Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
The Way You Are
Quote:




Friendship is not always about finishing each other's sentences or remind you to the lyrics you forget. Many times, friendship is about how fluent are both of you in speaking silence.

-- Maxwell.




Diubah oleh ladeedah 08-09-2019 00:30
someshitness
bukhorigan
evywahyuni
evywahyuni dan 11 lainnya memberi reputasi
12
24.3K
185
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
#15
Hug From The Past
“Jadi Max first kisser kamu, Pumpkin?” Hans menatap gue penuh harap untuk terus bercerita tentang Max dan Dee kecil. Max melihat gue sambil memicingkan matanya, berharap tidak melanjutkan cerita tentang masa kecil kami. Max benci itu. Jawaban gue tertunda saat Vin berlari dari arah dapur dengan kaki berlumpur yang meninggalkan jejak di lantai kayu.

“ARRGHH! VIINN STOOPPP!!” teriak gue saat melihat Vin mulai menginjak karpet ivory di antara sofa untuk membangunkan Gen dan ngajak main.

“HOLY SHIT, VIN!” Max langsung bangkit dan mengangkat tubuh Vin ke kamar mandi.

Gue bukan orang yang perfeksionis soal kebersihan rumah, namun karena gue adalah anak tunggal, maka rumah gue dulu terbiasa bersih ditambah Mama Papa tidak suka banyak barang jadi rumah kami sangat rapi. Lalu kini gue hidup dengan dua pria serta tiga anjing, gue mengerti mengapa Mama selalu peduli dengan detail pekerjaan cleaner di rumah kami.

Hans perfeksionis.
Max berantakan.

Kombinasi yang membuat gue stress sendiri.

Bersih tidaknya gue targantung mood.

Bersih tidaknya Hans—Hans tidak pernah tidak bersih.

Max selalu tidak bersih.

Sering gue pro Hans, tapi tidak jarang juga gue pro Max. Tapi sebagai istri yang baik, gue selalu mendengarkan ngomelnya Hans untuk gue jadikan bahan amukan ke Max. Hahahaha.

Hans paling tidak tahan saat rumah kotor apalagi ditambah berantakan. Sering gue berpikir, seharusnya gue yang menjadi Mother of The House dan mengatur rumah ini sesuka gue, tapi keteraturan gue masih kalah jauh dengan Hans.

Apa yang bisa gue protes dari seorang pria yang memiliki ilmu perhotelan? Pria yang tau caranya pasang fitted sheet, flat sheet, doona cover dan menyusun kasur dalam European style? Pria yang selalu menyusun botol sabun di kamar mandi setelah mandi? Pria yang pakaiannya dia atur sendiri sesuai warna di lemari?

Gue pun yakin tidak banyak pria yang bisa membedakan warna Fuchsia dan Magenta, atau Lilac dan Lavender, bahkan gue yakin pada umumnya pria tidak akan peduli warna apa nama spesifiknya apa. Lilac? Itu mah ungu, Eneng! Magenta? Eta mah merah muda!

Suami gue hafal nama turunan warna-warna. Pernah dengar warna Carput Mortum? Xanadu? Malachite? Razzmatazz? Gamboge? Gue aja baru tau dari Hans wkwk

He’s crazy, I know!

Sore itu gue berujung menemani Max mengantarkan karpet ke laundry sekaligus belanja kebutuhan sehari-hari. Hans memilih tidak ikut karena dia masih ingin menonton TV saat kami ajak.

“Udah sih Dee ga usah ceritain masa kecil kita ke Hansen! Bukannya dia udah denger itu ratusan kali, masih aja nanya pertanyaan yang sama! Emang ga bosen dengernya? Gue aja eneg denger cerita tentang gue sendiri! Apalagi tentang lo!”

“Gue suka sih mempermalukan lo, Max! Hahaha! Masa lalu lo kan suram dan memalukan!”

“Itu karena lo cerita dari sudut pandang lo, kalo dari sudut pandang gue, lo jauh lebih memalukan!"

"Lo inget ga kita pernah bikin heboh waktu ke KL pertama kali dulu?" Gue tanya Max dengan excited dan dia tanggapi dengan tawa lalu diam. Elusan tangannya di rambut gue membuat gue sadar bahwa kadang, gue lupa kalau kenangan masih bisa membawa rasa sedih yang sama hebatnya ke pemiliknya.

Gue memiliki sepasang orang tua yang super perfect secara fisik. Mama gue adalah wanita yang sangat cantik. Sebagai putrinya, gue akui kalau gue tidak ada secuilnya dari Mama. Wanita yang kecantikannya membuat gue, anaknya, melihat dia seperti Princess Disney di dalam kubah kaca. Untouchable. Mama anggun dengan semua pembawaannya, dia tidak banyak bicara, selalu manja dan menggoda suaminya saat bersama. Hubungan pernikahan yang tetap hot, bukan hanya harmonis, tapi hot. Can you imagine that?

Wanita yang selalu peluk suaminya dari belakang saat lagi bikin kopi di dapur dan menggerayangi tubuh suaminya dari belakang sambil bilang “Good Morning Hottie”.

Wanita yang ga ragu untuk mendaratkan tangannya di selangkangan suaminya di bawah meja saat lagi makan di restoran bahkan saat bersama teman-temannya.

Wanita yang hampir selalu menaikkan kakinya ke pangkuan suaminya saat sedang nyetir dan menggoda dia dengan jari-jari kakinya.

Wanita yang selalu minta di pangku saat nonton TV dan suaminya ga pernah bisa menyelesaikan apa yang ditonton karena wanitanya lebih menggoda untuk dicumbui.

Disisi lain, Papa bukan orang yang jelek juga. Papa juga memiliki paket sempurna sebagai pria dengan tubuh atletis yang mengimbangi Mama, tampan, dan yang paling penting cerdas. Kedua orang ini seperti diciptakan untuk satu sama lain. Kedua orang ini juga tau bahwa mereka perfect dan tidak ragu untuk memancarkan kesempurnaan itu.

“Lo udah siapin barang-barang buat ke Kuala Lumpur, Max?” Kami masih berusia sepuluh tahun saat kami akan mengunjungi Kuala Lumpur untuk pertama kalinya. Club dansa yang diikuti Mama-Mama kami akan melaksanakan kompetisi dance disana. Mama gue dan Mama Max ikut dalam kompetisi tersebut dan kami diajak serta untuk mengisi liburan musim semi.

“Udah disiapin sih sama Mama! Eh walkman! Pinjem dong!” Max melirik tas gue yang terbuka dan melihat walkman berwarna silver dan hitam di dalamnya.

“Ga boleh!”

Dee tidak suka sharing meskipun sama Max.

“Pelit!”
“Biarin”
“Tapi lo bawa kan ke KL?”
“Bawalah!”
“Pinjem sih Dee buat satu lagu aja! Yayaya??”

Walkman itu bukan punya gue, tapi punya Papa. Dan gue bawa ke sekolah tanpa ijin ke Papa. Di dalamnya ada kaset The Beatles yang juga punya Papa. Lagu favorit Dee kecil adalah Hey Jude.

“Dengerin bareng aja ya! Nanti kalo lo pegang rusak! Gue yang dimarahin Papa!”

“Yaudah iya iya!” Kami menyelinap ke belakang sekolah dekat gudang sambil menyembunyikan walkman di balik jaket.

“Kalian ngapain??” Sarah menegur kami saat gue berusaha menyolokkan earphone.

“Hey Sarah! Sini! Tapi lo jangan bilang siapa-siapa ya!” Max menarik tangan Sarah. Sarah hanya melongo melihat walkman di tangan gue. Bergantian, kami mendengarkan lagu dengan earphone.

Hey Jude, don't make it bad
Take a sad song and make it better
Remember to let her into your heart
Then you can start to make it better


Bertiga kami menyanyi sekenanya di kata yang kami tangkap lalu ber na-na-na-naa saat tiba di reffrain.

“Besok bawa lagi ya Dee, gue yang bawa kasetnya!” Tawar Sarah yang diamini oleh Max. Gue menimbang ide mereka serta menimbang ketauan tidaknya oleh Papa. Akhirnya gue iyakan. Sejak hari itu kami sering menyelinap di belakang sekolah untuk mendengarkan musik.

Seminggu kemudian gue dan Max sudah di dalam mobil Papa bersama Mama Max dan Mama gue. Gue sudah diijinkan oleh Papa untuk membawa walkman dan membawa beberapa mixtape milik Papa, tapi Max juga membawa mixtape milik Papanya dan Bobby sehingga kami harus bergantian namun tetap setuju untuk berbagi earphone.

“Kuala Lumpur itu diatas Indonesia!” Gue buka peta yang dibawa Max dan menunjukkan dimana Kuala Lumpur.

“Iya gue tau! Lo tau ga kira-kira kapan kita akan lewat Indonesia?”

Dua anak kecil itu berebut melihat kota Melbourne di bawah mereka melalui jendela pesawat seiring pesawat mengudara.

“Ga tau.” Jawab Dee. Max membuka tasnya dan mengeluarkan pocket watch pemberian Kakeknya.

“Penerbangan kita ke Kuala Lumpur butuh sekitar 9 jam, penerbangan Melbourne ke Indonesia sekitar 7 jam, jadi jam tujuh malem kita akan sampai di langit Indonesia.” Jelas Max.

“Sok tau!” jawab gue ketus.

Gue benci saat Max sudah bahas tentang pelajaran, terutama angka-angka alias Matematika.

I was-I am-suck in Math! Gue tidak bisa bermatematika dan Papa mad as hell atas kedunguan anak satu-satunya ini. Percayalah ujian SD gue sering dapet NOL dan di SMP gue dua kali merah di rapot: TIGA KOMA LIMA dari skala 10! Di ijazah SMA gue bahkan Matematika dapat nilai terendah: 5.25 dengan batas minimum kelulusan 5.0! Wkwkw!

Max adalah outstanding student. Max selalu bisa lulus dengan Grade A: Outstanding Achievement. Apalagi Matematika, pelajaran itu tidak ada sulit-sulitnya buat Max. Easy peasy lemon squeezey! Begitulah sombongnya.

Hanya dengan belajar otodidak membaca buku-buku, Max bisa paham Matematika, Fisika dan Kimia secara konsep. Saat kami SD kami selalu belajar bersama Papa dua atau tiga kali seminggu, terutama untuk boosting gue yang payah itu. Awalnya hanya gue dan Papa tapi karena Max sering ke rumah gue, akhirnya dia ikut belajar. Belajar bersama terasa menyenangkan, HINGGA:

Papa: Awesome, Max!--You did great, Max!--Wonderful!--How can you do that!--Unbelievable!--Perfect!--Thats my boy!--Atta boy!

Sementara ke gue:

Papa: Come on Dee, try harder!--Think harder!--Almost there, Dee!--You are my Girl and I know you can do it!--I believe in you, Baby!--I know you can!--If Max can do it, you can do it too!

Argh. Mungkin gue anak adopsian! Sejak Max selalu lebih unggul dari gue, bahkan Papa juga applause untuk prestasi Max, gue membenci Max dalam area pelajaran. Gue tidak mau membahas tentang PR atau ujian bersama dia dan mencari-cari alasan saat dia mengajak belajar bersama untuk ujian.

“Jadi kita ga boleh kemana-mana ini? Disini terus sampe Mama kita selesai??” Gue lihat bangunan perkotaan dari jendela kamar hotel. Kamar kami bersebelahan, 802 dan 804 namun sudah seharian kemarin gue menghabiskan waktu di kamar Max sambil membaca, bermain Scrabble dan beberapa board game yang kami bawa.

“Iya pesen Mama tadi begitu kan.”

“Yah boring dong! Main di loby boleh ga ya? Gue kemaren liat ada kolam ikannya disana! Yuk!”

“Nanti kalo kita ilang gimana?” Max ragu.

“Kita tinggal catet aja nomer kamarnya, kan dikuncinya ada nomernya juga!” Gue yakinkan Max.

“Takut diculik, Dee! Kita kan ga tau disini gimana!”

“Trust me, Max! Nothing will happen! Kita jangan saling jauh aja dan harus teriak sekenceng-kencengnya kalo ada yang jahatin kita! Oke!”

Max berpikir keras, namun pada akhirnya dia selalu tidak bisa bilang tidak pada ajakan Dee. Air minum, walkman, baterai, koin, jam, kompas, peta, buku panduan, serta kertas-kertas dengan nomer penting kami siapkan dan kami simpan di tas masing-masing.

“Lo siap?” Kami melongok keluar pintu hotel. Lorong kanan dan lorong kiri sepi. Max mengangguk ragu. Kami tutup pintu hotel dan berjalan berdampingan di lorong sambil mencari-cari dimana lift.

Kami tiba di lantai dasar tempat loby berada. Lobby hotel yang sangat besar dan cukup membuat kami takut melihat orang-orang yang tak kami kenal, namun kami juga excited untuk jalan-jalan. Kami berjalan-berlarian-berkeliling lobby hotel dan berusaha tidak menjawab saapn orang-orang asing termasuk petugas hotel karena kata Papa: “Jangan bicara dengan orang yang tidak dikenal!”

Sesuai rencana, kami menuju kolam ikan dan melihat beberapa ikan yang berenang disana. Lalu kami ingin menjelajah lagi, kami pergi ke lorong yang lain, ada kolam renangnya, kami duduk-duduk di pinggirnya.

Kami berdua adalah perenang yang sangat baik jadi kami tidak takut tenggelam. Tanpa ragu akhirnya geu dan Max memutuskan untuk nyemplung ke kolam dan bermain disana.

“Tuhkan kita ga diculik orang!” bisik gue ke Max saat kaki kami sudah lelah berenang dan rasa lapar mulai menyerang.

“Hahaha iya! Besok kita bilang ke Mama kita aja kalo kita mau jalan-jalan di hotel pas mereka pergi ya!” Tambah Max. Gue mengangguk dan mengacungkan jempol.

“MEREKA DISANA!” adalah teriakan yang membuat gue dan Max yang sedang duduk di tepi kolam terkejut. Di ujung kolam yang lain, Mama kami melihat kami dengan panik bersama petugas keamanan dan petugas hotel.

Dengan pakaian basah kami ditarik kembali ke kamar masing-masing dan diomeli. Kami hanya saling melempar senyum saat Mama kami masih ngomel sepanjang makan malam.

“Besok kita kabur lagi aja, kalo ijin ga akan diijinin!” Bisik Max.
“Iya-iya hihihi!” Jawab gue semangat.

Gue lelah tapi happy. Gue yakin Max juga. Meskipun tidak sabar dengan petualangan kami esok hari, gue tertidur pulas.

Gue bangun dengan Mama sudah tidak ada di samping gue. Sudah jam 9 pagi. Sarapan ada di meja samping tempat tidur dengan notes: Tidak boleh keliling hotel lagi. Stay di kamar Max! – Mama.

Gue segera bersiap-siap di kamar mandi, namun mulasnya perut membuat siap-siap gue tertunda. Setelah mengikat rambut di  dengan kucir kuda seperti biasa, gue poleskan krim anti kulit kering milik Mama di wajah gue, berikut sun block di kaki dan tangan. Sambil berbenah diri di kamar mandi, gue teringat akan mengambil baju renang di koper untuk renang lagi.

“Dee! Ada apa??”

Max menarik gue masuk setelah membuka pintu kamarnya. Air mata yang tidak bisa berhenti mengalir gue biarkan tanpa gue berusaha mengusapnya apalagi menahannya. Gue tarik tubuh Max dan menangis sekencang-kencangnya.

“Dee! DEE! ADA APA??” Max mulai berteriak panik.

“Mama..”

“Mama, Mama lo? Mama lo kenapa??”

Gue tidak bisa berkata apa-apa karena tangisan gue sudah mengambil alih semua kekuatan gue, bahkan untuk bernafas saja sulit. Bersama Max gue bersimpuh di lantai. Di dalam pelukan Max gue terus menangis dan menangis hingga gue lelah.

“Mama had sex sama—sama--sama bukan Papa.”
Diubah oleh ladeedah 18-08-2019 05:15
S.HWijayaputra
S.HWijayaputra memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.