- Beranda
- Stories from the Heart
The Way You Are
...
TS
ladeedah
The Way You Are
Quote:
Friendship is not always about finishing each other's sentences or remind you to the lyrics you forget. Many times, friendship is about how fluent are both of you in speaking silence.
-- Maxwell.
INDEKS
Spoiler for Indeks:
Diubah oleh ladeedah 08-09-2019 07:30
evywahyuni dan 11 lainnya memberi reputasi
12
24.9K
185
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ladeedah
#8
Little Maxwell, Little Dee
Maxwell terlahir empat bulan setelah Dee kecil lahir. Dee kecil lahir Mei, Maxwell kecil September. Daddy-nya keturunan Inggris, Mommy-nya Yugoslavia yang lahir di Australia. Kedua orang tuanya memaksa nama anaknya memiliki kedua elemen budaya: British dan Slavic. Untung nama pertama Max itu Maxwell bukan Vladimir, Dmitri, Igor, atau Ivan wkwkw
Baby Maxwell lahir tanpa menangis. Sang Dokter harus membuat dia menangis dengan nabokin pantatnya beberapa kali sampai dia menangis. Saat kecilpun, Maxwell jauh lebih jarang menangis dibanding Kakak laki-lakinya, Bobby.
Perkenalan Maxwell kecil dan Dee kecil pertama kali adalah saat satu sekolah di North Melbourne. Sama-sama murid baru di Prep (setara TKB), mereka memakai name tag yang dikalungkan di leher.
Diajeng.
Maxwell.
"Can you help me coloring my rainbow?" adalah kalimat pertama yang Maxwell kecil tanyakan ke Dee kecil. Maxwell kecil menyerahkan kertas yang sudah bergambar lengkung-lengkung dengan pensil.
"Kok pink semua?" Tanya Maxwell kecil saat Dee kecil warnai semua lengkungnya dengan pink.
"Karena gue suka pink!"
"Tapi pelangi kan warna-warni ga cuma pink?"
"Lo mau gue bantuin ga??"
Maxwell kecil juga tidak banyak bicara. Dia hanya akan bicara jika Miss Mandy, guru wali kelas, meminta dia bicara. Di sisi lain, Dee kecil adalah anak yang amat sangat bawel. Maxwell kecil juga selalu main sendirian, kesukaannya adalah mengumpulkan batu-batu di playground sekolah lalu dia pilih yang paling bagus dan dia bawa pulang.
"Buat apa?" Tanya Dee kecil saat dia lihat Maxwell kecil memiliki banyak batu di tasnya.
“Mau gue warnain di rumah.”
Bocah aneh, pikir Dee kecil saat itu.
Maxwell kecil suka mengikuti Dee kecil, karena sama seperti Max kecil, Dee kecil juga tidak punya teman karena Dee kecil suka marah, tidak mau sharing, dan sering nangis haha. Dee kecil sering dibuli oleh teman-teman yang lain karena perangai buruknya. Semakin dibuli, semakin parah. Begitulah efek berantainya. Maxwell kecil juga tidak pernah mengajak Dee kecil main, atau sebaliknya, tapi Maxwell kecil selalu main dekat Dee main, hingga suatu hari mau tak mau dua anak ini main bersama karena sama-sama tersingkir dari pergaulan.
“Lo mau liat batu-batu gue ga?” Maxwell kecil menatap Dee kecil penuh harap saat mereka sedang mengikuti semut-semut yang menuju sebuah lubang di bawah batu.
“Mau!”
Maxwell kecil menarik tangan Dee kecil masuk kelas dan mengeluarkan dua batu berwarna hijau muda dengan totol-totol putih dan batu lainnya berwarna gold.
“Ini buat lo! Di rumah gue masih banyak lagi!”
“Ga ada yang pink?”
Maxwell kecil menggeleng kecewa.
Gue tidak ingat apa komen gue saat itu, tapi batu itu masih ada hingga saat ini di kamar gue di Edinburgh. Saat gue sudah besar dan melihat batu itu, hasil polesannya terlalu bagus untuk anak berusia lima tahun. Catnya smooth, rata dan solid. Bakat yang Maxwell bawa hingga besar: dia penggambar yang bagus. Bakat yang semakin tampak seiring kami naik kelas, Maxwell selalu mendapat nilai paling bagus di kelas Art.
Kedekatan Dee kecil dan Maxwell kecil semakin erat saat Mama-Mama mereka berteman dan sering jalan-jalan bareng karena sama-sama Ibu Rumah Tanggga pengangguran. Rumah Dee kecil dan Maxwell kecil tidak dekat kala itu. Rumah Dee kecil lebih dekat ke sekolah, tapi rumah Maxwell perlu naik tram atau bawa mobil karena kalau jalan kaki butuh sekitar setengah jam.
Rutinitas IRT pengangguran di belahan dunia manapun kalo punya temen biasalah ngerumpi di taman-taman atau level Mama-Mama kami saat itu paling banter ngopi karena harga Pandora mahal! Wkkwk!
Kedua IRT ini saking klopnya dan saking nganggurnya, mereka memutuskan ikut dance club. BUKAN MODERN DANCE ya tolong! Haha! Sesuai usia dan impian dan kebetulan diskonan pendaftaran, mereka mengikuti Tango Class. Oh Man! Siapa yang ga pengen bisa Tango! Yep. Tango. Kami semakin nempel karena kami selalu duduk di pojokan ruang berkaca, mewarnai, baca buku, atau lari-lari di hall saat Mama-Mama kami latihan selama dua hingga tiga jam.
“Dee, Papa ada jadwal ngelab malam hari ini. Mama juga ada latihan dance sampai jam delapan malam. Kamu mau ikut Papa ke kampus lagi? Atau ikut Mama latihan?” Papa membenarkan ikatan rambut Dee kecil yang selalu berantakan lagi sebelum sampai ke gerbang sekolah.
Rutinitas yang selalu dia lakukan di gerbang depan sekolah: mengencangkan ikat rambut Dee kecil.
“Dee mau ke rumah Maxwell aja! Nanti Papa jemput Dee di rumah Maxwell!”
“Maxwell? Dee kan belum pernah ke rumah Maxwell? Dan Mamanya Maxwell juga latihan dance sama Mama. Papa Maxwell baru pulang jam tujuh malam kerjanya.”
“Kan ada Bobby di rumah Maxwell.”
Bobby adalah Kakak Maxwell, terpaut tiga tahun dengan Sang Adik.
“DEE!” Maxwell kecil menghampiri Dee kecil. Papa mamandang dua anak itu dengan ragu.
“Maxwell sering di rumah sendiri? Bobby ada ga?” Tanya Papa.
“Ada Om! Bobby di rumah hari ini! Kalo Bobby ga di rumah juga aku sering di rumah sendiri!”
Sore itu Papa menjemput Dee kecil dan Maxwell kecil lalu mengantar ke rumah Maxwell.
“Ini simpan koin di saku kamu, jangan diambil kecuali untuk telepon umum! Ga boleh main api! Ga boleh main di luar! Ga boleh--”
“Iyaa Paaaa! Go away hush hush! Daaaaa!” Maxwell kecil dan Dee kecil tertawa cekikikan masuk ke rumah Maxwell kecil.
Itu adalah pertama kalinya Dee kecil main ke rumah Maxwell kecil.
Di Australia sendiri tidak ada aturan yang menegaskan usia berapa anak boleh ditinggal unsupervised di rumah, kecuali di Queensland. Di Queensland, jika anak dibawah 12 tahun sendirian di rumah DAN ketauan oleh pihak berwajib (mungkin tetangganya bawel dan lapor ke polisi) maka orang tua si anak bisa dikenai pasal hukum.
Namun Papa Dee kecil adalah orang yang sangat cerdas. Bagi Papa Dee kecil, meninggalkan anak di rumah bukan tentang usia berapa, tetapi memperhitungkan tingkat kedewasaan si anak, antara lain:
Berapa lama Dee kecil dan Maxwell kecil akan sendirian? Apakah lingkungan perumahan aman? Apakah ada anggota keluarga lain di rumahnya? Dan apakah anggota keluarga ini aman saat dekat dengan anak-anak?
Apakah Dee kecil dan Maxwell kecil yang masih berumur 7 tahun ini bisa menghadapi situasi emergency? Misalnya ada kebakaran, apakah mereka tau cara melarikan diri dari rumah?
Apakah Dee kecil dan Maxwell kecil saling mengingat nomer telepon emergency yaitu 000 untuk polisi? Apakah mereka hafal nomer telepon Papa Mamanya jika ada emergency? Apakah mereka bisa memakai telepon rumah? Telepon umum? Apakah mereka selalu menyimpan koin bersama mereka di kantong mereka saat tidak ditemani orang tua untuk alasan emergency menelepon orang tua di telepon umum?
Apakah Dee kecil dan Maxwell kecil mudah takut atas sesuatu, misal ada mati lampu mendadak? Petir? Hujan es? Dan apa yang akan mereka lakukan jika ada sesuatu yang membuat mereka takut?
Hari itu Papa menelepon setiap jam dari jam lima sore hingga jam tujuh malam, memastikan dua anak kecil tersebut masih hidup wkwkw.
Maxwell kecil ternyata lebih dewasa dibanding Dee kecil karena Maxwell kecil sudah bisa bilang: “Hey, don’t be worried, Bram! We will be allright!”
They did a great job that day karena setelah hari itu, mereka diijinkan untuk tinggal di rumah jika tidak ingin pergi bersama Mama atau Papa, bergantian kadang di rumah Dee kecil juga. Tapi seperti yang selalu Papa khawatirkan, mereka tidak pernah ditinggal lebih dari tiga jam.
Dee kecil dan Maxwell kecil selalu sekelas sejak Prep, namun seiring usia yang semakin besar, mereka juga berteman dengan teman-teman lainnya. Salah satunya adalah Sarah yang mulai mereka akrabi sejak kelas empat. Kebetulan rumah Sarah kecil ternyata dekat dengan rumah Dee kecil sehingga Sarah kecil sering ikut bergabung di rumah. Papa merasa lebih aman dan kadang menambah waktu main mereka bertiga jadi 3.5 jam, meskipun sangat jarang.
“Oi Beanstalk!”
Dee yang sudah kelas lima sedang bermain bersama Sarah di lapangan basket, melempar bola tennis ke dalam ring karena tidak ada bola basket saat itu dan memakai bola kaki untuk main basket cukup berat juga. Panggilan itu berasal dari Greg, siswa kelas enam yang terkenal nakal dan suka mengejek. Greg memang sering terjebak masalah dan sering kena detention/hukuman dengan harus social working membantu petugas di kantin atau merapikan buku-buku di perpustakaan. Rambut Greg jabrik berwarna merah dengan freckels tersebar di wajahnya yang tidak pernah tersenyum.
The Face of Greg! Dee kecil hanya bilang itu ke Papa saat wajah Papa atau Mama merengut galak tanpa senyum.
Dee kecil adalah salah satu objek ejekan Greg karena Dee sangat kurus.
Karena Dee kecil cukup populer kala itu dengan sering menceritakan buku-buku yang dia baca dengan berani saat Assembly (perkumpulan semua kelas setiap hari Jumat).
Karena Dee kecil namanya sering menjadi Student of The Week atas alasan kecil misalnya membantu Miss Ferosa membereskan kelas atau menyelesaikan jurnal PR membaca buku cerita lebih dulu.
Anak-anak grade senior pun akhirnya mengenal Dee kecil. Termasuk Greg. Beberapa menyapa Dee kecil ramah. Beberapa dengki. Greg rupanya sangat dengki lahir batin pada Dee. Setiap ada kesempatan memanggil Dee: lidi, batang kacang, tiang listrik, kurang gizi atau apapun akan dia sebutkan.
“Go away Greg!” Teriak Dee kecil dan Sarah kecil saat Greg mendekati mereka.
“Lo kurus kek pohon kacang! Tuh kaki awas patah loncat tinggi-tinggi! Kalo patah ga bisa disambung lagi!”
Dee hanya bertatap mata dengan Sarah dan tetap melanjutkan permainan tanpa menghiraukan Greg. Tiba-tiba Greg merebut bola tenis dan melemparkannya keluar pagar.
“Kok gitu sih! Ambil ga!” Dee melawan Greg.
“Kenapa ga ambil ndiri!” Greg mendorong tubuh Dee.
“Lo nakal banget sih! Gue bilangin Miss Campbell (kepala sekolah) ya!” teriak Dee lagi.
“Idih ngadu!” Greg menarik rambut panjang Dee yang diikat pony di belakang kepala. Sangat keras karena tarikan itu membuat Dee teriak kesakitan. Tarikan yang juga membuat Dee jatuh ke lapangan. Greg lari. Dee mengejar Greg.
Mereka terus berlari di lorong kelas meskipun beberapa guru sudah meneriaki mereka untuk berhenti. Lari di lorong kelas hukumannya berat. Greg berhenti dan langsung menyambut Dee yang berlari ke arahnya dengan satu tonjokan yang tepat bersarang di pipi kanan Dee. Seketika Dee tersungkur, berteriak dan menangis.
Satu hal yang Dee ingat di antara tangis kesakitan dan darah yang mengucur dari mulutnya, Dee melihat seorang siswa laki-laki adu tinju dengan Greg.
Maxwell.
Entah dia datang darimana, tapi Maxwell tidak berhenti menyerang Greg meskipun dirinya sendiri beberapa kali juga dipukul oleh Greg, tapi Maxwell tetap berusaha bangkit. Dia serang Greg dengan tinju dan tendangannya.
“STOP IT YOU TWO!!” Teriakan Mister Kogler, guru PE/Penjaskes, membuat teriakan di hall seketika sepi. Mister Kogler memisah paksa bersama guru lain, menarik tubuh dua anak laki-laki yang masih ingin saling serang. Hall sudah penuh dengan siswa-siswa yang menonton gelut Greg dan Maxwell.
Greg, Maxwell, Dee dan Sarah sebagai saksi dipanggil menghadap Miss Campbell.
Wajah Greg dan Maxwell sama-sama lebam dan berdarah, Dee juga, namun tidak separah mereke berdua. Sambil menghadap Miss Campbell, mereka memegang ice pack dari Nurse Sekolah.
“…..Max ikut-ikutan!” tutup Greg diujung pembelaan dirinya.
Tapi Maxwell tidak bicara apa-apa. Hingga interogasi selesai Maxwell juga tetap diam. Mereka bertiga dikenai detention berbeda-beda. Tak cukup dengan detention, orang tua mereka bertiga juga dipanggil ke sekolah hari itu juga. Dee masih mengingat wajah sang Papa yang pucat melihat wajah putri kesayangannya yang lebam dan bibirnya yang bengkak.
“Kamu ga apa-apa? Kenapa bisa begini??”
“The face of Greg hit me, Pa!”
Papa hanya mendengus dan menggigit bibir bawahnya menahan kesal.
Greg dan Maxwell harus membantu Janitor selama satu minggu saat jam istirahat dan setelah pulang sekolah. Dee harus membantu Kantin selama tiga hari.
Dua hari kemudian, Dee menghampiri Maxwell di kamar mandi yang sedang dia bersihkan setelah pulang sekolah. Dia tunggu hingga Maxwell selesai.
“Nonton Paddington di rumah gue yuk!” ajak Maxwell.
“Gue harus pulang. Papa mau bawa gue ke dokter karena masih sakit gusinya.”
“Sini coba gue liat!” Maxwell berhadapan dengan Dee dan melihat luka di bibir juga wajah Dee, lalu dia suruh Dee menunjukkan gusinya yang sakit.
“Sakit banget?”
Dee mangangguk. “Lo sendiri udah sembuh?”
“Udah ga kerasa apa-apa!” Maxwell memalingkan wajahnya dan berjalan lagi. Ga kerasa apa-apa tapi biru di mata dan pipinya masih jelas.
“Sini gue liat juga!” Dee memaksa memegang kantung mata Maxwell dan pipinya.
“Ouch, Dee! It hurts!”
“Katanya ga kerasa apa-apa!”
“Stop it you Stupid Dee!”
“Hahahaha I am sorry!” Dee melingkarkan tangannya ke bahu Maxwell.
“Makasih ya Max!” Dee belum sempat berterima kasih pada Max yang sudah membantu menghajar Greg.
Max diam. Papa Dee sudah menunggu di depan gerbang sedang ngobrol dengan Mister Kogler. Dia lambaikan tangan ke Papanya yang juga melambaikan tangan.
“Yaudah gue duluan ya Max! Lo ga bareng gue aja?”
Max menggeleng dan menunjuk ke Mamanya yang sudah menunggu di sisi gerbang yang lain.
“Oke, see you tomorrow, Blue Face!” Ejek Dee.
“Dee!”
Dee menghentikan langkahnya dan menghadap Max lagi.
“Kalo ada yang nakalin lo lagi, jangan lo lawan sendirian! Bilang gue! I will help you and I will protect you with my life!”
“I will, Max! You are my best friend!”
“You are my bestest friend!” Balas Maxwell.
Maxwell mendekati Dee lalu mencium pipi kanan Dee dengan cepat sebelum lari sekencang-kencangnya ke mobil Mamanya tanpa menoleh ke Dee lagi.
I will help you and I will protect you with my life....
Baby Maxwell lahir tanpa menangis. Sang Dokter harus membuat dia menangis dengan nabokin pantatnya beberapa kali sampai dia menangis. Saat kecilpun, Maxwell jauh lebih jarang menangis dibanding Kakak laki-lakinya, Bobby.
Perkenalan Maxwell kecil dan Dee kecil pertama kali adalah saat satu sekolah di North Melbourne. Sama-sama murid baru di Prep (setara TKB), mereka memakai name tag yang dikalungkan di leher.
Diajeng.
Maxwell.
"Can you help me coloring my rainbow?" adalah kalimat pertama yang Maxwell kecil tanyakan ke Dee kecil. Maxwell kecil menyerahkan kertas yang sudah bergambar lengkung-lengkung dengan pensil.
"Kok pink semua?" Tanya Maxwell kecil saat Dee kecil warnai semua lengkungnya dengan pink.
"Karena gue suka pink!"
"Tapi pelangi kan warna-warni ga cuma pink?"
"Lo mau gue bantuin ga??"
Maxwell kecil juga tidak banyak bicara. Dia hanya akan bicara jika Miss Mandy, guru wali kelas, meminta dia bicara. Di sisi lain, Dee kecil adalah anak yang amat sangat bawel. Maxwell kecil juga selalu main sendirian, kesukaannya adalah mengumpulkan batu-batu di playground sekolah lalu dia pilih yang paling bagus dan dia bawa pulang.
"Buat apa?" Tanya Dee kecil saat dia lihat Maxwell kecil memiliki banyak batu di tasnya.
“Mau gue warnain di rumah.”
Bocah aneh, pikir Dee kecil saat itu.
Maxwell kecil suka mengikuti Dee kecil, karena sama seperti Max kecil, Dee kecil juga tidak punya teman karena Dee kecil suka marah, tidak mau sharing, dan sering nangis haha. Dee kecil sering dibuli oleh teman-teman yang lain karena perangai buruknya. Semakin dibuli, semakin parah. Begitulah efek berantainya. Maxwell kecil juga tidak pernah mengajak Dee kecil main, atau sebaliknya, tapi Maxwell kecil selalu main dekat Dee main, hingga suatu hari mau tak mau dua anak ini main bersama karena sama-sama tersingkir dari pergaulan.
“Lo mau liat batu-batu gue ga?” Maxwell kecil menatap Dee kecil penuh harap saat mereka sedang mengikuti semut-semut yang menuju sebuah lubang di bawah batu.
“Mau!”
Maxwell kecil menarik tangan Dee kecil masuk kelas dan mengeluarkan dua batu berwarna hijau muda dengan totol-totol putih dan batu lainnya berwarna gold.
“Ini buat lo! Di rumah gue masih banyak lagi!”
“Ga ada yang pink?”
Maxwell kecil menggeleng kecewa.
Gue tidak ingat apa komen gue saat itu, tapi batu itu masih ada hingga saat ini di kamar gue di Edinburgh. Saat gue sudah besar dan melihat batu itu, hasil polesannya terlalu bagus untuk anak berusia lima tahun. Catnya smooth, rata dan solid. Bakat yang Maxwell bawa hingga besar: dia penggambar yang bagus. Bakat yang semakin tampak seiring kami naik kelas, Maxwell selalu mendapat nilai paling bagus di kelas Art.
Kedekatan Dee kecil dan Maxwell kecil semakin erat saat Mama-Mama mereka berteman dan sering jalan-jalan bareng karena sama-sama Ibu Rumah Tanggga pengangguran. Rumah Dee kecil dan Maxwell kecil tidak dekat kala itu. Rumah Dee kecil lebih dekat ke sekolah, tapi rumah Maxwell perlu naik tram atau bawa mobil karena kalau jalan kaki butuh sekitar setengah jam.
Rutinitas IRT pengangguran di belahan dunia manapun kalo punya temen biasalah ngerumpi di taman-taman atau level Mama-Mama kami saat itu paling banter ngopi karena harga Pandora mahal! Wkkwk!
Kedua IRT ini saking klopnya dan saking nganggurnya, mereka memutuskan ikut dance club. BUKAN MODERN DANCE ya tolong! Haha! Sesuai usia dan impian dan kebetulan diskonan pendaftaran, mereka mengikuti Tango Class. Oh Man! Siapa yang ga pengen bisa Tango! Yep. Tango. Kami semakin nempel karena kami selalu duduk di pojokan ruang berkaca, mewarnai, baca buku, atau lari-lari di hall saat Mama-Mama kami latihan selama dua hingga tiga jam.
“Dee, Papa ada jadwal ngelab malam hari ini. Mama juga ada latihan dance sampai jam delapan malam. Kamu mau ikut Papa ke kampus lagi? Atau ikut Mama latihan?” Papa membenarkan ikatan rambut Dee kecil yang selalu berantakan lagi sebelum sampai ke gerbang sekolah.
Rutinitas yang selalu dia lakukan di gerbang depan sekolah: mengencangkan ikat rambut Dee kecil.
“Dee mau ke rumah Maxwell aja! Nanti Papa jemput Dee di rumah Maxwell!”
“Maxwell? Dee kan belum pernah ke rumah Maxwell? Dan Mamanya Maxwell juga latihan dance sama Mama. Papa Maxwell baru pulang jam tujuh malam kerjanya.”
“Kan ada Bobby di rumah Maxwell.”
Bobby adalah Kakak Maxwell, terpaut tiga tahun dengan Sang Adik.
“DEE!” Maxwell kecil menghampiri Dee kecil. Papa mamandang dua anak itu dengan ragu.
“Maxwell sering di rumah sendiri? Bobby ada ga?” Tanya Papa.
“Ada Om! Bobby di rumah hari ini! Kalo Bobby ga di rumah juga aku sering di rumah sendiri!”
Sore itu Papa menjemput Dee kecil dan Maxwell kecil lalu mengantar ke rumah Maxwell.
“Ini simpan koin di saku kamu, jangan diambil kecuali untuk telepon umum! Ga boleh main api! Ga boleh main di luar! Ga boleh--”
“Iyaa Paaaa! Go away hush hush! Daaaaa!” Maxwell kecil dan Dee kecil tertawa cekikikan masuk ke rumah Maxwell kecil.
Itu adalah pertama kalinya Dee kecil main ke rumah Maxwell kecil.
Di Australia sendiri tidak ada aturan yang menegaskan usia berapa anak boleh ditinggal unsupervised di rumah, kecuali di Queensland. Di Queensland, jika anak dibawah 12 tahun sendirian di rumah DAN ketauan oleh pihak berwajib (mungkin tetangganya bawel dan lapor ke polisi) maka orang tua si anak bisa dikenai pasal hukum.
Namun Papa Dee kecil adalah orang yang sangat cerdas. Bagi Papa Dee kecil, meninggalkan anak di rumah bukan tentang usia berapa, tetapi memperhitungkan tingkat kedewasaan si anak, antara lain:
Berapa lama Dee kecil dan Maxwell kecil akan sendirian? Apakah lingkungan perumahan aman? Apakah ada anggota keluarga lain di rumahnya? Dan apakah anggota keluarga ini aman saat dekat dengan anak-anak?
Apakah Dee kecil dan Maxwell kecil yang masih berumur 7 tahun ini bisa menghadapi situasi emergency? Misalnya ada kebakaran, apakah mereka tau cara melarikan diri dari rumah?
Apakah Dee kecil dan Maxwell kecil saling mengingat nomer telepon emergency yaitu 000 untuk polisi? Apakah mereka hafal nomer telepon Papa Mamanya jika ada emergency? Apakah mereka bisa memakai telepon rumah? Telepon umum? Apakah mereka selalu menyimpan koin bersama mereka di kantong mereka saat tidak ditemani orang tua untuk alasan emergency menelepon orang tua di telepon umum?
Apakah Dee kecil dan Maxwell kecil mudah takut atas sesuatu, misal ada mati lampu mendadak? Petir? Hujan es? Dan apa yang akan mereka lakukan jika ada sesuatu yang membuat mereka takut?
Hari itu Papa menelepon setiap jam dari jam lima sore hingga jam tujuh malam, memastikan dua anak kecil tersebut masih hidup wkwkw.
Maxwell kecil ternyata lebih dewasa dibanding Dee kecil karena Maxwell kecil sudah bisa bilang: “Hey, don’t be worried, Bram! We will be allright!”
They did a great job that day karena setelah hari itu, mereka diijinkan untuk tinggal di rumah jika tidak ingin pergi bersama Mama atau Papa, bergantian kadang di rumah Dee kecil juga. Tapi seperti yang selalu Papa khawatirkan, mereka tidak pernah ditinggal lebih dari tiga jam.
Dee kecil dan Maxwell kecil selalu sekelas sejak Prep, namun seiring usia yang semakin besar, mereka juga berteman dengan teman-teman lainnya. Salah satunya adalah Sarah yang mulai mereka akrabi sejak kelas empat. Kebetulan rumah Sarah kecil ternyata dekat dengan rumah Dee kecil sehingga Sarah kecil sering ikut bergabung di rumah. Papa merasa lebih aman dan kadang menambah waktu main mereka bertiga jadi 3.5 jam, meskipun sangat jarang.
“Oi Beanstalk!”
Dee yang sudah kelas lima sedang bermain bersama Sarah di lapangan basket, melempar bola tennis ke dalam ring karena tidak ada bola basket saat itu dan memakai bola kaki untuk main basket cukup berat juga. Panggilan itu berasal dari Greg, siswa kelas enam yang terkenal nakal dan suka mengejek. Greg memang sering terjebak masalah dan sering kena detention/hukuman dengan harus social working membantu petugas di kantin atau merapikan buku-buku di perpustakaan. Rambut Greg jabrik berwarna merah dengan freckels tersebar di wajahnya yang tidak pernah tersenyum.
The Face of Greg! Dee kecil hanya bilang itu ke Papa saat wajah Papa atau Mama merengut galak tanpa senyum.
Dee kecil adalah salah satu objek ejekan Greg karena Dee sangat kurus.
Karena Dee kecil cukup populer kala itu dengan sering menceritakan buku-buku yang dia baca dengan berani saat Assembly (perkumpulan semua kelas setiap hari Jumat).
Karena Dee kecil namanya sering menjadi Student of The Week atas alasan kecil misalnya membantu Miss Ferosa membereskan kelas atau menyelesaikan jurnal PR membaca buku cerita lebih dulu.
Anak-anak grade senior pun akhirnya mengenal Dee kecil. Termasuk Greg. Beberapa menyapa Dee kecil ramah. Beberapa dengki. Greg rupanya sangat dengki lahir batin pada Dee. Setiap ada kesempatan memanggil Dee: lidi, batang kacang, tiang listrik, kurang gizi atau apapun akan dia sebutkan.
“Go away Greg!” Teriak Dee kecil dan Sarah kecil saat Greg mendekati mereka.
“Lo kurus kek pohon kacang! Tuh kaki awas patah loncat tinggi-tinggi! Kalo patah ga bisa disambung lagi!”
Dee hanya bertatap mata dengan Sarah dan tetap melanjutkan permainan tanpa menghiraukan Greg. Tiba-tiba Greg merebut bola tenis dan melemparkannya keluar pagar.
“Kok gitu sih! Ambil ga!” Dee melawan Greg.
“Kenapa ga ambil ndiri!” Greg mendorong tubuh Dee.
“Lo nakal banget sih! Gue bilangin Miss Campbell (kepala sekolah) ya!” teriak Dee lagi.
“Idih ngadu!” Greg menarik rambut panjang Dee yang diikat pony di belakang kepala. Sangat keras karena tarikan itu membuat Dee teriak kesakitan. Tarikan yang juga membuat Dee jatuh ke lapangan. Greg lari. Dee mengejar Greg.
Mereka terus berlari di lorong kelas meskipun beberapa guru sudah meneriaki mereka untuk berhenti. Lari di lorong kelas hukumannya berat. Greg berhenti dan langsung menyambut Dee yang berlari ke arahnya dengan satu tonjokan yang tepat bersarang di pipi kanan Dee. Seketika Dee tersungkur, berteriak dan menangis.
Satu hal yang Dee ingat di antara tangis kesakitan dan darah yang mengucur dari mulutnya, Dee melihat seorang siswa laki-laki adu tinju dengan Greg.
Maxwell.
Entah dia datang darimana, tapi Maxwell tidak berhenti menyerang Greg meskipun dirinya sendiri beberapa kali juga dipukul oleh Greg, tapi Maxwell tetap berusaha bangkit. Dia serang Greg dengan tinju dan tendangannya.
“STOP IT YOU TWO!!” Teriakan Mister Kogler, guru PE/Penjaskes, membuat teriakan di hall seketika sepi. Mister Kogler memisah paksa bersama guru lain, menarik tubuh dua anak laki-laki yang masih ingin saling serang. Hall sudah penuh dengan siswa-siswa yang menonton gelut Greg dan Maxwell.
Greg, Maxwell, Dee dan Sarah sebagai saksi dipanggil menghadap Miss Campbell.
Wajah Greg dan Maxwell sama-sama lebam dan berdarah, Dee juga, namun tidak separah mereke berdua. Sambil menghadap Miss Campbell, mereka memegang ice pack dari Nurse Sekolah.
“…..Max ikut-ikutan!” tutup Greg diujung pembelaan dirinya.
Tapi Maxwell tidak bicara apa-apa. Hingga interogasi selesai Maxwell juga tetap diam. Mereka bertiga dikenai detention berbeda-beda. Tak cukup dengan detention, orang tua mereka bertiga juga dipanggil ke sekolah hari itu juga. Dee masih mengingat wajah sang Papa yang pucat melihat wajah putri kesayangannya yang lebam dan bibirnya yang bengkak.
“Kamu ga apa-apa? Kenapa bisa begini??”
“The face of Greg hit me, Pa!”
Papa hanya mendengus dan menggigit bibir bawahnya menahan kesal.
Greg dan Maxwell harus membantu Janitor selama satu minggu saat jam istirahat dan setelah pulang sekolah. Dee harus membantu Kantin selama tiga hari.
Dua hari kemudian, Dee menghampiri Maxwell di kamar mandi yang sedang dia bersihkan setelah pulang sekolah. Dia tunggu hingga Maxwell selesai.
“Nonton Paddington di rumah gue yuk!” ajak Maxwell.
“Gue harus pulang. Papa mau bawa gue ke dokter karena masih sakit gusinya.”
“Sini coba gue liat!” Maxwell berhadapan dengan Dee dan melihat luka di bibir juga wajah Dee, lalu dia suruh Dee menunjukkan gusinya yang sakit.
“Sakit banget?”
Dee mangangguk. “Lo sendiri udah sembuh?”
“Udah ga kerasa apa-apa!” Maxwell memalingkan wajahnya dan berjalan lagi. Ga kerasa apa-apa tapi biru di mata dan pipinya masih jelas.
“Sini gue liat juga!” Dee memaksa memegang kantung mata Maxwell dan pipinya.
“Ouch, Dee! It hurts!”
“Katanya ga kerasa apa-apa!”
“Stop it you Stupid Dee!”
“Hahahaha I am sorry!” Dee melingkarkan tangannya ke bahu Maxwell.
“Makasih ya Max!” Dee belum sempat berterima kasih pada Max yang sudah membantu menghajar Greg.
Max diam. Papa Dee sudah menunggu di depan gerbang sedang ngobrol dengan Mister Kogler. Dia lambaikan tangan ke Papanya yang juga melambaikan tangan.
“Yaudah gue duluan ya Max! Lo ga bareng gue aja?”
Max menggeleng dan menunjuk ke Mamanya yang sudah menunggu di sisi gerbang yang lain.
“Oke, see you tomorrow, Blue Face!” Ejek Dee.
“Dee!”
Dee menghentikan langkahnya dan menghadap Max lagi.
“Kalo ada yang nakalin lo lagi, jangan lo lawan sendirian! Bilang gue! I will help you and I will protect you with my life!”
“I will, Max! You are my best friend!”
“You are my bestest friend!” Balas Maxwell.
Maxwell mendekati Dee lalu mencium pipi kanan Dee dengan cepat sebelum lari sekencang-kencangnya ke mobil Mamanya tanpa menoleh ke Dee lagi.
I will help you and I will protect you with my life....
The Way I Am -- Eminem
Diubah oleh ladeedah 17-08-2019 00:42
S.HWijayaputra dan i4munited memberi reputasi
2
. Mau ditambah bumbu rempah dari India, Spanyol, Meksiko, Italia, Prancis, tetep aja susah buat ga boring. Atau mungkin real life gue aja yang boring ya 

