Kaskus

Story

gelandangan143Avatar border
TS
gelandangan143
Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN
Assalamualaikum wr. wb.

Salam sejahtera semuanya. Mohon ijin untuk menceritakan ulang Kisah Sang Guru yg bermuatan banyak pelajaran Hikmah kehidupan yg bermuatan Religi, Supranatural dan Spiritual.

Index Thread :
Spoiler for Index Thread :



Sebuah Kisah Nyata Perjalanan Hidup, Spiritual & Supranatural
Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN


CHAPTER 1


Pagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. Di lereng gunung sebelah selatan, nampak berjejer kobong pondokan santri tak teratur. Sayup terdengar suara wirid para santri di bagian tengah pondokan, rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian dihamparkan dengan rapi, sehingga kalau diinjak kaki akan terdengar bunyi derit bambu yang khas. Nampak para santri yang jumlahnya 15 orang duduk melingkar khusuk dalam wiridnya.

Sang Kyai yang juga ada dalam lingkaran juga duduk bersila, orang tak akan menyangka mana Kyai mana murid. Sebab semua sama, hanya ketika Sang Kyai mengangkat tangannya dan wirid semuanya berhenti. Kemudian Sang Kyai menyuruh wirid yang lain, santri pun melanjutkan. Orang tak akan menyangka yang disebut Kyai ini seorang remaja, kira-kira umurnya 12 tahun, kulitnya putih bersih, dengan wajah biasa, namun memancarkan wibawa yang tiada taranya. Presiden sekalipun akan dibuat tunduk bila berdiri di hadapannya.

Di sebelah rumah Sang Kyai ada rumah bambu lagi yang lumayan besar, dindingnya dari kerai, yaitu bambu yang disisik halus kecil-kecil kemudian disusun rapi dengan tambang, sehingga bisa dibuka tutup dengan digulung, dalamnya juga beralaskan bambu seperti di rumah Kyai, nampak banyak orang lelaki tiduran dengan nyenyak. Mereka ada sekitar 20 orang, kesemuanya lelaki. Karena tempat para tamu perempuan ada tempatnya sendiri.

Para tamu ini bukanlah orang yang biasa-biasa. Seperti pak Udin, yang seorang tentara yang punya kedudukan di angkatan udara. Pak Yusup yang seorang jaksa dari Jakarta, juga ada para pemilik perusahaan raksasa di Indonesia. Ada lagi yang aku tidak tahu, kata temanku dua orang menteri, seorang duta besar, juga ada artis, tukang cukur rambut, tukang es keliling dan lain-lain, semua tidur sama kedudukannya.

Siapakah sebenarnya Sang Kyai, akupun tak tau pasti. Yang ku tau lelaki muda usia itu, sering dipanggil Kyai Lentik, dari ayahnya nasabnya sampai Sunan Gunung Jati, dari ibunya sampai ke Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.

Kyai yang tuturnya lembut berkasih sayang kepada siapa saja. Pagi itu seperti biasa, mbok Titing, janda tua penjual sarapan pagi nasi uduk lewat di depan rumah Kyai. Umur tua dan tubuh yang mulai bongkok ditambah rinjing di punggungnya yang penuh dengan nasi uduk bungkus diikat dengan selendang, tangan kanannya menjinjing tas krawangan berisi lauk pauk.

Seperti biasa pula, nenek tua itu berhenti di depan pintu Kyai sambil menawarkan dagangannya, sekalipun dia tau bahwa Kyai Lentik tiap hari puasa, nenek itu hanya menunggu Kyai menjawab teriakannya menawarkan dagangannya, meser Kyai? ndak bogah duwit mbok. Dan cuma itu jawaban Kyai, sudah membuat girang bukan main, dan segera berlalu, tersenyum bahagia dan tak sampai setengah jam dagangannya sudah habis ludes dibeli orang. Nenek itu sangat murung, apabila dia menawarkan dagangannya di depan pintu Kyai, tapi Kyai ternyata pergi, itu baginya berarti perjuangan seharian menawarkan dagangan, dan itupun belum tentu habis, itulah tiap pagi yang terjadi di pondok Pacung, lereng gunung putri.

Masih banyak kejadian yang kadang tak masuk di akal di balik kesederhanaan Sang Kyai. Waktu maghrib itu, santri yang menjalankan puasa, telah selesai berbuka dengan singkong rebus dan air putih, seperti biasa juga Kyai ikut berbuka dengan kami dengan beralaskan daun pisang singkong yang sudah masak dituang di atas daun pisang dan dinikmati bersama-sama sambil jongkok, tak ada yang istimewa, tak ada pecel lele Lamongan, rendang Padang, soto Madura, soto babat bahkan nasi pun tak ada.

Tapi tak pernah kami perduli, itu hanya makan, lebih baik makan apa adanya tapi untuk beribadah, daripada makan yang enak-enak ujung-ujungnya untuk berbuat maksiat. Setelah makan kami mengelilingi toples yang berisi tembakau, itu barang berharga kami, tembakau oleh-oleh dari Lukman yang pulang dari ngejalani ngedan, kami semua mengalami, yaitu pergi tanpa bekal, menyerahkan diri di kehendak Allah, pakaian compang-camping, sambil terus di hati mengingat Allah, berjalan kemanapun kaki melangkah, tanpa tujuan kecuali Allah, kalau lapar tak boleh meminta pada siapapun kecuali Allah, kadang mencari makan dari mengorek sampah, tidur kadang di hutan, sawah juga kuburan.

Nah, pada waktu itu setiap ada yang ngejalani, santri pada memesan uthis yaitu puntung rokok, di jalan, dikumpulkan sampai satu kresek nanti dibawa pulang, sampai di pondok dibuka satu-satu dipisahkan tembakau dan kertas rokoknya. Aku mengambil kertas koran lalu membuat lintingan, dari korek kapuk kunyalakan kuhisap dalam dan asap pun bergumpal-gumpal keluar dari hidung dan mulutku, kadang kutiupkan asap sambil asap mengepul dari tembakau dan bau kertas koran yang terbakar, aku menengadah, sambil meresapi asap keluar dari mulutku, seakan suatu kenikmatan tiada tara, santri yang laen juga sepertiku.

Saat aku menengadahkan wajah entah untuk yang keberapa kali, kulihat melayang bayangan hitam di antara pohon kelapa yang banyak bertebaran, aku kaget sekali, jelas bayangan itu manusia yang melayang tak terlalu cepat, karena saat petang maka bayangan itu kelihatan hitam. Bayangan itu melintasi pohon jengkol di dekat dapur sebelah kanan rumah Kyai, lalu melayang dengan indah turun di depan rumah Kyai. Kami segera memburu ke arah orang itu, yang sejak tadi kami ribut menebak-nebak apa sebenarnya. Deg-degan kami menghampiri, ternyata bayangan yang terbang itu seorang wanita tua, rambutnya semua memutih, dia terbang menggunakan sajadah, jelas bahwa ilmu meringankan tubuhnya teramat tinggi, yang mungkin kalau sekarang kami tidak melihat dengan mata kepala kami sendiri, tentu kami akan menyangka ilmu seperti itu hanya ada di cerita silat, atau film di televisi, arahan imajinasi.

Kami semua melongo melihat perempuan itu melipat sajadah yang tadi digunakan untuk terbang, aku teringat kisah aladin, tapi ini nyata, perempuan tua tinggi kurus, berpakaian putih kusam ringkas membentak,

“Dimana Kyai Lentik, aku ingin mengadu ilmu.”

“Nyai siapa?” kataku menguasai keterkejutan.

“ah mana Kyai Lentik? Hai Kyai keluar!!” katanya, karena menantang-nantang dan sama sekali tak memperdulikan kata-kataku, aku pun segera bergegas menghadap Kyai, yang aku yakini tengah berada di musolla menunggu sholat berjama’ah.

Aku kawatir perempuan tua itu ilmunya teramat tinggi, bagaimana nanti Kyai menghadapinya, setahuku Kyai tak punya ilmu kanuragan, juga tak pernah mengajarkan kanuragan, tapi memang kalau dipikir-pikir aneh juga, kami para santri, tak pernah dilatih kanuragan, ilmu silat apapun kami tak tahu, karena memang di pesantren Pacung ini kami hanya diajar bagaimana mendekatkan diri pada Allah, bukan lewat teori tapi praktek, bagaimana bertawakal, syukur, houf, rojak, dan bagaimana membersihkan hati dari segala sifat yang menjadi penyakit hati.

Tapi para penduduk sekitar juga para tamu yang datang, selalu berkeyakinan kalau pesantren ini adalah pesantren kanuragan, yang muridnya sakti-sakti kebal senjata, bisa terbang dan cerita-cerita yang dilebih-lebihkan, aku masih takut bagaimana jadinya kalau Kyai bertarung dengan nenek sakti ini? Selama ini yang aku tahu Kyai sangat menguasai ilmu pengobatan, sakit apapun, dari sakit gila, sakit luar, penyakit dalam, sampai penyakit kena santet, kena guna-guna kena jin, kena narkoba, semua bisa disembuhkan, orang pengen jadi lurah, camat, bupati, gubernur, sampai mau jadi presiden larinya ke Kyai, dan Kyai hanya mendo’akan saja, tapi kalau ilmu kanuragan, aji kesaktian, aku tak tau, aku jadi ingat ada seorang tentara mau dikirim menjadi pasukan. Pasukan penjaga perdamaian di Kuwait namanya Iqbal, dia datang dengan tamu yang lain mau meminta sareat ilmu kekebalan, dia ngantri dengan tamu yang lain lalu menghadap Kyai, pas giliran si Iqbal, Kyai bicara sebelum Iqbal ngomong.

Begitulah Kyai selalu tahu maksud kedatangan orang sebelum orang itu menyampaikan maksudnya. Bahkan tahu hari, tanggal, tahun kelahiran serta siapa bapak ibunya. Bahkan orang itu habis melakukan maksiat apa Kyai pun tahu, dan kadang diucapkan Kyai tanpa tedeng aling-aling. Begitu saja mengalir.

Aku jadi ingat waktu aku pertama kali, datang ketempat Kyai. Kyai mengupas aku habis-habisan tentang pacar-pacarku. Apa yang kulakukan dengan si Hani, dengan Umi, dengan si Dyah dengan si Faty, Dina, semua disebutkan satu-satu oleh Kyai plus nama orang tua gadis itu. Jelas membuatku jengah, malu dan aku yang sebelumnya datang ke pesantren ini karena bekerja yaitu membuat kaligrafi dari semen, akhirnya memutuskan untuk mondok dan belajar ilmu dari Kyai.

Bersambung ke Chapter 2
Diubah oleh gelandangan143 23-08-2019 07:26
anton2019827Avatar border
redricesAvatar border
ir.rahma92Avatar border
ir.rahma92 dan 37 lainnya memberi reputasi
30
62.6K
226
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
gelandangan143Avatar border
TS
gelandangan143
#44
Chapter 6a

Sebenarnya untuk menikah, pemuda seumuranku dua puluh tiga tahun, menurutku juga belum matang, masih banyak yang harus digapai, sebenarnya alasan itu kubuat-buat sendiri, kalau tak mau membohongi jawaban yang pas, jawabannya adalah aku takut memberi nafkah, akan ku kasih makan apa nanti istriku? Kerjaan tetap tak ada, kalau membanggakan sebagai pelukis ah tak cukuplah, rokok aja aku kadang harus ngelinting dari puntung. Apa jadinya nanti istriku?

Pikiran seperti itu tentu timbul dan ada sebelum aku menjalani laku nggembel, jadi pengemis dan orang gila untuk melihat dengan ainul haq, bahwa segala rizqi segala mahluq yang bergerak merayap di atas bumi ini adalah di dalam kekuasaan Tuhan. Kalau aku sudah mengamalkan ilmu tawakal, tentu aku ditawari nikah he-eh aja.

Aku berjalan cepat karena sudah ngantuknya mataku, jam di tanganku sudah menunjukkan jam sepuluh siang, aku berhenti ketika mau menyeberang jalan raya, menunggu mobil yang lewat sepi, tiba-tiba suara kecil merdu terdengar di belakangku.

“Mas Ian, tunggu..!” suara Juwita berlari sambil membawa kresek hijau, menyusulku.

“Ini mas, nanti untuk berbuka puasa.”

“Makasih banyak.” seraya mengulurkan tangan untuk menerima.

Tapi gadis itu menariknya menjauhi tanganku, “Biar aku aja yang bawakan.” kata Juwita, seraya berlari mendahuluiku, menyeberang, aku pun mengikutinya dari belakang, kulihat Juwita dari belakang, tak terasa aku menelan ludah, ah dasar setan, sukanya menggoda manusia, tapi tak usah digoda setanpun, ini nyata benar-benar gadis yang sempurna, lincah, periang, ah glek uhuk, wah terlalu banyak ludah ku telan, jadi agak tersedak.

“Mas Ian, aku ingin melihat hasil karyanya, boleh kan?” aku ngangguk aja, gimana mau nolak, senyum yang merekah, gigi yang putih, lesung pipi, mata yang berpijaran, aduh runtuhlah pertahanan, dadaku benar-benar diaduk seperti bergolaknya lahar menggelegak, tapi tak punya jalan keluar dari tebing hatiku karena takut dengan jurang dan tebing bayangan buatanku sendiri, Juwita berjalan di sampingku.

Mungkin lima tahun yang lalu, aku ketemu Juwita, sebelum aku jadi murid Kyai, ah pasti udah ku pacari, tapi kini keadaannya lain, aku telah jadi murid Kyai, mungkin aku lebih senang kalau orang-orang seperti Juwita tak ada di dekatku, karena teramat susah melawan nafsu, teramat berat berperang dengan nafsu sendiri.

“Mas Ian maafkan Abah ya, memang Abah selalu begitu, kalau punya mau ceplas ceplos aja tanpa dipikir, maen jodoh-jodoh aja, emangnya ini jaman apa?” kata gadis itu mbesengut.

“Ah, tak papa kok.” mungkin Juwita sudah punya pacar di sekolahnya sehingga tak mau dijodohkan, aku maklum akan gadis sekarang, apalagi gadis secantik Juwita, aku cemburu? Ya enggak lah, “Tapi kalau memang benar mau milih,” suara gadis itu terdengar manja, “Mas Ian pilih Juwita ya?!” pletar..! Seperti petasan dinyalakan di telingaku, kaget nginggg, sebebas lepas benar gadis ini. Hampir aja jantungku copot, untung setelah tarik napas kurasakan masih ada.

Untung Juwita tak lama ada di tempat kerjaku dan berkali-kali dia berdecak mengagumi lukisanku, aku senyum nyengir aja, sampai saat mau pulang, gadis itu tiba-tiba memencet hidung mancungku, “Kamu memang hebaaat.” katanya gemes, perbuatannya yang mendadak itu sungguh mengagetkanku, tapi aku tak bisa menghindar. Ah sudahlah, kulihat ia berlari-lari kecil meninggalkanku, aku segera pergi tidur mengingat malam nanti aku harus kerja. Malamnya aku hanya kuat kerja sampai jam setengah dua dini hari, karena siang kurang istirahat, aku pun beranjak tidur, lampu ku matikan, tapi lampu penerangan di luar masih bisa menerobos masuk lewat lubang angin. Belum sampai lima menit aku tertidur, kurasakan tubuhku lengket di keramik tak bisa digerakkan dan dari pintu musholla nampak gadis-gadis berjalan, sekarang ini mereka ada lima orang. Aku mencoba menggerakkan tubuh, tapi sia-sia. Ah aku benar-benar tiada daya, tak mampu melawan apa-apa, mereka merudapaksaku habis-habisan, mereka ini apa? Aku tak mengerti, jika aku menangis, kemudian mengatakan aku dirudapaksa, pasti jadi bahan tertawaan. Maka besoknya aku pun memutuskan pulang ke pesantren, mau meminta solusi kepada Kyai. Setelah pamit pada pak Kosasih aku pun pulang.

Sampai di pesantren Kyai hanya tersenyum melihat aku yang loyo, “Gak papa cuma jin-jin perempuan yang nakal.” kata Kyai,

“Tapi Kyai..”

“Udah nanti ajak aja si Jauhari, sama si Majid, untuk menemani.” kata Kyai menghiburku.

Besoknya aku berangkat lagi ke tempat pak Kosasih. Hari itu aku tak langsung kerja, jadi malamnya aku disuruh istirahat dulu, setelah ngobrol dengan pak Kosasih sampai jam dua belas malam, kami pun beranjak tidur berdampingan. Sekarang akan kulihat apa reaksi perempuan itu. Tentu kejadian yang menimpaku tak ku ceritakan pada ketiga temanku. Rupanya kami bertiga mengalami hal yang berbeda-beda. Majid kakinya diangkat dan diputar-putar, sementara Jauhari dijatuhi anak kecil kira-kira umur sembilan tahunan diduduki dadanya dan dipukul sampai wajahnya pada lebam, wajahnya yang hitam makin tambah hitam, sementara aku masih tetap dirudapaksa. Sebenarnya kedua temanku ini sudah takut, dan mengajak aku kembali ke pondok, tapi tanggung lukisanku tinggal sedikit, maka ku bujuk mereka untuk menemaniku semalam lagi, karena paginya saling bercerita jadi kami tahu kisah masing-masing. “Entar malem aku yang tidur di tempat kamu aja mas, biar aku ngerasain bagaimana rasanya dirudapaksa, masak aku dibikin lebam kayak gini.” Jauhari protes, dan ku iyakan aja. Maka setelah kerja, kami pun berangkat tidur, dengan perasaan tegang. Sesuai permintaan Jauhari aku pun menempati tempatnya Jauhari, dan Jauhari menempati tempatku tidur, jam setengah empat kami semua bangun, kulihat muka Jauhari makin jontor.

Wajahnya yang jelek makin jelek aja, dan aku lemas sekali karena melayani lima wanita, pinggangku benar-benar sakit, dengkul kayak tak ada olinya lagi, sementara Majid ngos-ngosan karena semalaman kakinya diangkat-angkat dan diputer-puter. Tapi aku mengajak mereka berdua untuk neruskan tidur aja karena waktu subuh masih lama, saat itulah aku melihat dari pintu musholla masuk lima belas wanita cantik, beraneka warna bajunya juga anak kecil bersisik ular, digiring seorang kakek bongkok membawa cambuk, nampak kelima belas wanita dan anak kecil itu takut, tunduk. Ctar..! Suara cambuk dilecutkan, para perempuan itu menjerit.

“Ayo minta maaf, kalian telah mengganggu para santri Kyai Lentik, cepat minta maaf.!” bentak kakek tua itu, dengan takut-takut para perempuan itu minta maaf, kemudian mereka digiring kakek itu, keluar musholla, aku segera terbangun. Besoknya mencari tempat mandi. Di sumur dekat musholla, lalu ikut sholat shubuh di musholla, dan ketika Kyai Mashuri mengajakku main kerumahnya aku menolak dengan halus. Karena pekerjaan telah selesai maka aku dan teman-temanku pun pamit pulang kepada pak Kosasih.

Aku dipesan kalau membutuhkan pekerjaan harap sudi datang, karena masih banyak yang harus ku lukis. Saat berpamitan inilah pak Kosasih bercerita tentang riwayat masa lalunya rumah makan ini. Menurut kisahnya dulu sebelum menjadi rumah makan tempat ini adalah jurang yang lumayan dalam, dan sering kali terjadi kecelakaan, kadang rombongan pengantin satu mobil masuk jurang, semuanya meninggal dalam kecelakaan, ada satu keluarga dalam mobil semua meninggal dalam kecelakaan masuk jurang. Ada juga truk rombongan kampanye masuk jurang, walau tak semua mati, tapi akhirnya dari orang yang tak mati dalam kecelakaan inilah, diketahui, bahwa setiap mobil yang celaka sebetulnya jalannya tetap biasa saja, lurus, tapi entah kenapa tiba-tiba mobil ada di awang-awang dan meluncur ke jurang.

Melihat banyaknya kecelakaan itu, pak Kosasih pun membeli jurang dan tanah di sekitarnya, lalu dibangunlah rumah makan yang besar, dengan harapan termanfaatkannya tanah yang kosong dan yang lebih penting tak ada lagi kecelakaan. Tapi harapan pak Kosasih, hanya harapan saja, buktinya sampai sekarang kecelakaan di daerah itu tetap saja terjadi. Entah berapa kali tembok pagar rumah makan itu diganti, karena ambrol disruduk mobil yang mengalami kecelakaan. Juga para pelayan rumah makan itu tak ada yang kuat bertahan lebih dari tiga bulan, ada saja masalahnya, karena takut, karena kesurupan. Tapi rumah makan itu tetap berjalan dan ramai pengunjungnya.

Setelah pulang ke pesantren Pacung, aku menyelesaikan puasa empatpuluh satu hari, dan setelah selesai, aku minta ijin pada Kyai untuk pulang sebentar ke Tuban menengok kampung halaman, Kyai pun mengijiniku, tanpa menunggu lama aku berangkat pulang, walau telah hampir setahun aku mesantren di tempat Kyai, tapi aku masih tak tau aku ini mendapatkan apa di pesantren. Sebab Kyai tak pernah mengajarku apa-apa. Puasa juga baru dua puluh satu hari, dan empat puluh satu hari.

Sampai di desaku sendang rumahku adalah lingkungan pesantren, ada sekitar tujuh pesantren di sekitar rumahku, kalau dihitung dalam satu desaku ada sepuluh pesantren. Semua pengasuhnya masih ada hubungan saudara denganku, ada yang pamanku, ada yang saudara sepupu ayahku. Maka desaku terkenal dengan desa santri. Dan kehidupan masyarakatnya kebanyakan bertani. Ketika teman-temanku tau, aku datang ke rumah semua pada datang berkunjung, ada yang dari teman pesantren dekat rumah, tapi ada juga para gank kampung, maklum aku dulu anak yang paling nakal di desaku, bagiku sebenarnya kenakalan remaja, tapi bagi orang lain kenakalanku melampaui batas.

Aku ingat bersama teman-temanku mencuri semangka berkarung-karung, dan penjaganya ku ikat dengan tambang. Ku ingat menguras empang ikan orang yang ada di depan rumah orang sementara yang punya rumah ku pantek semua pintunya hingga tak bisa keluar. Dulu orang mending ngasih upeti kepadaku, daripada dihabiskan anak buahku. Siapa sih cewek cantik di desaku dan desa-desa tetanggaku yang tak pernah ku pacari?, yah itulah masa lalu, tapi apa yang telah terjadi di masa lalu memang tak bisa hilang dan akan tetap bagian dari lembaran hidup kita.

Habis sholat magrib teman-temanku sudah pada pulang, ibuku memanggil aku pun segera memenuhi panggilannya,

“Ada apa bu?” ketika sampai di dekat ibuku yang memasukkan buah-buahan ke tas plastik.

“Ayo antarkan ibu ke rumah paman Mursid.”

“Kenapa dengan paman Mursid Bu?”

“Paman Mursid sakit, sudah tiga bulan makannya lewat jarum infus, dokter udah tak sanggup, makanya dua hari yang lalu dibawa pulang.” aku cuma manggut-manggut dan mengerutkan kening. Aku segera menuju motor Jupiter, sebelumnya mengambil kunci kontak yang tergantung di balik pintu kamarku.

Setelah menyalakan motor untuk memanaskan mesinnya aku kembali ke tempat ibuku duduk. “Sakitnya sebenarnya sakit apa to bu?”

“Awalnya ya tak tau lah nang.” panggilan nang adalah panggilan orang Tuban kepada anak lelakinya, kalau masih kecil dipanggil cong, kalau sudah gede dipanggil nang.

“Paman Mursidmu itu ditemukan pingsan di pematang sawah dekat dam ratan. Sejak itu ditemukan ya sampai sekarang ini tak pernah sadar, kasihan pamanmu juga istrinya bibi Asiah, dia sudah kemana aja untuk mencarikan obat suaminya tapi tak mendapatkan hasil apa-apa.”

“Apa dulu waktu ditemukan tak ada tanda gigitan ular, bekne digigit ular.” tanyaku heran.

“Tak ada, tak ada tanda sakit apa-apa itulah yang aneh.”

“Trus menurut pemeriksaan dokter sakit apa bu?”

“Ah banyak kalau menurut dokter, ada komplikasi, ah pokoknya banyak gitu sisi gak mudeng aku, mungkin juga karangan dokter, nyatanya pamanmu tak sembuh.”

“Kalau dukun gimana?”

“Udah banyak dukun didatangkan, saratnya aneh-aneh, tapi semua percuma tak ada faedahnya, malah membuang buang uang saja.”

“Trus paman Muhsin udah nyoba? Kyai Kyai udah dimintai sareat?”

“Udah semua, paman Muhsin juga tak sanggup,”

“Wah kalau gitu ya berat” kataku mengakhiri pertanyaan.

Ku bonceng ibuku menuju rumah paman Mursid, pelan-pelan aku jalankan motor, melewati jalanan paping blok, di dunia ini yang paling ku sayangi dan ku hormati adalah ibuku, bukan hanya karena hadis Nabi mengatakan derajat ibu lebih mulia daripada ayah. Tapi karena ibu adalah orang yang sayang dan paling pengertian kepadaku, dulu saat aku masih nakal-nakalnya ibuku tak pernah menyalahkanku, tak pernah melarangku, malah kalau aku mau pergi nonton konser musik, ibukulah yang memasangkan anting di telingaku, yang menyisirkan rambut panjangku, soal cewek ibu selalu memesanku, punya cewek banyak tak masalah, karena memang aku dulu punya pacar tak pernah kurang dari sepuluh, tapi kata ibuku, jangan mencemarkan nama orang tua, jangan sampai kau menghamili wanita, yang bukan istrimu, ibumu juga wanita.

Ah ibu memang bijaksana.

Sampailah motorku di depan rumah paman Mursid.

Setelah mengucap salam, kami segera masuk, nampak di dalam juga banyak orang, dengan para lelaki aku segera bersalaman, ternyata juga banyak tukang suwuk (mungkin di tempat lain disebut dukun, tapi di daerahku disebut tukang suwuk, red.) ada kang Nur. Aku sebenarnya lebih mengenal orang ini adalah pelatih pencak silat, aku ingat waktu kecil orang ini suka menunjukkan ketrampilannya, berjalan di atas pedang, bergulingan di atas duri salak, makan pecahan kaca dan melengkungkan besi menggunakan lehernya, di saat keramaian tujubelasan Agustus.

Lalu yang ku salami yang kedua adalah kang Widji, orang ini sering dimintai oleh pemuda desa ilmu-ilmu pukulan, seperti lebur sekti, lembu sekilan dan lain-lain. Yang ku salami ketiga adalah pamanku, adik sepupu dari ayahku, namanya Muhsin, dia terkenal di daerahku sebagai orang yang menyembuhkan penyakit karena kerasukan jin, kesurupan, serta suka memagar rumah, mengambil wesi aji, yang lain adalah orang biasa. Aku juga menyalami Muhamad anak terbesar dari pamanku Mursid. Setelah menyalami aku pun mencari tempat duduk yang nyaman. Memang setelah melihat keadaan paman Mursid, sungguh orang siapa saja melihat pasti akan kasihan karena memang keadaannya sangat memprihatinkan.

Wajahnya kelihatan tua, padahal umurnya tak lebih dari limapuluh tahun tapi wajah paman Mursid seperti ketarik ke dalam, pipinya seperti masuk ke dalam, rongga matanya juga menjorok ke dalam, sampai seperti kubangan hitam, lehernya mengecil, seakan-akan mengkeret. Semua tulang iganya menonjok keluar, kulihat wajah paman Mursid seperti menahan penderitaan yang tak tertahan. Karena tubuh paman Mursid tak berbaju mungkin syarat dari dukun, karena banyak kembang aneka warna di sekitar tubuhnya, jadi aku bisa melihat perutnya. Oh ada gumpalan dalam perut sebesar kepalan tangan, aku tak berani bertanya, apa itu?

Tiba-tiba tubuh paman Mursid mengejang-ngejang, semua orang ribut, bibi Asiah menangis karena melihat suaminya seperti merasa sakit yang amat dasyat, para tukang suwuk pun berupaya menolong dengan segala daya, ada yang mengeluarkan jurus, ada yang meniup-niup, ada yang menyiprat-nyipratkan air, suasana tegang sekali, dan aku tetap duduk di kursi, melihat dari jauh, oh nampak olehku gumpalan di perut paman Mursid hidup dan bergerak kesana kemari, paman Mursid melenguh-lenguh kakinya menjejak-jejak tapi tubuhnya tetap di tempat. Ah ngeri aku. Namun usaha para tukang suwuk ini sama sekali tak ada manfaatnya.

Bibi Asiah menangis menggerung-nggerung melihat keadaan suaminya, juga Muhamad anak tertua paman Mursid juga menangis di sebelah kiri paman Mursid. Tiba -tiba bibi Asiah menghampiriku, dan mencengkeram lenganku,

“Dek Ian, ayolah bantu dek Ian huhuu… jangan melihat saja… siapa tau kesembuhannya dititipkan kepada dek Ian…, huhu… dek Ian kan dari Banten pasti bisa mengobati…” aku kaget.

“Aku?” seperti orang bego menunjuk hidung dengan jari telunjukku sendiri.

“Aku tak bisa apa-apa, wong di Banten itu tak diajari apa-apa…” kataku jujur, tapi mana mau orang panik mendengar. Aku main tarik-tarikan dengan bibi Asiah. Tiba-tiba kudengar suara ibuku di dekatku, “Cobalah nang… Tak ada salahnya dicoba…” aku tak pernah membantah ibuku maka aku pun maju ke tempat paman Mursid ditidurkan, tubuhnya masih mengejang-ngejang.

Sungguh aku tak tau, harus berbuat apa? Pura-pura mencak-mencak, ah kayaknya kurang bijak, di tempat orang sakit.

Ku ingat-ingat aku sering melihat Kyai mengobati orang, ah salah satu cara aja yang kupakai, setidaknya ada yang kulakukan.

Andai tak berhasilpun, aku tak akan disalahkan, wong orang yang telah punya nama sebagai tukang suwuk aja, tak berhasil apalagi aku yang bekas bocah ndugal.

Tanpa ragu aku melangkah maju, duduk di samping kanan paman Mursid, sementara di sebelah kirinya paman Mursid adalah anaknya yang bernama Muhamad.

Aku segera duduk bersila, wirid yang selama ini kubaca, satu per satu kubaca tiga kali dengan menahan napas, segala cipta rasa kukerahkan, akal kukonsentrasikan, rasa getaran halus berpendaran mengalir dari pusarku ke arah tapak tanganku, kupikirkan keluar dari tapak tanganku masuk ke tubuh paman Mursid membelitnya, mengikatnya kemudian menarik keluar, kugenggam dalam tanganku, lalu kubuang. Buk…! Suara gedebukan dari tubuh Muhamad yang tadi ada di samping kiri paman Mursid, tempat aku membuang apa yang kuambil, aku tak menyangka akan berakibat seperti itu. sekarang pemuda itu terjengkang ke belakang, kemudian berdiri dan tertawa-tawa, suaranya berat menyeramkan,

“Hua haha..keluarga ini akan ku habiskan, huahaha.”

Bersambung ke Chapter 6b
rijalbegundal
danjau
azznay
azznay dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.