Kaskus

Story

sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
4Love: Tentang Patah Hati, Kesetiaan, Obsesi, dan Keteguhan Hati
4Love: Tentang Patah Hati, Kesetiaan, Obsesi, dan Keteguhan Hati


Quote:


Spoiler for Daftar Bab:


Diubah oleh sandriaflow 01-12-2020 19:11
santinorefre720Avatar border
blackjavapre354Avatar border
rizetamayosh295Avatar border
rizetamayosh295 dan 25 lainnya memberi reputasi
26
14.8K
134
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
#4
Bab 1: Titik Mulai
Kereta melajur dengan stabil menuju kota Yogyakarta. Tawa keempat sahabat itu memenuhi gerbong kereta dan agak mengusik ketenangan penumpang di sekitarnya. Mereka berempat hendak menuju rumah pakdenya Arman yang berada di daerah Sleman. Arman diminta bapaknya untuk mengantarkan paket barang kepada pakdenya. Hitung-hitung, ia juga bisa liburan ke Jogja bersama sahabatnya.

“Kurang berapa jam lagi kita sampai di Jogja?” tanya Revan, pria paling cool di geng tersebut.
“Santai, gengs. Mungkin kurang satu jam lagi. Kita sudah sampai Solo nih,” jawab Arman yang merupakan pemimpin dari perjalanan kali ini.
“Yoi. Sabar. Sesungguhnya Tuhan bersama orang-orang yang sabar,” Ipul menimpali dengan kalimatnya yang religius khas anak santri. Meskipun, Ipul sendiri enggan dibilang religius karena ia merasa masih punya banyak dosa.

Sementara ketiga orang itu sibuk berdebat, Jojo malah termenung menatap pemandangan di luar kereta dari kaca jendela.
“Oi, ngelamun aja. Senyum oi. Hidup terlalu singkat jika dihabiskan untuk melamun,” timpal Arman yang langsung menyadarkan lamunan Jojo.
“Aku lagi suntuk. Toh, kalian juga gak ada topik yang menarik untuk dibicarakan,” sahut Jojo setengah malas. Suasana hatinya kali ini tengah bergejolak. Ada seseorang yang dipikirkannya.
“Jo, kau nanti kalau sudah sampai Jogja bakal menemui dia nggak?” tanya Revan memancing Jojo.
“Basi. Aku malas membahas dia. Apalagi, aku sudah lama nggak tau kabar dia,”
“Tenang, Jo. Kalau jodoh, pasti kau ketemu dia,” Ipul menyahut cengengesan.
Jojo tidak membalas sindiran sahabat mereka. Dia hanya memasang wajah cuek. Namun, dia merasa senang karena sahabatnya begitu peduli dengan masalah yang dia alami saat ini. Hanya merekalah yang bisa memahami dirinya. Begitupun sebaliknya.

***

Suara klakson kereta terdengar keras bercampur dengan suara pengumuman-pengumuman dari pengeras suara stasiun. Kereta telah sempurna berhenti di stasiun Malioboro. Mereka mengemasi barang bawaan mereka dan mengantri turun dari kereta.

“Kita ke toilet dulu,” Arman dan Revan langsung pergi karena sudah tak kuat menahan gejolak yang tak tertahankan.
“Pul, aku juga mau ke toilet dulu,” Jojo juga mengikuti langkah mereka dan meninggalkan Ipul sendirian.
“Ah, mereka kebiasaan,” Ipul mendesah pelan – sedikit menggerutu. Ia hanya tidak habis pikir dengan kebiasaan sahabatnya itu. Sembari menunggu mereka kembali, Ipul duduk di sebuah bangku dekat kios makanan dan mengehela nafas sejenak. Ia merenung sejenak, sampai kapan ya gua harus berpura-pura di depan mereka?

Permasalahan yang dihadapinya saat ini sudah bukan lagi persoalan remeh. Mau tidak mau, dia harus punya keberanian untuk bercerita kepada mereka bertiga. Jika tidak, gejolak dan segela keresahan yang berkecamuk di dalam dadanya tidak akan reda. Ia hanya butuh waktu yang tepat untuk menuangkan segala keluh kesahnya kepada mereka bertiga.

“Maaf karena udah nunggu agak lama,” mereka bertiga kompak bersuara. Sedikit tidak tega melihat Ipul sendirian. Ipul hanya tersenyum dan menganggap hal itu biasa. Mereka pun bergegas menuju pintu keluar stasiun karena hari sudah beranjak malam.

Sembari menuju pintu keluar, Arman memberitahukan letak lokasi rumah pakdenya dan Revan memesan taksi online melalui aplikasi di ponsel pintarnya. Arman baru menginjakkan kaki ke kota ini lagi setelah sepuluh tahun berlalu. Meski samar, ia masih ingat arah ke rumah pakdenya.

****

Melihat kedatangan keponakannya, pakde Arman sangat gembira. Beliau menyambut hangat keempat sahabat itu dengan tangan terbuka lalu mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu untuk beristirahat.

“Kalian tadi berangkat jam berapa?” pakde bertanya dengan antusias. Suaranya sangat tegas dan logatnya terdengar begitu khas orang Jogja yang halus dan ramah.
“Tadi berangkat jam setelah Dzuhur, Pakde,” jawab Arman. Ia kemudian mengenalkan ketiga sahabatnya kepada beliau.
“Ya sudah, kalian istirahat dulu. Pakde buatkan teh dan makanan ringan dulu ya,” pakde langsung beranjak menuju dapur dan meminta anaknya untuk menyediakan jamuan kepada Arman dan kawan-kawan.

Sedari tadi, mereka terkagum-kagum dengan rumah pakde Arman yang masih sangat tradisional tapi nyentrik. Rumah pakde merupakan sebuah joglo, tetapi ornamen-ornamen di rumahnya sudah dipadukan dengan nuansa arsitektur modern yang sesuai dengan zaman sekarang.
Cat dinding rumah pakde terlihat sangat epik. Pelitur yang ada pada kayu-kayu di rumah pakde juga masih sangat bagus dan elegan. Apalagi, di sebelah kanan ruang tamu juga terdapat rentetan wayang kulit yang berjajar rapi di sebuah rak khusus sebagai penghias ruangan.

“Nggak usah heran. Pakdeku orangnya memang gitu. Dia sangat suka mengoleksi barang-barang antik dan nyentrik. Wayang kulit itu contohnya,” Arman berbisik pelan. Ketiga sahabatnya itu hanya mangguk-mangguk.

Tak lama kemudian, pakde datang membawa sebuah teko dan cangkir serta makanan ringan di atas nampan. Beliau kemudian menata tempat duduknya di dekat kami sekaligus mempersilahkan kami untuk menikmati jamuan itu.

“Oh iya, Pakde. Ini ada titipan dari bapak. Saya nggak tau ini apa,” Arman mengambil sebuah bungkusan dari tasnya lalu menyerahkannya dengan sopan kepada Pakdhe.
Pakde menatap bungkusan itu sejenak lalu menyeringai. Arman sedikit heran dengan senyuman Pakdhe yang mencurigakan.
“Apa ada yang salah, Pakde?
“Enggak ada. Saya hanya heran. Masa kamu nggak tau ini apa. Ini adalah tembakau yang biasa dipanen bapakmu,” pakde menatap Arman lalu menggeleng-gelengkan kepala. Arman sejenak tersenyum lalu menertawai kekikukannya.
“Lha, Pakde kok tidak beli tembakau di sekitar sini saja? Saya yakin pasti banyak tembakau yang berkualitas di Jogja,” Revan yang penasaran memberanikan diri untuk bertanya.
“Ini bukan masalah tempat, Dik. Rasa tembakau itu memiliki ciri khas masing-masing. Setiap orang mempunyai selera yang berbeda. Sejauh pengalaman saya, tak ada tembakau yang senikmat tembakau bapaknya Arman ketika dirokok. Entahlah, pakde sendiri juga heran,”
“Tembakau ini menurut pakde sangat karismatik. Sekaligus mengobati kerinduan pakde dengan keluarga di Malang. Ngomong-ngomong, bapakmu tidak pernah cerita ke kamu, Man?” tanya pakde sedikit heran.
“Aku baru tau sekarang, Pakde. Kemarin, bapak pesan ke saya kalau saya nggak boleh bertanya macam-macam ke Pakde,” Arman menjawab lugu. Gelak tawa pakde terdengar kian keras memenuhi ruang tamu itu.

Perbincangan mereka dengan pakde tidak berlangsung lama. Beliau menyuruh mereka untuk istirahat di kamar yang sudah disediakan oleh pakde. Mereka menaruh barang-barang mereka ke kamar. Kemudian, Arman mengajak sahabatnya untuk nongkrong di teras rumah pakde yang nyaman. Di teras itu terdapat sebuah dipan kecil, kursi kayu tua, dan sebuah meja kecil. Sangat pas untuk dijadikan tempat tongkrongan.
Namun sebelum itu, Arman pergi ke dapur terlebih dulu untuk menyeduh kopi dan menuangkannya ke sebuah teko. Arman juga meminta Jojo dan Ipul untuk membeli mie ayam di dekat rumah pakdenya. Sementara itu, Revan tengah sibuk menata kartu remi yang dibawanya dari rumah. Mereka yakin malam ini akan menjadi malam yang panjang dan menyenangkan.

“Let’s begin this play,” Jojo kali ini begitu bergairah. Ia menyalakan sebatang rokok dengan khidmat. Sejujurnya, Jojo ialah pemain yang paling bodoh di geng tersebut. Ia selalu kalah dan mendapatkan hukuman. Kalaupun dia menang, berarti dia sedang beruntung.

Arman sebagai pemain pertama memulai permainan. Kemudian diikuti Revan dan Ipul yang juga antusias. Tak lupa, mereka juga menyantap mie ayam yang sudah dipesan tadi sembari bermain. Tempo permainan semakin lama semakin cepat.

“Njirr. Kartu kalian sudah hampir habis,” Jojo melirik ke arah sahabatnya. Ia mulai deg-degan karena tanda-tanda kekalahan sudah di depan mata.
“Eh, yang kalah nanti bayar ongkos perjalanan besok ya,” sahut Revan spontan yang dengan seketika memaksa Jojo untuk mengeluarkan kata pisuhan. Arman dan Ipul pun tertawa keras melihat tingkah Jojo.

Permainan telah mencapai beberapa ronde dan Jojo telah dinobatkan sebagai player terburuk malam itu. Alhasil, ia harus membayar ongkos perjalanan besok.
“Rencana kita besok mau kemana?” Arman bertanya.
“Malioboro yang jelas. Aku mau lihat pengamen di sana,” sahut Revan cepat.
“Kalau aku pengen ke keraton Yogyakarta sambil lihat alun-alun,” Ipul pun tak mau kalah.
“Aku pengen ke Prambanan,” ujar Jojo bersemangat.

Mereka semua pun menyusun rencana perjalanan untuk megunjungi tempat-tempat tersebut. Senyum bahagia terlihat jelas di wajah mereka, kecuali Ipul. Ia hanya pura-pura tersenyum dan ikut tertawa, padahal keadaan hatinya saat itu sedang tidak baik.
Diubah oleh sandriaflow 09-08-2019 15:50
pulaukapok
EriksaRizkiM
nona212
nona212 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.