Kaskus

Story

sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:
emoticon-Ultah

Cover:


From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)

NB: Sorry Bad Editing


Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter


Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita

Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.

Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.

Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.

Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.

Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.

Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.

Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.

Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.

Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.

Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.

***

Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.

“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.

“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.

“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.

Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.

Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.

Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.

Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.

“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.

“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.

“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.

“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.

“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”

Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.

“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.

Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.

“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.

Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.

Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.

***

Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.

Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,

“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.

“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.

Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.

“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.

Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.

Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.

“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.

“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.

“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.

“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.

Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.

Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.

Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.

Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.

“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.

“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.

‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.

Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.

Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
santinorefre720Avatar border
blackjavapre354Avatar border
rizetamayosh295Avatar border
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
#85
Chapter 25: Anak Kontrakan
12 Agustus 2016

Latar suasana yang mengiringi langah kaki kami kembali ke kota ini masih terlihat stagnan, kecuali jalanan di gang kecil yang kini telah bertransformasi dari tanah biasa menjadi berpaving yang tertata rapi. Kini, aku dan kedua temanku telah berdiri didepan rumah kontrakan yang dengan ikhlas hati kami tinggalkan tepat tujuh belas hari.

Dari rumah, aku membawa satu tas jinjing besar yang berisi bermacam-macam pakaian serta perlatan lain yang diperlukan dan juga sebuah tas gendong. Pras hanya membawa dua tas besar yang aku tak tahu apa isinya, sedangkan Rengga membawa dua tas gendong dan sebuah magicom. Kami bertiga telah resmi bermigrasi ke kota Malang dengan niat untuk menempuh pendidikan tinggi, mengejar cita-cita, dan untuk membanggakan kedua orangtua.

Bunyi ‘klek’ terdengar lirih merintih dari gagang pintu, sejenak kami menunggu Pras membuka kunci pintu rumah kontrakan, dengan sigap kami semua langsung menuju ke lantai atas untuk mengistirahatkan tubuh yang sudah pegal-pegal.

Aku meletakkan tas jinjingku di dekat kasur tanpa ranjang. Kupindahkan isi dari dalam tas itu ke sebuah lemari kayu usang dengan sebuah pintu yang bercermin. Terlihat retakan-retakan kecil dicermin itu berbalut lakban hitam, mungkin beberapa waktu lalu penghuni sebelum kami sedang khilaf hingga tanpa sadar mendzalimi lemari tersebut. Aku bersepakat dengan Rengga untuk membagi bagian dalam lemari menjadi dua bagian untuk menaruh pakaian-pakaian kami berdua. Bagian atas itu daerah kekuasaanku sedangkan bagian bawah miliknya Rengga. Khusus untuk jas almamater aku gantungkan disebuah gantungan baju karena takut kusut. Untuk Pras, ia menaruh pakaian-pakaiannya kedalam sebuah lemari kecil didekat lemari kami berdua.

Kurebahkan tubuhku sejenak diatas kasur dan rasanya sungguh nyaman bukan kepalang. Menatap langit-langit kamar yang polos dengan ornamen abstrak noda-noda hitam. Aku beranjak sebentar ke arah tasku untuk mengambil sebuah buku yang baru kubeli kemarin disebuah bazar buku. Judulnya cukup membuatku tertarik yang membahas tentang kiat-kiat menulis sebuah buku. Buku itu ditulis oleh salah satu penulis best seller di Indonesia. Membaca buku ternyata cukup untuk membunuh kebosananku, disamping dengan itu aku juga dapat impuls-impuls positif dari kegiatan itu. Terkadang, aku mendapatkan pandangan-pandangan baru, pengetahuan-pengetahuan yang tak pernah kuketahui selama ini.

Pras yang sedari tadi sibuk menata pakaiannya dilemari perlahan mendekatiku dan Rengga yang juga baru selesai keluar dari kamar mandi karena alasan manusiawi. Pras ingin menyinggung lebih lanjut tentang pembicaraan kami dikereta sewaktu berangkat kesini tadi. Kami pun merapat untuk berdiskusi.

“Eh nih nanti sore anak yang pengen ngontrak bareng kita mau dateng kesini. Sesuai kesepakatan kita tadi dikereta, dia akan menempati kamar dibawah. Kamar ini untuk kita bertifa saja biar enak nggak ada sungkan atau rasa curiga. Nggak ada masalah kan?” Pras menuturkan dengan kalem. Aku dan Rengga tak banyak berkomentar, tanda bahwa kami setuju.

Minggu-minggu ini memang Pras sedang mencari anak untuk ikut mengontrak ditempat kami. Sasarannya terutama para mahasiswa baru seperti kami. Dia berpromosi di salah satu grup whatsapp. Usahanya mengiklankan rumah kontrakan kami ternyata cukup membuahkan hasil. Ada dua anak yang tertarik dengan tawaran Pras.

Rapat singkat lima menit itu bubar. Aku kembali merebahkan tubuhku sambil membaca buku yang sempat terhenti sejenak barusan. Sedangkan mereka berdua kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing, kesibukan mereka yang dapat dilakukan sekarang adalah bermalas-malasan.

Beberapa lembar telah terlewati, tanpa kusadari rasa ngantuk menghampiriku seolah berbisik bahwa aku sekarang harus tidur lelap. Tanpa perlawanan apapun, aku pun terlelap dengan sendirinya.

***

Gelak tawa rendah dari kedua temanku seraya membangunkanku. Mataku yang terpejam perlahan sedikit terbuka, dalam hitungan detik mataku langsung terkena cahaya lampu tepat diatas tempatku berbaring. Lenganku spontan bergerak menutupi kedua mataku untuk menghindari silau dari lampu itu. Perlahan aku bangkit dari tidurku yang tak lebih dari dua jam.

“Lo lihat apaan sih Ngga? Dari tadi ketawa mulu?” Aku membuka suara pelan, masih setengah mengumpulkan sisa-sisa nyawaku yang masih bergentayangan.

“Udah bangun Megg, nih gue nonton anime nih sama Pras. Hahahahahaha.” Perhatiannya masih terfokus dilaptopnya setelah sesaat menatapku yang masih kusut layu. Aku menuju kamar mandi yang terletak dilantai bawah untuk mencuci muka meninggalkan mereka berdua yang sedang fokus menonton kartun Jepang.

Selidik demi selidik, anime yang mereka berdua lihat berjudul “Kore wa Zombie desu Ka!”. Anime ini mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja yang pernah mati dan dihidupkan kembali menjadi zombie. Aku tak terlalu tertarik menonton anime tersebut dengan mereka, lebih baik aku meneruskan bergulat dengan buku yang sempat teracuhkan beberapa saat yang lalu.

Halaman demi halaman buku kubaca secara mendetail, setengah mengawang-mengawang bahwa suatu saat aku dapat menulis karya hebat untuk dinikmati banyak orang. Itu adalah mimpiku, salah satu mimpi terbesarku diantara ratusan mimpiku yang lainnya. Tak peduli berapa lama mimpi itu akan terwujud, aku hanya bisa berdoa dan berusaha.

“Mau kemana lo Pras?” Mataku teralihkan oleh gerak-gerik Pras yang terlihat sedikit kebingungan.
“Ini gue mau nyamperin anak yang mau ngekos bareng kita. Gue cabut dulu ya!” Tukasnya singkat lantas pergi meninggalkan kontrakan ini.

Aku mengeluarkan sebuah amplop berisi puluhan lembar uang ratusan ribu yang rencananya untuk membayar kontrakan dan sisanya untuk kehidupanku selama beberapa hari nanti di kota ini. Rengga yang sedari tadi terpaku dengan laptopnya kupanggil cukup keras. Dia menoleh kearahku curiga.

“Bro, duit gue nih enaknya ditaruh dimana?” Aku bertanya pelan kepada orang yang menurutku dapat dipercaya berhubung aku pernah sekelas dengan Rengga dulu, meskipun dia tampangnya agak minus tapi dia kredibel orangnya.
“Kok tanya gue Megg? Yah terserah lo aja, taruh ditempat yang menurut lo aman aja.” Dengan tampang datar ia pun menjawab pertanyaanku. Ah, rasa-rasanya aku salah meminta pendapat dengan dia. Yah, meskipun pada nantinya aku harus berbagi kasur dengan dia.
“Ya udah, cuma lo Ngga yang gue kasih tau. Bismillah, gue taruh dibawah kasur nih.” Bibirku merapal sebuah doa, semoga uangku aman dan terlindungi dari tangan-tangan tuyul laknatullah, baik yang asli tuyul atau manusia yang sesifat dengan tuyul. Kutepuk tiga kali kasur itu setelah ayat demi ayat kupanjatkan lembut.

Rengga melanjutkan aktivitasnya seusai menyaksikan prosesi absurdku dalam menyembunyikan uang. Aku pun demikian.

Dari lantai bawah terdengar suara orang bercakap-cakap, kelihatannya itu suara Pras dan anak baru. Mereka kemudian menuju ke lantai atas tempat kami berada. Pras melongok kekamarku, ia mendapati kami yang masih tengah bermalas-malasan. Atas dasar arahan Pras, anak baru itu masuk kekamar kami lantas menyalami kami berdua.

Aku memasang wajah ramah, meskipun dalam hati aku masih berhati-hati terhadap orang yang baru kukenal. Intinya hanya untuk berjaga-jaga, tanpa bermaksud menganggap bahwa anak itu bukan anak baik-baik. Aku tak tahu apa yang ada dipikiran Rengga, tampangnya tak bisa kubedakan antara wajah curiga atau wajah biasa.

Pras bernegosiasi singkat dengan anak baru itu. Hanya dalam beberapa waktu, kesepakatan telah tercapai diantara mereka berdua. Kontrakan kami ini resmi menambah satu anggota baru, masih ada beberapa kuota lagi. Satu pendaftar lain kemungkinan akan datang malam ini.

***

Kami berempat berjalan santai di jalanan gang ini seusai menunaikan sholat Maghrib. Keadaan masih cukup canggung, kami berbasa-basi sedikit dengan anak baru itu. Aku pun belum sempat bertanya nama atau asal-usul. Hanya Pras yang tak ada rasa sungkan sama sekali, walau terkadang ia mencoba melucu meski bayolannya kebanyakan garing.

Ketika hendak berbelok menuju kontrakan, Pras tiba-tiba berhenti. Ia celingukan menatap sekitar.
“Ada apa Pras?” Rengga bertanya penasaran.
“Nih anak baru dari Madiun yang mau ngontrak. Dia nunggu gue dideket sini.” Ujar Pras pelan. Tanpa ba-bi-bu ia pergi meninggalkan kami bertiga yang sedikit lagi sampai di kontrakan.

Dilantai atas, aku berkumpul dengan Rengga dan anak baru yang datang sore tadi. Kami hanya ingin mengobrol singkat, bukan bermaksud menginterogasi atau malah mengintimidasi. Berhubung suasana masih canggung, alangkah lebih baiknya mencoba menghilangkan rasa canggung itu dengan mencoba mengenal satu sama lain.

“Kenalin bro, nama gue Meggy. Nih si culun namanya Rengga, hehe. Gue satu kampus sama lo, Fakultas Sastra, jurusan Bahasa Jerman.” Aku memperkenalkan diriku singkat, sesekali menyeringai kearah Rengga karena telah kucela sedikit. Ia tidak marah malah justru tertawa.
“Namaku Syarif mas, asli Tuban. Nih rokok mas, biar lebih enak ngobrolnya.” Dengan rasa sedikit sungkan ia berbicara kepadaku sembari menawarkan rokoknya kepadaku. Kebetulan bibirku agak sepet hari ini, mumpung ada rokok gratis. Tidak baik menolak kebaikan orang lain.
“Biasa aja bro sama kita, nggak usah sungkan. Ngomong-ngomong, thanks ya rokoknya.” Tukasku diiringi kepulan asap rokok yang melayang diudara.
“Iya Rif, semoga bisa akur sama kita-kita. Toh, kita nanti bakalan kayak keluarga sendiri. Sesama anak perantauan harus saling membantu.” Rengga dengan tampang polosnya mengeluarkan sedikit kata-kata bijak.

Syarif hanya tersenyum renyah. Ia kemudian memperkenalkan dirinya lebih dalam. Pembicaraan kami memang tidak terlalu penting namun cukup untuk menambah keakraban diantara kami bertiga.

Disela-sela pembicaraan kami, Pras menyuruh kami untuk turun kebawah. Tanpa banyak protes kami langsung menuju kelantai bawah. Disana kami disambut oleh dua orang yang sedang duduk bersila bersandar ditembok. Kami pun bersalaman dengan mereka. Pras kemudian menjelaskan bahwa anak yang berbaju hijau tua yang berminat untuk mengontrak bersama kami. Sedangkan mas-mas disampingnya hanya bertugas sebagai pengantar. Lalu Pras memperkenalkan kami satu persatu kepada anak berbaju hijau tua itu.

Dari tampang dan cara dia berbicara membuatku setengah tidak yakin dengan anak ini. Wajahnya sangar, jika dia main film mungkin peran yang cocok untuknya adalah sebagai kriminal tingkat tinggi. Membayangkan serumah dengan dia membuatku setengah menggigil ketakutan, orangnya terkesan cuek dan angkuh. Ketika Pras menjelaskan panjang lebar, ia hanya menjawab singkat dan sekenanya. Dalam hati aku hanya berdoa semoga semua baik-baik saja.

Beberapa saat setelah perbincangan singkat diantara kami semua, ia dan masnya berpamitan dengan kami. Ia masih menimbang-nimbang untuk mengontrak dirumah ini. Kemungkinan dia akan datang lagi besok lusa untuk memberikan kepastian. Pras mengantarnya sampai keluar rumah, sedangkan kami bertiga kembali ke lantai atas untuk meneruskan acara anjangsana yang sempat terjeda beberapa menit. Disusul Pras yang bergabung bersama kami setelah memastikan bahwa urusannya dengan anak yang tadi itu selesai.

Mendekati larut malam, kami pun bubar barisan. Syarif kembali ke kamarnya yang berada dilantai bawah. Sedangkan Rengga dan Pras menerukan acara tidak pentingnya yaitu menonton anime zombie yang diputar tadi sore. Aku yang terheran-heran dengan tingkah mereka yang dipenuhi gelak tawa membuatku tertarik untuk ikut menyaksikan anime tersebut.

Cukup beberapa menit aku menyaksikan anime itu, spontan aku tertawa melihat adegan demi adegan. Karakter di anime itu memang sangat kocak, terlebih adegan-adegan vulgar khas anime Jepang yang dapat dipastikan tidak lulus sensor jika tayang di Indonesia. Pikiranku yang tadinya murni tanpa ada unsur pornografi perlahan menjadi kotor lagi setelah melihat karakter perempuan di anime itu yang berbodi bohai nan aduhai. Bukan hanya aku, mereka berdua sepertinya terlalu jujur jika dilihat dari suara tawa mereka. Tawa lelaki normal yang sedang asik menikmati masa pubertasnya.

Prosesi rusuh nan tidak barokah itu kami akhiri berhubung waktu mulai memasuki tengah malam ditambah kondisi kami bertiga yang mulai kelelahan.

***

Keesokan harinya, kami semua bangun kesiangan selaras dengan aktivitas nihil kami di kontrakan. Anak-anak membeli sarapan masing-masing, aku pun demikian. Tak perlu mahal yang penting mengenyangkan. Meski murah tapi gizi juga harus tetap diperhatikan, minimal ada protein sama sayur-sayuran.

Selama aku hidup di kota ini, aku memegang pesan ibuku untuk menjaga kesehatan. Ibuku melarang keras jika aku disini mengonsumsi mie instan. Aku tahu sendiri bahwa mie instan juga tidak baik jika dikonsumsi terlalu sering. Meme-meme tentang anak kos dan mie instan yang marak beredar di internet itu juga sebenarnya kurang mendidik meski banyak anak-anak kos yang doyan mengonsumsi makanan tersebut dengan dalih hemat budget. Aku tak mau jadi anak durhaka, sebisa mungkin aku menghindari makanan tersebut meskipun kemasannya cukup menggoda perut.

Pesan lain dari ibuku selain tentang mie instan adalah masalah rokok. Benda makruh tersebut memang telah menjadi konsumsi favoritku ketika senggang ataupun saat-saat mampet inspirasi. Rokok juga menjadi teman setiaku selama beberapa tahun ini. Sekarang, mau tidak mau aku harus menuruti kemauan ibuku untuk mengurangi kuantitas merokokku. Terlepas dari masalah kesehatan, jika aku tidak menahan kebiasaanku ini dapat dipastikan akhir bulan krisis ekonomi melanda dompet kesayanganku.

“Megg, lo nggak pengen nonton lagi? Nih episode lanjutannya lebih gila bro.” Suara Rengga konsentrasiku yang sedang asik menyantap menu sarapan pagiku. Tanpa banyak cingcaung aku pun merapat ke laptopnya. Catatan dosaku sepertinya bertambah sekarang berhubung pakaian-pakaian yang dikenakan karakter cewek di anime itu tidak sesuai dengan tuntunan syariah.
“Episode ini ceritanya tentang apa Ngga?” Aku bertanya heran.
“Gue juga belum lihat Megg, udah nikmati saja. Nggak pake tegang sama keringetan ya, hahahaha.” Rengga menyela sarkas kepadaku. Yah, daridulu dia tahu kalau aku suka sensitif jika menyangkut hal-hal seperti itu.

Tawa keras kami memenuhi lantai atas, sekarang posisi kami tepat berada di sebuah ruang didekat kamar kami berdua. Ruang ini cukup luas, pas jika digunakan nongkrong bareng-bareng. Kami masih duduk manis menikmati setiap episode demi episode hingga tanpa tersadari dua jam telah terlewati.

Suara orang menapaki tangga terdengar lirih ditelinga kami. Kemungkinan itu Pras dan Syarif yang baru kembali membeli perlengkapan-perlengkapan rumah. Tadi malam kami sudah membuat daftar barang yang harus kami beli seperti timba, piring, beras untuk makan malam, dan alat-alat lainnya. Mereka membeli barang-barang disekitar rumah kontrakan ini. Lokasinya memang tak terlalu jauh dan terbilang cukup strategis karena banyak anak rantau yang tentunya membutuhkan perlengkapan-perlengkapan tersebut.

Aturan pertama yang kami sepakati adalah jika pagi atau siang masalah pencernaan dibebankan kepada masing-masing anak, sedangkan jika malam hari ada salah satu anak yang dibebankan tugas untuk memasak nasi dan membeli lauk menyesuikan piket yang telah dibentuk dan disetujui oleh kesemua anak. Kesepakatan itu tercipta menimbang bahwa dipagi hari waktu masing-masing anggota kontrakan tidak menentu, ada yang kuliah pagi atau pun siang hari. Berbeda diwaktu malam, yang kemungkinan anak akan berkumpul bersama cukup tinggi. Dengan itu pembagian jatah beras tidak ada kata ketidakadilan, semua rata sesuai dengan sila kelima Pancasila.

“Nonton wae, kerja-kerja!” Tukas Pras sedikit sinis kearah kami berdua disusul gelak tawa renyah darinya. Kami berdua masih tetap fokus melihat jalannya cerita di layar laptop, Pras cepat-cepat bergabung dengan kami bertiga karena ia tak mau ketinggalan. Syarif duduk didekat kami, ia sepertinya kurang tertarik dengan anime.

Tanpa dinyana dan tanpa ada angin berhembus, anak yang tadi malam sudah merapat didekat kami berkumpul.

“Wah ternyata lo Wir, gimana udah yakin ngontrak disini?” Pras menyambut kehadirannya yang tanpa kami sangka sama sekali. Dari awal memang Pras sudah tahu kalau anak itu mau kesini, sayangnya dia tidak memberitahu kami sama sekali.

Anak itu kemudian menyalami kami semua. Ia memperkenalkan dirinya dengan sikap yang lebih sopan ketimbang tadi malam.

“Wirnoyo, panggil saja Wirno.” Ujarnya mantap seraya menjabat tangan kami bertiga, lantas kami memperkenalkan nama kami masing-masing. Pras tak perlu perkenalan ulang karena dari kemarin ia sudah tahu namanya.

Jujur, aku masih setengah kurang yakin jika serumah dengan orang ini. Kupertegas lagi, tampangnya mirip sekali sama preman pasar. Semua mungkin sepakat jika kesan pertama bertemu dengan Wirno adalah takut dengan sosoknya. Pikiran-pikiran negatif kusingkirkan cepat, teringat slogan bahwa jangan menilai sebuah buku dari sampulnya. Didunia ini ada juga preman yang dihormati, contoh kang Mus hehehe (korban sinetron).

“Ya udah Wir, lo istirahat dulu aja. Pasti lo lelah baru angkat-angkat barang lo kesini.” Ujar Pras sambil menemani Wirno ke kamar di lantai bawah. Dengan kehadiran Wirno, kontrakan ini akhirnya resmi dihuni oleh lima anak.

Malam harinya kami berkumpul dilantai atas untuk membahas masalah pelunasan biaya kontrakan. Kami tidak enak dengan bu Lis jika terlalu lama menunda pembayaran uang kontrakan. Serasa kurang nyaman menghuni rumah ini jika masih ada tanggungan yang belum terselesaikan. Kami berlima mengumpulkan uang sesuai dengan harga yang telah kami sepakati. Prosesi penyerahan uang kontrakan kami amanatkan kepada Pras selaku kepala rumah kontrakan. Alhamdulillah, prosesi berjalan lancar.
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.