Kaskus

Story

sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:
emoticon-Ultah

Cover:


From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)

NB: Sorry Bad Editing


Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter


Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita

Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.

Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.

Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.

Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.

Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.

Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.

Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.

Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.

Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.

Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.

***

Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.

“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.

“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.

“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.

Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.

Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.

Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.

Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.

“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.

“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.

“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.

“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.

“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”

Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.

“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.

Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.

“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.

Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.

Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.

***

Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.

Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,

“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.

“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.

Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.

“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.

Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.

Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.

“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.

“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.

“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.

“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.

Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.

Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.

Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.

Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.

“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.

“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.

‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.

Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.

Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
santinorefre720Avatar border
blackjavapre354Avatar border
rizetamayosh295Avatar border
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
#89
Chapter 26: Orientasi

17 Agustus 2016

Hari ini adalah hari yang bersejerah untuk seluruh bangsa Indonesia. Hari dimana para rakyat terbebas dari penjajahan bangsa Indonesia. Ya, hari kemerdekaan negeri yang tercinta ini. Negeri multikultural, dimana terdiri berbagai bangsa, suku, budaya, dan juga agama. Negeri yang gemah ripah, loh jinawi, kaya akan sumber daya. Sungguh luar biasa ibu pertiwi yang kusanjung dan kubanggakan setinggi-tingginya.

Tadi pagi di gedung Graha Cakrawala, aku berdiri tegap diantara para ribuan mahasiswa baru. Kami semua khidmat memperingati detik-detik proklamasi kemerdekaan. Menyaksikan video dokumenter di layar proyektor besar dimana Ir.Soekarno membacakan dengan gagah kalimat demi kalimat yang tertera di dalam teks proklamasi. Suara beliau menggema lantang melalui speaker-speaker didalam gedung. Dilanjutkan dengan pengibaran sang Saka Merah Putih diiringi lagu Indonesia Raya. Semua serempak khidmat menyanyikan lagu kebangsaan republik tercinta ini, getar-getar bangga menjadi bagian dari republik ini terasa hebat didalam sanubariku. Mungkin inilah yang disebut sebagai jiwa nasionalisme seorang rakyat terhadap negeri yang dicintainya. Peringatan kemerdakaan ini hanya berlangsung singkat namun bagiku pribadi itu cukup monumental.

Masa-masa orientasi kampus selama tiga hari ini berjalan cukup lancar dan banyak kesan yang membekas bagiku. Disini aku bertemu para mahasiswa dari seluruh nusantara. Aku tahu, dunia yang kutempati ini ternyata sungguh luas. Selama ini mungkin aku hanya berjalan di tempat itu-itu saja, bertemu dengan sosok yang sama setiap waktu. Kali ini, semua begitu berbeda dan itu membuatku tahu akan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Meskipun kami dibedakan oleh suku, budaya, maupun ras, tapi tujuan kami para mahasiswa disini hanya satu yaitu menempuh pendidikan tinggi untuk menuju Indonesia yang lebih sejahtera.

Kami juga mendapatkan banyak pelajaran atas materi-materi yang disampaikan oleh sosok-sosok di podium. Berbagai macam topik beliau-beliau singgung dengan menggelora dan tentunya dapat dijadikan motivasi kedepan. Topik tentang kecintaan terhadap negara, kiat-kiat sukses sewaktu kuliah, bahaya narkoba dan teman bejatnya, serta tentang moral-moral agama yang penting untuk membekali diri dari kesesatan. Berbagai topik pembicaraan itulah yang secara sadar atau tidak akan memberikan impuls-impuls positif terhadap pribadi mahasiswa baru.

Ditengah-tengah acara sesekali diselingi dengan ragam penampilan oleh berbagai kegiatan unit mahasiswa di kampus baruku ini. Tampilan demi tampilan yang sungguh menawan mampu menghipnotis sesaat dan melupakan kejenuhan. Yang paling kuacungi jempol adalah ketika mereka menampilkan tarian-tarian tradisional Indonesia serta teater singkat yang mengusung tema tradisional. Akting dan gerakan mereka yang sudah lihai dilengkapi dengan pakaian khas adat. Hal itu secara tidak langsung membuatku bangga dengan INDONESIA. Namun di era sekarang produk asli dalam negeri semacam itu hampir musnah tergerus arus globalisasi yang semakin hari semakin menggila. Anak-anak negeri teracuni oleh budaya-budaya asing yang berorientasi terhadap gaya hidup hedonisme, itu merupakan tantangan moral yang harus dibenahi bersama. Modernisasi memang diperlukan dan manfaatnya juga banyak bagi masyarakat, tapi jangan sampai itu menjadi monster yang akan menggerus kultur dan budaya yang mulai terlupakan oleh masyarakat terutama kaum muda.

Di masa orientasi ini, satu hal yang cukup membuatku galau adalah hilangnya mahkota kesayanganku. Rambut yang kubiarkan gondrong selama beberapa bulan terkahir harus rela berakhir di tempat pemangkasan rambut. Rambut gondrong adalah suatu keharaman bagi mahasiswa baru. Semua dituntut rapi atau jika tidak, siap-siap dikenai sanksi. Di dekat kontrakanku tak ada satupun tempat pemangkasan rambut, sudah kutelusuri sampai kakiku pegal-pegal dan hasilnya memang nihil. Aku pun terpaksa meminta bantuan Syarif dan motornya guna mencari lokasi pangkas rambut terdekat.

Meski aku kurang nyaman dengan rambut pendek mendekati plontos, tapi ada satu hal yang cukup membuatku bahagia akhir-akhir ini. Aku berpapasan dengan perempuan berkerudung pink, dia juga mahasiswa baru, dan kebetulan tempat kosnya persis disebelah kontrakanku. Aku tak berniat macam-macam, aku tak perlu berkenalan dengannya karena hanya dengan memandang wajah cantiknya cukup membuat aku seakan terbang ke langit angkasa. Wirno yang kelihatannya cuek ternyata juga setengah tertarik dengan perempuan itu.

***

“Malam-malam aku sendiri tanpa cintamu lagi…houo o o o.” Suara merduku memenuhi lantai atas, menyanyikan lagu yang pernah dibawakan oleh penyanyi legendaris, Nike Ardila untuk memecah kebosananku. Anak-anak lain tak terlalu terusik dengan aksiku yang memang kurang kerjaan.

Dari bawah, Wirno perlahan mendekat ke tempatku berada. Ia tertawa geli melihatku.

Jangan ketawa lo mah Wir. Santai kali, gue lagi bosen nih.” Aku membuka pembicaraan, menghentikan aksi panggungku sebentar.

“Terusin aja bos, gue dengerin.” Wirno yang tak terlalu biasa berbicara dengan bahasa Jawa menjawab ringan. Meskipun ia berasal dari Madiun, hampir delapan tahun ia hidup dan berkelana di daerah Kalimantan. Secara tidak langsung, logat dan cara dia bersikap mengikuti kultur yang berlaku disana. Ia tidak sepenuhnya asing dengan bahasa Jawa, dia paham jika ada orang yang berbahasa Jawa tapi menjawabnya pasti menggunakan bahasa persatuan.

“Eh Wir, cewek yang berkerudung pink tadi lumayan loh, haha. Cantiknya subhanallah, udah gue ajak merit deh kalau gue punya modal.” Aku berceloteh ringan, mencoba melucu meskipun itu garing.

“Hehehehe, males gue bos bicara masalah cinta. Cari topik yang lain aja, nih rokok biar lo nggak rese bos.” Ketusnya ringan, aku tertawa melihat ekspresinya. Kemungkinan Wirno mengidap penyakit jomblo akut yang masih dalam proses pencarian. Atau mungkin dia terlalu lelah karena berkali-kali gagal dalam berasmara. Suatu saat jawaban itu pasti terkuak tuntas.

Seperti kemarin-kemarin, aku sungkan menolak rejeki. Rokok yang ditawarkan Wirno kugait dengan cepat lantas kunyalakan dan kunikmati setiap hisapannya.

“Selera lo oke juga Wir. Emang lo suka rokok yang dingin-dingin semacam ini?” Aku bertanya heran, sembari menikmati sensasi ice dari rokok mild.
“Lagi pengen aja, nggak tentu juga kok.” Ujar dia pelan.

Pembicaraan kami masih terus berlanjut, Pras dan Syarif juga ikut bergabung bersama kami. Rengga sudah pulang ke Tulungagung sejak kemarin lusa, berhubung dia masih belum punya urusan disini. Kemungkinan ia akan kembali kesini bulan depan untuk mengikuti serangkaian acara di kampusnya.

Persepsiku terhadap sosok Wirno sedikit demi sedikit mulai berubah. Ia yang kukira judes dan anti sosial ternyata cukup asik jika diajak bercanda. Manusia tidak akan mampu menilai manusia lainnya hanya berdasarkan prasangka dan pranala luar orang tersebut. Aku sadar, jika ingin memahami sifat asli seseorang maka bersosialisasilah dengan dia. Dengan itu, karakter seseorang akan terlihat dengan sendirinya.

Wirno bercerita kepada kami bertiga yang antusias mendengarkan. Berbeda dengan kami bertiga, ternyata ia pernah vakum selama satu tahun semenjak lulus SMA. Dulu, ia pernah gagal menembus perguruan tinggi dengan jurusan yang ia impikan. Melihat kegagalan itu, ia memutuskan untuk berhenti sejenak untuk berjuang lebih keras lagi. Wirno juga pernah bekerja sebagai penarik kapal di sungai Kapuas, kulitnya yang hitam legam tersebut menjadi saksi biksu. Hasil dari pekerjaannya terbilang cukup lumayan, namun itu hanya cukup untuk biaya makan dan hidup di Kalimantan. Harga barang-barang pokok di daerah sana tidak semurah di Jawa, ia harus pandai-pandai menghemat anggarannya.

“Tapi jujur nih Wir, gue takut pertama kali ngeliat lo. Serius sumpah? Gue nggak pengen bohong sama lo, mending jujur. Ngeliat lo yang sekarang, asumsi gue terhadap lo ternyata salah besar. Sorry ya udah berburu sangka sama lo, haha.” Aku berterus terang dengan segala unek-unekku selama ini. Bukan hanya aku saja, Syarif dan Pras ikut jujur terhadap Wirno bahwa mereka pun juga takut pertama kali bertemu dengannya.

“Hahahaha, udah santailah. Memang gue gini orangnya, banyak yang berprasangka kayak gitu. Slow ajalah.” Dia menyunggingkan senyumnya, kemudian tertawa renyah diikuti kami bertiga.

Selanjutnya, giliran Syarif yang bercerita tentang kisah hidupnya. Ia berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah. Dia sekarang mendapatkan beasiswa bidikmisi dari pemerintah. Itu merupakan suatu anugerah dari Tuhan yang sangat ia syukuri. Teman-teman seangkatannya jarang sekali ada yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Maklum, ia tinggal di lingkugan pesisir. Syarif bercerita bahwa pemikiran masyarakat didaerah sana masih cukup tradisional, mereka berpikiran bahwa pendidikan tinggi atau kuliah tidak terlalu penting. Orientasi mereka lebih kearah mencari uang meski dengan bermodalkan otot kawat dan tulang ya tulang. Mendengar cerita itu aku hanya bisa menghela nafas, di daerahku juga masih banyak yang berpikiran seperti itu.

“Hemmm, yang penting lo bersungguh-sungguh kalau kuliah. Beruntung lo dapet bidikmisi, temen gue aja nggak dapet padahal ekonominya juga rendah.” Sahut Pras rendah.

“Siap bro, ya gue juga nggak ada niat untuk main-main disini. Gue bakalan fokus kuliah.” Syarif menjawab mantap.

Kini giliranku yang bercerita. Mungkin ceritaku tak semenarik dan sedramatis mereka. Ceritaku ini berawal dari mimpi gilaku berbulan-bulan yang lalu. Mimpi yang menuntunku untuk mengarungi berbagai peristiwa dalam hidupku. Melewati momen-momen yang menjadi kenangan yang tak terlupakan olehku. Aku juga bercerita tentang kisah absurdku saat tes di Surabaya dulu, dan juga tentang hasil pahit yang kuterima. Hingga sekarang aku bisa ada disini. Termasuk alasanku memilih jurusan yang tak pernah sekalipun terbesit untuk kuambil saat kuliah, tapi inilah yang terjadi sekarang.

Mereka hanya memberikan komentar singkat dan juga sedikit kata-kata motivasi untukku. Aku menghargainya, meski kegagalan itu sesekali menyisakan sedikit rasa penyesalan tapi aku masih yakin bahwa kegagalan itu akan membuahkan hikmah untukku. Aku belum menemukannya sekarang, mungkin nanti.

“Ngomong-ngomong acara hari ini gimana?” Pras mengambil alih pembicaraan, seharusnya giliran ia bercerita tentang kisahnya. Ia malah mengalihkan topik pembicaraan, mungkin karena dia kurang lihai dalam bercerita.

“Anjirr, gue tadi kan kebelet bro. Udah sampai dipucuk, ya gue jadi kurang fokus. Gue langsung masuk aja ke salah satu toilet yang kosong. Pas gue keluar, perasaan gue agak aneh. Anak-anak pada ngeliatin gue sedikit nahan ketawa gitu. Nah, gue baru nyadar kalau tadi gue masuk di toilet wanita. Sumpah gue khilaf tadi hahahaha.” Syarif spontan menjawab, kami semua pun tertawa mendengar ceritanya.

“Gue malah lebih unik, kan didekat gue ada anak dari Papua. Nah, dia digombalin sama anak-anak. Yah gue diem aja sambil nahan tawa. Gue lupa kejadiannya tapi salah satu anak kalau nggak salah nyebut nama Pattimura gitu, spontan si anak Papua itu pun menjawab ‘Pattimura sudah mati’ dengan logatnya yang khas. Anak-anak udah nggak kuat nahan tawa, emang gokil banget tuh anak kayak Arie Kriting.” Sahut Wirno sedikit terbata-bata bercerita.

“Tempat duduk gue kan tadi dipojok, ngantuk banget bro. Gue setengah tidur tadi pas acara, untung nggak kena omel sama panitia.” Tukas Pras sambil tersenyum kecil.
“Lo sendiri gimana Megg?” Sambungnya cepat kearahku.
“Luar biasa bro, seharian gue tadi duduk sama cewek cantik asli Probolinggo. Aduhai, sungguh manisnya kayak lagunya mbak Camelia Malik hehe.” Jawabku mantap sambil bergaya ala-ala pujangga gadungan. Mereka pun tertawa kejam terhadapku.

Waktu hampir larut, kami semua pun mengakhiri obrolan malam ini lalu bubar barisan menuju kasur masing-masing demi menggapai mimpi indah. Kami masih harus bangun pagi, karena besok masih ada beberapa serangkaian acara yang harus kami ikuti.

Mendekati saat-saat mataku terlelap, entah mengapa aku jadi teringat Tiara. Entahlah, aku tak tahu dia sekarang sedang apa, mungkin dia juga telah terlelap dan sedang bermimpi indah. Aku hanya bisa berdoa untuknya, semoga dia baik-baik saja.
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.