Kaskus

Story

sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:
emoticon-Ultah

Cover:


From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)

NB: Sorry Bad Editing


Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter


Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita

Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.

Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.

Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.

Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.

Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.

Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.

Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.

Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.

Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.

Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.

***

Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.

“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.

“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.

“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.

Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.

Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.

Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.

Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.

“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.

“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.

“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.

“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.

“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”

Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.

“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.

Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.

“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.

Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.

Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.

***

Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.

Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,

“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.

“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.

Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.

“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.

Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.

Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.

“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.

“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.

“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.

“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.

Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.

Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.

Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.

Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.

“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.

“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.

‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.

Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.

Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
santinorefre720Avatar border
blackjavapre354Avatar border
rizetamayosh295Avatar border
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
#97
Chapter 30: Catatan Awal Semester
Keseharianku kuhabiskan dengan rutinitas yang monoton. Kuliah lalu pulang ke kontrakan, begitupun seterusnya. Mungkin bagi sebagian orang, siklus seperti ini terlihat membosankan. Bagiku pribadi, itu hal yang cukup nyaman untuk dijalani. Tak ada ide sedikitpun untuk ikut organisasi di kampus, rencanaku semester awal ini adalah fokus kuliah mengingat tantangan dalam belajar bahasa Jerman cukup sulit.

Ramai di seminar-seminar seruan untuk ikut berorganisasi dan berkarya sebagai kiat sukses dalam bangku perkuliahan. Memang benar, dengan berorganisasi akan menambah pengalaman seseorang apalagi dengan berkarya dan menuai prestasi. Ah, aku masihlah mahasiswa baru, tak perlu berpikir sekeras itu. Jalan sukses itu banyak, tak pernah ada yang mampu menebaknya.

Anak-anak satu kontrakanku pun sepemahaman denganku, belum ada satupun dari mereka yang tergabung dalam organisasi yang beraneka ragam di kampus. Semua sibuk dengan tugas kuliah masing-masing.

Frekuensi belajarku juga terkadang naik turun, ada beberapa hal yang mengalihkan perhatianku daripada membaca buku-buku kuliah. Salah satunya adalah menulis kisah hidupku. Awalnya aku tak pernah berniat sama sekali untuk menuangkan kisah hidupku menjadi sebuah tulisan, aku dulu memulainya hanya sekedar iseng untuk mengisi waktu senggang. Lambat laun semua itu pun berubah, aku menikmati prosesnya hingga melupakan hal-hal lainnya.

Hal itu juga bukan kuanggap sebagai penghambat kuliahku. Adakalanya aku meninggalkan kegiatan menulisku lantaran aku harus belajar serta membaca buku untuk menyelesaikan tugas yang telah diberikan oleh dosenku.

Ada satu hal yang aku sadari sewaktu kuliah ini. Dari proses pembelajaran dibangku kuliah ini, aku merasa memiliki cakrawala baru. Ilmu yang kumiliki selama ini memang masih minim, ada banyak hal yang mesti digali didunia ini. Aku sadar, kuliah memang membuat orang pintar, tapi itu bukan jaminan pasti untuk mendapatkan pekerjaan kelak. Maka dari itu, aku ingin mengembangkan passion-ku dalam menulis. Aku juga punya keinginan untuk memperbesar blogku, dan aku berharap semoga blogku nanti bisa memberikan hasil sesuai yang kuharapkan.

Matakuliah yang sangat membuatku tertarik di semester ini adalah pengantar filsafat ilmu. Itu bukanlah murni filsafat, tapi akar-akar dalam filsafat juga pernah disinggung oleh dosenku. Pemikiran-pemikiran filusuf Yunani seperti Plato, Socrates, Thales, Aristoteles, sungguh menakjubkan. Dosenku ketika mengajar mata kuliah ini menggunakan metode diskusi, pembicaraan berlangsung dua arah. Aku dan teman-temanku dikelas terkadang hanya diam, karena tingginya topik pembahasan yang sedikit sulit dijangkau logika. Terlepas dari itu semua, belajar filsafat memang diperuntukkan bagi mereka-mereka yang sedang mencari kebenaran. Termasuk aku yang terkadang masih mempertanyakan makna dari kehidupan itu sendiri.

Semangat nasionalisme juga dipupuk kedalam diri seorang mahasiswa melalui mata kuliah pendidikan kewarganegaraan. Rasa cinta tanah air, dan semangat untuk membawa Indonesia ke arah perubahan yang lebih baik ditanamkan dalam hati setiap mahasiswa. Negeri ini memang sedang menghadapi krisis, terutama moral bagi kaum muda. Rasanya norma-norma telah luntur di masyarakat. Miris, ketika melihat seorang murid yang melaporkan gurunya sendiri lantaran kasus pencubitan. Sopan santun murid kepada gurunya pun juga mulai pudar.

Sikap hedonisme, free sex, narkoba dan miras, budaya-budaya barat yang menggeser nilai budaya luhur bangsa Indonesia itu semua merupakan ancaman bagi negeri ini. Terutama korupsi yang masih merajalela di tubuh pemerintahan, lemahnya penegakan hukum, sistem pendidikan yang tidak konsisten, penguasaan asing terhadap sumber daya alam negeri ini. Problema-problema semacam itu adalah tanggungjawab bangsa Indonesia bersama untuk membawa Indonesia menjadi negara yang makmur dan sejahtera.

Pernah suatu ketika suasana didalam ruangan kuliah memanas karena memperdebatkan hal-hal tersebut. Memang disini beda orang beda pemikiran, tapi semua itu mengerucut menjadi sebuah konklusi baru sebagai solusi atas berbagai macam persoalan. Kadang aku juga sering berkonsultasi dengan Eru lewat media sosial mengenai perkembangan politik di negeri ini.

Bahasa Jerman yang dulu kukira sangat sulit, ternyata memang sulit. Di awal-awal pertemuan, aku sedikit kaku dan cukup loading untuk memahami sebuah materi yang disampaikan oleh dosenku. Aku bersikeras belajar, sedikit demi sedikit menghafalkan kosakata, ungkapan-ungkapan umum, dan beberapa aturan kalimat dalam bahasa Jerman. Seiring berjalannya waktu, hal itu bukan menjadi momok serius. Aku cukup paham, dan ada beberapa temanku yang kemampuan berbahasanya seimbang denganku, tapi juga ada yang jauh lebih mahir bahkan ada yang masih dibawah. Di awal semester, hal itu cukup bisa ditolerir karena masih sama-sama belajar, tapi jika tidak dibenahi maka akan menjadi beban di semester kedepan berhubung materi yang akan dipelajari akan lebih sulit.

Akhir pekan, aku mengikuti acara ceramah pengajian yang diselenggarakan oleh pihak kampus sebagai syarat wajib untuk mengambil mata kuliah agama. Terkadang aku malas mengikuti kegiatan seperti ini, namun adakalanya juga aku begitu bersemangat. Biasanya aku berangkat pagi bersama anak-anak kontrakan demi menggapai barokah pengajian tersebut.

Diantara puluhan topik yang pernah disinggung, satu yang paling berkesan adalah ketika topik yang dibahas mengenai masalah cinta dan pacaran. Pak Ustad kala itu menyampaikan ceramah dengan santai, dan aku selaku jomblo mendengarkan ceramah itu dengan khusyuk. Intinya memang jomblo itu sebuah kebaikan, karena pacaran pada hakikatnya memang dilarang keras oleh agama. Pacaran mungkin indah diawal, tapi keindahan dalam berpacaran itu diliputi bermacam-macam dosa. Mendengar ceramah kala itu aku jadi lebih termotivasi dengan status jomblo ini, meski sesekali aku sedikit iri melihat penampakan-penampakan laknat dipinggir jalan pas malam minggu.

Selain kuliah, di awal semester ini ada serangkaian kegiatan yang harus kulewati. Seperti Camping bersama dalam rangka pendekatan antara mahasiswa dengan kakak tingkat di jurusan Sastra Jerman. Kegiatan itu dilaksanakan di kawasan Candi Sumberawan, Singosari, Malang. Rangkaian acaranya hanya bermain dan bercanda, memang tujuan awal adalah mempererat tali persaudaraan antar mahasiswa. Satu momen yang kuingat kala itu adalah saat-saat pentas seni yang diselenggarakan disekitar api unggun. Masing-masing kelompok menampilkan berbagai macam pentas. Aku mewakili kelompokku bersama dengan salah satu temanku, membawakan sebuah lagu dan juga sebuah puisi. Penampilan itu sungguh otodidak, aku yang tak pernah tampil sama sekali didepan umum kala itu malu atau tidak aku harus memberanikan diri. Aku membawakan sebuah lagu dari Dewa 19 yang berjudul Pupus, petikan gitarku memang terkesan sederhana, suaraku juga tidak terlalu merdu, tapi itu cukup untuk memberikan nuansa galau ditengah-tengah api unggun tersebut. Seusai menyanyikan lagu itu, temanku juga membawakan puisi dengan kata-kata puitis yang tak kalah romantis.

Acara lainnya adalah Deutsche Tage 2016, itu adalah lomba berbahasa Jerman yang diperuntukkan bagi para siswa SMA. Acara itu berlangsung tiga hari dengan cukup meriah. Satu lagi yang paling berkesan di acara ini buatku pribadi adalah dimana aku tampil untuk yang kedua kalinya disaksikan oleh teman-teman dan kakak tingkatku. Konsep penampilan kala itu adalah aku menyanyikan sebuah lagu dan dikolaborasikan dengan Lyrical dance. Lagu yang kami bawakan adalah When I Was Your Man karya Bruno Mars. Aku dengan salah satu temanku yang bermain gitar duduk manis diatas kursi dipinggir panggung. Temanku yang akan menari berdiri mengambil posisi persis ditengah-tengah panggung. Aku pun bernyanyi semampuku, itupun dengan latihan yang tak lebih dari satu jam. Namun, dengan paduan tarian dari temanku itu menjadi suguhan yang terbilang cukup lumayan untuk dinikmati.

Di kontrakanku juga ketambahan satu anak lagi. Namanya adalah Tegar. Pada mulanya aku dan Wirno sedikit menolak karena suasana dikontrakan nanti malah tambah sesak jika ditambah satu anak lagi. Atas dasar kesepakatan bersama dan berbagai perdebatan akhirnya kami semua memutuskan untuk menerima Tegar ngontrak bersama kami. Kami semua di kontrakan ini sudah hampir seperti keluarga sendiri, saling tolong menolong jika ada kesusahan. Namun terkadang ada juga permasalahan yang sedikit mengusik ketenangan kontrakan, seperti Wirno yang bebal dalam melaksanakan piketnya. Berkali-kali diceramahi ia tidak mau mendengarkan, anak-anak terkadang jengkel dengan ulahnya.
Sampai suatu ketika keadaan kembali normal ketika Wirno bersedia meminta maaf kepada semua dan merubah sikapnya.

Alhamdulillah, ujian semester juga berjalan lancar tanpa adanya hambatan. Kerja kerasku dalam belajar selama seminggu utuh cukup membantuku dalam mengerjakan soal-soal yang diujikan. Berakhirnya ujian adalah pertanda awal memasuki libur perkuliahan. Seusai ujian kemarin, aku langsung pulang karena keuanganku sudah sangat kritis ditambah aku juga terlampau rindu untuk betemu dengan keluargaku.
Itu semua adalah catatan singkat terkait perkuliahanku di awal semester ini. Empat bulan berlalu begitu cepat. Semoga itu bisa menjadi pelajaran yang berharga dalam hidupku. Amin.


(Ditulis pada tanggal 10 Desember 2016)
coxi98
coxi98 memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.