- Beranda
- Stories from the Heart
EKSEKUSI TAPAL KUDA '98'
...
TS
ahmaddanielo
EKSEKUSI TAPAL KUDA '98'
SELAMAT DATANG DI THREAD SAYA YANG KELIMA.
Kisah kali ini terinspirasi dari tragedi yang pernah menggemparkan daerah timur jawa, sekitar tahun 1998.
Walaupun begitu, saya masih memberi label FIKSI karena tokoh dan semua yang terjadi di dalamnya adalah imajinasi saya.
Walaupun begitu, saya masih memberi label FIKSI karena tokoh dan semua yang terjadi di dalamnya adalah imajinasi saya.
Tidak ada niat lain dari saya selain menghibur--semoga terhibur--karena TS nya juga menulis hanya sebagai hobi.
Untuk thread kali ini, tidak ada jadwal update yang tetap. Bisa kentang juga. (Nah, sudah saya peringatkan itu)
Tapi tenang, thread saya pasti tamat meskipun agak lama
Tapi tenang, thread saya pasti tamat meskipun agak lama
Teman-teman tidak wajib baca Pesta Bunuh Diri dan Barisan Keranda Merah.
Thread ini bisa dinikmati sendiri tanpa dua karya sebelumnya. Meskipun ada beberapa tokoh dan kejadian yang masih berhubungan. Tapi saya akan berusaha memberi penjelasan singkat di akhir setiap chapter.
Thread ini bisa dinikmati sendiri tanpa dua karya sebelumnya. Meskipun ada beberapa tokoh dan kejadian yang masih berhubungan. Tapi saya akan berusaha memberi penjelasan singkat di akhir setiap chapter.
Oke, selamat membaca.
TOP COMMENTS
Spoiler for TOP COMMENTS:
Quote:
Original Posted By khakhapu►1998, jadi ingat musim isu ninja.... kondisi mencekam bahkan dikmpung ane yg cuma ada 1 orang yg disebut kiai
Tiap malam selalu diaktifkan poskamling, dijalan masuk desa dijaga dan diportal
Dikota sebelah malah gosipnya beberapa kali terjadi pemenggalan kepala orang yg disangka sebagai ninja pemburu ulama
Tapi yg kasat mata para korban adalah para orang gila/gelandangan
Hanya Tuhan dan pelaku otak pemburuan ulama saja yg tahu maksud & tujuan kejadian saat itu
Ane terlalu muda buat mengerti dan memahami yg terjadi saat itu, secara ane baru sweet 17 deh, masih unyu2 dan bertampang sperti Teddy Syah.... cieeeee
Tiap malam selalu diaktifkan poskamling, dijalan masuk desa dijaga dan diportal
Dikota sebelah malah gosipnya beberapa kali terjadi pemenggalan kepala orang yg disangka sebagai ninja pemburu ulama
Tapi yg kasat mata para korban adalah para orang gila/gelandangan
Hanya Tuhan dan pelaku otak pemburuan ulama saja yg tahu maksud & tujuan kejadian saat itu
Ane terlalu muda buat mengerti dan memahami yg terjadi saat itu, secara ane baru sweet 17 deh, masih unyu2 dan bertampang sperti Teddy Syah.... cieeeee
Quote:
Original Posted By dianeva58►ingin komen biasanya males login
pilu gan jika mengingat masa2 itu
lebih tepatnya mencekam
para santri memegang senjata demi menjaga kiai mereka
masjid mushola dipenuhi para jamaah yg sll ronda malam
momok yg menakutkan adalah tanda silang itu
saya mengalami sendiri pada masa itu
dan kebetulan melihat tanda silang merah itu di rumah seorang pemilik masjid yg cm berjarak 150m dr rumah saya
keep update gan daniel
btw kejadian itu tidak cm terjadi di daerah tapal kuda
tapi juga jawa timur bagian barat sendiri
pilu gan jika mengingat masa2 itu
lebih tepatnya mencekam
para santri memegang senjata demi menjaga kiai mereka
masjid mushola dipenuhi para jamaah yg sll ronda malam
momok yg menakutkan adalah tanda silang itu
saya mengalami sendiri pada masa itu
dan kebetulan melihat tanda silang merah itu di rumah seorang pemilik masjid yg cm berjarak 150m dr rumah saya
keep update gan daniel
btw kejadian itu tidak cm terjadi di daerah tapal kuda
tapi juga jawa timur bagian barat sendiri
Quote:
Original Posted By treepras►Seluruh Jatim seingatku, dr timur ke barat. Walau mungkin lebih mencekam di bagian timur. Serem memang. Bahkan di daerah saya yang di barat, jalan2 masuk semua di pager tinggi. Kalau malam blum balik ya sudah wassalam dah.
Pun denger cerita temen2 di sini (merantau saya nya). Tahun itu memang menyeramkan.
Btw bang Danil, disini ame di wattpad duluan mana yah? kalau di wattpad, ke sana aja dah, ude di instal juga di hape...
salam dr Sunrise Of Java
Pun denger cerita temen2 di sini (merantau saya nya). Tahun itu memang menyeramkan.
Btw bang Danil, disini ame di wattpad duluan mana yah? kalau di wattpad, ke sana aja dah, ude di instal juga di hape...
salam dr Sunrise Of Java
Quote:
Original Posted By fact2ride►Ini mungkin analisa pertama, mumpung mata masih blm mau tidur, krn ini cerita fiksi anggap aja analisa ini fiksi jga... klo gan daniel kurang berkenan, blang aja, ntar ane hapus.
98' untuk banyak anak jaman sekarang mungkin hanya cerita usang ttng tragedi kelam bangsa ini, tpi bagi ane yg menyaksikan langsung (walau lewat layar kaca, kondisi ane berada di pulau luar jawa, dan ane bkan orng jawa, serta daerah ane aman2 saja) betapa bisa hilang akalnya manusia gara2 kekuasaan, sampai harus mengorbankan saudara sebangsa untuk memuluskan langkahnya.... ok lanjut
Awal mula tragedi di ETK, adalah lepasnya para tahanan kelas "kakap" yg "sengaja" di lepaskan... jika dilihat pada situasi politik saat itu, mmng "wajar" mereka dilepaskan untuk menimbulkan kekacauan... saat membaca kolom komentar, ad orng yg menganggap daerahnya aman2 saja walau daerahnya masih bertetanggaan, menurut ane, mungkin itu karena yg dia sasar mmng kelompok putihan, basis utama pak gusdur yg lantang bersuara meneriakkan reformasi... (ini hanya dugaan yah gan, tolong luruskan klo salah) dan tahukah agan sekalian jika pada saat itu kepolisian masih masuk naungan ABRI, dan yg paling menonjol di ABRI itu adalah pasukan darat... dan kekacauan adalah pintu militer untuk masuk ke dalam tampuk kekuasaan, apalagi kita yg berada di asia tenggara... ini hanya sedikit analisa fiksi ane. Keep posting gan, semoga sehat selalu.
98' untuk banyak anak jaman sekarang mungkin hanya cerita usang ttng tragedi kelam bangsa ini, tpi bagi ane yg menyaksikan langsung (walau lewat layar kaca, kondisi ane berada di pulau luar jawa, dan ane bkan orng jawa, serta daerah ane aman2 saja) betapa bisa hilang akalnya manusia gara2 kekuasaan, sampai harus mengorbankan saudara sebangsa untuk memuluskan langkahnya.... ok lanjut
Awal mula tragedi di ETK, adalah lepasnya para tahanan kelas "kakap" yg "sengaja" di lepaskan... jika dilihat pada situasi politik saat itu, mmng "wajar" mereka dilepaskan untuk menimbulkan kekacauan... saat membaca kolom komentar, ad orng yg menganggap daerahnya aman2 saja walau daerahnya masih bertetanggaan, menurut ane, mungkin itu karena yg dia sasar mmng kelompok putihan, basis utama pak gusdur yg lantang bersuara meneriakkan reformasi... (ini hanya dugaan yah gan, tolong luruskan klo salah) dan tahukah agan sekalian jika pada saat itu kepolisian masih masuk naungan ABRI, dan yg paling menonjol di ABRI itu adalah pasukan darat... dan kekacauan adalah pintu militer untuk masuk ke dalam tampuk kekuasaan, apalagi kita yg berada di asia tenggara... ini hanya sedikit analisa fiksi ane. Keep posting gan, semoga sehat selalu.
Quote:
Original Posted By l4d13put►Kalo seinget ane, waktu itu karena memang masa2 awal demo yg menuntut reformasi. Nah, para target/korban tsb adalah orang2 yang menolak mendukung reformasi. Masalahnya target tsb punya pengaruh besar untuk memperoleh dukungan masyarakat karena statusnya sbg ustad, ulama, dan kyai.
Akhirnya para politisi penggerak reformasi saat itu merasa terancam, akhirnya mereka merancang operasi pembantaian tsb.
Awalnya para pengurus NU menduga ini ada kaitannya dengan eks-PKI yang ingin membalas dendam, tapi untuk menghindari fitnah akhirnya dibentuk Tim Pencari Fakta, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jatim.
Uniknya Tim Pencari fakta ini malah mengambil data dari surat kaleng yang tidak jelas kebenarannya, dan justru menyudutkan orang2 Orba.
Hingga saat ini masih belum terungkap siapa dalangnya. Yang jelas ada kaitannya dengan politisi reformasi.
Akhirnya para politisi penggerak reformasi saat itu merasa terancam, akhirnya mereka merancang operasi pembantaian tsb.
Awalnya para pengurus NU menduga ini ada kaitannya dengan eks-PKI yang ingin membalas dendam, tapi untuk menghindari fitnah akhirnya dibentuk Tim Pencari Fakta, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jatim.
Uniknya Tim Pencari fakta ini malah mengambil data dari surat kaleng yang tidak jelas kebenarannya, dan justru menyudutkan orang2 Orba.
Hingga saat ini masih belum terungkap siapa dalangnya. Yang jelas ada kaitannya dengan politisi reformasi.
Quote:
Original Posted By yadigembil►Kalo di ponpes ane dulu, namanya ninja,.
Cerita ustadz2 lama sama warga2, pas kejadian emang semua pada waspada,.
Pas pada cerita, suasana saat itu emang mencekam, apa lagi ponpes ada didesa yang beenr2 terpencil + mojok,. Apa algi Kyai sebelum gabung JT posisinya tinggi di NU,.
Untungnya juga para warga desa juga pada ta'zim sama ulama, siap korban apa aja buat Kyai,. Yang kesehariannya petani ternyata ahli beladiri
Alhamdulillah, sejak jaman PKI sampe ninja, ponpes ga ada kejadian pembunuhan ustadz atau Kyai, padahal posisi desa deket dari Madiun
Cerita ustadz2 lama sama warga2, pas kejadian emang semua pada waspada,.
Pas pada cerita, suasana saat itu emang mencekam, apa lagi ponpes ada didesa yang beenr2 terpencil + mojok,. Apa algi Kyai sebelum gabung JT posisinya tinggi di NU,.
Untungnya juga para warga desa juga pada ta'zim sama ulama, siap korban apa aja buat Kyai,. Yang kesehariannya petani ternyata ahli beladiri
Alhamdulillah, sejak jaman PKI sampe ninja, ponpes ga ada kejadian pembunuhan ustadz atau Kyai, padahal posisi desa deket dari Madiun
Quote:
Original Posted By kulerjahat►taun 98 ane masih SMA kelas 1,klo ga salah,kelas 3 mau ebtanas itu...sekolah di libur kan,penjarahan dimana mana...ane sih ga ngalamin yg nama nya ninja,jauh,ane masih di jabodetabek...tpi ane liat sih,yg jdi sasaran justru kaum minoritas klo di mari.rumah kauminoritas pada kosong ditinggal aama penghuni nya
Quote:
Original Posted By antonemaja►Weh...... Timur trilogi lanjut lagi..... mantap dah!!!
Isu Ninja tahun 98? Dulu, saya pikir hanya di Madura saja yang mencekam. Di suatu malam di tahun itu (bulan juni kalo tidak salah), saya, 2 saudara dan om saya sedang berkendara dengan mobil dari Pamekasan ke Sampang, untuk silaturahmi ke Guru "Ngaji" kami di sana. Sepanjang pesisir daerah Branta sampai Camplong, banyak warga yang berjaga dengan membawa pedang dan celurit berkumpul di pinggir jalan. Begitu mencekam dan mendebarkan perjalanan tersebut, sehingga Om menyuruh kami semua untuk terus berdzikir, karena bisa saja mobil rombongan kami diberhentikan dan sesuatu yang buruk menimpa kami. Dan Alhamdulillah, kami bisa sampai tujuan dengan selamat (ya eyalaaahhh... buktinya saya bisa komen di mari).
Saya akan menganggap tulisan gan danil ini fiksi, karena memang banyak isu2 yang berkembang di kala itu. So, buat kalian para pembaca, jangan anggap ini fakta yaa.....
Isu Ninja tahun 98? Dulu, saya pikir hanya di Madura saja yang mencekam. Di suatu malam di tahun itu (bulan juni kalo tidak salah), saya, 2 saudara dan om saya sedang berkendara dengan mobil dari Pamekasan ke Sampang, untuk silaturahmi ke Guru "Ngaji" kami di sana. Sepanjang pesisir daerah Branta sampai Camplong, banyak warga yang berjaga dengan membawa pedang dan celurit berkumpul di pinggir jalan. Begitu mencekam dan mendebarkan perjalanan tersebut, sehingga Om menyuruh kami semua untuk terus berdzikir, karena bisa saja mobil rombongan kami diberhentikan dan sesuatu yang buruk menimpa kami. Dan Alhamdulillah, kami bisa sampai tujuan dengan selamat (ya eyalaaahhh... buktinya saya bisa komen di mari).
Saya akan menganggap tulisan gan danil ini fiksi, karena memang banyak isu2 yang berkembang di kala itu. So, buat kalian para pembaca, jangan anggap ini fakta yaa.....
Diubah oleh ahmaddanielo 15-07-2018 15:18
Yoayoayo dan 96 lainnya memberi reputasi
95
377.4K
Kutip
1.6K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ahmaddanielo
#1390
CHAPTER 43 - RUMAH YANG SEBENARNYA
Spoiler for CHAPTER 43:
Desa Leduk, kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan.
Man Rusli sedang bercakap-cakap dengan seorang Polisi di gerbang utama Tambak Udang. Berlatar kesibukan pekerja tambak yang sedang menaikkan hasil tangkapannya ke dalam truk. Bukan ikan, bukan udang. Tangkapan yang mereka gotong adalah orang-orang yang semalam sempat mengacau desa.
Orang-orang itu mengerang kesakitan. Ada yang pincang, ada yang tangannya diperban, ada yang sudah tidak sadarkan diri. Warga menduga itu adalah kerjaan Polisi, tapi Polisi sendiri bingung menyelediki. Sampai pagi ini, yang tahu tentang Imam Ilyas hanyalah Man Rusli dan dua orang pekerja tambak. Termasuk Mufin.
"Tidak. Saya benar-benar tidak tahu," sangkal Man Rusli, untuk kesekian kalinya menjawab pertanyaan Polisi.
"Selongsong yang kami temukan, sama sekali tidak cocok dengan pistol yang kami bawa. Kalau sampai ada bukti, salah satu penduduk desa ini menyimpan senjata api, kami tidak akan mentoleransi. Apapun alasannya. Walaupun berniat melindungi diri dari kerusuhan, tindakan seperti ini justru memperparah suasana."
"Saya setuju, Pak. Tapi saya tidak tahu. Bapak-bapak sudah memeriksa sendiri ke dalam gudang, kan? Sudah keliling desa sejak subuh, kan? Kalau bapak-bapak saja tidak tahu, apalagi saya yang sejak tadi malam berjaga di sekitar sini," Man Rusli bersikukuh, konsisten pada kebohongannya. Dia bahkan tidak mengerti kenapa harus melindungi Imam Ilyas.
Datang seorang petugas. Dia membisiki polisi yang sejak tadi menanyai Man Rusli. Bos Tambak Udang itu manggut-manggut menguping.
"Kami menemukan mayat di Hutan Sokogede. Pemeriksaan sementara, korban dibuang ke sungai kering setelah ditembak."
"Kita ke sana. Empat orang yang patroli, biarkan tetap patroli. Kita tidak bisa percaya sama orang-orang di desa ini lagi."
"Siap!"
Kedua Aparat itu pergi tanpa permisi pada Man Rusli. Tak masalah. Lagipula, siapalah Man Rusli di mata seorang Polisi? Dia hanyalah pekerja tambak miskin, dan tak punya seragam untuk menegaskan identitas. Walau begitu, Man Rusli bisa bernapas lega. Gemetar namun senang karena bohongnya tidak ketahuan.
Truk yang mengangkut Jumad dan teman-temannya itu pergi. Disusul truk pengangkut motor para nelayan yang semalam dicuri. Dibawa sebagai barang bukti. Semoga bisa kembali. Karena, wajah miskin para pemiliknya hanya bisa mengiba, menghirup asap hitam knalpot sambil garuk kepala.
"Apa tidak apa-apa kita serahkan mereka sama Polisi, Man?" Tanya Mufin.
"Biarkan saja. Mereka harus menangkap orang. Biar kelihatan kerja. Biar kelihatan kalau berguna di tengah kerusuhan ini. Daripada mereka ngawur, lalu menangkap orang tidak bersalah."
Mufin membetulkan lipatan sarungnya. Tak sengaja menjatuhkan tiga bungkus rokok.
"Dari mana dapat rokok sebanyak itu?"
"Eh, anu. Ini punya preman-preman itu, Man."
Man Rusli menampar kepala Mufin dengan kopiah.
"Maleng reah!Harusnya, barusan saya serahkan kamu ke Polisi juga."
***
Karung pakan udang menumpuk di gudang. Hampir separuh ruangan. Selebihnya adalah jejeran peti kayu berisi perkakas tambak. Jaring-jaring robek yang tak layak pakai menggantung di langit-langit. Paku berkarat berceceran di lantai yang basah dan berbau amis. Roda gigi tajam dijadikn hiasan pintu, dan di atas satu-satunya bangku di ruangan itu, puntung rokok berserakan, sementara asbaknya penuh kulit kacang. Benar-benar cermin pekerjaan yang keras.
Man Rusli masuk ke gudang sambil bawa bungkusan. Mufin mengikutinya sambil menggerutu, memasukkan rokok jarahan yang tinggal dua bungkus ke dalam saku. Bisa diterka kemana satu bungkus lainnya.
"Sudah aman," Man Rusli terbatuk, "Polisi sudah pergi," katanya, sambil lanjut mengepul tembakau segar.
Tumpukan karung pakan bergerak-gerak, kemudian terangkat ke atas oleh sepasang tangan Imam Ilyas. Wajahnya seperti sangat suntuk karena ditindih pakan udang semalaman. Lehernya merah karena gatal, dan dari kantong jaket kulit hitamnya mengucur sisa-sisa pakan udang.
Mufin terpingkal-pingkal dibuatnya.
"Kalau saya tutup mata, saya tidak bisa membedakan mana orang, mana pakan udang. Em, baunya Masya Allah," ledeknya, sampai berair mata. Tawanya berhenti mana kala Imam Ilyas mengangkat senjata. Mufin langsung mingkem sambil mengangkat tangan. Padahal Pak Imam hanya bermaksud membersihkannya.
"Saya siap mendengar kata 'Terima Kasih'" sindir Man Rusli.
"Setelah mengubur saya di antara karung-karung berbau amis? Tidak," Pak Imam merajuk, tapi dia sadar diri. Rupanya mereka masih dendam. Sebaiknya saya harus berhati-hati.
"Tidak usah bermuka masam begitu. Kami tidak punya pilihan lain. Daripada tertangkap, kan? Oh, ya. Saya sudah belikan nasi bungkus dan kopi. Silahkan," hibur Man Rusli, menahan tawa.
Hati-hati, Imam. Bisa jadi kopinya beracun. Pak Imam menaruh curiganya tinggi-tinggi.
Persetan dengan racun. Imam Ilyas sedang kelaparan. Dia melahap habis sebungkus Nasi Soduh dari warung Nyai Mar, istri Pak Gamar. Meneguk tiga gelas air putih, lalu merokok santai dengan kerongkongan yang sudah basah oleh kopi. Rasanya damai sekali. Imam dan Rusli seperti tidak pernah bermusuhan. Kecuali Mufin. Dia murung karena rokoknya tinggal satu bungkus.
"Setelah ini, mau kemana?" tanya Man Rusli, cara terhalusnya untuk mengusir.
Pak Imam tahu dia tidak bisa berlama-lama di Desa Leduk. Lambat laun keberadaannya pasti disadari warga, dan itu bisa menimbulkan masalah. Rusli juga akan terlibat. Pak Imam tidak mau itu terjadi.
"Saya akan merantau ke timur ... ke luar pulau," jawab Pak Imam, sendu.
"Keluargamu?" tanya Man Rusli.
"Sejak meninggalkan desa ini dulu, saya tidak pernah bertemu mereka lagi. Sudah lama sekali," tutur Pak Imam, bermata basah. "Saya hidup serabutan di kota. Pernah jadi pemulung, kuli, dan sekarang ini sedang menikmati profesi baru sebagai tukang bersih-bersih taman kota."
Man Rusli merasa kasihan. Dalam hati dia memantaskan kondisi Imam Ilyas sebagai ganjaran, tapi tetap saja tak bisa mengelak iba.
"Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang?" Man Rusli penasaran.
"Merokok. Sejauh apapun saya dari rumah, setiap kali merokok, saya merasa pulang. Sedekat itu," Pak Imam tersenyum sendu. "Setelah itu, saya ingin mengunjungi kuburan teman lama. Kalau dalam kerusuhan ini tidak ada lagi peran buat saya, mungkin saya akan menyusulnya. Pulang ke rumah sebenarnya. Sudah saya sisakan satu peluru untuk diri sendiri," katanya, nanar menatap ke langit-langit gudang. Pak Imam sudah kurus, hitam dan beruban. Namun, ucapannya barusan—walaupun malu mengkuinya—Man Rusli merasa Pak Imam terlihat gagah.
***
Desa Gentengan, Kecamatan Raga, Kabupaten Gandrung.
Kembali ke Gentengan; ke lokasi pertunjukan yang sepertinya sudah selesai. Terlalu cepat. Pohon beringin yang semula memayungi dua belas orang, kini hanya tinggal seorang. Sisanya antara hidup dan mati. Mereka mengerang nyeri yang teramat hebat. Bergelimpangan di bawah kaki Pak Saleh.
Kakek itu masih berdiri, dan tampak baik-baik saja. Kelelahan sedikit mungkin, tapi tidak berdarah-darah seperti seharusnya orang dikeroyok. Pak Saleh mengatur napas. Berdiri. Bertopang pada sebuah tongkat sepanjang pundak. Sepintas terlihat seperti tongkat kayu biasa. Dipernis cantik dari ujung ke ujung. Pegangannya dililit ban dalam bekas motor, dan ujungnya yang bercabang tiga, masing-masing digulungi benang putih, kuning dan merah. Sepintas mirip garpu dengan gigi yang tidak sejajar. Ujung tongkat utamanya yang paling panjang. Kemudian cabang kedua, dan cabang ketiga yang paling pendek. Ketiganya tumpul. Membuat orang yang pertama kali melihat bingung, bagaimana bisa benda itu dijadikan senjata.
Pak Saleh bergerak. Ibarat kucing liar. Tampak di tanah sudah menggelepar ikan-ikan segar. Pak Saleh hanya perlu memilih mana yang bisa mengenyangkan perut cekungnya. Mata Pak Saleh tertuju pada yang paling sehat. Orang itu menyeret punggungnya di tanah, menjauh, mencoba kabur. Ada tato kepala Harimau di lengannya. Dia satu-satunya yang tidak cedera kaki, dan sepertinya masih bisa bicara. Kelihatan dari kata 'tolong' yang diucapkannya berkali-kali sambil geleng kepala melihat Pak Saleh seperti melihat malaikat pencabut nyawa.
Pak Saleh sudah menentukan pilihan. Dia hujamkan tongkat bercabang itu ke pergelangan kaki mangsanya. Membelenggunya di sela-sela gigi tongkat. Mencengkeram kuat sekali sampai menancap di tanah.
"Kenapa kalian menyerang saya?" Hardik Pak Saleh.
"Sorban itu. Beberapa hari yang lalu ada orang yang memakai sorban seperti itu," tutur orang itu, gemetar.
"Apakah orang yang kamu maksud itu adalah Karim?"
"Ya. Karim dan satu lagi kakek-kakek,"
Jadi mereka yang menyerang Karim dan Rahwan. "Bukankah kalian sudah diserahkan ke kepala desa? Kenapa masih bebas berkeliaran?"
Untuk pertanyaan itu, pria bertato enggan menjawab. Setidaknya dia masih berpikir. Pak Saleh memang menakutkan, tapi mungkin ada hal menakutkan lain yang menunggu orang itu jika dia berani bicara macam-macam. Dia terbungkam. Menelan ludah kebingungan.
"Kalian orang Banyusirih, kan? Orang Tambangan. Kenapa berkeliaran di sini?" Pak Saleh tak sabar menunggu jawaban, jadi, dia memberikan pertanyaan baru, dan sepertinya masih enggan dijawab.
"Jawab, atau saya sunat sampai pendek!" Gertak Pak Saleh. Berhasil.
"Kami dibebaskan. Sengaja dibebaskan untuk melaksanakan tugas."
"Dan tugas itu adalah?"
"Membasmi musuh masyarakat. Membasmi santet yang meresahkan. Mereka bilang ini sanksi sosial. Kami para tahanan dianggap sampah, jadi sebagai penebusan, kamu juga harus membersihkan sampah."
"Oh," tanggap Pak Saleh, singkat. "Lantas kenapa orang Banyusirih dikirim ke Gentengan, begitu juga sebaliknya?"
Pria bertato muram. Ada sesal yang tergurat, "Agar kami tidak ragu-ragu dalam bertindak. Mereka khawatir kami akan gentar melawan tetangga dan sanak saudara sendiri."
Persis seperti analisa Sopet. "Jadi... Kepala Desa Gentengan juga terlibat," gumam Pak Saleh, manggut-manggut.
"Da-darimana Sampean tahu?"
"Lha, itu, kamu baru saja bilang. Lagipula, mereka—siapapun dalang dibalik pembebasan kalian—tidak akan berani menyelundupkan kucing-kucing seperti kalian ke desa-desa kalau tidak kerjasama dulu dengan aparat desa tersebut." Tunggu dulu. Jadikan logika ini sebagai acuan, maka Sumbergede pun punya pola yang sama. Jangan-jangan... Ah, tidak mungkin.
Pak Saleh mencabut tongkatnya. Membebaskan kaki pria bertato. Masih terdengar erangan manusia meratapi sakit yang begitu menyiksa. Bahkan ada yang sudah tidak sadarkan diri.
"Saya tidak jauh-jauh ke sini untuk berurusan dengan kacung-kacung. Sana pergi! Sampaikan sama Kepala Desamu, nanti malam saya akan berkunjung ke rumahnya."
"Be-berkunjung?"
"Cepat pergi sana!"
"Ba-baik."
Pria itu terseok-seok. Lari pincang meninggalkan kawan-kawannya. Pak Saleh berkemas. Celana hitamnya berdebu dan sandal jepitnya putus. Ia memeriksa setiap sandal korbannya tapi tidak ada yang cocok di hati. Akhirnya, terpaksa telanjang kaki, lalu terkesiap karena sesuatu.
"Sek dulu. Saya kan tidak tahu rumah kepala desanya."
Man Rusli sedang bercakap-cakap dengan seorang Polisi di gerbang utama Tambak Udang. Berlatar kesibukan pekerja tambak yang sedang menaikkan hasil tangkapannya ke dalam truk. Bukan ikan, bukan udang. Tangkapan yang mereka gotong adalah orang-orang yang semalam sempat mengacau desa.
Orang-orang itu mengerang kesakitan. Ada yang pincang, ada yang tangannya diperban, ada yang sudah tidak sadarkan diri. Warga menduga itu adalah kerjaan Polisi, tapi Polisi sendiri bingung menyelediki. Sampai pagi ini, yang tahu tentang Imam Ilyas hanyalah Man Rusli dan dua orang pekerja tambak. Termasuk Mufin.
"Tidak. Saya benar-benar tidak tahu," sangkal Man Rusli, untuk kesekian kalinya menjawab pertanyaan Polisi.
"Selongsong yang kami temukan, sama sekali tidak cocok dengan pistol yang kami bawa. Kalau sampai ada bukti, salah satu penduduk desa ini menyimpan senjata api, kami tidak akan mentoleransi. Apapun alasannya. Walaupun berniat melindungi diri dari kerusuhan, tindakan seperti ini justru memperparah suasana."
"Saya setuju, Pak. Tapi saya tidak tahu. Bapak-bapak sudah memeriksa sendiri ke dalam gudang, kan? Sudah keliling desa sejak subuh, kan? Kalau bapak-bapak saja tidak tahu, apalagi saya yang sejak tadi malam berjaga di sekitar sini," Man Rusli bersikukuh, konsisten pada kebohongannya. Dia bahkan tidak mengerti kenapa harus melindungi Imam Ilyas.
Datang seorang petugas. Dia membisiki polisi yang sejak tadi menanyai Man Rusli. Bos Tambak Udang itu manggut-manggut menguping.
"Kami menemukan mayat di Hutan Sokogede. Pemeriksaan sementara, korban dibuang ke sungai kering setelah ditembak."
"Kita ke sana. Empat orang yang patroli, biarkan tetap patroli. Kita tidak bisa percaya sama orang-orang di desa ini lagi."
"Siap!"
Kedua Aparat itu pergi tanpa permisi pada Man Rusli. Tak masalah. Lagipula, siapalah Man Rusli di mata seorang Polisi? Dia hanyalah pekerja tambak miskin, dan tak punya seragam untuk menegaskan identitas. Walau begitu, Man Rusli bisa bernapas lega. Gemetar namun senang karena bohongnya tidak ketahuan.
Truk yang mengangkut Jumad dan teman-temannya itu pergi. Disusul truk pengangkut motor para nelayan yang semalam dicuri. Dibawa sebagai barang bukti. Semoga bisa kembali. Karena, wajah miskin para pemiliknya hanya bisa mengiba, menghirup asap hitam knalpot sambil garuk kepala.
"Apa tidak apa-apa kita serahkan mereka sama Polisi, Man?" Tanya Mufin.
"Biarkan saja. Mereka harus menangkap orang. Biar kelihatan kerja. Biar kelihatan kalau berguna di tengah kerusuhan ini. Daripada mereka ngawur, lalu menangkap orang tidak bersalah."
Mufin membetulkan lipatan sarungnya. Tak sengaja menjatuhkan tiga bungkus rokok.
"Dari mana dapat rokok sebanyak itu?"
"Eh, anu. Ini punya preman-preman itu, Man."
Man Rusli menampar kepala Mufin dengan kopiah.
"Maleng reah!Harusnya, barusan saya serahkan kamu ke Polisi juga."
***
Karung pakan udang menumpuk di gudang. Hampir separuh ruangan. Selebihnya adalah jejeran peti kayu berisi perkakas tambak. Jaring-jaring robek yang tak layak pakai menggantung di langit-langit. Paku berkarat berceceran di lantai yang basah dan berbau amis. Roda gigi tajam dijadikn hiasan pintu, dan di atas satu-satunya bangku di ruangan itu, puntung rokok berserakan, sementara asbaknya penuh kulit kacang. Benar-benar cermin pekerjaan yang keras.
Man Rusli masuk ke gudang sambil bawa bungkusan. Mufin mengikutinya sambil menggerutu, memasukkan rokok jarahan yang tinggal dua bungkus ke dalam saku. Bisa diterka kemana satu bungkus lainnya.
"Sudah aman," Man Rusli terbatuk, "Polisi sudah pergi," katanya, sambil lanjut mengepul tembakau segar.
Tumpukan karung pakan bergerak-gerak, kemudian terangkat ke atas oleh sepasang tangan Imam Ilyas. Wajahnya seperti sangat suntuk karena ditindih pakan udang semalaman. Lehernya merah karena gatal, dan dari kantong jaket kulit hitamnya mengucur sisa-sisa pakan udang.
Mufin terpingkal-pingkal dibuatnya.
"Kalau saya tutup mata, saya tidak bisa membedakan mana orang, mana pakan udang. Em, baunya Masya Allah," ledeknya, sampai berair mata. Tawanya berhenti mana kala Imam Ilyas mengangkat senjata. Mufin langsung mingkem sambil mengangkat tangan. Padahal Pak Imam hanya bermaksud membersihkannya.
"Saya siap mendengar kata 'Terima Kasih'" sindir Man Rusli.
"Setelah mengubur saya di antara karung-karung berbau amis? Tidak," Pak Imam merajuk, tapi dia sadar diri. Rupanya mereka masih dendam. Sebaiknya saya harus berhati-hati.
"Tidak usah bermuka masam begitu. Kami tidak punya pilihan lain. Daripada tertangkap, kan? Oh, ya. Saya sudah belikan nasi bungkus dan kopi. Silahkan," hibur Man Rusli, menahan tawa.
Hati-hati, Imam. Bisa jadi kopinya beracun. Pak Imam menaruh curiganya tinggi-tinggi.
Persetan dengan racun. Imam Ilyas sedang kelaparan. Dia melahap habis sebungkus Nasi Soduh dari warung Nyai Mar, istri Pak Gamar. Meneguk tiga gelas air putih, lalu merokok santai dengan kerongkongan yang sudah basah oleh kopi. Rasanya damai sekali. Imam dan Rusli seperti tidak pernah bermusuhan. Kecuali Mufin. Dia murung karena rokoknya tinggal satu bungkus.
"Setelah ini, mau kemana?" tanya Man Rusli, cara terhalusnya untuk mengusir.
Pak Imam tahu dia tidak bisa berlama-lama di Desa Leduk. Lambat laun keberadaannya pasti disadari warga, dan itu bisa menimbulkan masalah. Rusli juga akan terlibat. Pak Imam tidak mau itu terjadi.
"Saya akan merantau ke timur ... ke luar pulau," jawab Pak Imam, sendu.
"Keluargamu?" tanya Man Rusli.
"Sejak meninggalkan desa ini dulu, saya tidak pernah bertemu mereka lagi. Sudah lama sekali," tutur Pak Imam, bermata basah. "Saya hidup serabutan di kota. Pernah jadi pemulung, kuli, dan sekarang ini sedang menikmati profesi baru sebagai tukang bersih-bersih taman kota."
Man Rusli merasa kasihan. Dalam hati dia memantaskan kondisi Imam Ilyas sebagai ganjaran, tapi tetap saja tak bisa mengelak iba.
"Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang?" Man Rusli penasaran.
"Merokok. Sejauh apapun saya dari rumah, setiap kali merokok, saya merasa pulang. Sedekat itu," Pak Imam tersenyum sendu. "Setelah itu, saya ingin mengunjungi kuburan teman lama. Kalau dalam kerusuhan ini tidak ada lagi peran buat saya, mungkin saya akan menyusulnya. Pulang ke rumah sebenarnya. Sudah saya sisakan satu peluru untuk diri sendiri," katanya, nanar menatap ke langit-langit gudang. Pak Imam sudah kurus, hitam dan beruban. Namun, ucapannya barusan—walaupun malu mengkuinya—Man Rusli merasa Pak Imam terlihat gagah.
***
Desa Gentengan, Kecamatan Raga, Kabupaten Gandrung.
Kembali ke Gentengan; ke lokasi pertunjukan yang sepertinya sudah selesai. Terlalu cepat. Pohon beringin yang semula memayungi dua belas orang, kini hanya tinggal seorang. Sisanya antara hidup dan mati. Mereka mengerang nyeri yang teramat hebat. Bergelimpangan di bawah kaki Pak Saleh.
Kakek itu masih berdiri, dan tampak baik-baik saja. Kelelahan sedikit mungkin, tapi tidak berdarah-darah seperti seharusnya orang dikeroyok. Pak Saleh mengatur napas. Berdiri. Bertopang pada sebuah tongkat sepanjang pundak. Sepintas terlihat seperti tongkat kayu biasa. Dipernis cantik dari ujung ke ujung. Pegangannya dililit ban dalam bekas motor, dan ujungnya yang bercabang tiga, masing-masing digulungi benang putih, kuning dan merah. Sepintas mirip garpu dengan gigi yang tidak sejajar. Ujung tongkat utamanya yang paling panjang. Kemudian cabang kedua, dan cabang ketiga yang paling pendek. Ketiganya tumpul. Membuat orang yang pertama kali melihat bingung, bagaimana bisa benda itu dijadikan senjata.
Pak Saleh bergerak. Ibarat kucing liar. Tampak di tanah sudah menggelepar ikan-ikan segar. Pak Saleh hanya perlu memilih mana yang bisa mengenyangkan perut cekungnya. Mata Pak Saleh tertuju pada yang paling sehat. Orang itu menyeret punggungnya di tanah, menjauh, mencoba kabur. Ada tato kepala Harimau di lengannya. Dia satu-satunya yang tidak cedera kaki, dan sepertinya masih bisa bicara. Kelihatan dari kata 'tolong' yang diucapkannya berkali-kali sambil geleng kepala melihat Pak Saleh seperti melihat malaikat pencabut nyawa.
Pak Saleh sudah menentukan pilihan. Dia hujamkan tongkat bercabang itu ke pergelangan kaki mangsanya. Membelenggunya di sela-sela gigi tongkat. Mencengkeram kuat sekali sampai menancap di tanah.
"Kenapa kalian menyerang saya?" Hardik Pak Saleh.
"Sorban itu. Beberapa hari yang lalu ada orang yang memakai sorban seperti itu," tutur orang itu, gemetar.
"Apakah orang yang kamu maksud itu adalah Karim?"
"Ya. Karim dan satu lagi kakek-kakek,"
Jadi mereka yang menyerang Karim dan Rahwan. "Bukankah kalian sudah diserahkan ke kepala desa? Kenapa masih bebas berkeliaran?"
Untuk pertanyaan itu, pria bertato enggan menjawab. Setidaknya dia masih berpikir. Pak Saleh memang menakutkan, tapi mungkin ada hal menakutkan lain yang menunggu orang itu jika dia berani bicara macam-macam. Dia terbungkam. Menelan ludah kebingungan.
"Kalian orang Banyusirih, kan? Orang Tambangan. Kenapa berkeliaran di sini?" Pak Saleh tak sabar menunggu jawaban, jadi, dia memberikan pertanyaan baru, dan sepertinya masih enggan dijawab.
"Jawab, atau saya sunat sampai pendek!" Gertak Pak Saleh. Berhasil.
"Kami dibebaskan. Sengaja dibebaskan untuk melaksanakan tugas."
"Dan tugas itu adalah?"
"Membasmi musuh masyarakat. Membasmi santet yang meresahkan. Mereka bilang ini sanksi sosial. Kami para tahanan dianggap sampah, jadi sebagai penebusan, kamu juga harus membersihkan sampah."
"Oh," tanggap Pak Saleh, singkat. "Lantas kenapa orang Banyusirih dikirim ke Gentengan, begitu juga sebaliknya?"
Pria bertato muram. Ada sesal yang tergurat, "Agar kami tidak ragu-ragu dalam bertindak. Mereka khawatir kami akan gentar melawan tetangga dan sanak saudara sendiri."
Persis seperti analisa Sopet. "Jadi... Kepala Desa Gentengan juga terlibat," gumam Pak Saleh, manggut-manggut.
"Da-darimana Sampean tahu?"
"Lha, itu, kamu baru saja bilang. Lagipula, mereka—siapapun dalang dibalik pembebasan kalian—tidak akan berani menyelundupkan kucing-kucing seperti kalian ke desa-desa kalau tidak kerjasama dulu dengan aparat desa tersebut." Tunggu dulu. Jadikan logika ini sebagai acuan, maka Sumbergede pun punya pola yang sama. Jangan-jangan... Ah, tidak mungkin.
Pak Saleh mencabut tongkatnya. Membebaskan kaki pria bertato. Masih terdengar erangan manusia meratapi sakit yang begitu menyiksa. Bahkan ada yang sudah tidak sadarkan diri.
"Saya tidak jauh-jauh ke sini untuk berurusan dengan kacung-kacung. Sana pergi! Sampaikan sama Kepala Desamu, nanti malam saya akan berkunjung ke rumahnya."
"Be-berkunjung?"
"Cepat pergi sana!"
"Ba-baik."
Pria itu terseok-seok. Lari pincang meninggalkan kawan-kawannya. Pak Saleh berkemas. Celana hitamnya berdebu dan sandal jepitnya putus. Ia memeriksa setiap sandal korbannya tapi tidak ada yang cocok di hati. Akhirnya, terpaksa telanjang kaki, lalu terkesiap karena sesuatu.
"Sek dulu. Saya kan tidak tahu rumah kepala desanya."
ibongg dan 20 lainnya memberi reputasi
21
Kutip
Balas
Tutup