- Beranda
- Stories from the Heart
Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN
...
TS
gelandangan143
Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN
Assalamualaikum wr. wb.
Salam sejahtera semuanya. Mohon ijin untuk menceritakan ulang Kisah Sang Guru yg bermuatan banyak pelajaran Hikmah kehidupan yg bermuatan Religi, Supranatural dan Spiritual.
Index Thread :
Sebuah Kisah Nyata Perjalanan Hidup, Spiritual & Supranatural

CHAPTER 1
Pagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. Di lereng gunung sebelah selatan, nampak berjejer kobong pondokan santri tak teratur. Sayup terdengar suara wirid para santri di bagian tengah pondokan, rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian dihamparkan dengan rapi, sehingga kalau diinjak kaki akan terdengar bunyi derit bambu yang khas. Nampak para santri yang jumlahnya 15 orang duduk melingkar khusuk dalam wiridnya.
Sang Kyai yang juga ada dalam lingkaran juga duduk bersila, orang tak akan menyangka mana Kyai mana murid. Sebab semua sama, hanya ketika Sang Kyai mengangkat tangannya dan wirid semuanya berhenti. Kemudian Sang Kyai menyuruh wirid yang lain, santri pun melanjutkan. Orang tak akan menyangka yang disebut Kyai ini seorang remaja, kira-kira umurnya 12 tahun, kulitnya putih bersih, dengan wajah biasa, namun memancarkan wibawa yang tiada taranya. Presiden sekalipun akan dibuat tunduk bila berdiri di hadapannya.
Di sebelah rumah Sang Kyai ada rumah bambu lagi yang lumayan besar, dindingnya dari kerai, yaitu bambu yang disisik halus kecil-kecil kemudian disusun rapi dengan tambang, sehingga bisa dibuka tutup dengan digulung, dalamnya juga beralaskan bambu seperti di rumah Kyai, nampak banyak orang lelaki tiduran dengan nyenyak. Mereka ada sekitar 20 orang, kesemuanya lelaki. Karena tempat para tamu perempuan ada tempatnya sendiri.
Para tamu ini bukanlah orang yang biasa-biasa. Seperti pak Udin, yang seorang tentara yang punya kedudukan di angkatan udara. Pak Yusup yang seorang jaksa dari Jakarta, juga ada para pemilik perusahaan raksasa di Indonesia. Ada lagi yang aku tidak tahu, kata temanku dua orang menteri, seorang duta besar, juga ada artis, tukang cukur rambut, tukang es keliling dan lain-lain, semua tidur sama kedudukannya.
Siapakah sebenarnya Sang Kyai, akupun tak tau pasti. Yang ku tau lelaki muda usia itu, sering dipanggil Kyai Lentik, dari ayahnya nasabnya sampai Sunan Gunung Jati, dari ibunya sampai ke Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.
Kyai yang tuturnya lembut berkasih sayang kepada siapa saja. Pagi itu seperti biasa, mbok Titing, janda tua penjual sarapan pagi nasi uduk lewat di depan rumah Kyai. Umur tua dan tubuh yang mulai bongkok ditambah rinjing di punggungnya yang penuh dengan nasi uduk bungkus diikat dengan selendang, tangan kanannya menjinjing tas krawangan berisi lauk pauk.
Seperti biasa pula, nenek tua itu berhenti di depan pintu Kyai sambil menawarkan dagangannya, sekalipun dia tau bahwa Kyai Lentik tiap hari puasa, nenek itu hanya menunggu Kyai menjawab teriakannya menawarkan dagangannya, meser Kyai? ndak bogah duwit mbok. Dan cuma itu jawaban Kyai, sudah membuat girang bukan main, dan segera berlalu, tersenyum bahagia dan tak sampai setengah jam dagangannya sudah habis ludes dibeli orang. Nenek itu sangat murung, apabila dia menawarkan dagangannya di depan pintu Kyai, tapi Kyai ternyata pergi, itu baginya berarti perjuangan seharian menawarkan dagangan, dan itupun belum tentu habis, itulah tiap pagi yang terjadi di pondok Pacung, lereng gunung putri.
Masih banyak kejadian yang kadang tak masuk di akal di balik kesederhanaan Sang Kyai. Waktu maghrib itu, santri yang menjalankan puasa, telah selesai berbuka dengan singkong rebus dan air putih, seperti biasa juga Kyai ikut berbuka dengan kami dengan beralaskan daun pisang singkong yang sudah masak dituang di atas daun pisang dan dinikmati bersama-sama sambil jongkok, tak ada yang istimewa, tak ada pecel lele Lamongan, rendang Padang, soto Madura, soto babat bahkan nasi pun tak ada.
Tapi tak pernah kami perduli, itu hanya makan, lebih baik makan apa adanya tapi untuk beribadah, daripada makan yang enak-enak ujung-ujungnya untuk berbuat maksiat. Setelah makan kami mengelilingi toples yang berisi tembakau, itu barang berharga kami, tembakau oleh-oleh dari Lukman yang pulang dari ngejalani ngedan, kami semua mengalami, yaitu pergi tanpa bekal, menyerahkan diri di kehendak Allah, pakaian compang-camping, sambil terus di hati mengingat Allah, berjalan kemanapun kaki melangkah, tanpa tujuan kecuali Allah, kalau lapar tak boleh meminta pada siapapun kecuali Allah, kadang mencari makan dari mengorek sampah, tidur kadang di hutan, sawah juga kuburan.
Nah, pada waktu itu setiap ada yang ngejalani, santri pada memesan uthis yaitu puntung rokok, di jalan, dikumpulkan sampai satu kresek nanti dibawa pulang, sampai di pondok dibuka satu-satu dipisahkan tembakau dan kertas rokoknya. Aku mengambil kertas koran lalu membuat lintingan, dari korek kapuk kunyalakan kuhisap dalam dan asap pun bergumpal-gumpal keluar dari hidung dan mulutku, kadang kutiupkan asap sambil asap mengepul dari tembakau dan bau kertas koran yang terbakar, aku menengadah, sambil meresapi asap keluar dari mulutku, seakan suatu kenikmatan tiada tara, santri yang laen juga sepertiku.
Saat aku menengadahkan wajah entah untuk yang keberapa kali, kulihat melayang bayangan hitam di antara pohon kelapa yang banyak bertebaran, aku kaget sekali, jelas bayangan itu manusia yang melayang tak terlalu cepat, karena saat petang maka bayangan itu kelihatan hitam. Bayangan itu melintasi pohon jengkol di dekat dapur sebelah kanan rumah Kyai, lalu melayang dengan indah turun di depan rumah Kyai. Kami segera memburu ke arah orang itu, yang sejak tadi kami ribut menebak-nebak apa sebenarnya. Deg-degan kami menghampiri, ternyata bayangan yang terbang itu seorang wanita tua, rambutnya semua memutih, dia terbang menggunakan sajadah, jelas bahwa ilmu meringankan tubuhnya teramat tinggi, yang mungkin kalau sekarang kami tidak melihat dengan mata kepala kami sendiri, tentu kami akan menyangka ilmu seperti itu hanya ada di cerita silat, atau film di televisi, arahan imajinasi.
Kami semua melongo melihat perempuan itu melipat sajadah yang tadi digunakan untuk terbang, aku teringat kisah aladin, tapi ini nyata, perempuan tua tinggi kurus, berpakaian putih kusam ringkas membentak,
“Dimana Kyai Lentik, aku ingin mengadu ilmu.”
“Nyai siapa?” kataku menguasai keterkejutan.
“ah mana Kyai Lentik? Hai Kyai keluar!!” katanya, karena menantang-nantang dan sama sekali tak memperdulikan kata-kataku, aku pun segera bergegas menghadap Kyai, yang aku yakini tengah berada di musolla menunggu sholat berjama’ah.
Aku kawatir perempuan tua itu ilmunya teramat tinggi, bagaimana nanti Kyai menghadapinya, setahuku Kyai tak punya ilmu kanuragan, juga tak pernah mengajarkan kanuragan, tapi memang kalau dipikir-pikir aneh juga, kami para santri, tak pernah dilatih kanuragan, ilmu silat apapun kami tak tahu, karena memang di pesantren Pacung ini kami hanya diajar bagaimana mendekatkan diri pada Allah, bukan lewat teori tapi praktek, bagaimana bertawakal, syukur, houf, rojak, dan bagaimana membersihkan hati dari segala sifat yang menjadi penyakit hati.
Tapi para penduduk sekitar juga para tamu yang datang, selalu berkeyakinan kalau pesantren ini adalah pesantren kanuragan, yang muridnya sakti-sakti kebal senjata, bisa terbang dan cerita-cerita yang dilebih-lebihkan, aku masih takut bagaimana jadinya kalau Kyai bertarung dengan nenek sakti ini? Selama ini yang aku tahu Kyai sangat menguasai ilmu pengobatan, sakit apapun, dari sakit gila, sakit luar, penyakit dalam, sampai penyakit kena santet, kena guna-guna kena jin, kena narkoba, semua bisa disembuhkan, orang pengen jadi lurah, camat, bupati, gubernur, sampai mau jadi presiden larinya ke Kyai, dan Kyai hanya mendo’akan saja, tapi kalau ilmu kanuragan, aji kesaktian, aku tak tau, aku jadi ingat ada seorang tentara mau dikirim menjadi pasukan. Pasukan penjaga perdamaian di Kuwait namanya Iqbal, dia datang dengan tamu yang lain mau meminta sareat ilmu kekebalan, dia ngantri dengan tamu yang lain lalu menghadap Kyai, pas giliran si Iqbal, Kyai bicara sebelum Iqbal ngomong.
Begitulah Kyai selalu tahu maksud kedatangan orang sebelum orang itu menyampaikan maksudnya. Bahkan tahu hari, tanggal, tahun kelahiran serta siapa bapak ibunya. Bahkan orang itu habis melakukan maksiat apa Kyai pun tahu, dan kadang diucapkan Kyai tanpa tedeng aling-aling. Begitu saja mengalir.
Aku jadi ingat waktu aku pertama kali, datang ketempat Kyai. Kyai mengupas aku habis-habisan tentang pacar-pacarku. Apa yang kulakukan dengan si Hani, dengan Umi, dengan si Dyah dengan si Faty, Dina, semua disebutkan satu-satu oleh Kyai plus nama orang tua gadis itu. Jelas membuatku jengah, malu dan aku yang sebelumnya datang ke pesantren ini karena bekerja yaitu membuat kaligrafi dari semen, akhirnya memutuskan untuk mondok dan belajar ilmu dari Kyai.
Bersambung ke Chapter 2
Salam sejahtera semuanya. Mohon ijin untuk menceritakan ulang Kisah Sang Guru yg bermuatan banyak pelajaran Hikmah kehidupan yg bermuatan Religi, Supranatural dan Spiritual.
Index Thread :
Spoiler for Index Thread :
Sebuah Kisah Nyata Perjalanan Hidup, Spiritual & Supranatural

CHAPTER 1
Pagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. Di lereng gunung sebelah selatan, nampak berjejer kobong pondokan santri tak teratur. Sayup terdengar suara wirid para santri di bagian tengah pondokan, rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian dihamparkan dengan rapi, sehingga kalau diinjak kaki akan terdengar bunyi derit bambu yang khas. Nampak para santri yang jumlahnya 15 orang duduk melingkar khusuk dalam wiridnya.
Sang Kyai yang juga ada dalam lingkaran juga duduk bersila, orang tak akan menyangka mana Kyai mana murid. Sebab semua sama, hanya ketika Sang Kyai mengangkat tangannya dan wirid semuanya berhenti. Kemudian Sang Kyai menyuruh wirid yang lain, santri pun melanjutkan. Orang tak akan menyangka yang disebut Kyai ini seorang remaja, kira-kira umurnya 12 tahun, kulitnya putih bersih, dengan wajah biasa, namun memancarkan wibawa yang tiada taranya. Presiden sekalipun akan dibuat tunduk bila berdiri di hadapannya.
Di sebelah rumah Sang Kyai ada rumah bambu lagi yang lumayan besar, dindingnya dari kerai, yaitu bambu yang disisik halus kecil-kecil kemudian disusun rapi dengan tambang, sehingga bisa dibuka tutup dengan digulung, dalamnya juga beralaskan bambu seperti di rumah Kyai, nampak banyak orang lelaki tiduran dengan nyenyak. Mereka ada sekitar 20 orang, kesemuanya lelaki. Karena tempat para tamu perempuan ada tempatnya sendiri.
Para tamu ini bukanlah orang yang biasa-biasa. Seperti pak Udin, yang seorang tentara yang punya kedudukan di angkatan udara. Pak Yusup yang seorang jaksa dari Jakarta, juga ada para pemilik perusahaan raksasa di Indonesia. Ada lagi yang aku tidak tahu, kata temanku dua orang menteri, seorang duta besar, juga ada artis, tukang cukur rambut, tukang es keliling dan lain-lain, semua tidur sama kedudukannya.
Siapakah sebenarnya Sang Kyai, akupun tak tau pasti. Yang ku tau lelaki muda usia itu, sering dipanggil Kyai Lentik, dari ayahnya nasabnya sampai Sunan Gunung Jati, dari ibunya sampai ke Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.
Kyai yang tuturnya lembut berkasih sayang kepada siapa saja. Pagi itu seperti biasa, mbok Titing, janda tua penjual sarapan pagi nasi uduk lewat di depan rumah Kyai. Umur tua dan tubuh yang mulai bongkok ditambah rinjing di punggungnya yang penuh dengan nasi uduk bungkus diikat dengan selendang, tangan kanannya menjinjing tas krawangan berisi lauk pauk.
Seperti biasa pula, nenek tua itu berhenti di depan pintu Kyai sambil menawarkan dagangannya, sekalipun dia tau bahwa Kyai Lentik tiap hari puasa, nenek itu hanya menunggu Kyai menjawab teriakannya menawarkan dagangannya, meser Kyai? ndak bogah duwit mbok. Dan cuma itu jawaban Kyai, sudah membuat girang bukan main, dan segera berlalu, tersenyum bahagia dan tak sampai setengah jam dagangannya sudah habis ludes dibeli orang. Nenek itu sangat murung, apabila dia menawarkan dagangannya di depan pintu Kyai, tapi Kyai ternyata pergi, itu baginya berarti perjuangan seharian menawarkan dagangan, dan itupun belum tentu habis, itulah tiap pagi yang terjadi di pondok Pacung, lereng gunung putri.
Masih banyak kejadian yang kadang tak masuk di akal di balik kesederhanaan Sang Kyai. Waktu maghrib itu, santri yang menjalankan puasa, telah selesai berbuka dengan singkong rebus dan air putih, seperti biasa juga Kyai ikut berbuka dengan kami dengan beralaskan daun pisang singkong yang sudah masak dituang di atas daun pisang dan dinikmati bersama-sama sambil jongkok, tak ada yang istimewa, tak ada pecel lele Lamongan, rendang Padang, soto Madura, soto babat bahkan nasi pun tak ada.
Tapi tak pernah kami perduli, itu hanya makan, lebih baik makan apa adanya tapi untuk beribadah, daripada makan yang enak-enak ujung-ujungnya untuk berbuat maksiat. Setelah makan kami mengelilingi toples yang berisi tembakau, itu barang berharga kami, tembakau oleh-oleh dari Lukman yang pulang dari ngejalani ngedan, kami semua mengalami, yaitu pergi tanpa bekal, menyerahkan diri di kehendak Allah, pakaian compang-camping, sambil terus di hati mengingat Allah, berjalan kemanapun kaki melangkah, tanpa tujuan kecuali Allah, kalau lapar tak boleh meminta pada siapapun kecuali Allah, kadang mencari makan dari mengorek sampah, tidur kadang di hutan, sawah juga kuburan.
Nah, pada waktu itu setiap ada yang ngejalani, santri pada memesan uthis yaitu puntung rokok, di jalan, dikumpulkan sampai satu kresek nanti dibawa pulang, sampai di pondok dibuka satu-satu dipisahkan tembakau dan kertas rokoknya. Aku mengambil kertas koran lalu membuat lintingan, dari korek kapuk kunyalakan kuhisap dalam dan asap pun bergumpal-gumpal keluar dari hidung dan mulutku, kadang kutiupkan asap sambil asap mengepul dari tembakau dan bau kertas koran yang terbakar, aku menengadah, sambil meresapi asap keluar dari mulutku, seakan suatu kenikmatan tiada tara, santri yang laen juga sepertiku.
Saat aku menengadahkan wajah entah untuk yang keberapa kali, kulihat melayang bayangan hitam di antara pohon kelapa yang banyak bertebaran, aku kaget sekali, jelas bayangan itu manusia yang melayang tak terlalu cepat, karena saat petang maka bayangan itu kelihatan hitam. Bayangan itu melintasi pohon jengkol di dekat dapur sebelah kanan rumah Kyai, lalu melayang dengan indah turun di depan rumah Kyai. Kami segera memburu ke arah orang itu, yang sejak tadi kami ribut menebak-nebak apa sebenarnya. Deg-degan kami menghampiri, ternyata bayangan yang terbang itu seorang wanita tua, rambutnya semua memutih, dia terbang menggunakan sajadah, jelas bahwa ilmu meringankan tubuhnya teramat tinggi, yang mungkin kalau sekarang kami tidak melihat dengan mata kepala kami sendiri, tentu kami akan menyangka ilmu seperti itu hanya ada di cerita silat, atau film di televisi, arahan imajinasi.
Kami semua melongo melihat perempuan itu melipat sajadah yang tadi digunakan untuk terbang, aku teringat kisah aladin, tapi ini nyata, perempuan tua tinggi kurus, berpakaian putih kusam ringkas membentak,
“Dimana Kyai Lentik, aku ingin mengadu ilmu.”
“Nyai siapa?” kataku menguasai keterkejutan.
“ah mana Kyai Lentik? Hai Kyai keluar!!” katanya, karena menantang-nantang dan sama sekali tak memperdulikan kata-kataku, aku pun segera bergegas menghadap Kyai, yang aku yakini tengah berada di musolla menunggu sholat berjama’ah.
Aku kawatir perempuan tua itu ilmunya teramat tinggi, bagaimana nanti Kyai menghadapinya, setahuku Kyai tak punya ilmu kanuragan, juga tak pernah mengajarkan kanuragan, tapi memang kalau dipikir-pikir aneh juga, kami para santri, tak pernah dilatih kanuragan, ilmu silat apapun kami tak tahu, karena memang di pesantren Pacung ini kami hanya diajar bagaimana mendekatkan diri pada Allah, bukan lewat teori tapi praktek, bagaimana bertawakal, syukur, houf, rojak, dan bagaimana membersihkan hati dari segala sifat yang menjadi penyakit hati.
Tapi para penduduk sekitar juga para tamu yang datang, selalu berkeyakinan kalau pesantren ini adalah pesantren kanuragan, yang muridnya sakti-sakti kebal senjata, bisa terbang dan cerita-cerita yang dilebih-lebihkan, aku masih takut bagaimana jadinya kalau Kyai bertarung dengan nenek sakti ini? Selama ini yang aku tahu Kyai sangat menguasai ilmu pengobatan, sakit apapun, dari sakit gila, sakit luar, penyakit dalam, sampai penyakit kena santet, kena guna-guna kena jin, kena narkoba, semua bisa disembuhkan, orang pengen jadi lurah, camat, bupati, gubernur, sampai mau jadi presiden larinya ke Kyai, dan Kyai hanya mendo’akan saja, tapi kalau ilmu kanuragan, aji kesaktian, aku tak tau, aku jadi ingat ada seorang tentara mau dikirim menjadi pasukan. Pasukan penjaga perdamaian di Kuwait namanya Iqbal, dia datang dengan tamu yang lain mau meminta sareat ilmu kekebalan, dia ngantri dengan tamu yang lain lalu menghadap Kyai, pas giliran si Iqbal, Kyai bicara sebelum Iqbal ngomong.
Begitulah Kyai selalu tahu maksud kedatangan orang sebelum orang itu menyampaikan maksudnya. Bahkan tahu hari, tanggal, tahun kelahiran serta siapa bapak ibunya. Bahkan orang itu habis melakukan maksiat apa Kyai pun tahu, dan kadang diucapkan Kyai tanpa tedeng aling-aling. Begitu saja mengalir.
Aku jadi ingat waktu aku pertama kali, datang ketempat Kyai. Kyai mengupas aku habis-habisan tentang pacar-pacarku. Apa yang kulakukan dengan si Hani, dengan Umi, dengan si Dyah dengan si Faty, Dina, semua disebutkan satu-satu oleh Kyai plus nama orang tua gadis itu. Jelas membuatku jengah, malu dan aku yang sebelumnya datang ke pesantren ini karena bekerja yaitu membuat kaligrafi dari semen, akhirnya memutuskan untuk mondok dan belajar ilmu dari Kyai.
Bersambung ke Chapter 2
Diubah oleh gelandangan143 23-08-2019 07:26
ir.rahma92 dan 37 lainnya memberi reputasi
30
62.7K
226
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
gelandangan143
#81
CHAPTER 11
Aku segera ambil wudhu dan duduk membaca wirid, yang kubaca surah waqi’ah 15 kali, untung aku telah hafal di luar kepala, jadi setengah jam pun selesai, dengan kesungguhan aku berdoa. Lalu keluar, pas nyampai di tempat majang lukisan, sebuah mobil kijang warna biru gelap berhenti. Seorang pemuda turun dari mobil menghampiri.
“Mas lukisannya harganya berapaan?” tanyanya.
“Duaratus ribu mas.” jawabku.
“Udah borong aja semua.” suara lelaki dari dalam mobil.
“Udah mas, saya borong semua, tolong diangkut ke dalam mobil.” kata pemuda itu, yang mengejutkanku, apalagi Renges, dia dalam keadaan jongkok, kulihat matanya melotot, atau kayak orang mau boker.
“Udah Nges, ayo diangkut ke dalam mobil, tunggu apa lagi.” kataku mengejutkannya. Kami segera mengangkut lukisan ke dalam mobil, dan di dalam mobil ada lelaki dan perempuan setengah baya, sebentar kami ngobrol dan aku diberi kartu nama, lelaki paruh baya itu bernama bapak Suwandi, pengusaha mebel dari Jepara.
Ah yang penting lukisanku telah laku, setelah sholat magrib kamipun pulang ke kontrakan, tak lupa makan dulu di warung Padang, pesen rendang kesukaanku, Renges sampai habis tiga piring. Dan kami melenggang pulang dengan kelegaan di hati, uang ada, rokok di tangan. Ah mau apa lagi, yah kami butuh istirahat, atas penat beban pikiran karena harapan yang dipaksakan.
“Sekarang menurutmu Alloh ada di Jakarta tidak Nges?” tanyaku pada Renges. Ketika kami ada di dalam angkot.
“Iya, iya ada…” jawabnya sambil ketawa, yang tak ada manisnya sama sekali.
“Alloh itu ada, dan selalu ada, tak pernah melupakan kita, kita aja yang melupakan Dia, kuasanya bisa menggerakkan hati siapa aja, buktinya pada hati orang Jepara tadi.” kataku setengah berfilsafat.
“Iya, iya… Kamu memang anak pesantren, jadi lebih ngerti, tapi aku lelah banget nih, kotbahnya nanti aja lah, sekarang aku yakin aja, nebeng di keyakinanmu, wong juga sudah ngelihat buktinya.” katanya sambil nyedot rokok Djisamsoe.
Setelah hari itu, aku pun dapat job lukisan, juga kaligrafi kaca. Sehingga kami tak perlu untuk pergi menyusuri lorong, melewati jalan-jalan, menawarkan pada setiap orang yang kami temui. Karena orang yang akan memesan lukisan sudah datang sendiri ke kontrakan di Cipinang muara. Jadi aku tinggal beli material, dan mengerjakan pesanan, tapi aku ingat tujuanku sebelumnya. Maka setelah ku rasa cukup, aku pun kembali ke pesantren dengan uang lumayan.
Pagi itu aku menghadap Kyai, setelah sebulan di pesantren aku ingin pulang sekaligus ngamalkan ‘ngedan’ dari rumah, karena kepasrahanku pada ALLOH, masih butuh penggemblengan, mengingat masih ada keraguan atas berserahku pada Alloh, kelabilan jiwaku, atas tawakal, yang belum sebenar-benarnya, dan Kyai pun mengijinkan.
Tanpa menunggu lama aku pun berangkat pulang, dengan naik bus jurusan Kalideres, lalu ganti metro mini ke Pulogadung, baru naik bus ke Tuban, daerahku. Sampai di rumah aku disambut pelukan ibuku, ditanya ini itu, dan diceritai tentang pacar-pacarku dulu yang datang ke rumah, minta ijin menikah, aneh-aneh aja. Juga lek Mukhsin yang saban hari datang minta ditulari ilmu, kang Murikan, juga teman-temanku silih berganti datang, juga orang-orang yang datang minta diobati. Baru seminggu di rumah, aku pamitan pada kedua orang tuaku, pergi dengan alasan menjual kaligrafi. Untung di rumah ada kaligrafi banyak. Dan saat itu yang ku ajak temanku Majid, karena kaligrafi yang banyak kami pun berangkat, pas kebetulan habis hari raya, jadi dalam bulan Syawal, yang ku tuju adalah Rembang, di taman Kartini, walau aku tak ngomong jujur pada Majid kalau aku akan ngejalani ngedan.
Sampai di taman Kartini, kami segera memajang lukisan. Dan kaligrafi. Sehari semalam kami tungguin, tak juga ada yang membeli. Nawar juga cuma satu orang. Ah apakah karena niatku ngedan tak murni, ku tunggangi dengan niat yang lain? Entahlah. Malamnya kami tidur di masjid Rembang, sebelah alun-alun. Dan paginya Majid ku ajak menawarkan lukisan dari pintu ke pintu, tapi tak juga ada yang beli. Ah sial amat, sampai siang itu aku dan Majid nyampai di desa Peterongan. Seperti biasa aku menawarkan lukisan dari pintu ke pintu.
“Feb… Febri… Febrian….!” ada 3 cewek cantik berlari-lari dari rumah memanggil namaku, aku dan Majid yang tengah berjalan pun berhenti. Aku dan Majid berdiri mematung, heran! Kenapa ada cewek cantik-cantik siang-siang kerasukan, sampai mengenalku, ah bener-bener aneh.
“Iya bener Febri,” kata cewek satu, tinggi, langsing berkulit sawo mateng, berhidung kyak orang luar, berbibir tipis, setelah ku tau namanya Tia, kepada cewek jangkung, berkulit putih pucat, kayak orang Cina, bermata sipit, apalagi kalau ketawa matanya makin hilang, namanya Karti, dan yang larinya paling belakang, adiknya Tia, baru SMP kelas tiga, namanya Lola, orangnya imut.
“Heeh, gak salah, Febri.” kata Karti.
“Buktinya juga, kita panggil langsung berhenti, berarti iya.” tambahnya.
“Bener kan kamu Febri..?” kata Tia ketika telah nyampai di depanku.
“Bener namaku Febri, tapi mungkin bukan orang yang kalian maksud.” jawabku, takut ada kesalahfahaman. Sementara Majid malah bengong terlongong-longong di dekatku, kayak orang kesambet.
“Ah tak mungkin salah, wong kami ini udah kompak, mengidolakanmu sejak dulu…” kata Karti ngotot. Oo, rupanya idolaku. Ah ada lagi.
“Wah bener-bener, kalian salah orang…” kataku mencoba menghindar,
“Bener, kami tak salah, dagunya, hidungnya, mulutnya, rambut panjangnya, wah tak salah..” kata Tia menelitiku satu-satu.
“Udah kita bawa kerumah aja, pasti cocok.” kata Karti yang segera memegang pergelangan tanganku dan menariknya. Terpaksa aku ngikut aja. Sampai di rumah Tia aku didudukkan dan ditunjukkan berbagai majalah yang ada tulisan plus fotoku, terang aja aku tak bisa menghindar, kecuali menjawab “iya”. Kontan ketiga cewek berebutan memelukku, menciumku, mencubit pipiku, aku diserang mendadak, tentu saja tak bisa menghindar, Astagfirulloh, moga-moga tak dicatat termasuk dosaku. Ya kalau dianggap dosa, diampunkan oleh Alloh.
“Ih Febri, kami gemes..!” kata Tia mencubitku,
“Udah-udah,” kataku kikuk. Emang repot jadi terkenal.
“Mas Febri, sekarang lagi apa nyampek sini?” tanya Karti.
“Wah pasti lagi cari bahan untuk bikin cerita terbaru, iya kan?” kata Tia mengerling.
“Nah masukin dong kita pada cerita terbarunya.”
“Tau aja kalian.” jawabku singkat, agar tak berbantahan, dan untuk Tia, karti, dan Lola, ini kalian udah ku bawa dalam cerita. Berarti aku udah tak punya hutang harapan pada kalian.
Kami berdua dijamu bak tamu kebesaran, bahkan makan mereka bertiga menyuapiku, huedan, bener-bener, padahal aku penulis kacangan, penulis angin-anginan, penulis kambuhan, lalu apa yang terjadi andai aku sekaliber Habiburrohman Assayrozi, atau misal saja aku artis terkenal.
Sore itu, kami jalan-jalan ke taman Kartini lagi, kulihat betapa bangganya mereka berjalan di sampingku, seakan berjalan dengan orang yang benar-benar terkenal, ah biarlah mereka menikmati daya hayal mereka. Aku tenang saja. Sementara Majid mengikuti dari belakang, kayak nunggu uang jatuh.
Aku diminta menginap, tapi aku tak mau, bisa berbahaya, maka kami berdua pamit, dan tak lupa menghadiahkan semua lukisan. Aku dan Majid pulang dengan kegagalan total. Sekarang aku memutuskan pergi sendiri, mungkin ini lebih baik, maka aku pamitan pada orang tuaku, ku bilang mau main ke rumah teman, pagi itu aku berangkat ke Bojonegoro, kemudian naik kereta api KRD jurusan Jakarta, aku memutuskan turun di daerah yang tak ku kenal, agar perjalananku tak tergantung pada siapa-siapa, uang di sakuku ku berikan pada pengemis semua, aku ingin kepasrahanku total pada Alloh. Ku pilih turun di Kradenan Purwodadi. Daerah pedalaman.
Aku mulai melangkahkan kaki tak tentu arah, tanpa bekal apapun, hanya kepasrahan, kepasrahan yang ku usahakan setotal mungkin, ya Alloh inilah aku, aku yang masih tertempeli keakuan yang menumpuk, aku yang berserah padamu lengkap dengan dosa-dosaku masa lalu, bila Kau tolak aku, aku sendirian, apapun tanggapanMu, apapun kehendakMu, aku adalah orang yang berusaha berserah. Jerit hatiku, di sela-sela kaki yang melangkah satu-satu. Aku terus berjalan, hanya berhenti, kalau waktu sholat datang, mampir ke masjid, dan menjalankan sholat, lalu berjalan lagi.
Malam telah tiba, aku yang tau jalan, sama sekali tak takut tersesat, karena tak punya tujuan, jadi apa yang harus disesatkan. Aku tak punya arah, jadi tak takut kehilangan arah, ku langkahkan saja kaki yang teramat lelah. Ketika waktu isyak aku coba mencari masjid, ketika bertanya pada orang, malah tak dijawab, tapi ditinggal pergi, tapi aku akhirnya menemukan mushola kecil, dan ada orang berjamaah, aku segera ambil wudhu dan ikut berjamaah, perut yang seharian ku isi air saja, terdengar berkrucukan saat aku sujud. Setelah sholat, semua orang pergi, tinggal aku sendiri, mengenang satu-satu perjalanan hidupku, sambil terus memutar tasbih, menuntaskan wiridku. Dan tanpa sadar aku pun roboh tertidur, padahal nyamuk-nyamuk besar mengeroyokku, tapi tak menggemingkan dalam tidurku.
Kira-kira jam 2 malam aku terbangun, karena dingin yang menusuk tulang, tapi aku kaget, karena telah berselimut, dan di sampingku ada obat nyamuk, pasti ada orang yang menyelimutiku saat aku lelap, aku pun pergi ke tempat wudhu. Dan menjalankan sholat malam, lalu wirid sampai tertidur lagi, waktu subuh terbangun, saat adzan dikumandangkan, dan mengikuti sholat subuh, lalu melakukan wirid biasa setelah subuh. Setelah wirid, matahari telah meninggi, aku keluar dari mushola, di depan mushola ada gadis umur 17 tahun, tengah menyapu halaman.
“Mas, itu ketela goreng dan kopinya dimakan,” kata gadis manis itu, sambil menunjukkan ketela goreng, dan segelas kopi hangat.
“Wah, makasih mbak, jadi ngrepotin aja.” kataku berbasa basi. Ah tanggungan dari Alloh, gak boleh ditolak, akupun lahap ketela, wah sayang tak ada rokok, yah kenapa, sejak kemaren aku lupa ngumpulin uthis, untuk sekedar ngerokok, setelah makan aku pun pamitan melanjutkan perjalanan. Kembali aku melangkah dan melangkah, cuma kali ini dengan harapan baru, harapan nemuin uthis, atau puntung rokok, harapan baru ini cukup membuatku sibuk, apa sih berharganya puntung rokok, cuma mungkin karena ada unsur kepentingan dunia, jadi membuatku benar-benar sibuk. Yah aku kadang sibuk mengikuti seseorang yang sedang merokok sambil berjalan. Terus ku kuntit kemanapun orang itu pergi, ku ikuti masuk gang dan jalan-jalan kecil, sampai orang itu membuang puntung rokoknya, yah kalau ternyata puntung yang di buang kecil, kadang sampai habis, aku menyumpah “pelit amat, kenapa gak dimakan sekalian gabusnya ditelan.” kataku jengkel. Dan kalau puntungnya panjang, aku seperti menemukan bongkahan emas. Begitulah terus. Aku betapa sibuknya, cuma karena puntung.
Tak terasa telah seharian aku berjalan, dan sampai di daerah pinggiran hutan, kubaca tulisan yang terpampang di regol desa, SELAMAT DATANG DI KEDUNG TUBAN.
Segera kucari masjid, tak begitu susah, karena adzan yang berkumandang, dan aku pun pergi ke masjid, mengikuti sholat berjama’ah, mungkin nanti malam bermalam di masjid ini, batinku, selesai sholat aku pun duduk di emperan masjid, ku ambil satu puntung rokok dan kunyalakan, dengan kenikmatan yang tersisa, inilah yang paling nikmat, menikmati ketidak punyaanku, kemiskinan tiada tara. Kepapaan tiada duanya. Tapi aku tak kawatir, dan tak takut, apapun yang menimpaku, terburuk sekalipun, aku akan terima dengan kelapangan dada. Aku tak takut karena kehilangan jabatan, karena aku tak punya kedudukan apa-apa, cuma jadi hansip pun enggak, aku tak takut kehilangan harta benda, karena uang cuilan satu rupiah pun tak punya, aku benar-benar tak punya apa-apa yang harus dibanggakan. Lapar? Haus? Aku telah yakin Alloh akan menanggungku, takut apa lagi?
Untuk menuju Alloh, ikuti sungai-sungai dzikir, walau menabrak batu kebosanan, aliran itu adalah sabar. Lintasi gersangnya padang puasa. Yang panasnya luruhkan hati yang melata. Rumputnya kadang kita cintai. Karena tumbuh dari kesenangan hati. Basuh jubahnya dengan istigfar. Kuatkan dengan sholawat. Lailahailallah, terbawa ke satu muara, ketenangan jiwa yang merana, khauqolah, tak ada yang mampu bergerak, dan tak ada yang dapat berhenti, keculi atas idzin-Nya. Tak ada yang lebih menyenangkan dari pada tenggelam di samudra makrifat. Bercumbu dengan kekasih yang telah lama dirindukan.
Ah kenapa aku malah menikmati puntung rokok, ah syetan telah hampir menundukkanku, dengan barang yang sebenarnya dibuang oleh orang lain, yah puntung rokok, apa sih berharganya puntung rokok? Aku segera membuang semua puntung rokok yang seharian ini ku kumpulkan dengan kecintaan dunia, dan segera mengambil air wudhu di samping masjid, kemudian duduk bersila memulai wirid-wiridku, mungkin baru beberapa jam, kudengar suara ramai di depan masjid, lelaki dan perempuan, lalu salah seorang menghampiriku.
“Maaf mas, mas ini harus menghadap kepala desa.” kata seorang pemuda umur 17an.
“Lho ada apa?” kataku heran.
“Wah kampung kami, sedang rawan, banyak maling, kami takut nanti mas disangka maling.”
“Oo.. begitu, ya udah mari menghadap.” kataku sambil beranjak berdiri. Kemudian diikuti sekitar 15 pemuda pemudi, ku dengar bisik-bisik yang menganggapku gila, ya tak salah memang saat itu, aku sendiri tak tau persis keadaanku, sudah beberapa hari tak mandi, rambutku juga panjang terurai, tak pernah kucuci, kulitku pasti hitam berdebu, juga pakaianku yang pasti entah bagaimana kotornya, karena tidur di sembarang tempat. Dianggap gila? Itulah yang ku harap, atau mungkin aku lebih tepatnya ingin dianggap bukan dari bagian dunia.
Sampai di tempat kepala desa aku pun ditanya ini, itu, ditanya KTP, ditanya langsung dicocokkan dengan KTP-ku, setelah itu aku diajak nonton latihan silat Kera Sakti. Aku santai saja duduk di kursi, sampai seorang gadis umur 18 tahun menghampiriku,
“Mas, ayo ke rumah makan dulu.” kata gadis itu, yang segera ku ikuti dari belakang, sampai di rumah kepala desa lagi, telah tersedia masakan opor ayam. Aku pun disuruh duduk, ditinggal makan sendiri. Malam itu, aku menginap di rumah kepala desa, tak ada yang istimewa, besoknya aku pamitan melanjutkan perjalanan. Jalan kaki, menulusuri jalan, tanpa tujuan. Tapi baru satu kilometer, berjalan, tiba sebuah sepeda motor Astrea berhenti, seorang gadis berseragam sekolah pengendaranya. Aku tak perduli, jalan saja, tapi gadis itu memanggilku,
“Mas Ian…” aku pun terpaksa berhenti, ternyata anak kepala desa yang waktu berkenalan denganku namanya Maftukhah.
“Eh embak…” kataku dengan panggilan menghormati, walau umurnya lebih muda dariku.
“La kok jalan kaki mas? Kenapa tak naik mobil aja?” tanyanya kawatir.
“Sebenarnya mau kemana sih?”
“Iya mbak, jalan kaki aja, dan aku tak punya tujuan.” jawabku agak lama, karena bingung, mau jawab bagaimana.
“Tak punya uang ya?” wah nanyanya yang enggak aja, mau ku jawab punya, jelas aku bohong, mau ku jawab tak punya, aku diam aja. Dia menyodorkan uang 20 ribuan,
“Ini ambil..!” katanya, tapi tak ku ambil,
“Kurang?” katanya, wah kenes juga nih gadis.
“Bukan, bukan itu maksudku, tak usah… aku…” aku jadi bingung. Dan dia sudah memasukkan uang ke sakuku. Yah udahlah dari pada gontok-gontokan tak ada ujung pangkalnya.
“Ayo naik ke motor, aku bonceng…, atau kamu yang di depan, aku dibonceng…”
“Ah tak usah mbak, biar aku jalan kaki aja,” kataku risih.
“Bener gak mau, kalau gitu, ya udah ku tinggal dulu.” kata Maftukhah. Yang segera berlalu dengan motornya, sementara aku melanjutkan berjalan, dengan terus dzikir tanpa henti, aku telah tak perduli apa di sekitarku, sampai jam 2 siang aku sampai di daerah Cepu. Segera ku cari warung makan, sekedar nyari pengganjal perut. Uang dari Maftukhah ku belikan nasi, dan setelah itu aku mencari masjid untuk sholat dzuhur. Selesai sholat dzuhur aku melanjutkan perjalanan lagi.
Sekitar jam limaan aku sampai di Padangan, kakiku telah pegal, dan butuh istirahat, aku mencari tempat duduk yang enak untuk menyelonjorkan kaki, agar darah di kaki tak menumpuk, kulihat regol depan rumah, tapi ada gadisnya seumuran 16 tahunan, aku gak jadi membelok, ku cari tempat yang lain saja, aku pun meneruskan perjalanan, tapi baru tiga empat langkah, gadis itu memanggilku,
“Mas Iyan…! Mas Iyan….” apa telingaku yang salah dengar, aku tetap melangkah, tapi suara gadis itu memanggil lagi, sekarang malah kenceng.
“Mas Iyan..!” Aku berhenti, ternyata memang gadis itu memanggilku, dia menghampiriku,
“Bener kan mas Febrian?” tanyanya dengan tersenyum, ah paling-paling penggemarku lagi.
“Benar namaku Febrian,” kataku tak ragu.
“Jadi…, jadi, bener? Ih tak disangka…” katanya dengan raut muka berbinar, ku taksir gadis ini baru kelas 1 SMA.
“Kok kamu tau namaku? Dan tau diriku?” tanyaku untuk meyakinkan dia pasti penggemar tulisan-tulisanku.
“Wah jadi orang terkenal, kok merendah gitu, ini juga pasti sedang mencari bahan tulisan, aku ini penggemarmu mas.” Benar memang dia salah satu penggemarku, yah memang manusia tak bisa lepas dari masa lalu. Masa lalu tetap saja akan selalu mengikuti, kemanapun kita pergi,
“Ayo ke rumah, wah jadi grogi didatangi penulis terkenal.” katanya menggandeng tanganku.
“Wah kalau mencari bahan tulisan, memang harus gini ya mas, sampai-sampai nggembel gitu.”
“Heeh” kataku sekenanya.
“Ck.. ck… Huebat..! Jadi penulis jadi berat ya mas..?”
“Ya jadi penulis kan setidaknya harus tau keadaan, situasi, kondisi yang akan kita tulis, jadi bisa menjiwai, bisa menyeret pembaca pada alur cerita.” kataku asal aja. Gadis itu bernama Yulianti. Dia membawaku ke ruang tamunya, dan dikenalkan pada kedua orang tuanya, yang ramah menyambutku, lama kami ngobrol tentang karya-karyaku.
Setelah sholat magrib aku pun pamitan, walau kedua orang tua Yulia, memintaku untuk menginap tapi aku tetap melanjutkan perjalanan, ku putuskan kembali ke Cepu. Aku akan menuju ke Ngawi saja, dan berharap untuk tak bertemu penggemar, ah kenapa rasanya dunia ini sempit, kemana-mana masih saja ada yang mengenalku. Jam 10 malam aku sampai di stasiun kereta api Cepu. Aku memutuskan tidur di stasiun saja. Setelah sholat isyak, ku selonjoran di kursi ruang tunggu setasiun. Mengenang satu demi satu perjalanan di antara dengung nyamuk yang mulai terasa mengerubutiku.
Bersambung ke Chapter 12
Index Thread : https://www.kaskus.co.id/show_post/5...d69573da0cbe6d
Aku segera ambil wudhu dan duduk membaca wirid, yang kubaca surah waqi’ah 15 kali, untung aku telah hafal di luar kepala, jadi setengah jam pun selesai, dengan kesungguhan aku berdoa. Lalu keluar, pas nyampai di tempat majang lukisan, sebuah mobil kijang warna biru gelap berhenti. Seorang pemuda turun dari mobil menghampiri.
“Mas lukisannya harganya berapaan?” tanyanya.
“Duaratus ribu mas.” jawabku.
“Udah borong aja semua.” suara lelaki dari dalam mobil.
“Udah mas, saya borong semua, tolong diangkut ke dalam mobil.” kata pemuda itu, yang mengejutkanku, apalagi Renges, dia dalam keadaan jongkok, kulihat matanya melotot, atau kayak orang mau boker.
“Udah Nges, ayo diangkut ke dalam mobil, tunggu apa lagi.” kataku mengejutkannya. Kami segera mengangkut lukisan ke dalam mobil, dan di dalam mobil ada lelaki dan perempuan setengah baya, sebentar kami ngobrol dan aku diberi kartu nama, lelaki paruh baya itu bernama bapak Suwandi, pengusaha mebel dari Jepara.
Ah yang penting lukisanku telah laku, setelah sholat magrib kamipun pulang ke kontrakan, tak lupa makan dulu di warung Padang, pesen rendang kesukaanku, Renges sampai habis tiga piring. Dan kami melenggang pulang dengan kelegaan di hati, uang ada, rokok di tangan. Ah mau apa lagi, yah kami butuh istirahat, atas penat beban pikiran karena harapan yang dipaksakan.
“Sekarang menurutmu Alloh ada di Jakarta tidak Nges?” tanyaku pada Renges. Ketika kami ada di dalam angkot.
“Iya, iya ada…” jawabnya sambil ketawa, yang tak ada manisnya sama sekali.
“Alloh itu ada, dan selalu ada, tak pernah melupakan kita, kita aja yang melupakan Dia, kuasanya bisa menggerakkan hati siapa aja, buktinya pada hati orang Jepara tadi.” kataku setengah berfilsafat.
“Iya, iya… Kamu memang anak pesantren, jadi lebih ngerti, tapi aku lelah banget nih, kotbahnya nanti aja lah, sekarang aku yakin aja, nebeng di keyakinanmu, wong juga sudah ngelihat buktinya.” katanya sambil nyedot rokok Djisamsoe.
Setelah hari itu, aku pun dapat job lukisan, juga kaligrafi kaca. Sehingga kami tak perlu untuk pergi menyusuri lorong, melewati jalan-jalan, menawarkan pada setiap orang yang kami temui. Karena orang yang akan memesan lukisan sudah datang sendiri ke kontrakan di Cipinang muara. Jadi aku tinggal beli material, dan mengerjakan pesanan, tapi aku ingat tujuanku sebelumnya. Maka setelah ku rasa cukup, aku pun kembali ke pesantren dengan uang lumayan.
Pagi itu aku menghadap Kyai, setelah sebulan di pesantren aku ingin pulang sekaligus ngamalkan ‘ngedan’ dari rumah, karena kepasrahanku pada ALLOH, masih butuh penggemblengan, mengingat masih ada keraguan atas berserahku pada Alloh, kelabilan jiwaku, atas tawakal, yang belum sebenar-benarnya, dan Kyai pun mengijinkan.
Tanpa menunggu lama aku pun berangkat pulang, dengan naik bus jurusan Kalideres, lalu ganti metro mini ke Pulogadung, baru naik bus ke Tuban, daerahku. Sampai di rumah aku disambut pelukan ibuku, ditanya ini itu, dan diceritai tentang pacar-pacarku dulu yang datang ke rumah, minta ijin menikah, aneh-aneh aja. Juga lek Mukhsin yang saban hari datang minta ditulari ilmu, kang Murikan, juga teman-temanku silih berganti datang, juga orang-orang yang datang minta diobati. Baru seminggu di rumah, aku pamitan pada kedua orang tuaku, pergi dengan alasan menjual kaligrafi. Untung di rumah ada kaligrafi banyak. Dan saat itu yang ku ajak temanku Majid, karena kaligrafi yang banyak kami pun berangkat, pas kebetulan habis hari raya, jadi dalam bulan Syawal, yang ku tuju adalah Rembang, di taman Kartini, walau aku tak ngomong jujur pada Majid kalau aku akan ngejalani ngedan.
Sampai di taman Kartini, kami segera memajang lukisan. Dan kaligrafi. Sehari semalam kami tungguin, tak juga ada yang membeli. Nawar juga cuma satu orang. Ah apakah karena niatku ngedan tak murni, ku tunggangi dengan niat yang lain? Entahlah. Malamnya kami tidur di masjid Rembang, sebelah alun-alun. Dan paginya Majid ku ajak menawarkan lukisan dari pintu ke pintu, tapi tak juga ada yang beli. Ah sial amat, sampai siang itu aku dan Majid nyampai di desa Peterongan. Seperti biasa aku menawarkan lukisan dari pintu ke pintu.
“Feb… Febri… Febrian….!” ada 3 cewek cantik berlari-lari dari rumah memanggil namaku, aku dan Majid yang tengah berjalan pun berhenti. Aku dan Majid berdiri mematung, heran! Kenapa ada cewek cantik-cantik siang-siang kerasukan, sampai mengenalku, ah bener-bener aneh.
“Iya bener Febri,” kata cewek satu, tinggi, langsing berkulit sawo mateng, berhidung kyak orang luar, berbibir tipis, setelah ku tau namanya Tia, kepada cewek jangkung, berkulit putih pucat, kayak orang Cina, bermata sipit, apalagi kalau ketawa matanya makin hilang, namanya Karti, dan yang larinya paling belakang, adiknya Tia, baru SMP kelas tiga, namanya Lola, orangnya imut.
“Heeh, gak salah, Febri.” kata Karti.
“Buktinya juga, kita panggil langsung berhenti, berarti iya.” tambahnya.
“Bener kan kamu Febri..?” kata Tia ketika telah nyampai di depanku.
“Bener namaku Febri, tapi mungkin bukan orang yang kalian maksud.” jawabku, takut ada kesalahfahaman. Sementara Majid malah bengong terlongong-longong di dekatku, kayak orang kesambet.
“Ah tak mungkin salah, wong kami ini udah kompak, mengidolakanmu sejak dulu…” kata Karti ngotot. Oo, rupanya idolaku. Ah ada lagi.
“Wah bener-bener, kalian salah orang…” kataku mencoba menghindar,
“Bener, kami tak salah, dagunya, hidungnya, mulutnya, rambut panjangnya, wah tak salah..” kata Tia menelitiku satu-satu.
“Udah kita bawa kerumah aja, pasti cocok.” kata Karti yang segera memegang pergelangan tanganku dan menariknya. Terpaksa aku ngikut aja. Sampai di rumah Tia aku didudukkan dan ditunjukkan berbagai majalah yang ada tulisan plus fotoku, terang aja aku tak bisa menghindar, kecuali menjawab “iya”. Kontan ketiga cewek berebutan memelukku, menciumku, mencubit pipiku, aku diserang mendadak, tentu saja tak bisa menghindar, Astagfirulloh, moga-moga tak dicatat termasuk dosaku. Ya kalau dianggap dosa, diampunkan oleh Alloh.
“Ih Febri, kami gemes..!” kata Tia mencubitku,
“Udah-udah,” kataku kikuk. Emang repot jadi terkenal.
“Mas Febri, sekarang lagi apa nyampek sini?” tanya Karti.
“Wah pasti lagi cari bahan untuk bikin cerita terbaru, iya kan?” kata Tia mengerling.
“Nah masukin dong kita pada cerita terbarunya.”
“Tau aja kalian.” jawabku singkat, agar tak berbantahan, dan untuk Tia, karti, dan Lola, ini kalian udah ku bawa dalam cerita. Berarti aku udah tak punya hutang harapan pada kalian.
Kami berdua dijamu bak tamu kebesaran, bahkan makan mereka bertiga menyuapiku, huedan, bener-bener, padahal aku penulis kacangan, penulis angin-anginan, penulis kambuhan, lalu apa yang terjadi andai aku sekaliber Habiburrohman Assayrozi, atau misal saja aku artis terkenal.
Sore itu, kami jalan-jalan ke taman Kartini lagi, kulihat betapa bangganya mereka berjalan di sampingku, seakan berjalan dengan orang yang benar-benar terkenal, ah biarlah mereka menikmati daya hayal mereka. Aku tenang saja. Sementara Majid mengikuti dari belakang, kayak nunggu uang jatuh.
Aku diminta menginap, tapi aku tak mau, bisa berbahaya, maka kami berdua pamit, dan tak lupa menghadiahkan semua lukisan. Aku dan Majid pulang dengan kegagalan total. Sekarang aku memutuskan pergi sendiri, mungkin ini lebih baik, maka aku pamitan pada orang tuaku, ku bilang mau main ke rumah teman, pagi itu aku berangkat ke Bojonegoro, kemudian naik kereta api KRD jurusan Jakarta, aku memutuskan turun di daerah yang tak ku kenal, agar perjalananku tak tergantung pada siapa-siapa, uang di sakuku ku berikan pada pengemis semua, aku ingin kepasrahanku total pada Alloh. Ku pilih turun di Kradenan Purwodadi. Daerah pedalaman.
Aku mulai melangkahkan kaki tak tentu arah, tanpa bekal apapun, hanya kepasrahan, kepasrahan yang ku usahakan setotal mungkin, ya Alloh inilah aku, aku yang masih tertempeli keakuan yang menumpuk, aku yang berserah padamu lengkap dengan dosa-dosaku masa lalu, bila Kau tolak aku, aku sendirian, apapun tanggapanMu, apapun kehendakMu, aku adalah orang yang berusaha berserah. Jerit hatiku, di sela-sela kaki yang melangkah satu-satu. Aku terus berjalan, hanya berhenti, kalau waktu sholat datang, mampir ke masjid, dan menjalankan sholat, lalu berjalan lagi.
Malam telah tiba, aku yang tau jalan, sama sekali tak takut tersesat, karena tak punya tujuan, jadi apa yang harus disesatkan. Aku tak punya arah, jadi tak takut kehilangan arah, ku langkahkan saja kaki yang teramat lelah. Ketika waktu isyak aku coba mencari masjid, ketika bertanya pada orang, malah tak dijawab, tapi ditinggal pergi, tapi aku akhirnya menemukan mushola kecil, dan ada orang berjamaah, aku segera ambil wudhu dan ikut berjamaah, perut yang seharian ku isi air saja, terdengar berkrucukan saat aku sujud. Setelah sholat, semua orang pergi, tinggal aku sendiri, mengenang satu-satu perjalanan hidupku, sambil terus memutar tasbih, menuntaskan wiridku. Dan tanpa sadar aku pun roboh tertidur, padahal nyamuk-nyamuk besar mengeroyokku, tapi tak menggemingkan dalam tidurku.
Kira-kira jam 2 malam aku terbangun, karena dingin yang menusuk tulang, tapi aku kaget, karena telah berselimut, dan di sampingku ada obat nyamuk, pasti ada orang yang menyelimutiku saat aku lelap, aku pun pergi ke tempat wudhu. Dan menjalankan sholat malam, lalu wirid sampai tertidur lagi, waktu subuh terbangun, saat adzan dikumandangkan, dan mengikuti sholat subuh, lalu melakukan wirid biasa setelah subuh. Setelah wirid, matahari telah meninggi, aku keluar dari mushola, di depan mushola ada gadis umur 17 tahun, tengah menyapu halaman.
“Mas, itu ketela goreng dan kopinya dimakan,” kata gadis manis itu, sambil menunjukkan ketela goreng, dan segelas kopi hangat.
“Wah, makasih mbak, jadi ngrepotin aja.” kataku berbasa basi. Ah tanggungan dari Alloh, gak boleh ditolak, akupun lahap ketela, wah sayang tak ada rokok, yah kenapa, sejak kemaren aku lupa ngumpulin uthis, untuk sekedar ngerokok, setelah makan aku pun pamitan melanjutkan perjalanan. Kembali aku melangkah dan melangkah, cuma kali ini dengan harapan baru, harapan nemuin uthis, atau puntung rokok, harapan baru ini cukup membuatku sibuk, apa sih berharganya puntung rokok, cuma mungkin karena ada unsur kepentingan dunia, jadi membuatku benar-benar sibuk. Yah aku kadang sibuk mengikuti seseorang yang sedang merokok sambil berjalan. Terus ku kuntit kemanapun orang itu pergi, ku ikuti masuk gang dan jalan-jalan kecil, sampai orang itu membuang puntung rokoknya, yah kalau ternyata puntung yang di buang kecil, kadang sampai habis, aku menyumpah “pelit amat, kenapa gak dimakan sekalian gabusnya ditelan.” kataku jengkel. Dan kalau puntungnya panjang, aku seperti menemukan bongkahan emas. Begitulah terus. Aku betapa sibuknya, cuma karena puntung.
Tak terasa telah seharian aku berjalan, dan sampai di daerah pinggiran hutan, kubaca tulisan yang terpampang di regol desa, SELAMAT DATANG DI KEDUNG TUBAN.
Segera kucari masjid, tak begitu susah, karena adzan yang berkumandang, dan aku pun pergi ke masjid, mengikuti sholat berjama’ah, mungkin nanti malam bermalam di masjid ini, batinku, selesai sholat aku pun duduk di emperan masjid, ku ambil satu puntung rokok dan kunyalakan, dengan kenikmatan yang tersisa, inilah yang paling nikmat, menikmati ketidak punyaanku, kemiskinan tiada tara. Kepapaan tiada duanya. Tapi aku tak kawatir, dan tak takut, apapun yang menimpaku, terburuk sekalipun, aku akan terima dengan kelapangan dada. Aku tak takut karena kehilangan jabatan, karena aku tak punya kedudukan apa-apa, cuma jadi hansip pun enggak, aku tak takut kehilangan harta benda, karena uang cuilan satu rupiah pun tak punya, aku benar-benar tak punya apa-apa yang harus dibanggakan. Lapar? Haus? Aku telah yakin Alloh akan menanggungku, takut apa lagi?
Untuk menuju Alloh, ikuti sungai-sungai dzikir, walau menabrak batu kebosanan, aliran itu adalah sabar. Lintasi gersangnya padang puasa. Yang panasnya luruhkan hati yang melata. Rumputnya kadang kita cintai. Karena tumbuh dari kesenangan hati. Basuh jubahnya dengan istigfar. Kuatkan dengan sholawat. Lailahailallah, terbawa ke satu muara, ketenangan jiwa yang merana, khauqolah, tak ada yang mampu bergerak, dan tak ada yang dapat berhenti, keculi atas idzin-Nya. Tak ada yang lebih menyenangkan dari pada tenggelam di samudra makrifat. Bercumbu dengan kekasih yang telah lama dirindukan.
Ah kenapa aku malah menikmati puntung rokok, ah syetan telah hampir menundukkanku, dengan barang yang sebenarnya dibuang oleh orang lain, yah puntung rokok, apa sih berharganya puntung rokok? Aku segera membuang semua puntung rokok yang seharian ini ku kumpulkan dengan kecintaan dunia, dan segera mengambil air wudhu di samping masjid, kemudian duduk bersila memulai wirid-wiridku, mungkin baru beberapa jam, kudengar suara ramai di depan masjid, lelaki dan perempuan, lalu salah seorang menghampiriku.
“Maaf mas, mas ini harus menghadap kepala desa.” kata seorang pemuda umur 17an.
“Lho ada apa?” kataku heran.
“Wah kampung kami, sedang rawan, banyak maling, kami takut nanti mas disangka maling.”
“Oo.. begitu, ya udah mari menghadap.” kataku sambil beranjak berdiri. Kemudian diikuti sekitar 15 pemuda pemudi, ku dengar bisik-bisik yang menganggapku gila, ya tak salah memang saat itu, aku sendiri tak tau persis keadaanku, sudah beberapa hari tak mandi, rambutku juga panjang terurai, tak pernah kucuci, kulitku pasti hitam berdebu, juga pakaianku yang pasti entah bagaimana kotornya, karena tidur di sembarang tempat. Dianggap gila? Itulah yang ku harap, atau mungkin aku lebih tepatnya ingin dianggap bukan dari bagian dunia.
Sampai di tempat kepala desa aku pun ditanya ini, itu, ditanya KTP, ditanya langsung dicocokkan dengan KTP-ku, setelah itu aku diajak nonton latihan silat Kera Sakti. Aku santai saja duduk di kursi, sampai seorang gadis umur 18 tahun menghampiriku,
“Mas, ayo ke rumah makan dulu.” kata gadis itu, yang segera ku ikuti dari belakang, sampai di rumah kepala desa lagi, telah tersedia masakan opor ayam. Aku pun disuruh duduk, ditinggal makan sendiri. Malam itu, aku menginap di rumah kepala desa, tak ada yang istimewa, besoknya aku pamitan melanjutkan perjalanan. Jalan kaki, menulusuri jalan, tanpa tujuan. Tapi baru satu kilometer, berjalan, tiba sebuah sepeda motor Astrea berhenti, seorang gadis berseragam sekolah pengendaranya. Aku tak perduli, jalan saja, tapi gadis itu memanggilku,
“Mas Ian…” aku pun terpaksa berhenti, ternyata anak kepala desa yang waktu berkenalan denganku namanya Maftukhah.
“Eh embak…” kataku dengan panggilan menghormati, walau umurnya lebih muda dariku.
“La kok jalan kaki mas? Kenapa tak naik mobil aja?” tanyanya kawatir.
“Sebenarnya mau kemana sih?”
“Iya mbak, jalan kaki aja, dan aku tak punya tujuan.” jawabku agak lama, karena bingung, mau jawab bagaimana.
“Tak punya uang ya?” wah nanyanya yang enggak aja, mau ku jawab punya, jelas aku bohong, mau ku jawab tak punya, aku diam aja. Dia menyodorkan uang 20 ribuan,
“Ini ambil..!” katanya, tapi tak ku ambil,
“Kurang?” katanya, wah kenes juga nih gadis.
“Bukan, bukan itu maksudku, tak usah… aku…” aku jadi bingung. Dan dia sudah memasukkan uang ke sakuku. Yah udahlah dari pada gontok-gontokan tak ada ujung pangkalnya.
“Ayo naik ke motor, aku bonceng…, atau kamu yang di depan, aku dibonceng…”
“Ah tak usah mbak, biar aku jalan kaki aja,” kataku risih.
“Bener gak mau, kalau gitu, ya udah ku tinggal dulu.” kata Maftukhah. Yang segera berlalu dengan motornya, sementara aku melanjutkan berjalan, dengan terus dzikir tanpa henti, aku telah tak perduli apa di sekitarku, sampai jam 2 siang aku sampai di daerah Cepu. Segera ku cari warung makan, sekedar nyari pengganjal perut. Uang dari Maftukhah ku belikan nasi, dan setelah itu aku mencari masjid untuk sholat dzuhur. Selesai sholat dzuhur aku melanjutkan perjalanan lagi.
Sekitar jam limaan aku sampai di Padangan, kakiku telah pegal, dan butuh istirahat, aku mencari tempat duduk yang enak untuk menyelonjorkan kaki, agar darah di kaki tak menumpuk, kulihat regol depan rumah, tapi ada gadisnya seumuran 16 tahunan, aku gak jadi membelok, ku cari tempat yang lain saja, aku pun meneruskan perjalanan, tapi baru tiga empat langkah, gadis itu memanggilku,
“Mas Iyan…! Mas Iyan….” apa telingaku yang salah dengar, aku tetap melangkah, tapi suara gadis itu memanggil lagi, sekarang malah kenceng.
“Mas Iyan..!” Aku berhenti, ternyata memang gadis itu memanggilku, dia menghampiriku,
“Bener kan mas Febrian?” tanyanya dengan tersenyum, ah paling-paling penggemarku lagi.
“Benar namaku Febrian,” kataku tak ragu.
“Jadi…, jadi, bener? Ih tak disangka…” katanya dengan raut muka berbinar, ku taksir gadis ini baru kelas 1 SMA.
“Kok kamu tau namaku? Dan tau diriku?” tanyaku untuk meyakinkan dia pasti penggemar tulisan-tulisanku.
“Wah jadi orang terkenal, kok merendah gitu, ini juga pasti sedang mencari bahan tulisan, aku ini penggemarmu mas.” Benar memang dia salah satu penggemarku, yah memang manusia tak bisa lepas dari masa lalu. Masa lalu tetap saja akan selalu mengikuti, kemanapun kita pergi,
“Ayo ke rumah, wah jadi grogi didatangi penulis terkenal.” katanya menggandeng tanganku.
“Wah kalau mencari bahan tulisan, memang harus gini ya mas, sampai-sampai nggembel gitu.”
“Heeh” kataku sekenanya.
“Ck.. ck… Huebat..! Jadi penulis jadi berat ya mas..?”
“Ya jadi penulis kan setidaknya harus tau keadaan, situasi, kondisi yang akan kita tulis, jadi bisa menjiwai, bisa menyeret pembaca pada alur cerita.” kataku asal aja. Gadis itu bernama Yulianti. Dia membawaku ke ruang tamunya, dan dikenalkan pada kedua orang tuanya, yang ramah menyambutku, lama kami ngobrol tentang karya-karyaku.
Setelah sholat magrib aku pun pamitan, walau kedua orang tua Yulia, memintaku untuk menginap tapi aku tetap melanjutkan perjalanan, ku putuskan kembali ke Cepu. Aku akan menuju ke Ngawi saja, dan berharap untuk tak bertemu penggemar, ah kenapa rasanya dunia ini sempit, kemana-mana masih saja ada yang mengenalku. Jam 10 malam aku sampai di stasiun kereta api Cepu. Aku memutuskan tidur di stasiun saja. Setelah sholat isyak, ku selonjoran di kursi ruang tunggu setasiun. Mengenang satu demi satu perjalanan di antara dengung nyamuk yang mulai terasa mengerubutiku.
Bersambung ke Chapter 12
Index Thread : https://www.kaskus.co.id/show_post/5...d69573da0cbe6d
ir.rahma92 dan 7 lainnya memberi reputasi
6