“Kamu tuh harus berapa kali dibilangin sih rif.., kayak bocah nggak pernah diajarin agama aja..” Suara bapak menggema diseisi ruang tamu. Suara yang menyambut gua begitu menginjakkan kaki dirumah.

Ia lalu menunjuk ke arah sofa, jarinya seakan memerintahkan gua untuk duduk disana. Seakan terhipnotis, gua menjatuhkan diri diatas sofa tersebut sembari menghela nafas.

“..kamu mau sampe kapan berhubungan sama Marcella, hah?.. mau jadi orang kafir?.. mau jadi orang murtad.. udah cina, kristen?…” Bapak kembali menghardik gua, kali ini suaranya lebih superior ketimbang yang pertama.

“…” gua hanya terdiam, tak mampu menjawabnya.

Bapak lalu duduk disofa, kali ini wajah kami saling bertatapan. Namun, entah kenapa gua nggak mampu menatap wajahnya.

“… Haram rif, hukumnya berhubungan sama orang kristen, apalagi kalo sampe nikah.. amit-amit..” Bapak menambahkan.

“Ya, kalo namanya jodoh, mau gimana pak?…” Kali ini gua memberanikan diri untuk menjawab.

Plakk!!

Gua menunduk, reflek lengan kiri gua mencoba melindungi kepala, namun terlambat. Sebuah pukulan mendarat ‘mulus’ di pelipis sebelah kiri gua.

Lalu disusul, teriakan Ibu “Udah Pak..!!”

“Jodoh itu yang ngatur Allah, Allah hanya ngijinin muslim nikah sama muslim.. Kalo bukan muslim, Tinggalin!!.. cari yang laen.. Emang cewek cuma Marcella doang..”
Bapak kembali menyemprot gua, masih sambil setengah berdiri setelah menempeleng kepala gua. Disebelah-nya, ibu tengah memegangi pundak bapak.

Marah,

Kecewa,

Kesal,

Campur Aduk,

Gua lalu bangkit, dan berjalan cepat menuju ke kamar, masuk dan membanting pintunya. Gua mengeluarkan buku hadiah dari Marcella, memandang ke sampulnya sambil membayangkan kata-kata bapak tadi : ‘Emang cewek cuma Marcella doang’ kembali menggema dikepala.

Kenapa ya Allah…
Apa yang salah dengan Marcella yang Cina? apa yang salah jika Marcella Nasrani? sampai saat ini belum ada satupun kewajiban gua sebagai muslim yang terbengkalai gegara Marcella. Belum ada kerugian moril yang gua terima gara-gara berhubungan dengan Marcella yang Cina. Ada apa dengan Cina?

Gua lalu teringat akan perkataan Marcella tadi siang, sebelum gua didamprat oleh bapak. Saat itu kami berdua tengah menikmati minuman dingin berlabel ‘Hop-Hop’ di tangga masuk loby sebuah mall di Blok-M.

“Emang salah ya rif, kalo gua terlahir sebagai Cina?” Marcella sekonyong-konyong bertanya ke gua, sambil mengaduk-aduk bulir-bulir bubble didalam gelas plastik menggunakan sedotan bercorong besar, sementara mata sipitnya yang teduh menatap gua.

“Duh..” gua memaki dalam hati. Pertanyaan berbau filosofi kayak gini kadang bikin gua bingung menjawabnya.

“Kalo gua terlahir di keluarga yang Kristen, bukan salah gua kan rif?”

“…” Gua menggelengkan kepala, masih tanpa jawaban.

Marcella lalu mengalihkan pandangannya dari wajah gua. Kali ini ia menatap ke arah jalan raya, yang penuh dengan lalu lalang kendaraan, ia lalu tersenyum.

“By the way, lo tau nggak sih rif, kalo budaya cina tuh udah lama banget mengakar di Indonesia?” Marcella bertanya ke gua.

Gua mengernyitkan dahi, memberikan ekspresi ‘masa sih’ kepadanya. Marcella lalu tersenyum, meletakkan gelas plastik Hop-hop diselusur tangga, lalu mengetuk dahi gua dengan jarinya. “Lo ngga tau kaaaan?”

“Emang iya?” gua menjawab penasaran.

Marcella lalu merubah posisi duduknya, kali ini mengarah ke gua.

Bangsa Cina itu, bangsa yang paling luas sebarannya di dunia. Coba tengok, dinegara mana yang ngga ada Chinatown-nya? Di Indonesia sendiri aja, orang-orang China udah ada dari jaman pra-kemerdekaan.

“Lo pikir, baju koko yang sering lo pake buat solat jumat, siapa yang jual?”

“Ada banyak tuh yang jual didalem..” gua menunjuk kedalam lobby mall.

“Bukan gitu, riiif… maksudnya yang pertama kali mempopulerkan dan menjualnya..”

“Ooh.. ya nggak tau lah..” Gua menjawab asal.

“..Jadi, jaman dulu tuh, orang-orang pendatang dari Cina itu pada pake baju yang model kancing-nya sampe atas gitu, rif.. kalo kata orang jaman sekarang model ‘Kerah Shanghai’.. Nah, orang-orang tuh pada suka, model yang kayak gitu, trus diadaptasi jadi warna putih..”
Marcella menjelaskan.

“Trus, kenapa namanya Baju Koko?” gua bertanya

“Soalnya, setelah populer, baju itu yang jual cuma orang Cina dan yang jual cowok.. trus dipanggil Koko…koko itu kakak kalo dalam bahasa Cina…”

“Ah serius lo…” Gua mempertanyakan penjelasan terakhir dari Marcella.

“Yeee.. beneran…”

“Lo tau darimana?”

“Baca…” Marcella menjawab singkat. Disusul oleh gua yang hanya meng-Oh-kan tanpa suara.

Marcella lalu bangkit berdiri, dengan sigap ia meraih kedua lengan gua dan mulai menariknya. Sejurus kemudian, Marcella sudah membawa gua masuk kembali kedalam mall, melintasi kerumunan orang yang menyesaki lobby dan menuju ke eskalator.

“Mau kemana?” Gua bertanya

Marcella nggak menjawab, ia hanya mengangkat telunjuk tangan kanannya keatas.

Kami berdua lalu tiba di lantai atas, Marcella berjalan cepat memasuki salah satu toko buku terkenal di Indonesia. Ia menyusuri lorong-lorong rak sambil matanya menari-nari memperhatikan judul buku satu per satu. Sementara, gua hanya bisa mengikuti gerak-geriknya tanpa tahu apa yang ia cari.

10 menit kemudian..

Marcella menenteng sebuah buku kearah kasir. Buku tersebut cukup tebal, dengan gambar seorang pria di sampulnya yang merah. Setelah melakukan proses pembayaran, ia menyerahkan buku tersebut ke Gua.

“Nih dibaca ya ariif…”

Gua lalu memandang nanar buku tersebut, mencoba membaca judulnya. Huruf-nya menari-nari, saling meliuk, seperti enggan disatukan. Butuh waktu cukup lama hingga gua bisa membacanya dengan jelas; Tionghoa Dalam Pusaran Politik karya Benny G Setiono.

“Ini ngga ada versi audionya aja cell…” Gua bertanya sambil menyusul Marcella yang perlahan menjauh.

“Mau denger versi audionya?” Marcella balas bertanya, Gua lalu mengangguk cepat.

“Yaudah nanti gua aja yang ceritain, itu disimpen aja, buat kenang-kenangan, sekalian kado buat ulang tahun lo..” Mercella berkata sambil kemudian bersandar dibahu gua.