- Beranda
- Stories from the Heart
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
...
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:

Cover:

NB: Sorry Bad Editing
Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter
Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita
Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.
Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.
Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.
Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.
Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.
Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.
Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.
Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.
Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.
Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.
Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.
***
Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.
“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.
“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.
“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.
Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.
Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.
Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.
Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.
“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.
“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.
“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.
“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.
“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”
Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.
“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.
Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.
“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.
Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.
Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.
***
Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.
Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,
“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.
“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.
Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.
“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.
Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.
Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.
“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.
“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.
“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.
“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.
“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.
Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.
Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.
Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.
Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.
“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.
“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.
‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.
Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.
Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
sandriaflow
#94
Chapter 27: Home Sick
22 Agustus 2016
Kuliah di hari pertama memang memiliki kesan yang cukup berbeda jika dibandingkan dengan saat-saat berada di bangku SMA. Jika jam pembelajaran di kala SMA murid belajar dari pagi hingga sore. Di bangku perkuliahan jam-jam itu tidak menentu tergantung jadwal yang tertera di kartu rancangan studi.
Kebetulan kuliahku hari ini dimulai pukul 11.00 WIB, maka dari itu aku bangun agak kesiangan. Anak-anak yang lain sudah dari pagi berangkat kuliah. Tak banyak yang dapat kulakukan untuk mengisi waktu luangku. Kecuali meminum segelas kopi sachet dan juga bermain smartphone di lantai atas.
Ibu kontrakan kami sungguh baik, kemarin lusa beliau meminjami kami sebuah dispenser untuk menampung galon dan juga dapat digunakan untuk menyeduh air panas. Dispenser tersebut merupakan sebuah anugerah terindah untuk kami terutama yang doyan rokok karena bisa digunakan untuk menyeduh kopi sachetan sebagai teman di kala hening hampa inspirasi.
Aku juga bertemu dengan teman-teman baru di jurusanku ini. Sekali lagi aku sedikit bahagia karena bukan hanya aku yang memulai ini dari nol. Ada banyak temanku yang masih asing dengan bahasa Jerman. Meskipun demikian, itu bukan jadi persoalan. Kami semua nantinya akan belajar dari dasar, sejengkal demi sejengkal hingga akhirnya kami nanti bisa berbahasa Jerman.
Bapak Usman yang juga menjabat sebagai Kepala Jurusan Sastra Jerman, beliau adalah dosen yang pertama kali mengajar di kelasku. Dari perangai luarnya, kesan pertama yang dapat kutangkap adalah beliau sosok yang tegas dan sangar. Kesan itu pun berubah seiring berjalannya waktu yang masih berjalan sepuluh menit, beliau ternyata lucu dan cukup humoris. Beliau mengajar mata kuliah ‘Pengantar Filsafat Ilmu’ untuk semester ini. Pertemuan kali ini, beliau hanya memanfaatkannya untuk sekedar perkenalan dan penyampaian rancangan pembelajaran studi untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Didalam kelas aku sedikit diam, aku belum terlalu akrab dengan teman-teman baruku. Hanya bertegur sapa sedikit, setengah menyimpan rasa malu.
***
Sudah menjadi suatu hal yang lazim untuk anak rantau yang baru pertama kali hidup di luar lingkungan keluarga. Mereka pasti akan mengalami gejala-gejala yang biasa dikenal dengan istilah homesick. Terutama untuk orang sepertiku, yang setiap hari berkumpul dengan keluarga, tiba-tiba belajar hidup mandiri di kota orang.
Terhitung hampir sepuluh hari berlalu sejak keberangkatanku ke Malang. Dalam kurun waktu itu aku hanya berkirim pesan dengan orangtuaku, aku bingung hendak menelpon karena tak ada satupun bahan pembicaraan yang terlintas di otakku. Aku terlalu sungkan, tapi bukan berarti aku tidak menyayangi mereka. Sebagai lelaki yang masih remaja mungkin aku terlalu malu untuk menunjukkan kasih sayangku kepada orangtuaku secara terus terang. Aku punya cara tersendiri untuk membuktikannya yaitu lewat usahaku yang sungguh-sungguh dalam menempuh pendidikanku ini. Aku juga belum bisa membalas atau membanggakan mereka, aku hanya bisa melantunkan doa kepada Tuhan agar orangtuaku senantiasa diberikan kesehatan.
“Ngapain lo Megg? Ngelamun aja didekat pintu. Jangan-jangan kesambet setan lo?” Kalimat dari Wirno membuyarkan lamunanku.
“Lagi kangen rumah bro, lo ngerti sendiri kan penyakit anak rantau yang masih baru.” Ujarku kalem tanpa ada semangat.
“Biasa itu mah, nih gue puterin lagu rock biar semangat balik lagi Megg.” Tanpa sempat aku menyanggah perkataannya, alunan musik keras terdengar menggelora lewat laptopnya yang tersambung sempurna dengan pengeras suara yang ia bawa dari rumah.
“Lo gila Wir? Keras banget, disebelah kita ada tetangga. Insaf bro, hahahaha.” Pelan namun pasti, rasa galauku karena rindu keluarga perlahan pupus tergerus alunan musik keras dari Linkin Park.
“Tenang Megg, masih jam tujuh malem. Paling tetangga sebelah lagi nonton dangdut di tivi. Gue nggak mau kalah.” Tukas Wirno mantap, sedikit meninggikan volumenya.
Koleksi Linkin Park milik Wirno lumayan lengkap di laptopnya. Bukan hanya mp3, ia juga mengoleksi video-video konser live yang diunggah di Youtube. Tak tanggung-tanggung ia mendownload video dengan kualitas HD, tak jarang ukuran file video itu lebih dari 500 MB. Lebih parahnya, dia juga mengoleksi album-album asli Linkin Park, bukan bajakan yang lima kali putar langsung error. Melihat itu aku setengah takjub, kuakui Wirno memang memiliki jiwa anak punk, rock, dan metal.
“Jenuh gue Wir, yang agak kalem ada nggak. Lumayan lah buat hati gue adem.” Ketusku pelan, mengomplain lagu yang sekarang diputar Wirno.
Tangannya dengan cepat menggerak-gerakkan mouse-nya lantas mengklik lagu yang akan ia putarkan. Alunan suara khas penyanyi perempuan legend pun menggelora memenuhi langit-langit ruangan. Nike Ardilla dengan lagu Bintang Kehidupan. Aku bernyanyi lantang, tak peduli suaraku fals atau malah mengganggu tetangga sebelah. Yang penting sekarang have fun dan lupakan sejenak kegalauan.
“Mau kemana lo Megg?” Wirno bertanya penuh heran melihat aku yang dengan cepat menuruni tangga menuju ke lantai bawah. Kurasa ia tak perlu jawaban atas tingkahku yang kemungkinan setiap orang pasti pernah mengalaminya.
Di dalam kamar mandi yang cukup sempit, aku menunaikan hajatku secara totalitas. Ada yang aneh, lagu yang barusan diganti dengan lagu lain. Bukan lagu Inggris, bukan pula lagu berbahasa Indonesia. Itu adalah lagu Jepang, tak ada keraguan. Kata ‘Minna-san’ sebagai pembuka cukup membuatku yakin. Aku tak heran jika itu adalah lagu rock khas Jepang, memang itu selera Wirno. Lagu yang kudengar adalah lagu dari Pop Idol Jepang, tak salah lagi, itu AKB48.
Dengan cepat aku membersihkan diri dan beringsut menuju lantai atas. Itu jelas bukan Wirno pikirku, mungkin Pras yang sedang memutar lagu tersebut.
“Halo bro, gimana udah enakan?” Senyum khas Wirno membuatku setengah menggigil ketakutan.
“Lo serius doyan lagu kayak beginian.” Aku bertanya dengan sejuta keheranan. Tampang sangar preman pasar adalah penggemar AKB48. Memang Tuhan Maha Adil.
“Cakep Megg, apalagi yang ini nih. Kawaaiii.” Sambil menunjuk salah satu personil AKB, Wirno memasang ekspresi wajah sok imut. Wirno memang lelaki sejati, tampang boleh sangar tapi hatinya tetap lembut layaknya kulit mulus personil AKB48.
“Eh gue juga punya koleksi foto-foto mereka Megg. Nih kalau lo mau lihat.” Dengan cepat ia menunjukkan foto-foto personil AKB sekaligus mengekspresikan kebanggaannya sebagai fans berat AKB48.
Mataku yang sedikit lesu perlahan langsung fresh kembali melihat pemandangan perempuan-perempuan cantik dengan pose nan aduhai dan tidak sesuai dengan tuntunan syaria. Sedapat mungkin aku menahan diriku agar tidak tegang apalagi berdiri sepontan. Segera aku mengakhiri perbuatan bejat tersebut.
“Lo emang laki-laki Wir, gue yakin lo pasti nyimpen bokep berpuluh-puluh GB.” Aku menyeringai ke arahnya, tertawa keras menertawakan dia.
“Ssssssst, rahasia lelaki itu bro. Hahahahaha.” Bisik dia lirih sembari menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya.
Aku menepuk bahunya sedikit keras, ia hampir terjatuh ke lantai. Mukanya sedikit menahan amarah terhadapku, aku pun meminta maaf. Itu hanya sekedar sapaan akrab ala teman, alasan klasik yang ku sampaikan kepadanya. Ia tertawa melihat ekspresiku yang sedikit ketakutan, itu tadi hanya sandiwara Wirno semata.
Mulai malam ini hingga malam-malam seterusnya, lagu-lagu Idol Jepang serta lagu-lagu band cadas selalu terdengar di kontrakan kami. Terkadang jika Wirno sedang sibuk mengerjakan tugas, aku meminjam pengeras suara milikinya lantas ku putar lagu-lagu melow abad kegalauan.
***
25 Agustus 2016
Jadwal kuliahku tak terlalu padat di semester ini, hanya sampai hari Kamis. Seusai hari itu, jadwalku kosong. Dan saat-saat itu kumanfaatkan untuk pulang ke kampung halamanku. Rasa rindu rasanya sudah menumpuk didalam diriku, ingin rasanya aku segera bertemu keluargaku yang menunggu di rumah. Rencanaku hari ini seusai kuliah aku ingin langsung pulang.
Mata kuliah yang terjadwal di hari ini hanya ada satu yaitu Deutsch I. Yap, itu adalah mata kuliah khusus dan yang paling utama untuk dikuasai. Aku berpedoman kepada buku paket Studio d A1 yang telah ku beli beberapa waktu di Bibliothek (Perpustakaan milik sastra Jerman) Universitas Negeri Malang. Harganya cukup lumayan, namun itupun seimbang dengan isi dan manfaat yang akan di peroleh. Dosen yang mengajar mata kuliah ini adalah Bapak Tiwa, beliau pernah kuliah di Swiss dan juga berkunjung ke Jerman. Skill beliau dalam mengajar tak perlu dipertanyakan lagi, karena dia sudah sangat mahir dalam berbahasa Jerman.
Kali ini beliau hanya menyampaikan ungkapan-ungkapan dasar dalam bahasa Jerman semisal tentang cara memperkenalkan diri, asal dan tempat tinggal. Beliau menerapkan konsep pembelajaran yang menurutku sendiri cukup menyenangkan. Masing-masing anak diberikan selembar kertas lantas kami bertanya ke anak-anak yang lain, bertanya biografi sesuai dengan ungkapan yang telah disampaikan oleh pak Tiwa.
Di kala jam kuliah telah berakhir, aku langsung bergegas ke kontrakan untuk menyelesaikan beberapa urusan seperti bersih-bersih kamar. Suasana didalam kamar sungguh sepi, hanya ada Syarif yang sedang merapikan diri hendak berangkat kuliah.
“Eh Rif, gue mau pulang kampung. Titip salam ya ke anak-anak nanti.” Aku berpesan singkat kepada Syarif.
“Oke Megg, hati-hati dijalan.” Jawabnya mantap.
Ia kemudian berangkat kuliah, aku segera ke lantai atas mengangat jemuranku yang telah kering. Kutaruh didalam lemari dengan terlipat rapi. Aku mengambil beberapa uang yang masih tersisa beberapa ratus ribu lalu ku masukkan didalam tasku seaman mungkin. Sebelum meninggalkan rumah, aku pun berwudhu dan mengerjakan sholat Dzuhur dan Ashar yang ku Jama’ bersamaan.
Aku pun meninggalkan rumah kontrakkan itu dan berjalan kaki menuju jalan raya didekat Malang Town Square untuk mencari angkot jurusan terminal.
***
Disalah satu kursi tempat menunggu kedatangan bus harap-harap cemas aku menunggu. Sempat aku sedikit kesal dengan tingkah laku sopir angkot tadi yang kurang ramah. Memang aku setengah khawatir karena aku pulang sendirian dan didalam tasku ada uang yang tidak sedikit. Aku sangat berhati-hati dan menjaga sikap agar tetap tenang.
Hampir satu jam aku menunggu tak ada satupun bus dengan jurusan ke kotaku. Kebanyakan bus itu hanya berhenti di kota Blitar, tidak sampai ke Tulungagung. Pikiranku tambah sedikit kacau, bus yang dulu kunaiki tak terlihat perangainya. Aku masih tetap bersabar.
Disekelilingku terdapat banyak orang asing, bapak-bapak yang berjualan barang dagangan. Ada juga entah aku tak tahu hendak menyebutnya apa, bapak-bapak itu berkoar-koar membantu sopir bus mencari penumpang. Usianya sudah renta, namun masih tetap bugar dan teriakannya beliau cukup lantang membuana.
“Kemana mas?” Bapak tua itu bertanya keras kearahku.
Aku menjawab lirih, bapak tua itu manggut-manggut menunjuk bus yang masih diam ditempat. Sebentar lagi, bus itu akan merapat ke dekat tempatku dan para penumpang lain yang sedang menunggu. Bapak tua itu menjelaskan bahwa bus itu juga termasuk bus jurusan Tulungagung. Aku sedikit kurang yakin, namun kuamati dengan teliti bus dan memang di kaca depan bus itu tertulis kata ‘Tulungagung’. Kumantapkan hatiku dan kuputuskan untuk naik bus tersebut melihat waktu yang sudah semakin sore.
Bus itu merapat, para penumpang satu persatu naik. Salah seorang kernet bus itu keluar, aku pun memastikan sekali lagi bahwa bus itu benar-benar jurusan Tulungagung. Bapak itu mengangguk pelan misterius. Aku sudah kehabisan akal, aku berpikiran positif terhadap kernet tersebut.
Beberapa saat setelah kursi didalam bus terisi penuh, bus pun melaju meninggalkan terminal. Para pengamen dan para penjaja asongan yang hendak mengais rezeki ikut naik kedalam bus. Pemandangan yang sudah cukup biasa bagiku. Pengamen bernyanyi dengan ritme permainan gitar khas yang sudah menjadi pakem bagi pengamen, meski terkadang ada juga pengamen yang mengamen cukup bagus.
“Pak beli martabak hangatnya dua.” Aku memanggil seorang bapak pedagang asongan yang berada didekatku. Kukeluarkan beberapa lembar uang dari dompetku. Urusan perut memang tak bisa dikadali, sebuah martabak itu segera kulahap habis.
Kernet yang bersikap misterius tadi pun menghampiri satu persatu penumpang untuk menagih ongkos bus.
“Kemana mas?” Tukasnya singkat kepadaku.
“Tulungagung pak.” Ujarku singkat. Kernet itu pun memainkan spidolnya di atas tumpukan karcis yang digenggamnya. Lantas menyobek dan menyerahkannya kepadaku.
“Blitar dulu, delapan belas ribu mas.” Jawab kernet itu tanpa dosa. Aku kesal bukan kepalang, artinya aku harus singgah dulu di Blitar nanti. Aku menyerahkan ongkos bus kepada kernet itu dengan cepat. Pikiranku kacau balau menatap ramainya jalanan. Ah, sudahlah tidur sepertinya membuat pikiranku lebih tenang.
***
Waktu memasuk saat adzan Maghrib, bus sebentar lagi sampai di terminal Patria, kota Blitar. Aku terlelap cukup lama didalam bus tadi, perasaan kesalku memang teredam sesaat. Setelah kupikir ulang, semua sudah terlanjur tak ada yang perlu disesali. Kejadian tak menyenangkan ini bisa kujadikan pengalaman nantinya. Satu hal yang mesti dicatat “Jangan percaya omongan orang” itu adalah pelajaran penting hari ini.
Bus pun berhenti dipinggir jalan, tepat didepan terminal Patria. Para penumpang pun turun satu persatu. Aku merapikan tas dan pakaianku yang sedikit berantakan, dengan sedikit lesu aku pun turun.
Dari luar kernet itu berteriak-teriak kencang.
“Trenggalek, Tulungagung, pindah ke bus depan. Trenggalek, Tulungagung, pindah ke bus depan.” Suara kernet itu kencang, seketika aku langsung bersemangat karena aku tak perlu membuang-buang waktu di tempat ini. Dengan ini aku langsung bisa menuju Tulungagung.
Segera aku naik ke bus depan, bus mini yang tak terlalu besar. Penumpang didalamnya juga tidak sepadat bus tadi. Aku memberi pesan singkat kepada pamanku untuk menjemputku jika aku sudah sampai. Dalam hati aku hanya berharap agar cepat-cepat sampai rumah, sungguh tidak sabar ingin bertemu keluargaku.
Kurang lebih sekitar pukul setengah tujuh malam, aku sampai di pertigaan pasar Ngunut. Aku sengaja berhenti di tempat ini guna menghembat ongkos, ketimbang turun di terminal Tulungagung. Aku menepi di pinggir jalan sembari menanti pamanku yang kemungkinan masih dirumah.
Tak jauh dari tempatku ada sebuah warung kaki lima, warung itu sepertinya menjual minuman hangat. Aku pun mampir kesana, sekaligus untuk membunuh kebosananku.
“Buk, pesan ronde hangat satu ya.” Aku memesan kepada ibu-ibu penjaga warung. Mataku menatap sekeliling, tak ada satupun pemandangan spesial kecuali puluah kendaraan lalu lalang. Entah mengapa, suasananya tampak berbeda. Padahal aku baru tinggal di kota orang tak sampai dua minggu, namun aku begitu rindu dengan kotaku ini.
Hanya beberapa menit aku menunggu, ibu itu mengantarkan pesananku. Semangkuk ronde hangat siap dinikmati. Berhubung masih panas, aku menikmatinya pelan-pelan. Aroma jahe dari mangkuk ronde itu sungguh harum. Ditambah mutiara-mutiara kecil didalamnya, membuat rasanya sungguh perfecto. Tubuhku sekarang lebih hangat ketimbang beberapa saat yang lalu. Aku mengambil dua buah tahu petis yang tersaji dimeja guna mengurangi rasa lapar didalam perut.
Seusai membayar, aku kembali berdiri di pinggir jalan. Mengamati setiap kendaraan yang melintas, barangkali itu adalah pamanku. Kira-kira sepuluh menit aku menunggu, pamanku akhirnya kelihatan. Ia berdiri dipinggir jalan, celingukan mencariku. Aku bergegas menyeberang jalan menuju tempatnya.
“Om, ayo.” Tukasku singkat lantas beringsut naik ke atas motor hitam yang biasa kupakai saat sekolah dulu. Tanpa ba-bi-bu pamanku langsung melenggang cepat di jalan raya, memacu motor dengan cepat layaknya pembalap di sirkuit. Aku maklum, sudah jadi kebiasaan pamanku ngebut dijalanan.
Di rumah, ibu, adik dan nenekku telah duduk menantiku. Sesaat setelah aku membuka pintu rumah, wajah-wajah gembira itu menyambutku hangat. Aku menyalami ibuku yang kelihatannya sudah terlampau rindu dengan anaknya. Dengan ini, penyakit homesick pun telah terobati. Dan seiring berjalannya waktu, penyakit ini akan menghilang dengan sendirinya.
Kuliah di hari pertama memang memiliki kesan yang cukup berbeda jika dibandingkan dengan saat-saat berada di bangku SMA. Jika jam pembelajaran di kala SMA murid belajar dari pagi hingga sore. Di bangku perkuliahan jam-jam itu tidak menentu tergantung jadwal yang tertera di kartu rancangan studi.
Kebetulan kuliahku hari ini dimulai pukul 11.00 WIB, maka dari itu aku bangun agak kesiangan. Anak-anak yang lain sudah dari pagi berangkat kuliah. Tak banyak yang dapat kulakukan untuk mengisi waktu luangku. Kecuali meminum segelas kopi sachet dan juga bermain smartphone di lantai atas.
Ibu kontrakan kami sungguh baik, kemarin lusa beliau meminjami kami sebuah dispenser untuk menampung galon dan juga dapat digunakan untuk menyeduh air panas. Dispenser tersebut merupakan sebuah anugerah terindah untuk kami terutama yang doyan rokok karena bisa digunakan untuk menyeduh kopi sachetan sebagai teman di kala hening hampa inspirasi.
Aku juga bertemu dengan teman-teman baru di jurusanku ini. Sekali lagi aku sedikit bahagia karena bukan hanya aku yang memulai ini dari nol. Ada banyak temanku yang masih asing dengan bahasa Jerman. Meskipun demikian, itu bukan jadi persoalan. Kami semua nantinya akan belajar dari dasar, sejengkal demi sejengkal hingga akhirnya kami nanti bisa berbahasa Jerman.
Bapak Usman yang juga menjabat sebagai Kepala Jurusan Sastra Jerman, beliau adalah dosen yang pertama kali mengajar di kelasku. Dari perangai luarnya, kesan pertama yang dapat kutangkap adalah beliau sosok yang tegas dan sangar. Kesan itu pun berubah seiring berjalannya waktu yang masih berjalan sepuluh menit, beliau ternyata lucu dan cukup humoris. Beliau mengajar mata kuliah ‘Pengantar Filsafat Ilmu’ untuk semester ini. Pertemuan kali ini, beliau hanya memanfaatkannya untuk sekedar perkenalan dan penyampaian rancangan pembelajaran studi untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Didalam kelas aku sedikit diam, aku belum terlalu akrab dengan teman-teman baruku. Hanya bertegur sapa sedikit, setengah menyimpan rasa malu.
***
Sudah menjadi suatu hal yang lazim untuk anak rantau yang baru pertama kali hidup di luar lingkungan keluarga. Mereka pasti akan mengalami gejala-gejala yang biasa dikenal dengan istilah homesick. Terutama untuk orang sepertiku, yang setiap hari berkumpul dengan keluarga, tiba-tiba belajar hidup mandiri di kota orang.
Terhitung hampir sepuluh hari berlalu sejak keberangkatanku ke Malang. Dalam kurun waktu itu aku hanya berkirim pesan dengan orangtuaku, aku bingung hendak menelpon karena tak ada satupun bahan pembicaraan yang terlintas di otakku. Aku terlalu sungkan, tapi bukan berarti aku tidak menyayangi mereka. Sebagai lelaki yang masih remaja mungkin aku terlalu malu untuk menunjukkan kasih sayangku kepada orangtuaku secara terus terang. Aku punya cara tersendiri untuk membuktikannya yaitu lewat usahaku yang sungguh-sungguh dalam menempuh pendidikanku ini. Aku juga belum bisa membalas atau membanggakan mereka, aku hanya bisa melantunkan doa kepada Tuhan agar orangtuaku senantiasa diberikan kesehatan.
“Ngapain lo Megg? Ngelamun aja didekat pintu. Jangan-jangan kesambet setan lo?” Kalimat dari Wirno membuyarkan lamunanku.
“Lagi kangen rumah bro, lo ngerti sendiri kan penyakit anak rantau yang masih baru.” Ujarku kalem tanpa ada semangat.
“Biasa itu mah, nih gue puterin lagu rock biar semangat balik lagi Megg.” Tanpa sempat aku menyanggah perkataannya, alunan musik keras terdengar menggelora lewat laptopnya yang tersambung sempurna dengan pengeras suara yang ia bawa dari rumah.
“Lo gila Wir? Keras banget, disebelah kita ada tetangga. Insaf bro, hahahaha.” Pelan namun pasti, rasa galauku karena rindu keluarga perlahan pupus tergerus alunan musik keras dari Linkin Park.
“Tenang Megg, masih jam tujuh malem. Paling tetangga sebelah lagi nonton dangdut di tivi. Gue nggak mau kalah.” Tukas Wirno mantap, sedikit meninggikan volumenya.
Koleksi Linkin Park milik Wirno lumayan lengkap di laptopnya. Bukan hanya mp3, ia juga mengoleksi video-video konser live yang diunggah di Youtube. Tak tanggung-tanggung ia mendownload video dengan kualitas HD, tak jarang ukuran file video itu lebih dari 500 MB. Lebih parahnya, dia juga mengoleksi album-album asli Linkin Park, bukan bajakan yang lima kali putar langsung error. Melihat itu aku setengah takjub, kuakui Wirno memang memiliki jiwa anak punk, rock, dan metal.
“Jenuh gue Wir, yang agak kalem ada nggak. Lumayan lah buat hati gue adem.” Ketusku pelan, mengomplain lagu yang sekarang diputar Wirno.
Tangannya dengan cepat menggerak-gerakkan mouse-nya lantas mengklik lagu yang akan ia putarkan. Alunan suara khas penyanyi perempuan legend pun menggelora memenuhi langit-langit ruangan. Nike Ardilla dengan lagu Bintang Kehidupan. Aku bernyanyi lantang, tak peduli suaraku fals atau malah mengganggu tetangga sebelah. Yang penting sekarang have fun dan lupakan sejenak kegalauan.
“Mau kemana lo Megg?” Wirno bertanya penuh heran melihat aku yang dengan cepat menuruni tangga menuju ke lantai bawah. Kurasa ia tak perlu jawaban atas tingkahku yang kemungkinan setiap orang pasti pernah mengalaminya.
Di dalam kamar mandi yang cukup sempit, aku menunaikan hajatku secara totalitas. Ada yang aneh, lagu yang barusan diganti dengan lagu lain. Bukan lagu Inggris, bukan pula lagu berbahasa Indonesia. Itu adalah lagu Jepang, tak ada keraguan. Kata ‘Minna-san’ sebagai pembuka cukup membuatku yakin. Aku tak heran jika itu adalah lagu rock khas Jepang, memang itu selera Wirno. Lagu yang kudengar adalah lagu dari Pop Idol Jepang, tak salah lagi, itu AKB48.
Dengan cepat aku membersihkan diri dan beringsut menuju lantai atas. Itu jelas bukan Wirno pikirku, mungkin Pras yang sedang memutar lagu tersebut.
“Halo bro, gimana udah enakan?” Senyum khas Wirno membuatku setengah menggigil ketakutan.
“Lo serius doyan lagu kayak beginian.” Aku bertanya dengan sejuta keheranan. Tampang sangar preman pasar adalah penggemar AKB48. Memang Tuhan Maha Adil.
“Cakep Megg, apalagi yang ini nih. Kawaaiii.” Sambil menunjuk salah satu personil AKB, Wirno memasang ekspresi wajah sok imut. Wirno memang lelaki sejati, tampang boleh sangar tapi hatinya tetap lembut layaknya kulit mulus personil AKB48.
“Eh gue juga punya koleksi foto-foto mereka Megg. Nih kalau lo mau lihat.” Dengan cepat ia menunjukkan foto-foto personil AKB sekaligus mengekspresikan kebanggaannya sebagai fans berat AKB48.
Mataku yang sedikit lesu perlahan langsung fresh kembali melihat pemandangan perempuan-perempuan cantik dengan pose nan aduhai dan tidak sesuai dengan tuntunan syaria. Sedapat mungkin aku menahan diriku agar tidak tegang apalagi berdiri sepontan. Segera aku mengakhiri perbuatan bejat tersebut.
“Lo emang laki-laki Wir, gue yakin lo pasti nyimpen bokep berpuluh-puluh GB.” Aku menyeringai ke arahnya, tertawa keras menertawakan dia.
“Ssssssst, rahasia lelaki itu bro. Hahahahaha.” Bisik dia lirih sembari menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya.
Aku menepuk bahunya sedikit keras, ia hampir terjatuh ke lantai. Mukanya sedikit menahan amarah terhadapku, aku pun meminta maaf. Itu hanya sekedar sapaan akrab ala teman, alasan klasik yang ku sampaikan kepadanya. Ia tertawa melihat ekspresiku yang sedikit ketakutan, itu tadi hanya sandiwara Wirno semata.
Mulai malam ini hingga malam-malam seterusnya, lagu-lagu Idol Jepang serta lagu-lagu band cadas selalu terdengar di kontrakan kami. Terkadang jika Wirno sedang sibuk mengerjakan tugas, aku meminjam pengeras suara milikinya lantas ku putar lagu-lagu melow abad kegalauan.
***
25 Agustus 2016
Jadwal kuliahku tak terlalu padat di semester ini, hanya sampai hari Kamis. Seusai hari itu, jadwalku kosong. Dan saat-saat itu kumanfaatkan untuk pulang ke kampung halamanku. Rasa rindu rasanya sudah menumpuk didalam diriku, ingin rasanya aku segera bertemu keluargaku yang menunggu di rumah. Rencanaku hari ini seusai kuliah aku ingin langsung pulang.
Mata kuliah yang terjadwal di hari ini hanya ada satu yaitu Deutsch I. Yap, itu adalah mata kuliah khusus dan yang paling utama untuk dikuasai. Aku berpedoman kepada buku paket Studio d A1 yang telah ku beli beberapa waktu di Bibliothek (Perpustakaan milik sastra Jerman) Universitas Negeri Malang. Harganya cukup lumayan, namun itupun seimbang dengan isi dan manfaat yang akan di peroleh. Dosen yang mengajar mata kuliah ini adalah Bapak Tiwa, beliau pernah kuliah di Swiss dan juga berkunjung ke Jerman. Skill beliau dalam mengajar tak perlu dipertanyakan lagi, karena dia sudah sangat mahir dalam berbahasa Jerman.
Kali ini beliau hanya menyampaikan ungkapan-ungkapan dasar dalam bahasa Jerman semisal tentang cara memperkenalkan diri, asal dan tempat tinggal. Beliau menerapkan konsep pembelajaran yang menurutku sendiri cukup menyenangkan. Masing-masing anak diberikan selembar kertas lantas kami bertanya ke anak-anak yang lain, bertanya biografi sesuai dengan ungkapan yang telah disampaikan oleh pak Tiwa.
Di kala jam kuliah telah berakhir, aku langsung bergegas ke kontrakan untuk menyelesaikan beberapa urusan seperti bersih-bersih kamar. Suasana didalam kamar sungguh sepi, hanya ada Syarif yang sedang merapikan diri hendak berangkat kuliah.
“Eh Rif, gue mau pulang kampung. Titip salam ya ke anak-anak nanti.” Aku berpesan singkat kepada Syarif.
“Oke Megg, hati-hati dijalan.” Jawabnya mantap.
Ia kemudian berangkat kuliah, aku segera ke lantai atas mengangat jemuranku yang telah kering. Kutaruh didalam lemari dengan terlipat rapi. Aku mengambil beberapa uang yang masih tersisa beberapa ratus ribu lalu ku masukkan didalam tasku seaman mungkin. Sebelum meninggalkan rumah, aku pun berwudhu dan mengerjakan sholat Dzuhur dan Ashar yang ku Jama’ bersamaan.
Aku pun meninggalkan rumah kontrakkan itu dan berjalan kaki menuju jalan raya didekat Malang Town Square untuk mencari angkot jurusan terminal.
***
Disalah satu kursi tempat menunggu kedatangan bus harap-harap cemas aku menunggu. Sempat aku sedikit kesal dengan tingkah laku sopir angkot tadi yang kurang ramah. Memang aku setengah khawatir karena aku pulang sendirian dan didalam tasku ada uang yang tidak sedikit. Aku sangat berhati-hati dan menjaga sikap agar tetap tenang.
Hampir satu jam aku menunggu tak ada satupun bus dengan jurusan ke kotaku. Kebanyakan bus itu hanya berhenti di kota Blitar, tidak sampai ke Tulungagung. Pikiranku tambah sedikit kacau, bus yang dulu kunaiki tak terlihat perangainya. Aku masih tetap bersabar.
Disekelilingku terdapat banyak orang asing, bapak-bapak yang berjualan barang dagangan. Ada juga entah aku tak tahu hendak menyebutnya apa, bapak-bapak itu berkoar-koar membantu sopir bus mencari penumpang. Usianya sudah renta, namun masih tetap bugar dan teriakannya beliau cukup lantang membuana.
“Kemana mas?” Bapak tua itu bertanya keras kearahku.
Aku menjawab lirih, bapak tua itu manggut-manggut menunjuk bus yang masih diam ditempat. Sebentar lagi, bus itu akan merapat ke dekat tempatku dan para penumpang lain yang sedang menunggu. Bapak tua itu menjelaskan bahwa bus itu juga termasuk bus jurusan Tulungagung. Aku sedikit kurang yakin, namun kuamati dengan teliti bus dan memang di kaca depan bus itu tertulis kata ‘Tulungagung’. Kumantapkan hatiku dan kuputuskan untuk naik bus tersebut melihat waktu yang sudah semakin sore.
Bus itu merapat, para penumpang satu persatu naik. Salah seorang kernet bus itu keluar, aku pun memastikan sekali lagi bahwa bus itu benar-benar jurusan Tulungagung. Bapak itu mengangguk pelan misterius. Aku sudah kehabisan akal, aku berpikiran positif terhadap kernet tersebut.
Beberapa saat setelah kursi didalam bus terisi penuh, bus pun melaju meninggalkan terminal. Para pengamen dan para penjaja asongan yang hendak mengais rezeki ikut naik kedalam bus. Pemandangan yang sudah cukup biasa bagiku. Pengamen bernyanyi dengan ritme permainan gitar khas yang sudah menjadi pakem bagi pengamen, meski terkadang ada juga pengamen yang mengamen cukup bagus.
“Pak beli martabak hangatnya dua.” Aku memanggil seorang bapak pedagang asongan yang berada didekatku. Kukeluarkan beberapa lembar uang dari dompetku. Urusan perut memang tak bisa dikadali, sebuah martabak itu segera kulahap habis.
Kernet yang bersikap misterius tadi pun menghampiri satu persatu penumpang untuk menagih ongkos bus.
“Kemana mas?” Tukasnya singkat kepadaku.
“Tulungagung pak.” Ujarku singkat. Kernet itu pun memainkan spidolnya di atas tumpukan karcis yang digenggamnya. Lantas menyobek dan menyerahkannya kepadaku.
“Blitar dulu, delapan belas ribu mas.” Jawab kernet itu tanpa dosa. Aku kesal bukan kepalang, artinya aku harus singgah dulu di Blitar nanti. Aku menyerahkan ongkos bus kepada kernet itu dengan cepat. Pikiranku kacau balau menatap ramainya jalanan. Ah, sudahlah tidur sepertinya membuat pikiranku lebih tenang.
***
Waktu memasuk saat adzan Maghrib, bus sebentar lagi sampai di terminal Patria, kota Blitar. Aku terlelap cukup lama didalam bus tadi, perasaan kesalku memang teredam sesaat. Setelah kupikir ulang, semua sudah terlanjur tak ada yang perlu disesali. Kejadian tak menyenangkan ini bisa kujadikan pengalaman nantinya. Satu hal yang mesti dicatat “Jangan percaya omongan orang” itu adalah pelajaran penting hari ini.
Bus pun berhenti dipinggir jalan, tepat didepan terminal Patria. Para penumpang pun turun satu persatu. Aku merapikan tas dan pakaianku yang sedikit berantakan, dengan sedikit lesu aku pun turun.
Dari luar kernet itu berteriak-teriak kencang.
“Trenggalek, Tulungagung, pindah ke bus depan. Trenggalek, Tulungagung, pindah ke bus depan.” Suara kernet itu kencang, seketika aku langsung bersemangat karena aku tak perlu membuang-buang waktu di tempat ini. Dengan ini aku langsung bisa menuju Tulungagung.
Segera aku naik ke bus depan, bus mini yang tak terlalu besar. Penumpang didalamnya juga tidak sepadat bus tadi. Aku memberi pesan singkat kepada pamanku untuk menjemputku jika aku sudah sampai. Dalam hati aku hanya berharap agar cepat-cepat sampai rumah, sungguh tidak sabar ingin bertemu keluargaku.
Kurang lebih sekitar pukul setengah tujuh malam, aku sampai di pertigaan pasar Ngunut. Aku sengaja berhenti di tempat ini guna menghembat ongkos, ketimbang turun di terminal Tulungagung. Aku menepi di pinggir jalan sembari menanti pamanku yang kemungkinan masih dirumah.
Tak jauh dari tempatku ada sebuah warung kaki lima, warung itu sepertinya menjual minuman hangat. Aku pun mampir kesana, sekaligus untuk membunuh kebosananku.
“Buk, pesan ronde hangat satu ya.” Aku memesan kepada ibu-ibu penjaga warung. Mataku menatap sekeliling, tak ada satupun pemandangan spesial kecuali puluah kendaraan lalu lalang. Entah mengapa, suasananya tampak berbeda. Padahal aku baru tinggal di kota orang tak sampai dua minggu, namun aku begitu rindu dengan kotaku ini.
Hanya beberapa menit aku menunggu, ibu itu mengantarkan pesananku. Semangkuk ronde hangat siap dinikmati. Berhubung masih panas, aku menikmatinya pelan-pelan. Aroma jahe dari mangkuk ronde itu sungguh harum. Ditambah mutiara-mutiara kecil didalamnya, membuat rasanya sungguh perfecto. Tubuhku sekarang lebih hangat ketimbang beberapa saat yang lalu. Aku mengambil dua buah tahu petis yang tersaji dimeja guna mengurangi rasa lapar didalam perut.
Seusai membayar, aku kembali berdiri di pinggir jalan. Mengamati setiap kendaraan yang melintas, barangkali itu adalah pamanku. Kira-kira sepuluh menit aku menunggu, pamanku akhirnya kelihatan. Ia berdiri dipinggir jalan, celingukan mencariku. Aku bergegas menyeberang jalan menuju tempatnya.
“Om, ayo.” Tukasku singkat lantas beringsut naik ke atas motor hitam yang biasa kupakai saat sekolah dulu. Tanpa ba-bi-bu pamanku langsung melenggang cepat di jalan raya, memacu motor dengan cepat layaknya pembalap di sirkuit. Aku maklum, sudah jadi kebiasaan pamanku ngebut dijalanan.
Di rumah, ibu, adik dan nenekku telah duduk menantiku. Sesaat setelah aku membuka pintu rumah, wajah-wajah gembira itu menyambutku hangat. Aku menyalami ibuku yang kelihatannya sudah terlampau rindu dengan anaknya. Dengan ini, penyakit homesick pun telah terobati. Dan seiring berjalannya waktu, penyakit ini akan menghilang dengan sendirinya.
0