, apakah aku yang telah mati dan beginikah rasanya, tapi kenapa tak kurasakan sakit sama sekali, sakitnya nyawa dibetot dari badan, nyawa yang dibetot dan karena telah terikat dengan urat-urat maka akan menyisakan sakit di sekujur badan, karena urat-urat semua akan putus, dan rasa sakitnya akan sampai kiamat masih terasakan, setidaknya begitu yang kubaca tentang ruh dari kitab kitab kuning,
Tapi ini aku tak merasakan sakit sama sekali, perlahan ku buka mataku sebelah, memicing, sebab begitu takutnya aku andai menyaksikan kenyataan yang pahit, yaitu aku telah mati.
Ah aku masih berdiri, dan tak ada orang lain yang berdiri kecuali aku, lalu kemana semua penyerangku?
Aku heran ku lihat semua terkapar, bukan hanya 3 langkah di depanku aja, tapi ada juga yang kelihatannya baru mau berlari ke arahku juga nyungsep tak bergerak, perlahan ku teliti satu persatu, semua pingsan.
Heran? Jelas aku heran, dalam angan anganku yang terkapar harusnya aku, mengapa malah para pengeroyokku? Sambil ku seret tubuh pemuda-pemuda yang pada pingsan itu dan kukumpulkan menjauhi rel kereta, takut kalau ada kereta yang lewat, dan terlindas, aku memikirkan siapa orang yang telah membantuku, menundukkan semua pengeroyokku? Tapi andai manusia dan punya ilmu yang teramat tinggi, dan bisa bergerak demikian cepat, tentu aku masih merasa kehadirannya, tapi ini kehadirannya tidak kurasakan, ah entahlah mungkin pertolongan Alloh, membuat pingsan orang satu negara aja bisa, apalagi cuma beberapa gelintir orang, biarlah semua jadi misteri.
Ku kumpulkan beraneka macam senjata yang akan dibuat menyerangku, ada pisau, golok, pedang, pentungan, semua ku buang ke tempat sampah di pojok setasiun.
Lalu aku mengambil air wudhu dan melakukan sholat malam, terdengar sayup adzan pertama, dari masjid Muhamadiyyah.
Aku wirid sambil menunggu saat memasuki waktu subuh. Dua hari aku masih di setasiun Babat. Dan malam berikutnya, mungkin musim kemarau, udara terasa panas, sehingga aku duduk sendiri, mencari udara yang agak tak terasa gersang di perasaan, malam telah menunjukkan jam 2 dini hari, sambil memutar tasbih, aku duduk di kursi peron, kulihat seorang wanita tua tidur mendengkur di pojok dekat pintu, menunggu dagangan pecel, yang akan dijual besok hari, ah kejamnya dunia, bagaimana orang setua itu masih menanggung kepahitan hidup, kadang anak-anaknya, menunggu di rumah, untuk meminta uang dengan marah-marah, lalu dibuat hura-hura, aku ingat tetanggaku si ZUHDI yang selalu mengejar-ngejar orang tuanya dengan parang hanya untuk minta uang buat mabuk-mabukan, salah siapa sebenarnya, kegetiran hidup dirasakan hampir seluruh lapisan bawah, rakyat negeri ini?
Jerit rakyat, tindihan keluarga, keadilan yang diputar balikkan, seperti mengikuti tangan penguasa kemana mengarahkan, ah entahlah, terlalu rumit, kenyataan dan terlalu pahit untuk dirasakan, moga-moga aja mereka masuk surga, walau di dunia tak dapat kebahagiaan, setidaknya di akhirat masih ada harapan, ku teruskan wiridku, sambil kaki selonjoran di kursi, malam mulai membawa angin segar angin pagi… , udara sejuk, mengalir menghembus tubuhku.
Kulihat seorang pemuda berjalan kearahku dari depan setasiun, aku menengok, ketika langkah kakinya terdengar di telingaku, kemudian dia duduk di kursi, dari dua kursi yang ku duduki, mungkin umur pemuda itu dua tahun lebih tua dariku, wajahnya mengguratkan keresahan hati, duduknya serba tak tenang, setidaknya di penglihatanku, saat malam makin mendesirkan kesunyian yang rindu akan suara, geseran tubuh pemuda itu terdengar jelas, seperti mengganggu ketentraman, dan konsentrasi wiridku, tiba-tiba dia berjalan ke arahku, dan berdiri di depanku.
“Sendiri mas?” tanyanya sekedar basa basi, atau ngomong sembarangan dari pada tidak ada yang diomong,
“Iya, ” jawabku singkat, tanpa nada suara yang meledak.
“Apa ndak kuwatir mas sendirian?” tanyanya lagi.
“Kuwatir kenapa?” aku balik bertanya.
“Ya kalau-kalau dirampok orang.”
“Apa yang harus dirampok dariku? La uang seripis aja ndak punya.” jawabku dengan tertawa, walau tidak tertawa getir.
“Nginap aja di tempatku…!” katanya, dengan nada yang aku mencium, entah apa terasa di telingaku, kurang berkenan,
“Ah ndak lah, aku biasa tidur di sini, kemaren juga tidur di sini….”
“Nggak mas, di tempatku juga ndak ada orang, jadi kalau mau, nginap dan tidur sepuasnya juga gak ada yang akan menyalahkan…”
Setelah dibujuk-bujuk akhirnya akupun mau, kami berjalan menyelusuri lorong-lorong dekat pasar Babat, dan dalam perjalanan pun kami saling ngobrol, dan ku kenal, pemuda itu bernama Hendra.
Rumah Hendra tak terlalu besar, walau tidak bisa dikatakan kecil, cat rumah juga sudah banyak yang terkelupas, ada kesan rumah yang tak terurus, atau orangnya yang malas ngurus, segala macam pakaian tergantung, dan menumpuk di sana-sini, yah mungkin Hendra ini, terlalu malas, setidaknya seukuran orang yang tak punya istri, aku disuruh duduk di kursi, yang teramat apek, mungkin lebih nyaman di setasiun, aku pun mendudukkan pantat di kursi, yang busanya udah pada bolong, mungkin dimakan tikus yang nyari makan sudah tidak ada yang lain, jadi busa juga dimakan, mungkin dibayangkan sebagai roti, ah apakah tikus juga berhayal seperti manusia?
Hendra keluar dari kamar, dan mengajakku masuk, “Ayo mas masuk, maaf, kamarnya berantakan banget.” ah ndak usah dia bilang berantakan, aku juga sudah tau.
Ah kamarnya juga gelap sekali, lampu bohlamp, cuma 5 watt, dan sudah banyak dihinggapi sarang laba-laba, benar-benar tak ada nyamannya sama sekali, mestinya kalau tau begini aku tadi tidak mau untuk diajak ke rumahnya, kulihat tape recorder dan amplier terletak begitu saja di tanah, dekil, dan kelihatan jarang disentuh, atau yang bersih cuma pencetan playnya, entahlah aku seperti merasakan suntuk yang teramat sangat, kok kerasan Hendra tinggal di rumah, dan kamar yang seperti ini…., “Ayo tidur, atau mau ngobrol aja?” katanya mengagetkanku.
Bersambung ke Chapter 15b
Malam itu kembali aku menginap di setasiun, besoknya aku ikut kereta api KRD ke Surabaya, setelah dapat tempat duduk, aku pun tenggelam dalam wiridku, kereta belum juga berangkat, walau jam telah melewati waktu jadwal keberangkatan, di sebelahku kursi kosong, datang seorang pemuda kurus ceking dan duduk di sebelahku,
“Assalamualaikum mas…” sapa pemuda kurus di sebelahku.
“Waalaikum salam….” jawabku acuh, karena masih tenggelam menulis lafad Alloh di kalbuku.
“Maaf mas, mengganggu….” katanya.
“Tak apa-apa, wong tempat duduk ini disediakan untuk penumpang.” kataku tak acuh.
“Bukan itu mas, maksudku mas kan yang gila di setasiun Bojonegoro? Sebab tadi saya tanya para pedagang asong, kalau yang selama ini jadi orang gila di setasiun itu mas.” kata lelaki ceking itu, dan membuatku terperanjat.
“Ada apa sampean mencari saya?” tanyaku heran.
“Anu mas, biar saya ceritakan saja diri saya, saya dari keluarga berbagai macam agama, di keluarga saya ada yang Hindu, Budha, Kristen, dan saya bingung mau milih agama apa? Saya pernah mencoba berbagai agama, selain Islam, tapi saya tak pernah merasa sreg dan cocok, nurani saya mengatakan semua tak benar, nah seminggu yang lalu saya ke salah satu kyai di Kediri minta petunjuk, lhoh kok dia malah menyuruhku minta petunjuk pada orang gila yang masih muda, berambut gondrong yang ada di setasiun Bojonegoro, kemaren saya sudah datang di setasiun tapi orang gila yang dicirikan oleh kyai Kediri itu tidak ada di setasiun Bojonegoro, lalu saya malamnya menginap di seorang kenalan, lalu tadi pagi saya datang lagi ke setasiun, saya cari-cari, juga tak ada, lalu saya tanya pada penjual asongan ciri-ciri orang gila yang ada di setasiun, pasti mereka pernah melihat, lalu mereka pada menunjukkan mas, yang saat itu tengah duduk di bangku, saya ragu, sebab mas tak seperti orang gila, maaf, pakaian, tubuh, juga tampang bersih, jadi saya ragu, lalu mas naik kereta jurusan Surabaya, ya daripada pencarian saya tak mendapatkan hasil, maka saya samperin aja mas, dan inilah yang terjadi.”
“Siapa namamu?” tanyaku.
“Saya, Arifin mas, dari Jombang. ” jawabnya.
“Lalu apa yang kau inginkan dariku?”
“Aku minta petunjuk dari mas, apa yang harusnya ku lakukan?” katanya, sementara kereta mulai jalan.
“Kau sudah mendapat hidayah dari Alloh, memeluk agama Islam, adalah hidayah yang lebih mahal dari nyawa, karena apa gunanya amaliyah segunung, kalau tidak muslim, maka tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kebaikan di dunia, di akhirat hanya menerima rentetan siksa demi siksa tanpa ujung dan perhentian, maka jika kamu bisa menjadi Islam, sungguh suatu karunia yang tiada terkira, di suatu daerah aku pernah melihat anak kecil seorang anak keluarga Kristen, tapi aneh walau anak itu baru berumur 10 tahun, dia telah masuk Islam, tanpa ada yang mengajak, waktu ulang tahun yang diminta ke orang tuanya apa? Peci, baju taqwa, dan sajadah, lalu dia ikut jamaah di masjid, orang tuanya tau itu kemudian marah, dia dipukul sampai babak belur, disiksa, tapi tetap saja dia ke masjid, nah itulah hidayah dari Alloh,”
“Aku jadi merinding mas, lalu apa yang harus ku lakukan mas…?”
“Pergilah ke kyai Maimun Zubair, Sarang Rembang, ceritakan keadaanmu, dan mintalah diIslamkan.”
“Prak… bug… prak..!” tiba-tiba terjadi ribut dalam kereta, tepat di depanku dua preman berantem, dan terjadi pergumulan yang seru, karena entah merebutkan apa, nampak pemuda yang satu sudah benjol wajahnya karena dipukul, para penumpang menjerit, tiba-tiba pemuda yang benjol mencabut pisau dan dihujamkan ke pemuda musuhnya, sepersekian detik aku tak sadar begitu saja melompat, tanganku menangkis pisau, hingga pisau mental, dan otomatis aku di tengah jadi sasaran pukulan kedua preman yang telah gelap mata, kedua tanganku ku bentang menangkis kedua pergelangan dua pemuda itu, “krak..!” Kedua pemuda itu mengaduh dan mundur memegangi pergelangan masing-masing, keduanya menatapku, heran dan ada pandangan takut, padahal bodi keduanya besar jauh di atasku,
“Kalau bikin ribut dalam kereta, ku lempar kalian keluar…!” bentakku.
“Enggak mas…! Enggak.,” jawab mereka berdua mundur-mundur, dan sebentar datang kondektur menenangkan suasana, dan aku pun duduk di tempat dudukku semula.
“Wah mas berani, aku sudah takut kalau sampai ada yang terluka,” kata Arifin.
“Ah tak apa-apa, cuma anak berandalan.” kataku tenang.
“Lalu bagaimana mas, tentang saya?”
“Iya kamu pergi aja ke pesantren Sarang Rembang.” kataku menerangkan agak keras, karena suara rem kereta yang berderit keras, dan kereta perlahan berhenti di setasiun Babat.
“Aku turun sini aja.” kataku pada Arifin.
“Lho ndak ke Surabaya to mas?” tanya arifin.
“Enggak” jawabku sambil lalu berdesakan dengan para penumpang yang mau naik kereta.
Setelah turun kereta, aku pun mencari warung untuk sarapan pagi, ku masuk sebuah warung dan memesan pecel khas Lamongan, makan dan sambil memandang orang yang lalu lalang.
Seharian tak ada aktifitas yang ku lakukan, kecuali diam di mushola setasiun menjalankan wirid sampai tertidur, lalu sholat dzuhur dan wirid lagi, tenggelam di dasar suara hati.
Malam itu, sekitar pukul 3 dini hari, aku tidur sendiri di musholla setasiun, tiba-tiba serasa ada yang membangunkanku. Aku terperanjat dan bangun, tengak tengok tak ada siapa-siapa, aku heran, lalu siapa yang membangunkanku? Aku bangkit dan keluar dari mushola, di luar segera angin dingin berhembus, menebar bau minyak pelumas roda kereta yang tercecer, suasana teramat hening, tak ada seorangpun berkeliaran, ku berjalan ke salah satu kursi tunggu, duduk dan mengeluarkan rokok Djarum dan menyalakan dengan korek.
Belum sampai lima menit aku duduk di kursi tunggu, kereta barang tiba dari Surabaya, suara rodanya beradu dengan rel menjerit Cumiakkan telinga, kereta berhenti perlahan, beberapa penumpang gelap melompat dari sambungan gerbong, turun, aku tetap santai menikmati hisapan demi hisapan rokok.
Tiga penumpang, yang turun dari sambungan gerbong ternyata pemuda-pemuda, dan ketiganya menghampiriku, dan aku kaget, ternyata salah satunya adalah pemuda yang kemarin siang ku tangkis pisaunya,
“Benar ini orangnya.” kata pemuda yang kemarin ku tangkis pisaunya.
“Wiiit… wiiiet..!” pemuda yang lain bersiul nyaring.
Dan dari setiap gerbong melompat pemuda, dan banyak sekali, dan membuatku tergetar juga, mungkin sebanyak 20 orang atau bahkan lebih, dan kilauan pedang di setiap genggaman mereka.
“Apa mau kalian?” kataku berdiri dari kursi, dan menikmati sedotan terakhir dari puntung rokok yang ku pegang. Ah mati aku, tentu mereka akan mengeroyokku, aku membayangkan tubuhku dicacah pedang dan dibiarkan tergeletak dirubung lalat, dan kemudian dibungkus tikar, lalu tercatat di surat kabar, seorang gelandangan dibunuh di setasiun, dan ayah ibuku menangisi kematianku, ah betapa pendeknya usia, berdesir darahku, suara jantungku bledag bledug tak karuan, aku manusia biasa, yang tak tau kapan akan mati, dan akan mati yang bagaimana?
Ah benar-benar membuat keberanianku kuncup, terbang atau entah kemana?
Aku jadi ingat waktu jadi ketua gank dan dikeroyok 20 orang, dulu aku nekat, tapi sekarang, hidup dengan iman begitu nikmat dan mengasikkan, andai disuruh memilih mati yang bagaimana? Aku lebih memilih mati dalam keadaan sholat, tidak mati dikeroyok, tapi apa dayaku, aku coba tenang dan membangkitkan tenaga yang selama ini mengeram di pusarku, walau ku lihat sudah tidak keburu, karena kulihat semua orang telah merangsek maju, memburu menikam dan membacok tubuhku, aku hanya sempat mengucap takbir, melompat maju, membuat perlawanan sekenanya….
Berkelit kesana sini dan melepas bogem, sekenanya, tanpa memilih mana dan siapa yang kupukul, yang jelas perlawanan karena ditimbulkan dalam kepanikan, tapi hatiku yang telah tiap hari ku gantungkan padaNya tak lupa berdoa, “Wahai Dzat, wahai Kekasih…, apakah kau biarkan aku teraniaya mati di sini? Engkau yang lebih kuasa dari segala sesuatu….”
Mungkin baru 2 orang yang kupukul, dan dalam kengerian dan kepengecutanku aku memukul dengan mata terpejam teramat rapat.
Suasana sepi, aku belum membuka mata, apakah aku telah mati? Membuka mata ku rasa lebih menakutkan.
Tanganku masih mengepal gemetar, mata masih terpejam, suara kereta api barang telah tak ada, bau minyak rem, terbawa desir angin, apakah aku yang telah mati dan beginikah rasanya, tapi kenapa tak kurasakan sakit sama sekali, sakitnya nyawa dibetot dari badan, nyawa yang dibetot dan karena telah terikat dengan urat-urat maka akan menyisakan sakit di sekujur badan, karena urat-urat semua akan putus, dan rasa sakitnya akan sampai kiamat masih terasakan, setidaknya begitu yang kubaca tentang ruh dari kitab kitab kuning,
Tapi ini aku tak merasakan sakit sama sekali, perlahan ku buka mataku sebelah, memicing, sebab begitu takutnya aku andai menyaksikan kenyataan yang pahit, yaitu aku telah mati.
Ah aku masih berdiri, dan tak ada orang lain yang berdiri kecuali aku, lalu kemana semua penyerangku?
Aku heran ku lihat semua terkapar, bukan hanya 3 langkah di depanku aja, tapi ada juga yang kelihatannya baru mau berlari ke arahku juga nyungsep tak bergerak, perlahan ku teliti satu persatu, semua pingsan.
Heran? Jelas aku heran, dalam angan anganku yang terkapar harusnya aku, mengapa malah para pengeroyokku? Sambil ku seret tubuh pemuda-pemuda yang pada pingsan itu dan kukumpulkan menjauhi rel kereta, takut kalau ada kereta yang lewat, dan terlindas, aku memikirkan siapa orang yang telah membantuku, menundukkan semua pengeroyokku? Tapi andai manusia dan punya ilmu yang teramat tinggi, dan bisa bergerak demikian cepat, tentu aku masih merasa kehadirannya, tapi ini kehadirannya tidak kurasakan, ah entahlah mungkin pertolongan Alloh, membuat pingsan orang satu negara aja bisa, apalagi cuma beberapa gelintir orang, biarlah semua jadi misteri.
Ku kumpulkan beraneka macam senjata yang akan dibuat menyerangku, ada pisau, golok, pedang, pentungan, semua ku buang ke tempat sampah di pojok setasiun.
Lalu aku mengambil air wudhu dan melakukan sholat malam, terdengar sayup adzan pertama, dari masjid Muhamadiyyah.
Aku wirid sambil menunggu saat memasuki waktu subuh. Dua hari aku masih di setasiun Babat. Dan malam berikutnya, mungkin musim kemarau, udara terasa panas, sehingga aku duduk sendiri, mencari udara yang agak tak terasa gersang di perasaan, malam telah menunjukkan jam 2 dini hari, sambil memutar tasbih, aku duduk di kursi peron, kulihat seorang wanita tua tidur mendengkur di pojok dekat pintu, menunggu dagangan pecel, yang akan dijual besok hari, ah kejamnya dunia, bagaimana orang setua itu masih menanggung kepahitan hidup, kadang anak-anaknya, menunggu di rumah, untuk meminta uang dengan marah-marah, lalu dibuat hura-hura, aku ingat tetanggaku si ZUHDI yang selalu mengejar-ngejar orang tuanya dengan parang hanya untuk minta uang buat mabuk-mabukan, salah siapa sebenarnya, kegetiran hidup dirasakan hampir seluruh lapisan bawah, rakyat negeri ini?
Jerit rakyat, tindihan keluarga, keadilan yang diputar balikkan, seperti mengikuti tangan penguasa kemana mengarahkan, ah entahlah, terlalu rumit, kenyataan dan terlalu pahit untuk dirasakan, moga-moga aja mereka masuk surga, walau di dunia tak dapat kebahagiaan, setidaknya di akhirat masih ada harapan, ku teruskan wiridku, sambil kaki selonjoran di kursi, malam mulai membawa angin segar angin pagi… , udara sejuk, mengalir menghembus tubuhku.
Kulihat seorang pemuda berjalan kearahku dari depan setasiun, aku menengok, ketika langkah kakinya terdengar di telingaku, kemudian dia duduk di kursi, dari dua kursi yang ku duduki, mungkin umur pemuda itu dua tahun lebih tua dariku, wajahnya mengguratkan keresahan hati, duduknya serba tak tenang, setidaknya di penglihatanku, saat malam makin mendesirkan kesunyian yang rindu akan suara, geseran tubuh pemuda itu terdengar jelas, seperti mengganggu ketentraman, dan konsentrasi wiridku, tiba-tiba dia berjalan ke arahku, dan berdiri di depanku.
“Sendiri mas?” tanyanya sekedar basa basi, atau ngomong sembarangan dari pada tidak ada yang diomong,
“Iya, ” jawabku singkat, tanpa nada suara yang meledak.
“Apa ndak kuwatir mas sendirian?” tanyanya lagi.
“Kuwatir kenapa?” aku balik bertanya.
“Ya kalau-kalau dirampok orang.”
“Apa yang harus dirampok dariku? La uang seripis aja ndak punya.” jawabku dengan tertawa, walau tidak tertawa getir.
“Nginap aja di tempatku…!” katanya, dengan nada yang aku mencium, entah apa terasa di telingaku, kurang berkenan,
“Ah ndak lah, aku biasa tidur di sini, kemaren juga tidur di sini….”
“Nggak mas, di tempatku juga ndak ada orang, jadi kalau mau, nginap dan tidur sepuasnya juga gak ada yang akan menyalahkan…”
Setelah dibujuk-bujuk akhirnya akupun mau, kami berjalan menyelusuri lorong-lorong dekat pasar Babat, dan dalam perjalanan pun kami saling ngobrol, dan ku kenal, pemuda itu bernama Hendra.
Rumah Hendra tak terlalu besar, walau tidak bisa dikatakan kecil, cat rumah juga sudah banyak yang terkelupas, ada kesan rumah yang tak terurus, atau orangnya yang malas ngurus, segala macam pakaian tergantung, dan menumpuk di sana-sini, yah mungkin Hendra ini, terlalu malas, setidaknya seukuran orang yang tak punya istri, aku disuruh duduk di kursi, yang teramat apek, mungkin lebih nyaman di setasiun, aku pun mendudukkan pantat di kursi, yang busanya udah pada bolong, mungkin dimakan tikus yang nyari makan sudah tidak ada yang lain, jadi busa juga dimakan, mungkin dibayangkan sebagai roti, ah apakah tikus juga berhayal seperti manusia?
Hendra keluar dari kamar, dan mengajakku masuk, “Ayo mas masuk, maaf, kamarnya berantakan banget.” ah ndak usah dia bilang berantakan, aku juga sudah tau.
Ah kamarnya juga gelap sekali, lampu bohlamp, cuma 5 watt, dan sudah banyak dihinggapi sarang laba-laba, benar-benar tak ada nyamannya sama sekali, mestinya kalau tau begini aku tadi tidak mau untuk diajak ke rumahnya, kulihat tape recorder dan amplier terletak begitu saja di tanah, dekil, dan kelihatan jarang disentuh, atau yang bersih cuma pencetan playnya, entahlah aku seperti merasakan suntuk yang teramat sangat, kok kerasan Hendra tinggal di rumah, dan kamar yang seperti ini…., “Ayo tidur, atau mau ngobrol aja?” katanya mengagetkanku.
Bersambung ke Chapter 15b
danjau dan 5 lainnya memberi reputasi
6