Kaskus

Story

gelandangan143Avatar border
TS
gelandangan143
Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN
Assalamualaikum wr. wb.

Salam sejahtera semuanya. Mohon ijin untuk menceritakan ulang Kisah Sang Guru yg bermuatan banyak pelajaran Hikmah kehidupan yg bermuatan Religi, Supranatural dan Spiritual.

Index Thread :
Spoiler for Index Thread :



Sebuah Kisah Nyata Perjalanan Hidup, Spiritual & Supranatural
Perjalanan Sang Penguasa Alam JIN & KAHYANGAN


CHAPTER 1


Pagi belumlah terang, lereng gunung putri masih diselimuti kabut tebal, dingin masih menusuk tulang. Di lereng gunung sebelah selatan, nampak berjejer kobong pondokan santri tak teratur. Sayup terdengar suara wirid para santri di bagian tengah pondokan, rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian dihamparkan dengan rapi, sehingga kalau diinjak kaki akan terdengar bunyi derit bambu yang khas. Nampak para santri yang jumlahnya 15 orang duduk melingkar khusuk dalam wiridnya.

Sang Kyai yang juga ada dalam lingkaran juga duduk bersila, orang tak akan menyangka mana Kyai mana murid. Sebab semua sama, hanya ketika Sang Kyai mengangkat tangannya dan wirid semuanya berhenti. Kemudian Sang Kyai menyuruh wirid yang lain, santri pun melanjutkan. Orang tak akan menyangka yang disebut Kyai ini seorang remaja, kira-kira umurnya 12 tahun, kulitnya putih bersih, dengan wajah biasa, namun memancarkan wibawa yang tiada taranya. Presiden sekalipun akan dibuat tunduk bila berdiri di hadapannya.

Di sebelah rumah Sang Kyai ada rumah bambu lagi yang lumayan besar, dindingnya dari kerai, yaitu bambu yang disisik halus kecil-kecil kemudian disusun rapi dengan tambang, sehingga bisa dibuka tutup dengan digulung, dalamnya juga beralaskan bambu seperti di rumah Kyai, nampak banyak orang lelaki tiduran dengan nyenyak. Mereka ada sekitar 20 orang, kesemuanya lelaki. Karena tempat para tamu perempuan ada tempatnya sendiri.

Para tamu ini bukanlah orang yang biasa-biasa. Seperti pak Udin, yang seorang tentara yang punya kedudukan di angkatan udara. Pak Yusup yang seorang jaksa dari Jakarta, juga ada para pemilik perusahaan raksasa di Indonesia. Ada lagi yang aku tidak tahu, kata temanku dua orang menteri, seorang duta besar, juga ada artis, tukang cukur rambut, tukang es keliling dan lain-lain, semua tidur sama kedudukannya.

Siapakah sebenarnya Sang Kyai, akupun tak tau pasti. Yang ku tau lelaki muda usia itu, sering dipanggil Kyai Lentik, dari ayahnya nasabnya sampai Sunan Gunung Jati, dari ibunya sampai ke Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.

Kyai yang tuturnya lembut berkasih sayang kepada siapa saja. Pagi itu seperti biasa, mbok Titing, janda tua penjual sarapan pagi nasi uduk lewat di depan rumah Kyai. Umur tua dan tubuh yang mulai bongkok ditambah rinjing di punggungnya yang penuh dengan nasi uduk bungkus diikat dengan selendang, tangan kanannya menjinjing tas krawangan berisi lauk pauk.

Seperti biasa pula, nenek tua itu berhenti di depan pintu Kyai sambil menawarkan dagangannya, sekalipun dia tau bahwa Kyai Lentik tiap hari puasa, nenek itu hanya menunggu Kyai menjawab teriakannya menawarkan dagangannya, meser Kyai? ndak bogah duwit mbok. Dan cuma itu jawaban Kyai, sudah membuat girang bukan main, dan segera berlalu, tersenyum bahagia dan tak sampai setengah jam dagangannya sudah habis ludes dibeli orang. Nenek itu sangat murung, apabila dia menawarkan dagangannya di depan pintu Kyai, tapi Kyai ternyata pergi, itu baginya berarti perjuangan seharian menawarkan dagangan, dan itupun belum tentu habis, itulah tiap pagi yang terjadi di pondok Pacung, lereng gunung putri.

Masih banyak kejadian yang kadang tak masuk di akal di balik kesederhanaan Sang Kyai. Waktu maghrib itu, santri yang menjalankan puasa, telah selesai berbuka dengan singkong rebus dan air putih, seperti biasa juga Kyai ikut berbuka dengan kami dengan beralaskan daun pisang singkong yang sudah masak dituang di atas daun pisang dan dinikmati bersama-sama sambil jongkok, tak ada yang istimewa, tak ada pecel lele Lamongan, rendang Padang, soto Madura, soto babat bahkan nasi pun tak ada.

Tapi tak pernah kami perduli, itu hanya makan, lebih baik makan apa adanya tapi untuk beribadah, daripada makan yang enak-enak ujung-ujungnya untuk berbuat maksiat. Setelah makan kami mengelilingi toples yang berisi tembakau, itu barang berharga kami, tembakau oleh-oleh dari Lukman yang pulang dari ngejalani ngedan, kami semua mengalami, yaitu pergi tanpa bekal, menyerahkan diri di kehendak Allah, pakaian compang-camping, sambil terus di hati mengingat Allah, berjalan kemanapun kaki melangkah, tanpa tujuan kecuali Allah, kalau lapar tak boleh meminta pada siapapun kecuali Allah, kadang mencari makan dari mengorek sampah, tidur kadang di hutan, sawah juga kuburan.

Nah, pada waktu itu setiap ada yang ngejalani, santri pada memesan uthis yaitu puntung rokok, di jalan, dikumpulkan sampai satu kresek nanti dibawa pulang, sampai di pondok dibuka satu-satu dipisahkan tembakau dan kertas rokoknya. Aku mengambil kertas koran lalu membuat lintingan, dari korek kapuk kunyalakan kuhisap dalam dan asap pun bergumpal-gumpal keluar dari hidung dan mulutku, kadang kutiupkan asap sambil asap mengepul dari tembakau dan bau kertas koran yang terbakar, aku menengadah, sambil meresapi asap keluar dari mulutku, seakan suatu kenikmatan tiada tara, santri yang laen juga sepertiku.

Saat aku menengadahkan wajah entah untuk yang keberapa kali, kulihat melayang bayangan hitam di antara pohon kelapa yang banyak bertebaran, aku kaget sekali, jelas bayangan itu manusia yang melayang tak terlalu cepat, karena saat petang maka bayangan itu kelihatan hitam. Bayangan itu melintasi pohon jengkol di dekat dapur sebelah kanan rumah Kyai, lalu melayang dengan indah turun di depan rumah Kyai. Kami segera memburu ke arah orang itu, yang sejak tadi kami ribut menebak-nebak apa sebenarnya. Deg-degan kami menghampiri, ternyata bayangan yang terbang itu seorang wanita tua, rambutnya semua memutih, dia terbang menggunakan sajadah, jelas bahwa ilmu meringankan tubuhnya teramat tinggi, yang mungkin kalau sekarang kami tidak melihat dengan mata kepala kami sendiri, tentu kami akan menyangka ilmu seperti itu hanya ada di cerita silat, atau film di televisi, arahan imajinasi.

Kami semua melongo melihat perempuan itu melipat sajadah yang tadi digunakan untuk terbang, aku teringat kisah aladin, tapi ini nyata, perempuan tua tinggi kurus, berpakaian putih kusam ringkas membentak,

“Dimana Kyai Lentik, aku ingin mengadu ilmu.”

“Nyai siapa?” kataku menguasai keterkejutan.

“ah mana Kyai Lentik? Hai Kyai keluar!!” katanya, karena menantang-nantang dan sama sekali tak memperdulikan kata-kataku, aku pun segera bergegas menghadap Kyai, yang aku yakini tengah berada di musolla menunggu sholat berjama’ah.

Aku kawatir perempuan tua itu ilmunya teramat tinggi, bagaimana nanti Kyai menghadapinya, setahuku Kyai tak punya ilmu kanuragan, juga tak pernah mengajarkan kanuragan, tapi memang kalau dipikir-pikir aneh juga, kami para santri, tak pernah dilatih kanuragan, ilmu silat apapun kami tak tahu, karena memang di pesantren Pacung ini kami hanya diajar bagaimana mendekatkan diri pada Allah, bukan lewat teori tapi praktek, bagaimana bertawakal, syukur, houf, rojak, dan bagaimana membersihkan hati dari segala sifat yang menjadi penyakit hati.

Tapi para penduduk sekitar juga para tamu yang datang, selalu berkeyakinan kalau pesantren ini adalah pesantren kanuragan, yang muridnya sakti-sakti kebal senjata, bisa terbang dan cerita-cerita yang dilebih-lebihkan, aku masih takut bagaimana jadinya kalau Kyai bertarung dengan nenek sakti ini? Selama ini yang aku tahu Kyai sangat menguasai ilmu pengobatan, sakit apapun, dari sakit gila, sakit luar, penyakit dalam, sampai penyakit kena santet, kena guna-guna kena jin, kena narkoba, semua bisa disembuhkan, orang pengen jadi lurah, camat, bupati, gubernur, sampai mau jadi presiden larinya ke Kyai, dan Kyai hanya mendo’akan saja, tapi kalau ilmu kanuragan, aji kesaktian, aku tak tau, aku jadi ingat ada seorang tentara mau dikirim menjadi pasukan. Pasukan penjaga perdamaian di Kuwait namanya Iqbal, dia datang dengan tamu yang lain mau meminta sareat ilmu kekebalan, dia ngantri dengan tamu yang lain lalu menghadap Kyai, pas giliran si Iqbal, Kyai bicara sebelum Iqbal ngomong.

Begitulah Kyai selalu tahu maksud kedatangan orang sebelum orang itu menyampaikan maksudnya. Bahkan tahu hari, tanggal, tahun kelahiran serta siapa bapak ibunya. Bahkan orang itu habis melakukan maksiat apa Kyai pun tahu, dan kadang diucapkan Kyai tanpa tedeng aling-aling. Begitu saja mengalir.

Aku jadi ingat waktu aku pertama kali, datang ketempat Kyai. Kyai mengupas aku habis-habisan tentang pacar-pacarku. Apa yang kulakukan dengan si Hani, dengan Umi, dengan si Dyah dengan si Faty, Dina, semua disebutkan satu-satu oleh Kyai plus nama orang tua gadis itu. Jelas membuatku jengah, malu dan aku yang sebelumnya datang ke pesantren ini karena bekerja yaitu membuat kaligrafi dari semen, akhirnya memutuskan untuk mondok dan belajar ilmu dari Kyai.

Bersambung ke Chapter 2
Diubah oleh gelandangan143 23-08-2019 07:26
anton2019827Avatar border
redricesAvatar border
ir.rahma92Avatar border
ir.rahma92 dan 37 lainnya memberi reputasi
30
62.6K
226
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
gelandangan143Avatar border
TS
gelandangan143
#13
CHAPTER 4b

Aku tak tau apa yang terjadi denganku, hawa yang mengalir dari pusarku masih terus mengalir.


“Huahaha…., pendekar, jawara tai ayam, curot, murid pesantren Pacung tak ada isinya..,” suara orang bertopeng itu memecahkan sunyi yang menyelimuti pemakaman tua itu.


“Mati saja kalian.” setelah mengatakan itu tubuh orang itu berkelebat. Kaki dihantamkan lurus ke arahku, kaki satunya menekuk. Tapi di pandanganku serangan itu seperti filem dalam gerakan lambat.


Tiba-tiba kurasakan ada tenaga dari dalam tubuhku. Aku menyamping, kaki yang menderu ke arahku, ku cengkeram dan ku tarik sehingga lelaki itu terlempar mengikuti tendangannya. Dan tanganku menelusup menghantam lehernya dengan pergelanganku.


Hugh!!, tubuhku terseret oleh tubuhnya, kaki kiriku yang terangkat segera memalu belakang kepalanya sementara tanganku menarik lepas kain penutup kepalanya, dan bret..! Aku kaget bukan main.


“Hah carik Sanusi…!” orang yang menjadi maling para gadis itupun kaget, tutup wajahnya lepas.


Lebih kaget lagi dia tak menyangka akan seranganku. Cepat beruntun, telak, aku sendiri kaget, dan tak tau apa yang menimpaku sehingga mampu menyerang begitu jurus yang kupakai seperti jurus taici. Mujahidi juga terlongo-longo menyaksikan sepak terjangku.


“Setan alas. Bajulbuntung, tai kebo, jiampot, rupanya punya simpanan hah.” umpat carik Sanusi panjang pendek, lalu segera mencabut goloknya.


Aku pun segera mencabut golokku. Golokku ini dibilang golok biasa ya memang golok biasa, karena sering kupakai memotong kayu bakar. Soal kesaktiannya sudah tak terhitung berapa nyawa ayam termakan ketajamannya. Golok ini pemberian Kyai, karena memang aku tak punya uang untuk membeli golok, golok ini bergagang kayu sawo kecik, dibuat oleh orang Ciomas. Kampung pembuat golok paling punya nama di tlatah Banten.


Sebelum membuat golok besi ditancapkan di tanah pada waktu bulan purnama, dan baru diambil bulan purnama kemudian, sehingga besinya menjadi besi kuning tahan karat dan tua. Ilmu kekebalan yang bagaimanapun akan terluka tersentuh golok ini, karena diisi oleh Kyai. Tapi aku tak mau terbawa oleh cerita mistik tentang golok, makanya golok ini kubuat bekerja di dapur.


“Suing…!” terdengar desingan ketika Sanusi menyerangku dengan ilmu goloknya, aku tak mengerti ilmu golok, tapi yang jelas serangan Sanusi tak bisa dianggap remeh, goloknya menderu menjadi beberapa bagian, lagi-lagi kekuatan dalam tubuhku seperti menggerakkanku, aku mengikuti saja. Ketika tubuhku juga berkelebat yang jelas di seluruh tubuhku seperti ada sentakan-sentakan kecil seperti setrum listrik, yang membuat golokku berkelebatan kesana kemari. Sangat cepat dan tak terduga. Mengurung Sanusi dari segala arah, wut,wut, betbetbet. Begitu suara nya.


“Trang…!” Golokku berbenturan dengan golok Sanusi, tak terasa apa-apa, tapi golok Sanusi terlepas dan dia memegangi tangannya. Ada kekuatan yang menarikku mundur, badanku pun melayang seperti kapas, kemudian hinggap di tanah dengan perlahan melayang. Kulihat Sanusi terhuyung, ternyata hasil seranganku sungguh mengerikan, beberapa detik kemudian terlihat di sana sini tubuh Sanusi penuh luka sedalam setengah senti. Bahkan pakaiannya tercabik-cabik tak karuan, Sanusi melenguh lalu melemparkan sesuatu ke arahku, ku kira itu sebuah tulang kecil-kecil, dan “bulz” asap mengepul tipis.


Tiba-tiba saja telah muncul, empat pocong mengurungku, aku kaget dan ngeri melihat empat pocong yang wajahnya ada yang cuma tengkorak, ada yang biji matanya sudah hilang satu, biji mata yang satu keluar seperti mau jatuh. Sementara tempat hidung telah gerowong, juga rahang dan giginya hilang, aku pontang panting karena pocong itu tak mempan dibacok, golokku membal ketika mengenai kain pocong itu sehingga aku panik, dan hanya bisa menendang tuk menjauhkan pocong itu, tapi ketika pocong itu terjengkang maka tubuhnya seperti memantul, tegak lagi.


“Hai Mujahidi bantu aku.” aku berteriak panik karena sudah lelah, tapi Mujahidi rupanya pingsan tubuhnya menyender ke pohon sambil berdiri. Ah rupanya aku harus berjuang sendiri, tenaga di dalam tubuhku melontarku ke atas, tubuhku melayang ringan di atas pocong-pocong, lalu bersalto dua kali dan hinggap di dekat Mujahidi. Ku dekati dia memang benar-benar pingsan, mungkin pingsan saat melihat pocong-pocong itu, uh matanya sampai melotot dan mulutnya terbuka lebar.


Tiba-tiba terdengar bisikan Kyai di telingaku, “mas Ian kalau membacok pocong itu baca takbir.” Mendapat pesan seperti itu aku lantas menggenjot tubuh, berkelebat bak anak panah lepas dari gendewa membabat empat pocong sekaligus. Sambil membaca takbir, dan memang golokku bisa merobek kain ules mereka. Dan blesss.! Begitu saja pocong-pocong itu berhamburan seperti debu yang ditaburkan ke udara. Hilang.


Aku berdiri sejenak memandang berkeliling, carik Sanusi telah tak ada dia tadi melempar tulang kearahku langsung kabur. Ku dekati Mujahidi, ah enak-enakan dia pingsan, ku coba membangunkan dengan cara apa saja tapi tetap aja pingsan, aduh nih orang nambah kerjaan aja. Sekarang mungkin jam dua dini hari, embun sudah mulai turun. Aku berpikir pasti Anggraini di sembunyikan di pemakaman tua ini. Ku tinggalkan Mujahidi, menuju arah tadi aku pertama kali aku melihat carik Sanusi datang, untung penglihatanku terasa terang, sehingga aku dapat melihat jelas sekitarku.


Nampak makam-makam yang aneh berbatu nisan batu ukir, mungkin makam zaman Hindu kuno, pohon kemboja, randu alas, dan pinggir makam ditumbuhi pohon bambu yang rapat. Aku berhenti di sebuah nisan aneh bentuknya seperti kepala kuda, tapi patah sampai matanya, juga telinganya yang keatas sudah patah, aku bersandar, tapi ketika aku sandari nisan kepala kuda itu bergeser, aku terkejut, karena tanah yang ku injak terbuka begitu saja dan aku pun jatuh ke sebuah tangga semen, menuju ke bawah. Sebentar aku terkejut, rupanya di makam ini ada ruangan rahasia, pantas Sanusi selalu dapat menghilang kalau dikejar orang kampung.


Rupanya rahasianya di sini, perlahan ku turuni tangga, golok kukeluarkan, untuk berjaga-jaga dari sesuatu yang tidak kuinginkan, dinding bawah tanah ini lumayan rapi, karena disemen walau asal-asalan dan kasar. Ada lampu minyak menempel di dinding yang cahayanya bergoyang-goyang karena tertiup angin yang masuk. Wah gila juga si carik Sanusi menciptakan tempat seperti ini, ruangan bawah tanah ini ada dua aku masuki ruangan satu, luasnya kira-kira empat kali tiga meter, ada meja kursi, piring, mangkok dan peralatan masak, ruangan ini rupanya dapur dan tempat makan, aku ke ruangan satunya lagi, rupanya yang ini ruangan tidur, ada ranjang kayu berkelambu. Ku dekati ranjang kayu, dan aku terkejut, menemukan Anggraini walau sebelumnya sudah mengira Anggraini ada di situ.


Mata gadis itu melotot, tubuh Anggraini digeletakkan begitu saja, di kiri kanannya bertaburan bunga aneka warna, pasti di sini juga gadis yang lain menemui ajalnya, aku merinding juga membayangkannya, seperti banyak mata gadis yang mati memandangku, meminta keadilan, atas kehormatan dan nyawa yang terenggut tanpa sisa. Tiba-tiba hawa yang keluar dari pusarku mengalir, deras menuju jari telunjukku, dan kuikuti saja ketika tanganku bergerak, membuka totokan yang ada di tubuh Anggraini, aku masih tak mengerti apa yang bergerak di tubuhku, sampai di pondok pesantren nanti aku akan bertanya kepada Kyai.


Anggraini setelah bebas dari totokan segera saja menghambur memelukku. Menangis sejadi-jadinya. Aku sempat gelagapan, maklum aku tak pernah dipeluk wanita, kringetan juga, gemeter. Apalagi meluknya dengan erat. Aku lelaki normal, bagaimanapun juga, walau imanku kuat, pasti imron kgak bakal kuat. Sebelum setan membisikkan yang enggak-enggak, aku segera melepaskan tubuh Anggraini dari tubuhku.


“Sudahlah, sekarang sudah aman.”


“Tapi aku takut sekali kak.” katanya mengiba, air matanya berderai-derai membasahi pipi.


“Sekarang mari pulang, kuantar ke ayah ibumu, pasti mereka sangat mencemaskan keselamatanmu.” Anggraini mengangguk, kemudian kami keluar, Anggraini masih menggenggam lengan kiriku. Mungkin takut, mungkin menyukaiku, ah tak taulah, aku kasihan, gadis muda begini, mengalami pengalaman yang mengerikan, tak terbayangkan bagaimana dia dirudapaksa dan dibunuh seperti gadis-gadis yang telah mati menjadi korban carik Sanusi.


Kami berjalan pulang ke Pasir Seketi, di tengah jalan kami bertemu dengan serombongan para pemuda yang semalam ikut mengejar Sanusi. Semua ribut menanyakan bagaimana Anggraini bisa ditemukan bagaimana penculiknya, agar tidak bertanya terlalu banyak, maka kukatakan penculik yang selama ini membuat resah warga desa adalah carik Sanusi. Sontak para pemuda itu kaget tak percaya, tapi setelah Anggraini mengiyakan, maka mereka marah, dan berbondong-bondong mendatangi rumah Sanusi. Aku dan Mujaidi melanjutkan perjalanan mengantar Anggraini. Sampai di rumah bu Lurah yang sangat kuatir keselamatan anaknya segera menghambur memeluk anak semata wayangnya. Tangis-tangisan ramai terdengar.


Sementara istri dan anaknya bertangis-tangisan pak Lurah mengajakku dan Mujahidi ke ruang depan, ku ceritakan dengan singkat sampai para pemuda yang mau mendatangi rumah carik Sanusi. Ketika tau yang menjadi biang segala pembunuhan adalah Sanusi, pak Lurah terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala tapi segera mengajakku untuk mendatangi rumah Sanusi sebelum terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Aku dan Mujahidi mengikuti pak Lurah yang melangkah tergesa, namun di jalan tak henti-henti mengucapkan terimakasihnya.


“Sekali lagi aku dan segenap warga desa, khususnya aku pribadi sangat berterima kasih dengan nak mas Ian, kalau tak ada nak mas Ian, apa jadinya Anggraini, mungkin kami tinggal menunggu mayatnya ditemukan di pinggir kali.” Pak Lurah berjalan sambil menangis haru.


“Sudahlah pak, yang penting semua telah berlalu.” aku mencoba bersikap bijak, walau kedengarannya wagu.


Yah bagaimana kata bijak keluar dari mulut pemuda seperti aku, rambut panjang sepunggung, walau selalu ku ikat dengan rapi, anting kecil di telinga kananku, wajah hampir mirip perempuan, yah mungkin karena pergaulanku, sebagai pelukis motor airbrush. Sehingga tampang cuek dekil, seenaknya, semua melekat begitu saja dalam diriku, bagaimana mungkin, kata bijak bisa keluar dari mulutku, kalau ada kata bijak mungkin kata itu akan terbang karena tak punya bobot mati. Sampailah kami di rumah carik Sanusi.


Teriakan para pemuda ramai terdengar bersahut-sahutan.


“Bakar saja rumahnya, seret saja keluar, lalu bacok rame-rame. Dirajam saja, terlalu enak kalau mati cepat.” tapi semua pemuda tak ada yang berani maju, melewati pagar rumah Sanusi. Karena setiap melewati pagar, paku-paku segera beterbangan, malah telah ada dua pemuda yang terluka lengan dan pahanya kena sambitan paku.


“Bagaimana ini nak mas?” tanya pak Lurah.


Aku menggeleng tak tau.


“Hei Sanusi ayo keluar serahkan dirimu!” Tiba-tiba pak Lurah berteriak, dan teriakan pak Lurah dijawab dengan meluncurnya paku kecil hitam kearahnya. Aku segera berkelebat, tring…! Sepuluh paku rontok jatuh ke tanah, tertangkis golokku.


“Bagaimana ini mas?” tanya pak Lurah kawatir, aku menggeleng.


“Tak tau lah pak,” sementara waktu telah beranjak pagi kicau burung mulai terdengar di sana sini, orang-orang sudah tak ada yang berteriak-teriak lagi, mungkin sudah lelah, sehingga keadaan hening.


Kulihat rumah carik Sanusi, rumah yang besar namun biasa saja, dinding rumah bagian depan menggunakan kayu tanpa dicat. Dan dinding rumah bagian belakang menggunakan bambu yang dianyam, sedang lantai rumah geladak setinggi kurang lebih tujupuluh senti dari tanah. Depan pintu utama ada balai-balai yang ada tangga kecil dari kayu. Balai-balai kayu itu selebar dua kali empat meter. Tiba-tiba terdengar suara mobil datang, rupanya mobil Polisi. Dua polisi keluar dari mobil, lalu menghampiri pak Lurah,


“Bagaimana pak keadaannya?” tanya Polisi itu setelah ada di dekat Pak Lurah.


“Wah sulit pak.”


“Sulit bagaimana.”


“Yah setiap orang mau maju langsung dihujani paku, sudah ada korban dua orang.”


“Bagaimana kalau kami menyerbu?”


“Apakah itu tak berbahaya sekali?” aku maju menimpali.


“Pak Polisi, bagaimana kalau saya maju mengajak berunding carik sanusi?”


“Lho anak muda ini siapa?” tanya Polisi itu ditujukan pada pak Lurah. Mungkin dia curiga, karena tampangku, yang lebih mirip kriminal daripada orang baik-baik.


“Oh dia murid Kyai Lentik, yang kami mintai bantuan, sebenarnya Sanusi sudah terluka parah karena semalam telah bertarung dengan nak mas Ian.”


“Oh maaf saya tak tau.” wajah Polisi itu menatapku kagum, kemudian menghormatiku dengan sedikit membungkuk, sementara temannya manggut-manggut.


“Bagaimana menurut nak mas?” tanya Polisi itu ditujukan padaku.


“Yah gimana seandainya aku maju mengajaknya berunding, sementara pak Polisi menghadang dari pintu belakang, kalau-kalau dia lari?”


“Yah patut dicoba.” Dua Polisi itu pun kemudian berjalan memutar menuju belakang rumah, sambil mencabut pistolnya, aku mengeluarkan golokku bersama sarungnya kepada Mujahidi.


“Wah apa kgak terlalu berbahaya mas? Nanti kalau mas Ian disambitin paku, aku kgak bawa tang tuk nyabutinnya.” Mujahidi menerima golokku dengan ragu.


“Udahlah berdo’a aja.”


“Kalau menurut saya dikepung aja, yang satu ngepung yang lain makan, gantian gitu, lama-lama juga dia pasti kelaparan dan mati.”


“Ah kamu ini.” aku menepuk pundak Mujahidi seraya melangkah maju, semua mata menatap ke arahku, orang-orang kampung Pasir Seketi juga sudah mengerumuni tempat itu mungkin juga dari desa-desa tetangga, mereka menonton dari jauh, seakan ini tontonan yang gratis. Aku tak perduli, dengan langkah mantap aku melangkah maju.


Semua mata tegang menatapku, aku berhenti dua meter dari tangga kecil untuk naik ke balai rumah Sanusi, sambil menunggu kalau-kalau ada paku yang menyambar. Lengang aku berkata, “Carik Sanusi, aku tak bersenjata, aku mau berunding,” kataku seraya membuka lebar-lebar lenganku, kalau-kalau dia mengintip dari dalam maka akan melihatku tanpa senjata, lalu aku memutar tubuhku untuk meyakinkan.


Suasana masih hening tak ada jawaban. Setelah menunggu beberapa menit aku melanjutkan melangkah maju. Melewati anak tangga satu-satu, lalu menginjak papan paling tepi dari balai-balai rumah itu, “braak!!”


Pintu depan rumah itu lepas, melayang cepat ke arahku yang berdiri dalam posisi yang tak menguntungkan, di belakang pintu itu Sanusi yang dengan goloknya beringas menyerangku.


“Mampuslah kau, anak setan alas..! Kau telah menggagalkan semua usahaku selama ini.!” aku yang terpelanting karena hantaman daun pintu, tak bisa menghindar lagi ketika Sanusi menghantam kepalaku, semua orang yang menonton menjerit, mukaku pun pucat. Ah mati aku ! Tapi, “prak!!” Golok Sanusi telak mengenai kepalaku, tapi aku tak merasakan rasa sakit sama sekali, malah kekuatan dalam tubuhku, menggerakkanku dengan cepat, tubuhku begitu ringan berkelit dari timpaan daun pintu tau-tau telah berdiri di belakang Sanusi, dan melakukan totokan sana-sini, sehingga Sanusi jatuh menimpa daun pintu yang jatuh dahulu.


Tubuhnya kaku, karena totokanku yang tak ku sadari telah mencabut semua ilmu yang dimiliki, seketika semua orang bersorak. Lalu terdengar suara berteriak, “Habisi penjahat cabul…” kontan semua orang menyerbu. Pagar pun roboh diterjang orang-orang kampung yang marah, aku tak bisa menahan ketika tubuh Sanusi dihujani golok, batu, pentungan, massa rupanya teramat marah. Pengeroyokan baru berhenti setelah terdengar suara tembakan.


Semua orang kampung yang mengeroyok mundur, tubuh Sanusi, tak berbentuk lagi, aku yang berdiri di atas balai-balai melihat dengan jelas, betapa mengerikannya, wajahnya telah tak dikenali lagi, terlalu hancur, juga tubuhnya sudah tak karuan, darah seperti dituang begitu saja, sungguh kengerian yang tiada tara, aku berjalan meninggalkan tempat itu menghampiri Mujahidi yang juga terbengong, aku segera menarik tangannya tuk segera meninggalkan tempat itu, Pak Lurah melihatku, dan menghampiri.


“Nak Ian, mampir dulu ke rumah dan tunggu aku di rumah, biar aku mengurus dulu di sini.” aku manggut aja, lalu menyeret Mujahidi untuk bergegas pergi. Dalam perjalanan, Mujahidi selalu menyanjungku.


“Ah bener-bener kagak nyangka saya, kalau mas Ian sehebat itu, punya ilmu kebal lagi, uh uh, apa kgak sakit mas tadi dibacok di kepala? Wah saya ampek teriak mas tadi, ngira kepala mas Ian pasti belah, ee, ternyata kgak apa-apa.”

Nantikan Kisah Lanjutannya di Chapter 5
emoticon-Cendol Ganemoticon-Cendol Ganemoticon-Cendol Ganemoticon-Cendol Ganemoticon-Cendol Ganemoticon-Cendol Gan


Index Thread : https://www.kaskus.co.id/show_post/5...d69573da0cbe6d
Diubah oleh gelandangan143 11-08-2019 03:45
aman.viland
rijalbegundal
coeloet
coeloet dan 11 lainnya memberi reputasi
10
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.