- Beranda
- Stories from the Heart
Teror Hantu Kos Baru Pejaten (berdasar pengalaman nyata)
...
TS
pakdhegober
Teror Hantu Kos Baru Pejaten (berdasar pengalaman nyata)
Assalamualaikum, semoga agan dan aganwati semua sehat, punya pacar dan enggak kehabisan uang.
Agan pernah, diganggu jin atau sejenis makhluk astral lainnya. Kalau belum, Alhamdulillah. Bagi yang udah pernah, agan berarti nggak sendirian. Karena Ane kali ini mau berbagi cerita tentang pengalaman 7 tahun lalu di sebuah rumah kos di Pejaten, Jakarta Selatan. Sekadar overview, ane sudah lama mau nulis cerita ini, tapi banyak pertimbangan. Yang paling berat karena kos-kosan ini masih ada sampe sekarang. Setahu ane juga rame terus. Semoga kondisinya sudah lebih baik sekarang. Karena itu sebelum membaca ada beberapa rules ya, mohon dimaklumi.
1. Ini beneran cerita nyata gan? Iye ada benernye, tapi ane menulis cerita ini dengan metodologi prosa modern, ambil gampangnya novel. Jadi ane perlu nambahin bumbu buat dramatisasi. Kalau terpaksa dibikin komposisi, kira-kira 50:50 gan.
2. Kos gue juga Pejaten gan! Ini Pejaten sebelah mananya? Udeh ye nikmatin aje, jangan ganggu lapak rejeki orang. Jangan-jangan kos ente yang ane maksud lagi, berabe kan?
3. Gan bagusnya ada foto kali, supaya lebih kentara aslinya, bisa difoto gan? Yah entar ane usahain dah, pura2 nanya kamar kosong, tapi ane bakal ambil foto yang anglenya kelihatan susah ditebak ya. Lagi-lagi ini properti orang gan, mereka punya hak. Tapi entar insya allah ane usahain.
4. Kayanya ane ngerti deh tempatnya di mana, yang di jalan ini kan, sebelah ini kan? Udeh kalo ngerti simpen aja dalem hati.
5. Apdetnya kapan gan? Insya allah paling enggak seminggu sekali, antara malem jumat sampe malem minggu. kalo ada waktu banyak bisa dua kali.
6. Gan, kalo penampakan yang ini asli? suara yang itu juga asli apa rekayasa? Ya udah sih baca aja, ini bukan tayangan fact or fiction.
Nah, gitu aja sih rulesnya. semoga cerita ini menghibur dan bermanfaat. kalau ada kesamaan nama, mohon maaf ya. Buat penghuni kos yang kebetulan baca (soalnya kamarnya banyak banget gan sekarang) semoga gak sadar. Kalopun sadar, ane doain sekarang kondisinya udah nyaman sekarang.
Selamat membaca.
Last Update 13/3/2019
Bersambung....
Agan pernah, diganggu jin atau sejenis makhluk astral lainnya. Kalau belum, Alhamdulillah. Bagi yang udah pernah, agan berarti nggak sendirian. Karena Ane kali ini mau berbagi cerita tentang pengalaman 7 tahun lalu di sebuah rumah kos di Pejaten, Jakarta Selatan. Sekadar overview, ane sudah lama mau nulis cerita ini, tapi banyak pertimbangan. Yang paling berat karena kos-kosan ini masih ada sampe sekarang. Setahu ane juga rame terus. Semoga kondisinya sudah lebih baik sekarang. Karena itu sebelum membaca ada beberapa rules ya, mohon dimaklumi.
1. Ini beneran cerita nyata gan? Iye ada benernye, tapi ane menulis cerita ini dengan metodologi prosa modern, ambil gampangnya novel. Jadi ane perlu nambahin bumbu buat dramatisasi. Kalau terpaksa dibikin komposisi, kira-kira 50:50 gan.
2. Kos gue juga Pejaten gan! Ini Pejaten sebelah mananya? Udeh ye nikmatin aje, jangan ganggu lapak rejeki orang. Jangan-jangan kos ente yang ane maksud lagi, berabe kan?
3. Gan bagusnya ada foto kali, supaya lebih kentara aslinya, bisa difoto gan? Yah entar ane usahain dah, pura2 nanya kamar kosong, tapi ane bakal ambil foto yang anglenya kelihatan susah ditebak ya. Lagi-lagi ini properti orang gan, mereka punya hak. Tapi entar insya allah ane usahain.
4. Kayanya ane ngerti deh tempatnya di mana, yang di jalan ini kan, sebelah ini kan? Udeh kalo ngerti simpen aja dalem hati.
5. Apdetnya kapan gan? Insya allah paling enggak seminggu sekali, antara malem jumat sampe malem minggu. kalo ada waktu banyak bisa dua kali.
6. Gan, kalo penampakan yang ini asli? suara yang itu juga asli apa rekayasa? Ya udah sih baca aja, ini bukan tayangan fact or fiction.
Nah, gitu aja sih rulesnya. semoga cerita ini menghibur dan bermanfaat. kalau ada kesamaan nama, mohon maaf ya. Buat penghuni kos yang kebetulan baca (soalnya kamarnya banyak banget gan sekarang) semoga gak sadar. Kalopun sadar, ane doain sekarang kondisinya udah nyaman sekarang.
Selamat membaca.
Spoiler for Prolog:
Quote:
Last Update 13/3/2019
Bersambung....
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 112 suara
Part bagusnya pake foto ilustrasi apa nggak?
Pake, biar makin ngefeel
42%
nggak usah, ane penakut
11%
terserah TS, yang penting gak kentang
47%
Diubah oleh pakdhegober 14-05-2022 11:55
bebyzha dan 141 lainnya memberi reputasi
128
1.2M
3.4K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
pakdhegober
#3161
Part 57: Yang Masih Tersembunyi
Filsafat perjalanan adalah tentang masa depan. Ujungnya selalu misterius. Dapat diperkirakan, bisa dicermati, namun sulit ditarik kepastiannya. Sehingga urat akar dari setiap perjalanan ialah kepastian dalam beragam rupa ketidakpastian. Cuaca mendung, dan badai, dan sinar matahari yang papar, dan orang-orang menjengkelkan dan baik budi, dan tawa marah diri sendiri, dan harapan yang menjadi putus asa, dan sebagainya merupakan sengkarut dari pada benang kusut yang saling mengurai. Perjalanan yang sampai pada detik ini ialah berasal dari ketidakpastian, dan yang tak pasti pada masa sekarang sedang mengantar kepada kepastian di masa mendatang.
Seorang lelaki sedang menyerahkan malamnya kepada seorang perempuan. Dalam suatu perjalanan yang singkat namun terasa panjang. Suatu perjalanan yang sebenarnya bukan seharusnya dilakukan saat itu. Perjalanan ini tidak ditemani perbincangan. Hanya langkah bersemangat, yang membuat peluh menetes-netes dan menghangatkan darah sekian derajat. “Hey,” kata lelaki dalam hatinya, “Beritahu aku kapan sampai.” Perempuan bersirat senyum, menjawab dalam hatinya juga, “Simpan pertanyaan yang tidak berguna itu. Kita bisa sampai esok pagi atau lusa atau sebaliknya, lebih cepat sebelum aku selesai bicara.”
Kemudian sungguh lelaki ini menjadi pendiam, tetapi berbicara melalui jemarinya yang mengusap-mencengkram, dan kaki-pinggulnya yang bergerak-gerak, dan hembus-hela nafas kian kemari, sehingga semangatnya semakin penuh agar sampai. Di kiri kanan udara malam berhembus, sejuk seharusnya, namun darah yang sudah menjadi lebih hangat mudah melawan kesejukan itu.
Akan tetapi setiap perjalanan bertemu persimpangannya dan cuaca yang tiba-tiba berubah, yang bisa membingungkan, mengganggu atau lebih jauh lagi, membahayakan. Seorang perempuan yang lain lagi dari kejauhan memanggil lelaki, “Hey, lelaki. Aku memanggilmu. Jawab panggilanku.” Lelaki itu mendengar tapi ragu dan perempuan yang sedang bersamanya berkata, “Mari kutunjukkan jalan yang lebih bagus, ada pemandangan indah di sana, kamu akan menyukainya.” Ia berkata lagi, “Kamu hanya sedang bersamaku, bukan yang lain. Tidak ada yang lain.”
Sang lelaki kemudian menurut, mengikuti jalan yang ditunjukkan. Tiba-tiba ia merasa semakin dekat sampai. Namun di luar pengetahuannya, perempuan yang datang kemudian cepat mengejarnya dan singkat saja sudah berada sangat dekat. Ia tidak bicara meskipun jengkel, kecuali hanya dengan tatap marah ia berkata, “Kamu seharusnya sendiri malam ini.”
Lelaki ini tak berdaya, barangkali pada dasarnya ia menyadari suatu kesalahan; ia tak seharusnya pergi bersama siapa pun. Tetapi ia merasa perlu membela diri, oleh karena menganggap dirinya bebas melakukan apa saja. Pada akhirnya, sebagai upayanya mengingkari masalah, ia mendorong pergi perempuan yang sejak tadi bersamanya. Perempuan itu benar-benar pergi secepat kedipan, hilang tak berbekas. Dan rupanya kepergiannya malah menjadi masalah baru yang tak pasti.
Benci, marah, kalut, sesal dan perasaan yang sebagainya bersekutu mengepung diri yang rapuh ini. Wina telah pergi dan tak peduli pada apa lagi yang bakal aku perbuat. Bahkan dia menyimpan tangisnya; menunjukkan bahwa aku bukan laki-laki monumental yang pantas dipertaruhkan mati-matian.
Waktu-waktu setelah kepergiannya menjadi sulit kupahami. Kamar besar ini terasa amat sempit juga pengap. Lantas aku buka jendela dengan harapan mendapat suasana lebih baik. Setiap hal sepertinya sedang mengolok-olok nasib.
Meski demikian yang paling aku sesali ialah, wanita yang tadi sedikit lagi kugauli bukanlah Fani, melainkan wujud yang asal muasalnya antah berantah. Siapa dia? Mungkin Sukma mungkin sahabatnya dari kalangan jin maupun setan yang lain lagi. Pastinya kasus ini tidak main-main. Sangat serius. Aku tak mau mengira-ngira getahnya.
Kejadian itu tak bisa mudah saja ambyar dari ingatan. Yang tampak itu benar-benar mirip Fani seutuhnya. Mana bisa begitu!
Tanpa sadar aku meninju cermin rias yang terpasang di depan. Wajah dalam kaca itu retak seperti perasaan wajah aslinya. Ada darah menetes tetapi aku tak menghiraukan perih. Sampai beberapa waktu kemudian aku baru mengerti, itu adalah tindakan bodoh.
Rumah ini punya kotak P3K, disimpan di dapur, dekat set lemari. Aku segera ke bawah untuk menghentikan pendarahan kecil. Ngilu bercampur perih lama-lama mengganggu. Lebih dulu aku membasuh luka sobek di bawah pancuran air. Tersiram air bertambah-tambah perihnya. Salah sendiri gegabah! Umpatku seorang. Aku segera memberikan perawatan swamedis. Membersihkan luka dan yang terakhir membalutnya dengan kasa.
Selanjutnya apa? Pikiranku banyak berpencar, berusaha kembali, baru berpikir menanyakan beberapa soal kepada Azazil. Ya, itu dia!
Bergegas kembali ke kamar Wina. Catatanku disimpan di dalam tas. Aku mencarinya dengan nafas memburu. Dapat. Tapi di mana pulpen? Kurogohi isi tas seluruhnya, tidak kelihatan. Padahal cuma itu satu-satunya yang tersisa. Di laci, lemari atau di bagian mana pun tidak ketemu.
Serta merta ingatan terjaga pada satu pokok penting. Tulisan-tulisan yang ada kemarin berubah hanya menjadi lembaran kertas kosong. Sesaat kemudian juga aku ingat, dialog tersebut telah hapus sendirinya dari kemarin. Ketika Pak Wi datang dan menanyakan suatu yang aneh. Dua kali Pak Wi bersikap demikian seakan-akan aku bersama orang lain di kamar ini.
Maksudnya sulit dimengerti, meski ketidak mengertian bisa terjadi akibat aku terlanjur sinis kepada Pak Wi. Jadi ke mana goresan tinta itu, gumamku sembari berpikir sengit. Mungkinkah jin itu punya alasan khusus untuk menghilangkannya atau..., jangan-jangan Pak Wi benar, ia mendengar aku bicara. Dengan siapa? Jadi selama ini aku tidak benar-benar menulis?
Ngawur! Aku mengecam dugaanku sendiri untuk selanjutnya menyangkal: Pak Wi itu punya maksud jahat! Ucapan-ucapannya tidak layak didengar apalagi dipercaya.
Namun lagi-lagi aku mengoreksi keyakinan diri sendiri. Penglihatan memang sukar dibantah! Aku tidak salah ingat ketika aku bergegas ke kamar mandi untuk membakar kertas-kertas tersebut; saat itu aku mendapati tulisannya terhapus tanpa bekas.
Jangan-jangan Pak Wi tidak bohong soal ini meski punya rahasia lain.
Tidak, tidak benar! Jin yang menulis yang menghapusnya. Barangkali ia melakukannya untuk berjaga-jaga supaya tidak ketahuan.
Nanti dulu! Aku mengacau dalam hati, tak ingin buru-buru menyimpulkan. Tapi..., ah sudahlah. Semuanya tampak rumit.
Aku turun lagi, maksudnya ingin mencari alat tulis. Mengingat Pak Wi kemarin-kemarin terlihat memegangi kertas dan pulpen. Mestinya masih ada di sekitar tempat tidurnya. Kalau terpaksa punya siapapun juga bukan masalah, bisa dipakai sebentar.
Ketemu! Pulpen yang kemarin tertinggal di atas rak televisi, menyelip di antara lembaran sebuah buku tulis. Di dalam buktu itu juga aku temukan kertas yang isinya tabel kotak-kotak.
Baru aku tahu sekarang, setelah melihat langsung lembaran itu, rupanya isinya nama-nama hari dan pasaran dalam almanak Jawa, serta beberapa istilah lain yang mengarah pada suatu model penghitungan tradisional. Dari pengetahuan tentang Jawa yang terbatas aku mengenalnya dengan nama neptu weton. Biasa digunakan untuk menghitung banyak hajat manusia, dari membuka usaha, memulai hari tanam, melangsungkan pernikahan hingga memprediksi hari-hari kelam.
Sebetulnya aku belum lagi paham bagaimana menghitung hari-hari tersebut dan dari mana asal muasalnya. Ada yang berkata, neptu weton itu semacam pemodelan statistik yang bermula dari pengamatan, diajarkan dari mulut ke mulut, diturunkan oleh generasi pendahulu kepada generasi setelahnya. Akurat dan tidaknya ya belum tentu atau malah bisa jadi. Ada saja yang percaya dan itu menjadi hak mereka yang tidak perlu dicampur-campuri. Tapi yang jelas, aku tak pandai cara menghitungnya. Kecuali dugaan, Pak Wi berupaya menghitung sesuatu. Ini rahasia yang mesti dibuat terang. Dua lembar kertas, isinya berupa gambar tabel dengan angka-angka serta istilah-istilahnya yang mirip kalender. Aku curiga yang dikerjakannya bukan simulasi penanggalan, tetapi sejenis tabulasi yang barangkali bersifat prediksi atau konklusi dari hasil suatu penghitungan, atau bahkan hanya variabel permulaan.
Kertas-kertas yang kemarin kukira berisi rumus lotere atau pedoman nomor buntut ini dengan segera meminta perhatian. Hendaknya mereka dibaca vertikal dan horizontal. Aku memulainya dari dua kertas yang punya kemiripan tabel. Dua carik itu kujejerkan agar supaya lebih mudah diamati.
Pada tiap lembar terpampang dua tabel kolom dengan isian angka—di bawah angka ada angka yang ditulis lebih kecil, hari, dan pasaran. Di sebelah kanan angka 1 bermula pada Ahad, angka 30 jatuh pada Selasa. Khusus angka 17 mempunyai tanda lingkaran, harinya Selasa, pasaran Kliwon. Aku mengamati sebersit, di bawah angka 17 tertulis angka 9, dan pada bagian kertas paling bawah diimbuhi catatan; 9 Sawal, 17 Juni.
Kertas di sebelahnya menunjukkan kolom yang sama lebih kurangnya, 30 angka. Perbedaannya, 1 bermula Sabtu, 30 jatuh pada Ahad. Lingkarannya berada di angka 18, hari Selasa, pasaran Kliwon. Catatan singkat menambahinya di bawah; 12 Jumadil Awal.
Kedua gambar ini tampaknya menyimpan suatu maksud. Baik 17 Juni maupun 18 Juni sama-sama Selasa Kliwon. Secara prematur, dua tanda yang sepertinya saling berhubungan. Agaknya aneh bila Pak Wi membubuhinya tanda tanpa maksud.
Angka-angka di depan mataku barangkali bukan sebuah soal matematis, tapi ini baru barangkali. Paling tidak dengan modal curiga, aku ingin mengamati lebih cermat lagi. Agar tidak ada yang terlewat bagian-bagian gambar itu.
Dalam kalender Jawa-Hijriah Sawal punya arti yang tidak berlawanan daripada asalnya. Maksudnya bulan setelah Ramadhan—dalam Jawa dikenal dengan nama Pasa, atau bulan jatuhnya Idul Fitri atau lebaran. Bulan Sawal sesungguhnya amat dekat dengan hidupku. Bulan kelahiranku sendiri. 17 Juni dalam tanggalan Masehi, 9 Sawal menurut konversi Hijriah. Jadi yang disinggung oleh gambar tersebut tak lebih dari kelahiran aku yang jatuh pada Selasa Kliwon, 17 Juni 1986 atau 9 Sawal.
Sementara pada kertas yang lain tertulis 18 Juni, 12 Jumadil Awal. Aku tidak boleh sembarang meyakini bahwa itu merupakan tanggal dan hari kelahiran Pak Wi, kecuali apabila di depan mata ada kalender abadi, pasti aku lebih terbantu untuk menjawabnya.
Metode yang tersedia ialah menghitungnya manual. Menurut pengakuannya, ia sekarang berumur 70 tahun. Apabila benar artinya Pak Wi harus lahir pada 1940. Satu-satunya alat menghitung adalah kalender ponsel, yakni mengurangi 11 hari setiap tahun Gregorian. Menghitung dengan cara kolot sama sekali membuang waktu. Namun aku terus memusatkan pikiran ke situ. Entah berapa lawa sudah lewat, sampai pada akhirnya perhitungan itu berhenti:
12 Jumadil Awal bertepatan pada Selasa, 18 Juni 1940.
Semangatku lebih bertambah bercampur waswas. Aku punya hari kelahiran berikut pasaran yang sama dengan Pak Wi. Selasa Kliwon. Aku ingin mengembangkan temuan ini dan menduga ini belum berhenti.
Buku tulis Pak Wi begitu saja menarik minat. Maka kuperiksa juga. Mula-mula yang aku temui cuma tagihan galon air dan laundry serta remeh temeh pengeluaran keperluan rumah tangga. Lantas ada sesuatu yang menarik perhatian. Secarik amplop. Di dalamnya ada catatan, dan catatan ini lebih panjang dari yang aku harapkan.
Aku membaca tulisannya pelan-pelan:
"Anak laki-laki itu punya hari pasaran juga bulan lahir yang sama betul dengan saya dan Haji Mufid. Selasa Kliwon mangsa kasadha. Bapaknya Pak Mufid, Mas Haji Satar ialah orang sakti yang membunuh Sukma, pun lahir di bulan Sadha, Selasa Kliwon. Saya kemudian baru tahu dari cerita Haji Mufid, bahwa: Sukma pun terlahir pada mangsa kasadha di hari yang sama.
Firasat itu terus datang dalam laku rengeng-rengeng. Memberitahu kedatangannya. Sukma ingin menuntasken perjanjiannya daripada yang dulu. Meminta korban terakhir untuk mewujudken ambisinya.
Harinya akan tiba dalam waktu yang amat dekat. Pada malam pertengahan Sadha, Selasa Kliwon, berketepatan pada malam kelahiran juga kematian Sukma. Malam yang telah lama ditunggu-tunggu sebab ndak selalu datang dalam seratus tahun.
Pembatinan saya pun mendatangken suatu pengumuman, Sukma si tenung berhati gelap itu lahir pada Selasa Kliwon 1909, pertengahan Sadha, dan mati pada malam yang sama 1941. Hidupnya yang singkat habis demi mewujudken suatu perjanjian dengan setan. Pengikat perjanjian ini mengharapkan akan memiliki segala kekuatan di dunia. Namun Sukma harus terlebih dahulu membunuh seratus satu orang yang lahir pada malam yang sama.
Semasa hidup Sukma telah meneluh ribuan orang dan kebanyakan orang yang terserang teluhnya mati karenanya. Sebab dia tidak tahu siapa-siapa saja yang lahir pada Selasa Kliwon bulan Sadha. Walaupun begitu sampai pada hari ini Sukma berhasil mengumpulken 98 nyawa. Saya sendiri semestinya yang ikut jadi korbannya. Namun teluh itu ndak mencelakai bayi yang masih merah, yang belum sampai satu tahun, yang pada waktu itu ndak lain diri saya sendiri. Lain lagi nasib ibu dan bapak yang kebetulan lahir tepat pada Selasa Kliwon bulan Sadha. Mereka mati dengan perut belendung seperti balon, mengeluarkan air seperti air garam dan kadang-kadang airnya berubah kental abu-abu pekat. Begitu cerita yang saya dengar.
Tetapi akhir-akhir ini saya mendengar bisikan yang berlawanan arahnya. Jika Sukma telah mati digulung samudera, dia ndak mungkin mengadaken perjanjiannya dengan makhluk jin atau setan yang diidamkannya. Seharusnya ancaman kematian itu sudah berhenti. Tapi saya ndak tahu lebih jauh lagi. Untuk itu saya perlu minta tolong kepada Haji Mufid karena beliau yang paham.
Sebenarnya saya ndak enak minta tolong. Haji Mufid juga pasti susah dan menderita karena ia lahir pada malam yang sama. Ditambah lagi belakangan ini, beberapa tahun lalu, ayahnya mati karena ada pengaruhnya dari pembunuhan Sukma yang dahulu.
Sebetulnya juga ada hal-hal yang saya pikirken tentang Pak Mufid. Anak itu benar. Yang dia tanyaken menyangkut awal mula petaka di dalam rumah yang saya tinggali. Saya malah ndak pernah memikirken itu. Padahal rupa-rupanya saya masih ingat kejadian-kejadian yang mengganggu itu lebih banyak datang setelah rumah diperbaiki.
Tapi bagaimana juga keadaan dan yang saya pikirken tentangnya, saya harus menemui dia. Saya yakin hakkul yakin beliau menyimpan pengetahuan soal rumah ini dan juga hal-hal yang berhubungan dengan masalah ini. Pengetahuan yang mendalam itu yang barangkali saya pun ndak mengerti. Saya ingat pada malam dia datang, seketika dia dapat menyebutkan banyak hal. Yakni tentang kerusakan pada pilar rumah dan tanda-tandanya di dinding. Haji Mufid hanya dengan melihat dapat lancar menyebut luas lahan bangunan, sekian dikali sekian, tinggi bangunan dan usianya, dan apa-apa saja.
Saya ndak tahu berapa luas rumah ini sebab ndak pernah tertarik menghitung-hitung yang bukan kepunyaan saya. Namun suatu hari beliau kataken pada saya bahwa tata letak rumah akan dibuat supaya lebih baik. Baik bagaimana? tanya saya. Dia jawab, baik itu harus seimbang. Rumah ini setelah diperbaiki akan diawali halaman depan dan diakhiri halaman belakang yang dua-duanya sama luas, seluas lapangan permainan voli. Sedangkan dia menyebutken luas datar tanah bangunannya yaitu 19 dikali 18 meter persegi.
Kemudian saya tahu, untuk memenuhi kebutuhan ‘seimbang’ yang dimaksud, ia meminta empunya rumah menambah tanah. Caranya dengan membeli. Kebetulan saja tersedia lahan kosong milik seorang haji Betawi yang terletak persis di belakang tembok pekarangan belakang. Lahan itu awal mula sebenarnya cuma dibiarken oleh yang punya, karena banyaknya tanah di lain-lain tempat, kemudian orang lain memanfaatkannya untuk menanam pohon pisang. Meski begitu haji Betawi berat melepas tanahnya, walau akhirnya dilepas juga sebagian kecil.
Haji Mufid juga berkata, bangunan ini banyak yang harus diperbaiki supaya lebih harmonis. Yang utama yakni dinding-dindingnya yang retak, mengganti lantai yang dulu, dan atap-atapnya. Saya kataken saya baru tahu sekarang soal luas banguan ini. Dia hanya tersenyum seolah-olah menurutnya saya sudah mengerti.
Saya hanya perlu menceritaken sedikit tentang beliau. Darinya saya diberitahu amalan supaya rengeng-rengeng saya lebih tajam. Kian hari saya makin mengenal dia sampai ia bercerita tentang ayahnya yang membunuh seorang tukang santet. Kisah itu membuat saya terkejut, karena akhirnya saya tahu, kami berasal dari satu daerah. Saya semakin percaya dia lebih berilmu soal kebatinan. Pak Mufid juga suka melukis dan lukisannya hebat. Setelah pekerjaannya selesai dia memberi kenang-kenangan untuk rumah ini, yakni lukisan tentang wanita yang tersenyum dalam murung. Pemberiannya itu saya pasang di lantai atas.
Catatan ini sengaja saya tulis agar ada yang mengetahui. Sebab saya ndak tahu kapan berhentinya umur.
Saya harus menghindari kehadiran Sukma sekalian mencari pertolongan. Agar tidak ada korban mati. Mudah-mudahan tidak ada siapa-siapa di dalam rumah ini pada malam yang celaka itu."
Seorang lelaki sedang menyerahkan malamnya kepada seorang perempuan. Dalam suatu perjalanan yang singkat namun terasa panjang. Suatu perjalanan yang sebenarnya bukan seharusnya dilakukan saat itu. Perjalanan ini tidak ditemani perbincangan. Hanya langkah bersemangat, yang membuat peluh menetes-netes dan menghangatkan darah sekian derajat. “Hey,” kata lelaki dalam hatinya, “Beritahu aku kapan sampai.” Perempuan bersirat senyum, menjawab dalam hatinya juga, “Simpan pertanyaan yang tidak berguna itu. Kita bisa sampai esok pagi atau lusa atau sebaliknya, lebih cepat sebelum aku selesai bicara.”
Kemudian sungguh lelaki ini menjadi pendiam, tetapi berbicara melalui jemarinya yang mengusap-mencengkram, dan kaki-pinggulnya yang bergerak-gerak, dan hembus-hela nafas kian kemari, sehingga semangatnya semakin penuh agar sampai. Di kiri kanan udara malam berhembus, sejuk seharusnya, namun darah yang sudah menjadi lebih hangat mudah melawan kesejukan itu.
Akan tetapi setiap perjalanan bertemu persimpangannya dan cuaca yang tiba-tiba berubah, yang bisa membingungkan, mengganggu atau lebih jauh lagi, membahayakan. Seorang perempuan yang lain lagi dari kejauhan memanggil lelaki, “Hey, lelaki. Aku memanggilmu. Jawab panggilanku.” Lelaki itu mendengar tapi ragu dan perempuan yang sedang bersamanya berkata, “Mari kutunjukkan jalan yang lebih bagus, ada pemandangan indah di sana, kamu akan menyukainya.” Ia berkata lagi, “Kamu hanya sedang bersamaku, bukan yang lain. Tidak ada yang lain.”
Sang lelaki kemudian menurut, mengikuti jalan yang ditunjukkan. Tiba-tiba ia merasa semakin dekat sampai. Namun di luar pengetahuannya, perempuan yang datang kemudian cepat mengejarnya dan singkat saja sudah berada sangat dekat. Ia tidak bicara meskipun jengkel, kecuali hanya dengan tatap marah ia berkata, “Kamu seharusnya sendiri malam ini.”
Lelaki ini tak berdaya, barangkali pada dasarnya ia menyadari suatu kesalahan; ia tak seharusnya pergi bersama siapa pun. Tetapi ia merasa perlu membela diri, oleh karena menganggap dirinya bebas melakukan apa saja. Pada akhirnya, sebagai upayanya mengingkari masalah, ia mendorong pergi perempuan yang sejak tadi bersamanya. Perempuan itu benar-benar pergi secepat kedipan, hilang tak berbekas. Dan rupanya kepergiannya malah menjadi masalah baru yang tak pasti.
***
Benci, marah, kalut, sesal dan perasaan yang sebagainya bersekutu mengepung diri yang rapuh ini. Wina telah pergi dan tak peduli pada apa lagi yang bakal aku perbuat. Bahkan dia menyimpan tangisnya; menunjukkan bahwa aku bukan laki-laki monumental yang pantas dipertaruhkan mati-matian.
Waktu-waktu setelah kepergiannya menjadi sulit kupahami. Kamar besar ini terasa amat sempit juga pengap. Lantas aku buka jendela dengan harapan mendapat suasana lebih baik. Setiap hal sepertinya sedang mengolok-olok nasib.
Meski demikian yang paling aku sesali ialah, wanita yang tadi sedikit lagi kugauli bukanlah Fani, melainkan wujud yang asal muasalnya antah berantah. Siapa dia? Mungkin Sukma mungkin sahabatnya dari kalangan jin maupun setan yang lain lagi. Pastinya kasus ini tidak main-main. Sangat serius. Aku tak mau mengira-ngira getahnya.
Kejadian itu tak bisa mudah saja ambyar dari ingatan. Yang tampak itu benar-benar mirip Fani seutuhnya. Mana bisa begitu!
Tanpa sadar aku meninju cermin rias yang terpasang di depan. Wajah dalam kaca itu retak seperti perasaan wajah aslinya. Ada darah menetes tetapi aku tak menghiraukan perih. Sampai beberapa waktu kemudian aku baru mengerti, itu adalah tindakan bodoh.
Rumah ini punya kotak P3K, disimpan di dapur, dekat set lemari. Aku segera ke bawah untuk menghentikan pendarahan kecil. Ngilu bercampur perih lama-lama mengganggu. Lebih dulu aku membasuh luka sobek di bawah pancuran air. Tersiram air bertambah-tambah perihnya. Salah sendiri gegabah! Umpatku seorang. Aku segera memberikan perawatan swamedis. Membersihkan luka dan yang terakhir membalutnya dengan kasa.
Selanjutnya apa? Pikiranku banyak berpencar, berusaha kembali, baru berpikir menanyakan beberapa soal kepada Azazil. Ya, itu dia!
Bergegas kembali ke kamar Wina. Catatanku disimpan di dalam tas. Aku mencarinya dengan nafas memburu. Dapat. Tapi di mana pulpen? Kurogohi isi tas seluruhnya, tidak kelihatan. Padahal cuma itu satu-satunya yang tersisa. Di laci, lemari atau di bagian mana pun tidak ketemu.
Serta merta ingatan terjaga pada satu pokok penting. Tulisan-tulisan yang ada kemarin berubah hanya menjadi lembaran kertas kosong. Sesaat kemudian juga aku ingat, dialog tersebut telah hapus sendirinya dari kemarin. Ketika Pak Wi datang dan menanyakan suatu yang aneh. Dua kali Pak Wi bersikap demikian seakan-akan aku bersama orang lain di kamar ini.
Maksudnya sulit dimengerti, meski ketidak mengertian bisa terjadi akibat aku terlanjur sinis kepada Pak Wi. Jadi ke mana goresan tinta itu, gumamku sembari berpikir sengit. Mungkinkah jin itu punya alasan khusus untuk menghilangkannya atau..., jangan-jangan Pak Wi benar, ia mendengar aku bicara. Dengan siapa? Jadi selama ini aku tidak benar-benar menulis?
Ngawur! Aku mengecam dugaanku sendiri untuk selanjutnya menyangkal: Pak Wi itu punya maksud jahat! Ucapan-ucapannya tidak layak didengar apalagi dipercaya.
Namun lagi-lagi aku mengoreksi keyakinan diri sendiri. Penglihatan memang sukar dibantah! Aku tidak salah ingat ketika aku bergegas ke kamar mandi untuk membakar kertas-kertas tersebut; saat itu aku mendapati tulisannya terhapus tanpa bekas.
Jangan-jangan Pak Wi tidak bohong soal ini meski punya rahasia lain.
Tidak, tidak benar! Jin yang menulis yang menghapusnya. Barangkali ia melakukannya untuk berjaga-jaga supaya tidak ketahuan.
Nanti dulu! Aku mengacau dalam hati, tak ingin buru-buru menyimpulkan. Tapi..., ah sudahlah. Semuanya tampak rumit.
Aku turun lagi, maksudnya ingin mencari alat tulis. Mengingat Pak Wi kemarin-kemarin terlihat memegangi kertas dan pulpen. Mestinya masih ada di sekitar tempat tidurnya. Kalau terpaksa punya siapapun juga bukan masalah, bisa dipakai sebentar.
Ketemu! Pulpen yang kemarin tertinggal di atas rak televisi, menyelip di antara lembaran sebuah buku tulis. Di dalam buktu itu juga aku temukan kertas yang isinya tabel kotak-kotak.
Baru aku tahu sekarang, setelah melihat langsung lembaran itu, rupanya isinya nama-nama hari dan pasaran dalam almanak Jawa, serta beberapa istilah lain yang mengarah pada suatu model penghitungan tradisional. Dari pengetahuan tentang Jawa yang terbatas aku mengenalnya dengan nama neptu weton. Biasa digunakan untuk menghitung banyak hajat manusia, dari membuka usaha, memulai hari tanam, melangsungkan pernikahan hingga memprediksi hari-hari kelam.
Sebetulnya aku belum lagi paham bagaimana menghitung hari-hari tersebut dan dari mana asal muasalnya. Ada yang berkata, neptu weton itu semacam pemodelan statistik yang bermula dari pengamatan, diajarkan dari mulut ke mulut, diturunkan oleh generasi pendahulu kepada generasi setelahnya. Akurat dan tidaknya ya belum tentu atau malah bisa jadi. Ada saja yang percaya dan itu menjadi hak mereka yang tidak perlu dicampur-campuri. Tapi yang jelas, aku tak pandai cara menghitungnya. Kecuali dugaan, Pak Wi berupaya menghitung sesuatu. Ini rahasia yang mesti dibuat terang. Dua lembar kertas, isinya berupa gambar tabel dengan angka-angka serta istilah-istilahnya yang mirip kalender. Aku curiga yang dikerjakannya bukan simulasi penanggalan, tetapi sejenis tabulasi yang barangkali bersifat prediksi atau konklusi dari hasil suatu penghitungan, atau bahkan hanya variabel permulaan.
Kertas-kertas yang kemarin kukira berisi rumus lotere atau pedoman nomor buntut ini dengan segera meminta perhatian. Hendaknya mereka dibaca vertikal dan horizontal. Aku memulainya dari dua kertas yang punya kemiripan tabel. Dua carik itu kujejerkan agar supaya lebih mudah diamati.
Pada tiap lembar terpampang dua tabel kolom dengan isian angka—di bawah angka ada angka yang ditulis lebih kecil, hari, dan pasaran. Di sebelah kanan angka 1 bermula pada Ahad, angka 30 jatuh pada Selasa. Khusus angka 17 mempunyai tanda lingkaran, harinya Selasa, pasaran Kliwon. Aku mengamati sebersit, di bawah angka 17 tertulis angka 9, dan pada bagian kertas paling bawah diimbuhi catatan; 9 Sawal, 17 Juni.
Kertas di sebelahnya menunjukkan kolom yang sama lebih kurangnya, 30 angka. Perbedaannya, 1 bermula Sabtu, 30 jatuh pada Ahad. Lingkarannya berada di angka 18, hari Selasa, pasaran Kliwon. Catatan singkat menambahinya di bawah; 12 Jumadil Awal.
Kedua gambar ini tampaknya menyimpan suatu maksud. Baik 17 Juni maupun 18 Juni sama-sama Selasa Kliwon. Secara prematur, dua tanda yang sepertinya saling berhubungan. Agaknya aneh bila Pak Wi membubuhinya tanda tanpa maksud.
Angka-angka di depan mataku barangkali bukan sebuah soal matematis, tapi ini baru barangkali. Paling tidak dengan modal curiga, aku ingin mengamati lebih cermat lagi. Agar tidak ada yang terlewat bagian-bagian gambar itu.
Dalam kalender Jawa-Hijriah Sawal punya arti yang tidak berlawanan daripada asalnya. Maksudnya bulan setelah Ramadhan—dalam Jawa dikenal dengan nama Pasa, atau bulan jatuhnya Idul Fitri atau lebaran. Bulan Sawal sesungguhnya amat dekat dengan hidupku. Bulan kelahiranku sendiri. 17 Juni dalam tanggalan Masehi, 9 Sawal menurut konversi Hijriah. Jadi yang disinggung oleh gambar tersebut tak lebih dari kelahiran aku yang jatuh pada Selasa Kliwon, 17 Juni 1986 atau 9 Sawal.
Sementara pada kertas yang lain tertulis 18 Juni, 12 Jumadil Awal. Aku tidak boleh sembarang meyakini bahwa itu merupakan tanggal dan hari kelahiran Pak Wi, kecuali apabila di depan mata ada kalender abadi, pasti aku lebih terbantu untuk menjawabnya.
Metode yang tersedia ialah menghitungnya manual. Menurut pengakuannya, ia sekarang berumur 70 tahun. Apabila benar artinya Pak Wi harus lahir pada 1940. Satu-satunya alat menghitung adalah kalender ponsel, yakni mengurangi 11 hari setiap tahun Gregorian. Menghitung dengan cara kolot sama sekali membuang waktu. Namun aku terus memusatkan pikiran ke situ. Entah berapa lawa sudah lewat, sampai pada akhirnya perhitungan itu berhenti:
12 Jumadil Awal bertepatan pada Selasa, 18 Juni 1940.
Semangatku lebih bertambah bercampur waswas. Aku punya hari kelahiran berikut pasaran yang sama dengan Pak Wi. Selasa Kliwon. Aku ingin mengembangkan temuan ini dan menduga ini belum berhenti.
Buku tulis Pak Wi begitu saja menarik minat. Maka kuperiksa juga. Mula-mula yang aku temui cuma tagihan galon air dan laundry serta remeh temeh pengeluaran keperluan rumah tangga. Lantas ada sesuatu yang menarik perhatian. Secarik amplop. Di dalamnya ada catatan, dan catatan ini lebih panjang dari yang aku harapkan.
Aku membaca tulisannya pelan-pelan:
"Anak laki-laki itu punya hari pasaran juga bulan lahir yang sama betul dengan saya dan Haji Mufid. Selasa Kliwon mangsa kasadha. Bapaknya Pak Mufid, Mas Haji Satar ialah orang sakti yang membunuh Sukma, pun lahir di bulan Sadha, Selasa Kliwon. Saya kemudian baru tahu dari cerita Haji Mufid, bahwa: Sukma pun terlahir pada mangsa kasadha di hari yang sama.
Firasat itu terus datang dalam laku rengeng-rengeng. Memberitahu kedatangannya. Sukma ingin menuntasken perjanjiannya daripada yang dulu. Meminta korban terakhir untuk mewujudken ambisinya.
Harinya akan tiba dalam waktu yang amat dekat. Pada malam pertengahan Sadha, Selasa Kliwon, berketepatan pada malam kelahiran juga kematian Sukma. Malam yang telah lama ditunggu-tunggu sebab ndak selalu datang dalam seratus tahun.
Pembatinan saya pun mendatangken suatu pengumuman, Sukma si tenung berhati gelap itu lahir pada Selasa Kliwon 1909, pertengahan Sadha, dan mati pada malam yang sama 1941. Hidupnya yang singkat habis demi mewujudken suatu perjanjian dengan setan. Pengikat perjanjian ini mengharapkan akan memiliki segala kekuatan di dunia. Namun Sukma harus terlebih dahulu membunuh seratus satu orang yang lahir pada malam yang sama.
Semasa hidup Sukma telah meneluh ribuan orang dan kebanyakan orang yang terserang teluhnya mati karenanya. Sebab dia tidak tahu siapa-siapa saja yang lahir pada Selasa Kliwon bulan Sadha. Walaupun begitu sampai pada hari ini Sukma berhasil mengumpulken 98 nyawa. Saya sendiri semestinya yang ikut jadi korbannya. Namun teluh itu ndak mencelakai bayi yang masih merah, yang belum sampai satu tahun, yang pada waktu itu ndak lain diri saya sendiri. Lain lagi nasib ibu dan bapak yang kebetulan lahir tepat pada Selasa Kliwon bulan Sadha. Mereka mati dengan perut belendung seperti balon, mengeluarkan air seperti air garam dan kadang-kadang airnya berubah kental abu-abu pekat. Begitu cerita yang saya dengar.
Tetapi akhir-akhir ini saya mendengar bisikan yang berlawanan arahnya. Jika Sukma telah mati digulung samudera, dia ndak mungkin mengadaken perjanjiannya dengan makhluk jin atau setan yang diidamkannya. Seharusnya ancaman kematian itu sudah berhenti. Tapi saya ndak tahu lebih jauh lagi. Untuk itu saya perlu minta tolong kepada Haji Mufid karena beliau yang paham.
Sebenarnya saya ndak enak minta tolong. Haji Mufid juga pasti susah dan menderita karena ia lahir pada malam yang sama. Ditambah lagi belakangan ini, beberapa tahun lalu, ayahnya mati karena ada pengaruhnya dari pembunuhan Sukma yang dahulu.
Sebetulnya juga ada hal-hal yang saya pikirken tentang Pak Mufid. Anak itu benar. Yang dia tanyaken menyangkut awal mula petaka di dalam rumah yang saya tinggali. Saya malah ndak pernah memikirken itu. Padahal rupa-rupanya saya masih ingat kejadian-kejadian yang mengganggu itu lebih banyak datang setelah rumah diperbaiki.
Tapi bagaimana juga keadaan dan yang saya pikirken tentangnya, saya harus menemui dia. Saya yakin hakkul yakin beliau menyimpan pengetahuan soal rumah ini dan juga hal-hal yang berhubungan dengan masalah ini. Pengetahuan yang mendalam itu yang barangkali saya pun ndak mengerti. Saya ingat pada malam dia datang, seketika dia dapat menyebutkan banyak hal. Yakni tentang kerusakan pada pilar rumah dan tanda-tandanya di dinding. Haji Mufid hanya dengan melihat dapat lancar menyebut luas lahan bangunan, sekian dikali sekian, tinggi bangunan dan usianya, dan apa-apa saja.
Saya ndak tahu berapa luas rumah ini sebab ndak pernah tertarik menghitung-hitung yang bukan kepunyaan saya. Namun suatu hari beliau kataken pada saya bahwa tata letak rumah akan dibuat supaya lebih baik. Baik bagaimana? tanya saya. Dia jawab, baik itu harus seimbang. Rumah ini setelah diperbaiki akan diawali halaman depan dan diakhiri halaman belakang yang dua-duanya sama luas, seluas lapangan permainan voli. Sedangkan dia menyebutken luas datar tanah bangunannya yaitu 19 dikali 18 meter persegi.
Kemudian saya tahu, untuk memenuhi kebutuhan ‘seimbang’ yang dimaksud, ia meminta empunya rumah menambah tanah. Caranya dengan membeli. Kebetulan saja tersedia lahan kosong milik seorang haji Betawi yang terletak persis di belakang tembok pekarangan belakang. Lahan itu awal mula sebenarnya cuma dibiarken oleh yang punya, karena banyaknya tanah di lain-lain tempat, kemudian orang lain memanfaatkannya untuk menanam pohon pisang. Meski begitu haji Betawi berat melepas tanahnya, walau akhirnya dilepas juga sebagian kecil.
Haji Mufid juga berkata, bangunan ini banyak yang harus diperbaiki supaya lebih harmonis. Yang utama yakni dinding-dindingnya yang retak, mengganti lantai yang dulu, dan atap-atapnya. Saya kataken saya baru tahu sekarang soal luas banguan ini. Dia hanya tersenyum seolah-olah menurutnya saya sudah mengerti.
Saya hanya perlu menceritaken sedikit tentang beliau. Darinya saya diberitahu amalan supaya rengeng-rengeng saya lebih tajam. Kian hari saya makin mengenal dia sampai ia bercerita tentang ayahnya yang membunuh seorang tukang santet. Kisah itu membuat saya terkejut, karena akhirnya saya tahu, kami berasal dari satu daerah. Saya semakin percaya dia lebih berilmu soal kebatinan. Pak Mufid juga suka melukis dan lukisannya hebat. Setelah pekerjaannya selesai dia memberi kenang-kenangan untuk rumah ini, yakni lukisan tentang wanita yang tersenyum dalam murung. Pemberiannya itu saya pasang di lantai atas.
Catatan ini sengaja saya tulis agar ada yang mengetahui. Sebab saya ndak tahu kapan berhentinya umur.
Saya harus menghindari kehadiran Sukma sekalian mencari pertolongan. Agar tidak ada korban mati. Mudah-mudahan tidak ada siapa-siapa di dalam rumah ini pada malam yang celaka itu."
bebyzha dan 12 lainnya memberi reputasi
13