Kaskus

Story

pakdhegoberAvatar border
TS
pakdhegober
Teror Hantu Kos Baru Pejaten (berdasar pengalaman nyata)
Assalamualaikum, semoga agan dan aganwati semua sehat, punya pacar dan enggak kehabisan uang.
Agan pernah, diganggu jin atau sejenis makhluk astral lainnya. Kalau belum, Alhamdulillah. Bagi yang udah pernah, agan berarti nggak sendirian. Karena Ane kali ini mau berbagi cerita tentang pengalaman 7 tahun lalu di sebuah rumah kos di Pejaten, Jakarta Selatan. Sekadar overview, ane sudah lama mau nulis cerita ini, tapi banyak pertimbangan. Yang paling berat karena kos-kosan ini masih ada sampe sekarang. Setahu ane juga rame terus. Semoga kondisinya sudah lebih baik sekarang. Karena itu sebelum membaca ada beberapa rules ya, mohon dimaklumi.
1. Ini beneran cerita nyata gan? Iye ada benernye, tapi ane menulis cerita ini dengan metodologi prosa modern, ambil gampangnya novel. Jadi ane perlu nambahin bumbu buat dramatisasi. Kalau terpaksa dibikin komposisi, kira-kira 50:50 gan.
2. Kos gue juga Pejaten gan! Ini Pejaten sebelah mananya? Udeh ye nikmatin aje, jangan ganggu lapak rejeki orang. Jangan-jangan kos ente yang ane maksud lagi, berabe kan?
3. Gan bagusnya ada foto kali, supaya lebih kentara aslinya, bisa difoto gan? Yah entar ane usahain dah, pura2 nanya kamar kosong, tapi ane bakal ambil foto yang anglenya kelihatan susah ditebak ya. Lagi-lagi ini properti orang gan, mereka punya hak. Tapi entar insya allah ane usahain.
4. Kayanya ane ngerti deh tempatnya di mana, yang di jalan ini kan, sebelah ini kan? Udeh kalo ngerti simpen aja dalem hati.
5. Apdetnya kapan gan? Insya allah paling enggak seminggu sekali, antara malem jumat sampe malem minggu. kalo ada waktu banyak bisa dua kali.
6. Gan, kalo penampakan yang ini asli? suara yang itu juga asli apa rekayasa? Ya udah sih baca aja, ini bukan tayangan fact or fiction.

Nah, gitu aja sih rulesnya. semoga cerita ini menghibur dan bermanfaat. kalau ada kesamaan nama, mohon maaf ya. Buat penghuni kos yang kebetulan baca (soalnya kamarnya banyak banget gan sekarang) semoga gak sadar. Kalopun sadar, ane doain sekarang kondisinya udah nyaman sekarang.

Selamat membaca.
Spoiler for Prolog:


Quote:


Last Update 13/3/2019

Bersambung....
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 112 suara
Part bagusnya pake foto ilustrasi apa nggak?
Pake, biar makin ngefeel
42%
nggak usah, ane penakut
11%
terserah TS, yang penting gak kentang
47%
Diubah oleh pakdhegober 14-05-2022 11:55
a.rizzkyAvatar border
doughnutzzAvatar border
bebyzhaAvatar border
bebyzha dan 141 lainnya memberi reputasi
128
1.2M
3.4K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
pakdhegoberAvatar border
TS
pakdhegober
#3182
Part 64: Persembunyian Terakhir
Lariku terburu-buru, membabi buta, menerabas ke kamar Fani untuk berlindung. Sampai-sampai menabrak rak arsip, membuatnya bergeser dan terangkat sedikit miring. Bahkan aku nyaris lupa menutup pintu rapat-rapat.

Kamar Fani ibarat bungker persembunyian perang. Dari luar suara-suara menyeramkan masih kedengaran. Lebih sayup. Setan itu mengamuk. Aku harus percaya bahwa tidak akan terjadi apa-apa di kamar Fani. Semoga tidak salah.

Aku harus membenahi rak yang bergeser berikut beberapa benda yang sudah jatuh berantakan. Tanganku buru-buru memberesinya dan pada beberapa saat terakhir aku tidak sengaja menjatuhkan sebuah bola golf hiasan yang sebenarnya aku mau kembalikan di tempatnya. Jatuhnya benda tersebut menimbulkan bunyi hantaman pada granit.

Pada saat itu juga aku tertegun. Bunyinya lain. Kopong. Seharusnya terdengar bunyi yang lebih padat.

Entah bagaimana aku mendapatkan semangat lebih. Aku menggeser rak dan kalau perlu membuat isinya berantakan lagi. Kemudian aku mengetuk-ngetuk granit yang tadi dengan lipatan keras jari tengah. Ternyata benar, granit ini seperti tidak dialasi dengan benar.

Maka aku memungut bola golf lalu membantingnya kuat-kuat tepat mengenai granit. Lantai itu retak seketika. Aku mengulanginya sekali lagi dan sekali lagi sehingga titik itu menganga. Sekarang lebih mudah membongkar sisanya. Ketika aku berhasil mencabut kepingan granit itu aku baru menyadari bahwa kata-kata Sukma tentang kotak misterius bukan omong kosong.

Dadaku berdegup tak teratur menatap benda terlaknat itu. Bukan takjub padanya, tidak juga berpuas diri. Aku membayangkan 98 nyawa yang dipertaruhkan demi perjanjian setan. Mengandaikan diri melihat orang-orang itu menghabiskan sisa waktu hidupnya dengat amat menderita. Sementara di tempat lainnya satu dua oknum sedang bersiap menyambut hari yang ditunggu-tunggu. Dan aku mengingat tiga orang yang telah dipersiapkan menjadi korban terakhir.

Hati-hati aku mengangkat benda itu dari persembunyiannya. Sebuah peti persegi panjang berbahan kayu solid. Jati, hitam warnanya bersolek ukiran halus. Sebentar aku amati ukirannya. Seperti menceritakan ombak lautan. Peti kayu ini punya Mas Haji Satar, diwariskan pada putranya yang ambisius seperti dirinya sendiri.

Kotak azimat ini tidak dikunci atapnya melainkan dikait sejenis dowel dengan warna serupa. Jadi membukanya sangat mudah.

Penglihatanku yang kemudian tidak bertentangan dengan dugaan. Di dalamnya disimpan tiga cawan yang seluruhnya dibuat dari kayu hitam. Masing-masing wadah punya penutupnya. Aku berusaha membukanya namun penutupnya sangat rapat. Sekiranya benda ini dibuat oleh pengrajin kayu hebat. Setelah mengeluarkan banyak keringat juga menahan sabar, sebuah tutup cawan akhirnya berhasil terbuka. Isinya abu. Tidak semuanya halus. Entah ini abu pembakaran siapa. Tidak ada catatan. Mungkin Haji Mufid cukup mengingat letak penempatan cawan-cawan ini. Aku cepat berpaling pada wadah yang lain, mengeluarkan tenaga sama banyaknya untuk membuka. Yang kedua juga isinya abu. Kemudian pada yang terakhir aku baru mendapati isi yang berlainan. Yang aneh, darahnya kelihatan masih segar. Bukankah waktu, kelembaban, dan cuaca seharusnya mengubah fisiknya. Tak habis pikir, sesungguhnya memang tidak perlu dipikir, sebab sedang berurusan dengan perkara di luar akal pikiran. Namun keheranan ini belum berhenti. Cawan yang terakhir mengaromakan wangi gaharu. Apa mungkin ada tekniknya atau bagaimana, entahlah.

Ketiga cawan itu aku tutup serapat mungkin, lalu mengembalikannya menurut susunan semula. Aku tetap harus memikirkan siasat mengakhiri petaka malam ini. Namun pada saat itu terdengar pagar rumah dibuka. Seseorang sedang menuju ke dalam! Bersamaan dengannya aku baru menyadari suara-suara menyeramkan dari luar kamar lenyap sudah. Amukan Sukma telah berhenti.

Menunggu beberapa saat sambil mencari cara, hingga mendapat akal, lebih tepatnya siasat; aku akan lebih dulu bersembunyi sementara waktu.

Derap kaki menapaki tangga di luar yang asalnya dari area bawah tanah. Dari bunyinya aku pikir hanya seorang di luar. Lantas aku menguping suara bocah berceloteh. Langkah itu mendekat lagi, aku mendengar bunyi gagang pintu yang menghubungkan ruang utama.

“Alvin! Tolong buka pintu, aku pulang.”

Fani nyatanya datang lebih dulu. Dia pasti sudah tahu Pak Wi sedang pergi dan apa maksudnya. Fani mengulang panggilannya tetapi yang dipanggil tidak bergeming. Aku memutuskan mengunci kamar Fani dari dalam, sembunyi di bawah kasur setelah sebelumnya membereskan kekacauan.

Berkali-kali tidak ditanggapi membuat Fani memikirkan jalannya sendiri. Dia turun lagi untuk kembali dalam beberapa saat. Setelah itu bunyi kaca jendela pecah. Prangg! Hening malam untuk beberapa saat rusak. Fani melakukan hal yang lain lagi. Karena jendela itu dipasangi teralis, ia harus memukulkan benda keras—dugaanku batu—dan sesekali menendangnya agar jeruji itu lepas. Setelah beberapa kali percobaan, teralis menyerah juga. Fani langsung masuk, namun sepertinya ada sesuatu yang menghentikannya.

Unyil

Anjing itu merintih, terdengarnya melolong dengan suara lemah. Untung masih hidup! Aku tidak tahu apa rencana Fani terhadap unyil. Yang jelas tidak lama kemudian Fani berteriak sejadi-jadinya. Perempuan itu pasti tidak akan menduga rumahnya jadi kacau begitu.

Kemudian Fani memanggil lagi namaku berulang-ulang. Lalu terdengar derapnya sampai tangga. Suaranya terus memanggil-manggil nama Alvin. Terbayang pasti dia sedang menuju kamar Wina. Hingga akhirnya suara Fani kian keras karena mulai putus asa atas pencariannya.

Fani turun lagi. Kali ini bunyi slot kunci pada pintu kamarnya. Dia masuk kamar. Pertama kali dia langsung menggumam heran lantaran lampu kamarnya menyala. Aku mengamati kakinya hanya dari boots sampai betis. Perempuan itu berbicara sebentar pada putrinya sebelum meletakkan gadis mungil itu di kasur. Fani kemudian turut duduk di kasur, melepas sepatunya. Aku merasakan dia berdiri lagi dan setelahnya aku mendapati celana yang ia kenakan tanggal begitu saja di lantai. Kemudian jaketnya jatuh, menyusul kaosnya dan yang lain-lain. Ia berjalan ke arah yang lain dan aku ikut memutar tubuh dan kepala dengan hati-hati. Alhasil perempuan itu menuju kamar mandi mengenakan handuk putih. Tiba-tiba ada sesuatu di bawah yang membuatku tidak nyaman.

Dia hanya sebentar di dalam. Keluar masih dengan handuknya, menuju lemari pakaian. Aku tidak bisa melihatnya dalam beberapa saat karena terhalang pintu lemari itu. Begitu pintu lemari dikembalikan seperti semula, ia sudah berpakaian rumah.

Aku berani menggaransi bahwa perempuan yang ada di kamar ini sekarang adalah Fani sungguhan, bukan Fani-fanian.

Fani kembali ke kasur. Duduk. Sebentar berikutnya suaranya menelepon seseorang, kurasa Pak Wi. Fani bertanya, kapan sampai? Aku tentu saja tidak mendengar apa jawaban Pak Wi. Namun tidak lama dari situ aku mendengar pagar rumah berbunyi lagi. Sekali ini bunyinya lebih panjang sehingga aku mengira ada mobil akan masuk. Benar, itu suara mobil bermesin diesel. Dan sesudah mesin kendaraan mati, pagar rumah dibiarkan saja terbuka.

Fani bangkit dari duduknya, tetapi menurutku dia tidak melakukan apa-apa. Dia tetap di kamar sampai ada orang lagi yang masuk. Pintu masuknya tetap dari jendela. Aku mendengar Pak Wi terkaget-kaget. Mungkin ia tidak percaya rumah majikannya yang baru ditinggal sebentar langsung berubah begitu berantakan. Pak Wi sempat menyebut-nyebut unyil tapi sepertinya ada perkara yang lebih mendesak, jadi unyil segera dilupakan.

Kembali pada seorang perempuan di atasku, ia keluar setelah berbicara lagi dengan Sybillia. Anak itu tidak menunjukkan protes, padahal malam sudah sangat jauh, atau barangkali akalnya belum mengerti. Pintu kamarnya disisakan tetap terbuka. Dengan begini percakapan orang-orang di luar lebih mudah lagi masuk pendengaran.

“Oh, dik Fani sudah ada rupanya,” ujar lelaki bersuara bariton. Tanpa melihat, sudah tentu dialah Haji Mufid. Mataku berupaya menjangkaunya tetapi tidak sampai.

Tiga orang itu ditambah Sybillia pindah ke meja makan. Mereka seperti tidak ingin buang-buang waktu. Di meja segera mengadakan percakapan yang langsung mengarah pada intinya.

“Siapa saja yang masih ada di rumah ini?” Haji Mufid memulai.

Pertanyaan tidak langsung dijawab. Hening sementara waktu. Haji Mufid lalu mengulangnya dengan cara lain. Katanya, “Sebaiknya kita periksa dulu kamar-kamar. Semuanya. Saya tidak ingin ada orang lain.”

Pak Wi menjawab, “Saya sudah mengosongkan seluruh ruangan khusus untuk malam ini. Tapi soal ada kekacauan ini saya ndak tahu.”

Haji Mufid terkekeh, menjelaskan, “Itu perbuatan Sukma. Kita akan mengusirnya malam ini. Dik Fani sudah lengkap semuanya?”

“Sudah. Saya sudah bersih-bersih. Sybillia belum.”

Haji Mufid terkekeh lagi. Berkata, “Syaratnya memang harus begitu. Kecuali anak-anak. Saya juga katakan pada Winarto sewaktu dia bertamu. Dia malah numpang mandi di rumah saya.”

Untuk selanjutnya Haji Mufid yang berbicara paling banyak:

“Saya sudah merasa-rasai rumah ini sejak dulu. Pada waktu itu saya enggan bercerita karena apa? Karena saya pikir tidak baik mencampur-campuri urusan rumah tangga orang.”

“Tapi akhir-akhirnya pemilik rumah ini yang bercerita. Memang, di sini ada makhluk yang sangat jahat. Sebelum dik Fani lahir dia sudah ada. Setan itu tidak main-main. Bukan usil sekadar ingin senang-senang. Setan itu punya banyak mau dari rumah ini!”

“Semua orang di rumah ini sudah diincar. Nyawanya! Saya sudah beritahu Winarto untuk semedi lebih alot lagi. Akhirnya dia tahu siapa setan itu. Yang namanya Sukma itu! Dia tukang santet dari masa keluarga saya hidup zaman dahulu!”

“Saya dan Winarto dan dik Fani, tahu? Kita semua dari kampung yang sama. Di Purworejo sana. Tukang santet itu pun dari sana asalnya. Dik Fani sudah dengar apa yang membuat Winarto nelangsa sejak kecilnya? Sudah tahu apa yang sudah menteror rumah dan keluarga ini sampai menderita? Bukan cuma kalian. Saya sendiri juga mengalaminya seumur-umur.”

“Ayah saya itulah yang membunuh Sukma. Sebab kalau masih dibiarkan hidup tukang santet itu semakin jadi. Tapi setannya ternyata tidak terima. Lalu menghajar saya dan orang-orang yang sudah diincarnya. Dan akhirnya dia berdiam diri di sini.”

Berikutnya Haji Mufid bercerita lebih jauh tentang perjanjian Sukma dengan setan. Fani kadangkala bertanya dan ia segera mendapatkan jawabannya. Aku muak mendengar cerita Haji Mufid. Ucapan-ucapannya tidaklah otentik, telah difabrikasi realitasnya dengan narasi buatan yang terdengar sempurna. Meski demikian aku harus sabar, mengikuti alurnya sambil menunggu saat yang tepat.

Haji Mufid berkata:

“Sebelum fajar kita harus mengakhiri semuanya. Dengan satu meditasi dan ritus pamungkas, namanya aji darma kasadha. Mudah-mudahan Gusti Pengeran masih menyayangi kita, berkenan menjauhkan segala macam malapetaka dalam hidup kita.”

“Sebelum memulai saya meminta janji Winarto dan dik Fani, sekalian mewakili janji Sybillia untuk percaya dan patuh pada titah-titah saya malam ini. Janji itu cukup di hati. Mari saya minta jemari panjenengan semua saling mengait dalam suatu lingkaran di tempat ini.”

Aku tidak mendengarkan apa-apa lagi. Sepertinya mereka sedang dalam situasi batin yang khidmat. Dan mungkin ada rapal-rapalan yang diucap Haji Mufid dengan lirih.

Tiba-tiba terdengar bunyi yang begitu keras. Gemprang! Begitu kedengarannya. Lampu gantung di ruang utama lepas! Fani menjerit tidak tertahan. Keadaan di luar lebih gelap. Pintu kamar Fani lalu terbanting hingga tertutup dengan sendirinya. Aku hampir menjerit. Dan hanya dua detik kemudian pintu itu kembali dibuka dengan kasar oleh tangan yang tidak nampak.

Fani menjerit beberapa kali, sementara Pak Wi hanya menggumam dalam caranya sendiri.

Aku mendengar Haji Mufid bersuara lantang, “Sukma! Kau sudah tiba pada waktunya. Aku akan memintakan hukuman untuk perbuatan-perbuatanmu sejak dulu!”

Yang mengejutkan, perkataan Haji Mufid ada yang menjawab.

“Aku yang akan membunuhmu malam ini juga!”

Namun yang aku dengar bukan sebagai suara Azazil alias Sukma. Sybillia yang baru saja berbicara. Sybillia!

Di luar agaknya terjadi sedikit kegaduhan. Haji Mufid langsung bertindak mengatasi gangguan. Aku kira ini masih gangguan kecil.

“Kau yang punya niat jahat. Jahanam tengik!” seru anak itu sambil mengumpat. Sementara itu biangnya langsung mengoceh karena panik.

Selang sekian saat anak itu tidak lagi berisik. Haji Mufid dapat mengatasinya dengan singkat. Diam-diam aku percaya bahwa bajingan itu punya kemampuan supranatural. Dalam kata lain dukun.

“Sekarang panjenengan semua mesti pindah ke sebuah ruangan yang tenang. Kita akan melakoni ritualnya tidak di tempat yang semrawut ini.” ucap Haji Mufid.

Fani sempat menanyakan apa yang dimaksud ruangan tenang itu. Tetapi Haji Mufid bersuara, “Winarto, di mana kamar yang dikatakan itu?”

Bunyi kursi bergerak. Mereka siap-siap menuju ke atas. Derap langkah di tangga kayu kemudian memastikan empat orang itu sedang ke sana.

Aku memikirkan lagi siasat yang sudah aku susun. Tidak boleh ada kesalahan. Yang jelas tindakanku harus efektif dan tidak menimbulkan kecelakaan fatal.
jaylani28
lophcifer
bebyzha
bebyzha dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.