Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
[TAMAT] A Sense Of Grey





My baby baby
I want you so it scares me to death
I can't say anymore than "I love you"
Everything else is a waste of breath




You are my Ethereal.
This is for both of you.

With Love,

D
Diubah oleh ladeedah 22-11-2017 20:34
JabLai cOY
aripinastiko612
ugalugalih
ugalugalih dan 15 lainnya memberi reputasi
14
160.1K
999
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
#949
Part 58: Dusk



Hurts Like Hell -- Fleurie


“Kamu akan kembali kesini lagi kan, Ray?”

Tatapan sedihnya menanyakan harapan yang tak mampu gue jawab. Gue tarik dia ke pelukan gue sekali lagi, mengecup keningnya, menyatukan kening kami dan menangis bersama untuk kesekian kalinya.

“Gue cinta sama lo.”

“Me too!”

“Gue udah merenggut hidup yang lo punya. Maafin gue!”

“Kamu tinggal disini aja ya Sayang? Disini kita bisa sama-sama melarikan diri dari masa lalu dan memulai yang baru! Kamu dan aku dan Malika!”

“Norra….”

“Please, janji kamu akan kembali kesini lagi! Please! Aku ga mau hidup di Indonesia lagi, Raya! Kamu jangan khawatirin apapun lagi, perusahaan indukku juga disini, kamu bisa ambil itu dan kita bisa bahagia selama-lamanya! Ya??”

Norra berdiri di beranda rumahnya tanpa melambaikan tangan saat taksi yang dibawa Helena menjemput gue. Dia terus menatap kepergian gue yang tidak meninggalkan jawaban apapun untuk permintaannya.

“Kenapa ga nginep aja?” Helena yang hanya mengantar jemput gue ke rumah Norra akhirnya membuka percakapan setelah kami diam melewati jalanan perumahan. Musim semi sudah menyapa dedaunan, menyambut dengan hijau dan bunga warna-warni di pekarangan rumah-rumah. Beberapa orang jalan-jalan di trotoar bersama anak-anak dan anjing mereka, taman-taman juga diramaikan oleh mereka yang piknik.

Gue menoleh pada Helena dan meraih tangannya untuk gue genggam.

“Gue ga pengen ketemu Malika.”

“Why? Lo udah nyelametin dia dari Bapak Tirinya, mungkin dia pengen banget juga ketemu lo Ray.”

“Ga sesederhana itu kayaknya gue bisa nemuin siapa aja.” Gue kembali melempar pandangan ke luar jendela.

Orang-orang tampak hanya memakai kaos dan celana pendek di luar sana sedangkan gue masih berbalut jaket tebal karena merasa sangat dingin. Hijaunya lingkungan dan tidak macetnya jalan membuat gue terasa lebih tenang dibandingkan di Indonesia. Kalo gue pindah kesini kayaknya gue akan betah dan mendapat suasana yang benar-benar baru untuk memulai hidup yang baru. Saat ini mungkin gue merasa tempat ini asing, tapi bukankah tempat baru, orang baru, dan keterasingan akan memberi kita identitas baru? Kesempatan untuk memulai segalanya dari nol lagi.

If you have a chance to do it, will you do it?

Manusia selalu bisa berpendapat atas masalah orang lain seakan masalah itu mudah penyelesaiannya karena yang dibutuhkan hanya keberanian untuk mengambil tindakan. Gue sering berpikir, semudah itukah?

Setahun terakhir gue menggantungkan hidup gue ke percikan semangat untuk hidup dan berusaha untuk menjaga baranya dengan memperbaiki hubungan-hubungan yang sudah gue rusak. Gue berusaha keras untuk mengembalikan kepercayaan orang lain ke gue, bahwa dengan kecacatan gue saat ini, gue masih Raya yang dulu. Gue hanya ingin mengembalikan keyakinan mereka bahwa gue masih mempercayai mereka dengan sama, mencintai mereka dengan cara yang sama.

Gue hanya berusaha bertahan dengan menyenangkan orang lain meskipun gue sendiri tidak mengerti apapun setelah kehilangan kedua kaki gue. Memiliki identitas baru mungkin akan memberikan pengertian yang baru, mengubur diri yang lama karena sudah rusak dan tak mampu dikembalikan lagi. Mungkin dengan identitas baru juga gue akan terbebas dengan rasa bersalah dan rasa marah.

“Dia minta gue tinggal di Denver.” Lirih gue. Helena menatap gue, lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela pesawat sambil menggigit kuku di ibu jarinya. Lama dia tidak menanggapi.

“Terus?”

Kali ini gue yang terdiam saat ia kunci gue dengan tatapannya.

“Lo ga tau kan?” Tanya Helena lagi. Gue hanya mampu diam.

“Lo ga pernah tau yang lo mau kan?” Helena mengakhiri obrolan kami dan menarik selimut ke atas tubuhnya.

Sesampainya di Indonesia, kami disibukkan dengan kesibukan pekerjaan masing-masing. Tak ada yang memulai bahasan pribadi tentang Norra, gue, Helena, atau hubungan kami. Kami tiba di apartemen untuk langsung tidur lalu bangun pagi untuk berangkat kerja. Jujur, gue juga berusaha menghindari kedekatan fisik yang memungkinkan kami akan bicara intim tentang masa depan hubungan.

“Raya, ada waktu sebentar?” Gue mengangkat kepala dan Om Hanung sudah berdiri di pintu ruangan gue. Gue tutup map di hadapan gue dan mempersilakannya duduk.

“Apa kabar, Ray?”

“Seperti yang Pak Hanung lihat.” Jawab gue.

Sudah lama gue tidak melihatnya di kantor, kata Om Bimo sedang mengurus pekerjaannya di tempat lain. Tidak banyak yang berhubungan langsung dengan Om Hanung karena dia memang penerjemahsekaligus penasehat pribadi Om Bimo. Dia seperti mata bagi Om Bimo yang hanya melaporkan keadaan yang tak bisa terkomprehensi penuh oleh Om Bimo dan membiarkan Om Bimo mengambil keputusan dengan pemikiran Om Bimo sendiri.

“Saya dengar kamu dari Kolorado--” sebelum ia teruskan kalimatnya, dia sandarkan tubuhnya, menyilangkan kakinya dan memeluk lutut kanannya. Matanya tetap menatap gue ketat.

“--mengunjungi teman lama.” lanjutnya.

Dia tidak bertanya. Dia sudah tau dengan apa yang sudah gue lakukan. Gue tidak memiliki pilihan lain selain mengangguk.

“Bagaimana keadaan Anorra?”

“Dia sedang menata diri.” Jawab gue.

Om Hanung masih menatap gue.

“Ada lagi?”

Gue menggeleng.

“Oke. Terima kasih, Raya.” Sadar tak mendapat kabar apapun lagi, Om Hanung bangkit dari duduknya dan bersiap meninggalkan ruangan.

“Pak Hanung!” panggil gue. Ia hentikan langkahnya.

“Tolong jangan datang ke kantor ini lagi.”

Om Hanung terkejut dengan diisyaratkan tatapannya ke mata gue, lalu ia miringkan kepalanya untuk meyakinkan maksud apa yang gue katakan.

“Juga konsultasi Pak Bimo dan Belva, Pak Bimo minta itu dihentikan.”

Gue menahan nafas dan membuka laci untuk meraih amplop dari Om Bimo agar diserahkan ke Om Hanung. Amplop yang sudah ia serahkan ke gue setahun yang lalu saat ia mengundang gue ke ruangannya dalam acara gala dinner perusahaan. Gue mengerti Om Bimo sangat menunggu saat ini tiba, namun baru hari ini gue menemukan kekuatan untuk melakukannya.

Om Hanung mengambil amplop dan membukanya. Ada hela nafas berat dan raut wajah yang memucat.

“Sebagai seorang psikiater, tugas kamu adalah tanggung jawab atas pasien kamu, bukan malah nidurin istrinya.” Kalimat itu meluncur dengan benci dari mulut gue.

Tentu saja Om Hanung tidak terkejut dengan pernyataan gue. Dia adalah pria yang bersama dengan Andien saat gue menjumpai mereka di Starlight. Tentu saja dia tidak terkejut karena pada akhirnya gue tau penyebab kerusakan hubungan Bimo dan Andien adalah psikiater Bimo sendiri.

Yang tidak Hanung ketahui adalah Bimo juga sudah mengetahui permainan Andien dan dirinya yang sudah ia percayai sebagai sahabat.

Orang yang paling mengerti keadaan Bimo dan Belva,

orang yang paling mengerti kehidupan para penderita face blind dan demensia,

orang yang paling mengerti kesulitan mereka yang hidup bersama Bimo dan Belva,

namun justru jadi satu-satunya orang yang mencabik-cabik keluarga mereka.

“Bimo tau dari kamu?” ada cekat dalam suaranya. Gue menggeleng.

“Dia sudah tau sejak belum mengenal saya.”

Om Hanung menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis atas rasa malunya. Tanpa mengatakan apa-apa dia meninggalkan ruangan gue.

It does feels good. Satu rahasia besar yang gue simpan sejak lama kini terluapkan. Jantung gue yang terasa tercengkeram kerapkali melihat Hanung bersama Bimo atau Belva atau keduanya kini terbebas. Di tengah kekurangannya yang luar biasa, Bimo masih memiliki kemampuan untuk bertahan-melepaskan-bertahan lagi, demi melindungi putrinya.

Saya tidak pernah ingin melepas Belva untuk Andien, Ray. Tapi saya juga tidak tega jika harus menceritakan pada Belva alasannya. Satu-satunya hal yang ingin saya lakukan di dunia ini adalah melihat Belva bahagia, tidak disakiti oleh siapapun, meskipun itu artinya dia tidak mengetahui apa-apa tentang Papa Mamanya. Asalkan dia tetap bahagia, tetap tertawa, tetap ceria...saya akan lakukan segalanya. Maka saya butuh kamu untuk melakukan ini: menjauhkan Hanung dari kehidupan kami. Karena hanya kamu yang bisa...tolong, Raya. Selanjutnya saya percayakan perusahaan ini ke kamu. Kapanpun kamu siap. Saya tunggu itu.

Gue mengamati kamar tempat gue tidur bersama Helena lalu berhenti di foto kami berdua di meja lampu. Foto saat kaki gue masih berfungsi. Gue dekati foto itu, mengeluarkan dari framenya dan gue sobek bagian gue dengan rapi, lalu gue kembalikan foto Helena ke dalam frame. Semua barang gue sudah gue kemasi. Tak ada jejak gue di tempat ini selain jejak kenangan. Gue tinggalkan surat diatas kertas biru di tempat tidur Helena. Dengan nafas berat, gue keluar dari penthouse mewahnya untuk yang terakhir kali.

Quote:


=============


Gue menatap batu nisan dengan nama Keyshila Geraldine Hutomo. Berjajar dengan lima batu nisan serupa namun cukup berjarak dengan kelompok batu nisan lainnya. Sebuah bangunan nisan besar di belakang nisan-nisan keluarga Key bertuliskan Keluarga Hutomo dengan salib, patung Bunda Maria dan tulisan Ave Maria. Beberapa bunga plastik dalam vas-vas menghiasi makam keluarga Hutomo.

Gue sentuh batu nisan Key yang dingin. Dia di bawah sana.

Dia di bawah sana…

Apakah dia tau akhirnya gue disini menemukannya?

Jika mereka yang sudah mati bisa melihat kita yang masih hidup dari seberang sana, seperti batasan dengan tirai tipis tak nampak, seperti cermin satu arah, apakah Key akan tersenyum lega dengan kehadiran gue disini setelah 15 tahun kami terpisah? Apakah dia akan mengenali gue dengan kursi roda? Apakah dia juga menyaksikan apa yang terjadi di hidup gue selama ini? Apakah semua mimpi kehadiran dia di mimpi-mimpi gue sebenarnya memang dia yang memanggil dari alam seberang sana?

Key, kalo lo ada di sekitar gue saat ini, kasih tau gue Key! Peluk gue! Panggil gue!

Hanya hembus angin yang sangat pelan dan matahari yang sudah mulai mengarah ke barat.

“Aku yakin dia tau Kakak ada disini. Dan dia akan sangat bahagia dengan ini.”

Belva melangkah melewati gue dan meletakkan sebuket bunga mawar merah disamping pot anggrek putih yang tadi gue letakkan di atas makam Key. Dia lakukan ritual doanya beberapa saat.

“Apa kabar, Kak Raya?”

Belva tersenyum lebar, lalu menghampiri gue dan mencium pipi gue.

“Sudah selesai?”

Gue mengangguk. Kami berjalan beriringan dalam diam. Hanya suara roda kursi yang melindas jalanan beraspal.

“Gimana rasanya?” Lirih gue. Matahari mulai menukik di barat, membuat nisan-nisan berwarna abu-abu gelap.

“Rasa apa?" Tanyanya polos.

"Membunuh Rudi?” Simpulnya saat gue tetap diam.

"Akhirnya Kakak tau juga."

Gue hentikan laju kursi roda gue dan menatap punggungnya. Norra sudah memberitahu gue bahwa Belva yang melakukannya, gue hanya ingin mendengarnya langsung.

Belva dengan tangan masih di dalam saku hoodie-nya berhenti beberapa langkah di hadapan gue. Dia membalikkan tubuh kurusnya menghadap gue, sorot matanya tampak gelap dan wajahnya dingin.

“I had a chance to do it, so I did it. Does it matter now? Lagipula, itu yang Kakak inginkan kan?”

Belva mendekat dan berlutut di hadapan gue.

“I love you and I will do anything for you! Percayalah, apapun yang harus aku lakukan untuk Kak Raya, akan aku lakukan dan itu membuat aku happy!”

“Termasuk membunuh?”

“Dia pantas dapatkan itu. Untuk Key dan Raya muda, dia pantas dapatkan itu. Kakak janji akan lindungi aku dan jaga aku selamanya, aku juga akan melakukan yang sama. Now, you are mine. Forever mine.”


Quote:


How can I say this without breaking?
How can I say this without taking over?
How can I put it down into words
When it's almost too much for my soul alone?

I loved and I loved and I lost you
I loved and I loved and I lost you
I loved and I loved and I lost you
And it hurts like hell
Yeah it hurts like hell

I don't want them to know the secrets
I don't want them to know the way I loved you
I don't think they'd understand it, no
I don't think they would accept me, no

I loved and I loved and I lost you
I loved and I loved and I lost you
I loved and I loved and I lost you
And it hurts like hell
Yeah, it hurts like hell

Dreams fight with machines
Inside my head like adversaries
Come wrestle me free
Clean from the war
Your heart fits like a key
Into the lock on the wall
I turn it over, I turn it over
But I can't escape
I turn it over, I turn it over

I loved and I loved and I lost you
I loved and I loved and I lost you
I loved and I loved and I lost you
And it hurts like hell






=THE END=
Diubah oleh ladeedah 13-08-2019 03:44
S.HWijayaputra
oshinchova
duridur
duridur dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.