- Beranda
- Stories from the Heart
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
...
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:

Cover:

NB: Sorry Bad Editing
Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter
Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita
Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.
Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.
Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.
Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.
Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.
Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.
Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.
Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.
Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.
Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.
Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.
***
Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.
“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.
“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.
“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.
Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.
Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.
Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.
Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.
“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.
“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.
“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.
“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.
“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”
Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.
“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.
Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.
“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.
Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.
Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.
***
Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.
Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,
“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.
“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.
Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.
“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.
Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.
Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.
“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.
“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.
“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.
“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.
“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.
Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.
Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.
Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.
Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.
“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.
“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.
‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.
Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.
Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
sandriaflow
#96
Chapter 29: Dear God
17 September 2016
Angin malam berhembus lirih, aku diam membisu di teras rumah. Mataku menatap langit-langit malam dengan bintang gemintang yang menggantung berkerlip mesra. Perasaanku galau berantakan, hanya satu nama yang terjeruji didalam pikiranku. Ditemani sebatang rokok dan korek api, aku pun melamun penuh kesenduan.
Haruskah kali ini aku jujur dengan dia? Sebuah pertanyaan besar yang menggantung dan menghantuiku di beberapa malam terakhir.
Memang Tiara jarang menghubungiku akhir-akhir ini. Tak seperti waktu-waktu lalu. Aku pun demikian, kupikir jika aku menghubunginya ia akan terganggu denganku. Diam dalam pengharapan adalah pilihan utamaku.
Titik jenuh pasti selalu ada dalam setiap kondisi. Terkadang aku merasa demikian dengannya, dia mungkin sependapat denganku. Puluhan topik tak penting yang pernah kami bicarakan perlahan tinggal puing-puing kenangan dalam ingatan. Rekaman suara indahnya yang terkadang menentramkan perasaanku pun hilang terhapus, seiring dengan lagu-lagu cinta yang pernah kunyanyikan untuknya dengan begitu percaya diri. Mungkin ia tertawa mendengar nada-nada fals dari pita suaraku. Sungguh semua itu telah tertinggal dibelakang.
Kala itu aku pernah mencoba jujur dengan Tiara, tapi aku masih belum siap dengan segala konsekuensinya. Kejujuran yang kumiliki mungkin akan merubah keadaan. Sampai hari ini masih kusimpan kejujuran itu rapat dalam hatiku. Entahlah, dia mungkin peka dengan apa yang terjadi atau ia tahu tapi memilih bersandiwara tidak terjadi apa-apa.
Tadi pagi, aku bertemu dengan Tiara didepan SMA-ku. Kebetulan ia sedang mengurus ijazah dan beberapa hal lainnya. Aku tak tahu menahu soal kepulangannya hari ini. Kukira dia masih berada di Yogyakarta. Sungguh kaget bukan kepalang, kebetulan aku tadi berada di sebuah warung kopi di dekat sana. Aku bertanya singkat kepada dia, setengah ada rasa sungkan karena lama tak memberi kabar.
Aku mengirim pesan untuknya, pesan untuk bertemu dengannya meski sesaat. Aku beringsut dari tempatku ngopi dan bergegas menuju tempat ia berada. Tiara memintaku untuk masuk ke dalam, ia asik bernostalgia bersama teman-temannya di kursi dekat ruang guru. Sayangnya aku terlalu malu untuk masuk kedalam bertemu dengan teman-temannya. Kuputuskan untuk menunggunya didepan SMA. Aku memberitahunya bahwa aku sedang menunggunya namun tak kunjung dibalas, aku masih tetap menunggu sembari menatap pohon palem yang diam tak berpindah tempat.
Beberapa saat, ia melintas didepanku bersama dengan teman-temannya. Ia pun berhenti, lalu menatapku curiga. Mendadak aku jadi grogi dan kecerdasanku lenyap seketika. Aku pun bertingkah seperti orang bodoh didepan Tiara.
“Meggy, sejak kapan kamu disini?” Tanya halus dari Tiara, Subhanallah begitu indah senyumannya. Aku diam sejenak, mukaku memerah disaksikan teman-temannya. Jantungku berdegup kencang, pikiranku terbang kesana kemari mencari sebuah alasan.
“Ah, lagi nunggu temen nih, hehe.” Alasan absurdku yang terbesit dalam pikiranku.
“Oh, kamu balik ke Malang kapan?”
“Kemungkinan besok, kamu sendiri?” Aku gugup bertanya.
“Sama, besok udah balik. Ya udah ya aku duluan.” Ia tersenyum kepadaku, mungkin itu adalah senyuman terakhir untukku. Tangannya melambai kearahku, aku membalasnya kaku. Segera sosok menawan itupun hilang, aku hanya bisa menatapnya sesaat tapi itu cukup kujadikan alasan untuk memantapkkan keputusan.
Dengan atau tanpa kehadiranku, aku yakin Tiara akan bahagia dengan kehidupannya. Orang sepertiku hanya akan menjadi parasit untuk dia, tak ada satupun yang istimewa dariku jika dibandingkan dengan keistimewaan yang dia miliki. Aku mulai sadar, hanya dengan melihat senyumannya, aku merasa bahagia. Asalkan dia bahagia, tak apa jika aku sedikit terluka.
Kejadian itu akhirnya membuatku yakin dengan keputusanku. Kali ini mau tidak mau aku harus jujur dengannya. Bibirku berbisik pelan dihembuskan oleh angin malam. Bulan dan bintang pun menyaksikan seorang pria yang telah membuat keputusan. Aku menguatkan hatiku atas segala konsekuensinya nanti.
Aku mengirimkan catatan suara untuknya, suaraku memang tak terlalu keras tapi aku tulus mengucapkan serangkai kata demi kata untuk dia.
“Ra, aku selama ini nyaman sama kamu. Jujur, aku punya harapan yang cukup besar kepadamu. Tapi aku tahu kamu nggak akan mungkin mau jadian sama aku, aku juga nggak memaksa kok. Terimakasih, karena kamu telah membuatku sedikit demi sedikit lepas dari kenangan tentang patah hatiku terdahulu. Denganmu aku bisa tertawa dan membuka hati sekali lagi. Meski hanya lewat pesan singkat dan catatan suara yang kamu kirimkan untukku, aku bahagia dengan itu. Harusnya kamu menyadari bahwa setiap lagu yang kurekam dan kukirimkan untukmu saat-saat lalu itu adalah kejujuran hatiku. Aku nggak yakin dengan diriku sendiri Ra, tapi yang jelas aku pengen kamu tahu tentang perasaanku. Menurutmu, aku salah nggak kalau memendam harapan ini ke kamu?”
Catatan suaraku terkirim, pesan itu masih belum didengar oleh Tiara. Beberapa saat menunggu, Tiara akhirnya membalasnya dengan catatan suara juga.
“Hmmmm, aku selama ini mungkin nggak peka Megg. Nggak salah juga kalau kamu memang punya harapan sama aku, tapi memang aku nggak bisa berbuat banyak. Aku lebih nyaman kalau kita itu temenan, nggak perlu ngungkit soal perasaan. Semua orang yang dekat denganku juga kuanggap sebagai teman, nggak lebih. Sorry banget ya Megg, jangan lagi ngomongin tentang perasaan. Kamu ngerti kan.”
Jawaban itu sudah kuduga dari awal, aku tak terlalu mengambil hati. Mungkin karena berkali-kali patah hati membuatku menjadi lebih kuat sekarang. Aku tak ingin berlama-lama meneruskan percakapan itu dengan Tiara, aku mengakhirinya dengan kalimat seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa.
Aku kembali menatap langit malam, sedikit sedih bercampur lega. Kejujuranku telah tersampaikan, meski hasilnya tak sesuai dengan harapan. Satu lagi, aku masih tak mendapat jawaban apakah Tiara memang pernah menyukaiku atau tidak sama sekali. Aku mungkin tak pandai menebak tapi juga urung untuk bertanya, jadi aku memilih untuk tidak mempersoalkan hal itu lagi.
Pada akhirnya, aku masih tetaplah seorang lelaki alone yang masih berusaha menggapai cinta sejati. Atau mungkin kesendirian yang kualami ini adalah karma dari doa mantan-mantanku yang pernah tersakiti olehku dimasa lalu. Apapun itu, aku yang sekarang adalah remaja labil, yang masih mencari jati diri, mengejar cita-cita, dan mencoba memaknai hidup lebih dalam. Ibarat sebutir debu di galaksi jagat raya, aku belumlah berarti dan tak ada apa-apanya.
Terkadang cinta itu memang sedikit menyakitkan, bukan karena cinta itu yang salah mungkin hanya keadaan saja yang kurang bersahabat. Mencari dan menemukan, itu adalah hal yang wajar dalam proses pencarian cinta sejati.
Aku harus melangkah kembali, mencari tempat persinggahan yang lain. Tiara adalah persinggahan sesaat untukku, tapi darisana aku sekali lagi belajar arti mencintai dan arti dari perpisahan. Mungkin terdengar pengecut, tapi aku memilih untuk menjauh dari kehidupannya.
Semua kembali lagi ke awal, dimana aku dulu hanya bisa memandang Tiara hanya sebatas foto yang terpampang di media sosialnya dan sesekali bertemu di parkiran sekolah. Kuat atau tidak, aku akan melewati hari-hariku mulai detik ini dan kedepan tanpa ditemani olehnya lagi.
“Dear God, the only thing i ask of You is to hold her when I’m not around when I’m much to far away.”
Lagu dari salah satu band rock metal yang kudengarkan keras lewat headset yang tersambung di handphone-ku. Aku hanya bisa berdoa untuk saat ini, semoga Tuhan tetap menjaga Tiara dalam suka maupun duka.
Namanya akan selalu kukenang karena pernah jadi bagian terpenting dalam hidupku meski hanya kurun waktu sesaat. Tak ada penyesalan tersisa, kecuali doa dan harapan untuk meraih cinta yang lebih baik.
Angin malam berhembus lirih, aku diam membisu di teras rumah. Mataku menatap langit-langit malam dengan bintang gemintang yang menggantung berkerlip mesra. Perasaanku galau berantakan, hanya satu nama yang terjeruji didalam pikiranku. Ditemani sebatang rokok dan korek api, aku pun melamun penuh kesenduan.
Haruskah kali ini aku jujur dengan dia? Sebuah pertanyaan besar yang menggantung dan menghantuiku di beberapa malam terakhir.
Memang Tiara jarang menghubungiku akhir-akhir ini. Tak seperti waktu-waktu lalu. Aku pun demikian, kupikir jika aku menghubunginya ia akan terganggu denganku. Diam dalam pengharapan adalah pilihan utamaku.
Titik jenuh pasti selalu ada dalam setiap kondisi. Terkadang aku merasa demikian dengannya, dia mungkin sependapat denganku. Puluhan topik tak penting yang pernah kami bicarakan perlahan tinggal puing-puing kenangan dalam ingatan. Rekaman suara indahnya yang terkadang menentramkan perasaanku pun hilang terhapus, seiring dengan lagu-lagu cinta yang pernah kunyanyikan untuknya dengan begitu percaya diri. Mungkin ia tertawa mendengar nada-nada fals dari pita suaraku. Sungguh semua itu telah tertinggal dibelakang.
Kala itu aku pernah mencoba jujur dengan Tiara, tapi aku masih belum siap dengan segala konsekuensinya. Kejujuran yang kumiliki mungkin akan merubah keadaan. Sampai hari ini masih kusimpan kejujuran itu rapat dalam hatiku. Entahlah, dia mungkin peka dengan apa yang terjadi atau ia tahu tapi memilih bersandiwara tidak terjadi apa-apa.
Tadi pagi, aku bertemu dengan Tiara didepan SMA-ku. Kebetulan ia sedang mengurus ijazah dan beberapa hal lainnya. Aku tak tahu menahu soal kepulangannya hari ini. Kukira dia masih berada di Yogyakarta. Sungguh kaget bukan kepalang, kebetulan aku tadi berada di sebuah warung kopi di dekat sana. Aku bertanya singkat kepada dia, setengah ada rasa sungkan karena lama tak memberi kabar.
Aku mengirim pesan untuknya, pesan untuk bertemu dengannya meski sesaat. Aku beringsut dari tempatku ngopi dan bergegas menuju tempat ia berada. Tiara memintaku untuk masuk ke dalam, ia asik bernostalgia bersama teman-temannya di kursi dekat ruang guru. Sayangnya aku terlalu malu untuk masuk kedalam bertemu dengan teman-temannya. Kuputuskan untuk menunggunya didepan SMA. Aku memberitahunya bahwa aku sedang menunggunya namun tak kunjung dibalas, aku masih tetap menunggu sembari menatap pohon palem yang diam tak berpindah tempat.
Beberapa saat, ia melintas didepanku bersama dengan teman-temannya. Ia pun berhenti, lalu menatapku curiga. Mendadak aku jadi grogi dan kecerdasanku lenyap seketika. Aku pun bertingkah seperti orang bodoh didepan Tiara.
“Meggy, sejak kapan kamu disini?” Tanya halus dari Tiara, Subhanallah begitu indah senyumannya. Aku diam sejenak, mukaku memerah disaksikan teman-temannya. Jantungku berdegup kencang, pikiranku terbang kesana kemari mencari sebuah alasan.
“Ah, lagi nunggu temen nih, hehe.” Alasan absurdku yang terbesit dalam pikiranku.
“Oh, kamu balik ke Malang kapan?”
“Kemungkinan besok, kamu sendiri?” Aku gugup bertanya.
“Sama, besok udah balik. Ya udah ya aku duluan.” Ia tersenyum kepadaku, mungkin itu adalah senyuman terakhir untukku. Tangannya melambai kearahku, aku membalasnya kaku. Segera sosok menawan itupun hilang, aku hanya bisa menatapnya sesaat tapi itu cukup kujadikan alasan untuk memantapkkan keputusan.
Dengan atau tanpa kehadiranku, aku yakin Tiara akan bahagia dengan kehidupannya. Orang sepertiku hanya akan menjadi parasit untuk dia, tak ada satupun yang istimewa dariku jika dibandingkan dengan keistimewaan yang dia miliki. Aku mulai sadar, hanya dengan melihat senyumannya, aku merasa bahagia. Asalkan dia bahagia, tak apa jika aku sedikit terluka.
Kejadian itu akhirnya membuatku yakin dengan keputusanku. Kali ini mau tidak mau aku harus jujur dengannya. Bibirku berbisik pelan dihembuskan oleh angin malam. Bulan dan bintang pun menyaksikan seorang pria yang telah membuat keputusan. Aku menguatkan hatiku atas segala konsekuensinya nanti.
Aku mengirimkan catatan suara untuknya, suaraku memang tak terlalu keras tapi aku tulus mengucapkan serangkai kata demi kata untuk dia.
“Ra, aku selama ini nyaman sama kamu. Jujur, aku punya harapan yang cukup besar kepadamu. Tapi aku tahu kamu nggak akan mungkin mau jadian sama aku, aku juga nggak memaksa kok. Terimakasih, karena kamu telah membuatku sedikit demi sedikit lepas dari kenangan tentang patah hatiku terdahulu. Denganmu aku bisa tertawa dan membuka hati sekali lagi. Meski hanya lewat pesan singkat dan catatan suara yang kamu kirimkan untukku, aku bahagia dengan itu. Harusnya kamu menyadari bahwa setiap lagu yang kurekam dan kukirimkan untukmu saat-saat lalu itu adalah kejujuran hatiku. Aku nggak yakin dengan diriku sendiri Ra, tapi yang jelas aku pengen kamu tahu tentang perasaanku. Menurutmu, aku salah nggak kalau memendam harapan ini ke kamu?”
Catatan suaraku terkirim, pesan itu masih belum didengar oleh Tiara. Beberapa saat menunggu, Tiara akhirnya membalasnya dengan catatan suara juga.
“Hmmmm, aku selama ini mungkin nggak peka Megg. Nggak salah juga kalau kamu memang punya harapan sama aku, tapi memang aku nggak bisa berbuat banyak. Aku lebih nyaman kalau kita itu temenan, nggak perlu ngungkit soal perasaan. Semua orang yang dekat denganku juga kuanggap sebagai teman, nggak lebih. Sorry banget ya Megg, jangan lagi ngomongin tentang perasaan. Kamu ngerti kan.”
Jawaban itu sudah kuduga dari awal, aku tak terlalu mengambil hati. Mungkin karena berkali-kali patah hati membuatku menjadi lebih kuat sekarang. Aku tak ingin berlama-lama meneruskan percakapan itu dengan Tiara, aku mengakhirinya dengan kalimat seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa.
Aku kembali menatap langit malam, sedikit sedih bercampur lega. Kejujuranku telah tersampaikan, meski hasilnya tak sesuai dengan harapan. Satu lagi, aku masih tak mendapat jawaban apakah Tiara memang pernah menyukaiku atau tidak sama sekali. Aku mungkin tak pandai menebak tapi juga urung untuk bertanya, jadi aku memilih untuk tidak mempersoalkan hal itu lagi.
Pada akhirnya, aku masih tetaplah seorang lelaki alone yang masih berusaha menggapai cinta sejati. Atau mungkin kesendirian yang kualami ini adalah karma dari doa mantan-mantanku yang pernah tersakiti olehku dimasa lalu. Apapun itu, aku yang sekarang adalah remaja labil, yang masih mencari jati diri, mengejar cita-cita, dan mencoba memaknai hidup lebih dalam. Ibarat sebutir debu di galaksi jagat raya, aku belumlah berarti dan tak ada apa-apanya.
Terkadang cinta itu memang sedikit menyakitkan, bukan karena cinta itu yang salah mungkin hanya keadaan saja yang kurang bersahabat. Mencari dan menemukan, itu adalah hal yang wajar dalam proses pencarian cinta sejati.
Aku harus melangkah kembali, mencari tempat persinggahan yang lain. Tiara adalah persinggahan sesaat untukku, tapi darisana aku sekali lagi belajar arti mencintai dan arti dari perpisahan. Mungkin terdengar pengecut, tapi aku memilih untuk menjauh dari kehidupannya.
Semua kembali lagi ke awal, dimana aku dulu hanya bisa memandang Tiara hanya sebatas foto yang terpampang di media sosialnya dan sesekali bertemu di parkiran sekolah. Kuat atau tidak, aku akan melewati hari-hariku mulai detik ini dan kedepan tanpa ditemani olehnya lagi.
“Dear God, the only thing i ask of You is to hold her when I’m not around when I’m much to far away.”
Lagu dari salah satu band rock metal yang kudengarkan keras lewat headset yang tersambung di handphone-ku. Aku hanya bisa berdoa untuk saat ini, semoga Tuhan tetap menjaga Tiara dalam suka maupun duka.
Namanya akan selalu kukenang karena pernah jadi bagian terpenting dalam hidupku meski hanya kurun waktu sesaat. Tak ada penyesalan tersisa, kecuali doa dan harapan untuk meraih cinta yang lebih baik.
coxi98 memberi reputasi
1