lintangayudyAvatar border
TS
lintangayudy
Dendam Hantu Penunggu Pohon Beringin.


INDEKS KUMPULAN KUMCER
By. Lintang
Klik Di Sini


Aku terbangun di belakang sebuah gedung tua. Di bawah sebuah ayunan usang dari ban bekas yang bergelayut di bawah pohon beringin. Aku bingung, mengapa aku bisa terbangun di tempat sepi ini?

Sinar rembulan tampak malu-malu menampakkan diri. Tiba-tiba bau anyir darah memenuhi penciumanku. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Aku tergugu saat melihat sesosok wanita tergeletak tak jauh dari bawah pohon beringin ini.

Melihat kanan-kiri berharap ada orang yang menemaniku untuk tahu keadaan wanita itu. Nihil. Hanya aku sendiri.

Dengan penuh keberanian, aku melangkahkan mendekat.

Saat terlihat dengan jelas wanita bergaun merah itu, refleks kututup mulut rapat-rapat. Tubuhku lunglai, pandangan mengabur dan peluh membanjiri wajah tapi aku mencoba tetap berdiri.

"Tidak! Tidak mungkin itu aku!" gumamku.

"Tolong!"

"Tolong!" jeritku ketakutan. Namun sayang, tak seorang pun yang mendengar, hanya suara jangkrik yang bersahutan.

Aku berlari sejauh mungkin, tetapi seberapa jauh berlari, aku tetap kembali ke tempat ini. Lelah, kuputuskan untuk duduk di depan tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Melihat tubuh yang sudah terbujur kaku, darah yang mengering, serta luka lebam di setiap jengkal tubuh itu.

Terisak, menangisi kisah hidupku yang berakhir tragis.

*****

"Luna … cepat, Sayang. Nanti telat loh," panggil Mas Raka, sembari membawa peralatan manggungku.

"Sebentar, Sayang," balasku sambil memastikan penampilan sudah sempurna.

Lalu aku segera meninggalkan meja rias. Berlari keluar kamar menyusul kekasihku yang telah lebih dulu masuk ke dalam mobil.

"Sudah dibawa semua, Mas?"

"Sudah,"

Beberapa saat kemudian mobil meninggalkan halaman rumah.

"Kamu sudah hubungi Mas Dimas, Na?" tanya Mas Raka.

"Sudah kemaren, Mas. Setelah manggung di Bogor, kita jadi liburan ke kampungmu kan, Mas?"

"Jadi, makanya aku suruh kamu hubungi Mas Dimas, biar dia bisa atur ulang schedule kamu."

*****

Kini, kami sudah berada di rumah orang tua Mas Raka, di sebuah desa terpencil di kaki gunung Slamet. Perjalanan panjang tadi menyisakan rasa lelah, hingga aku putuskan untuk beristirahat lebih awal.

Saat akan merebahkan tubuh di atas kasur, gawai dari dalam tas Mas Raka berdering. Kuambil dan menggeser tombol hijau di sana.

"Hallo, Mas Raka, tadi aku lihat mobilmu lewat depan rumah, sudah nyampe? Koq nggak langsung hubungin aku sih?" ucap seorang wanita di dalam gawai

"Ha ...." ucapanku terputus, dari belakang Mas Raka mengambil paksa gawainya.

Netra cokekatnya menyalak merah setelah membaca nama di layar ponsel.

"Kenapa memgangkat telpon orang sembarangan, HAH!" hardik Mas Raka.

Aku hanya terdiam, rasa lelah yang menderaku kini telah sirna seketika.

"Sudah kuperingatkan untuk tidak mengangkat ataupun membaca pesan, masih saja begitu!" ucapnya berlalu pergi meninggalkan kamar.

"Kamukah itu, Mas?" Tetesan bening keluar dari sudut netraku.

Ada rasa ngilu di dalam dada. Setelah hampir setahun mengenal lelaki berperawakan tegap itu, ini kali pertama ia marah.

Suara adzan magrib tengah berkumandang, karena sedang tidak shalat aku pun tidak beranjak dari atas kasur. Terdengar suara pintu berderit, Mas Raka masuk ke kamar, berjalan mendekat dan membetulkan selimut setelah sebelumnya mencium kening, langkahnya pun pergi menjauh.

*****

"Mas Raka!" teriakku. Di depan sana, Mas Raka dengan seorang wanita muda sedang bergumul mesra. Mata kami bersiborok, kilat kemarahan nyata terlukis di netranya. Sang wanita segera menyambar baju yang teronggok tak jauh dari tempat mereka memadu kasih.

Plak!

Rasa perih di tangan setelah menampar wanita itu dengan keras, tak seperih luka di dalam dadaku.

Melihatku menampar wanita berkulit putih itu, Mas Raka beranjak dari atas kasur.

Plak!

Tamparan keras dari tangannya mengenai pipi kiri dengan sempurna. Rasa sakitnya sampai masuk ke dalam hati. Kuusap sudut bibir yang mengeluarkan darah.

Mataku mencari sesosok perempuan yang tengah tersenyum sinis. Setelah dapat menjangkaunya, kutarik rambut hitam panjangnya, raungan kesakitan keluar dari bibirnya yang ranum. Belum puas kulayangkan tangan untuk menamparnya lagi, tapi naas Mas Raka lebih dulu melemparku ke atas ranjang.

Ia sambar gesper di bawah kakinya, dengan membabi buta gesper itu mengenai tubuh kecilku dengan keras. Masih tak menyerah, dengan sisa tenaga aku berdiri menjangkau perempuan itu. Kalah sigap Mas Raka lebih dulu melempar tubuhku ke dinding, kepala pening, pandangan mengabur namun masih memiliki kesadaran.

"Mas," rengekku, mencoba meminta belas kasihan.

"Aku sudah muak, Luna. Sudah lama mencoba menahan diri untuk tidak menyakitimu tapi sikapmu itu yang membuatku kalap," ucapnya penuh emosi.

"A-apa ma-maksudmu?"

"Aku tau apa yang kamu lakukan bersama Dimas di belakang panggung kemarin," ucapnya pilu.

"Aku mencintaimu, Luna. Sangat," isaknya terdengar, wanita di belakang membelai lembut bahu Mas Raka.

"Ma-af," gumamku.

"Aku tidak butuh maafmu, rasakan kesakitan ini," ucapnya sambil mengayunkan gesper kulit itu ke arahku.

Masih dengan sedikit kesadaran, merasakan sesuatu tajam menghujam jantungku, perih juga terasa di seluruh tubuh ini.

****

"Ampuun! Ampuuun, Luna," mohon Mas Raka.

Braakk

Kulempar tubuh Mas Raka. Kepalanya menghantam dinding dengan keras, darah mulai mengucur dari pelipis kirinya. Tubuhnya lunglai lalu terjatuh di lantai, kutarik gesper yang masih terpakai.

Trashh
Trashh

Tak kenal ampun kulayangkan gersper itu ke sekujur tubuhnya, sama persis seperti yang ia Lakukan padaku sebulan yang lalu.

"Luna, tolong ampuni aku, maafkan aku," rengekmu.

Tak kuhiraukan rengekan Mas Raka. Kuambil pisau yang ada di atas nakas.

"Ini pembalasan dariku," teriakku. Menghunuskan pisau tepat di jantungnya.

"AAA ...." Teriakanmu menggema di seluruh ruangan.

Belum puas, kulukis wajah tampan serta tubuh tegap Mas Raka dengan pisau ini. Darah terus mengalir dari setiap sayatannya. Ia meringis menahan perih.

"Hihihi ... hihihi."

Tawaku menggema seiring rintihan tangis Mas Raka. Sorot matanya mengiba, namun tak kuhiraukan, itulah balasan yang setimpal.

Hanya karena cemburu buta dan harta, ia dengan tega menghabisi nyawaku tanpa belas kasihan.

Meski terluka parah dan bermandikan darah, kesadaran lelaki brengsek itu masih terjaga.

Fajar sebentar lagi datang, aku pun segera keluar dari raga Putri, perempuan yang telah membantu Mas Raka menghabisi nyawaku. Perlahan ia mulai membuka mata.

"Aaa ...." teriak gadis berlesung pipi itu saat melihat wujudku.

Senyumku menyeringai kuhampiri dia yang tengah ketakutan, peluh membanjiri wajah cantiknya. Dengan tergopoh-gopoh dia berlari menjauh dariku.

Bruugh

Putri terjatuh tersandung tubuh Mas Raka.

"Aaa ...."

Shock melihat apa yang telah terjadi pada kekasihnya, gadis itu pingsan di atas tubuh lelaki itu.

Setelah puas dengan apa yang kulihat, aku pulang kembali ke pohon beringin yang sekarang menjadi rumahku.

End.
Jogja, 4 April 2019

Back Indeks Link
Diubah oleh lintangayudy 05-02-2021 15:43
indrag057
mantapsoull
meydiariandi
meydiariandi dan 55 lainnya memberi reputasi
56
32.6K
563
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.9KAnggota
Tampilkan semua post
lintangayudyAvatar border
TS
lintangayudy
#158
Matahariku

sumber gambar

Matahariku
By. Lintang

"Yakin, Bro. Lu mau nembak dia lagi?" tanya De Yudi. Aku cuma mengangguk.

"Gila! elu udah tiga kali dalam sebulan nembak dia di tolak mulu. Kagak kapok?" tanya Yudi lagi.

"Eiitt ... dalam kamus gue kagak ada kata kapok, Cuy. Dia pasti cinta sama gue," jawabku.

"Ngimpi jangan ketinggian, Bro. Lu kagak liat siapa saingannya? Dwi Bani Khalman. Mana cakep, kaya lagi. Elu kagak minder gitu?" tanya Yudi.

Aku terdiam.

"Ahh ... Cinta mah kagak mandang kaya ataupun cakep, Mamen," jawabku asal.

"Pertanyaannya, dia cinta kagak sama elu?" tanya Yudi geram.

"Cintalah, kalo kagak cinta mah kagak bakal gue perjuangin," gumamku.

"Ngayal aje, Lu!"

"Cinta itu perlu perjuangan Mamen. Walau banyak halang merintang, apapun akan gue hadapin. Apalagi buat cewek seperti Andien," ucapku.

Membicarakan Andien Adawiyah, membuatku membayangkan wajah cantiknya. Wanita berparas ayu itu memang mudah membuat kaum Adam jatuh cinta. Mempunyai mata belo, hidung mancung serta lesung pipi yang selalu menghiasi senyumannya. Memikirkan Andien membuat penyesalanku semakin dalam.

"Gebetan lu dateng tuh!" seru Yudi. Menyadarkan lamunanku.

Mataku terus mencari keberadaan Andien, kulihat gadis cantik berbando ungu itu melintasi gerbang utama kampus. Dengan sigap aku pun mengambil tas dan bunga, berlari ke arah di mana pujaan hatiku berada.

"Woyy ... bunga matahari dari mana itu?" teriak Yudi.

"Taman belakang," jawabku.

"Ketauan Pak Asep mampus, lu! Dasar Koko sableng," umpat Yudi dari kejauhan.

****

"Pagi, kesayangan akoh," sapaku pada Andien yang sedang berjalan menuju kelasnya.

"Pagi," jawabnya cuek sembari mempercepat langkahnya.

"Sudah sarapan belum? Ke kantin yuk? Kita sarapan bareng," tanyaku.

"Ogah!" jawab Andien ketus.

" Ketus aja masih cantik kamu, gimana kalo lagi tersenyum coba?" gombalku.

"Nih, buat kamu," kuulurkan kembang matahari yang kupetik dari taman belakang.

Mata indah Andien menjelajahi sudut kampus, seketika senyumnya mengembang.

"Ini buat aku?" tanya Andien.

"Tentu kesayangan akoh, nih."

"Mang Asep!" Andien memanggil Mang Asep yang sedang membawa keranjang sampah tak jauh dari tempat kami.

Reflek kusembunyikan bunga matahari di belakang punggungku.

"Ada apa Neng?" teriak Mang Asep.

"Sini, Mang. Sebentar," panggil Andien.

"Mana bunga buat aku tadi?" tanya Andien padaku.

Aku menggeleng.

"Katanya itu buat aku, mana?"

Dengan terpaksa aku menyerahkan bunga Matahari. Mang Asep melihat bunga dalam genggamanku. Matanya menatapku penuh selidik.

"Dari mana kamu dapatkan bunga itu?" tanya Mang Asep padaku.

"Hmm ... Itu Mang,"

"Dari kebon belakang tuh, Mang," teriak Yudi dari kejauhan. Kudengar suara tawanya membahana.

"Dasar kampret!" umpatku sebelum berlari menghindari amukan Mang Asep.

"Dasar kamu ya? Seneng banget ngacak-ngacak taman. Kalo mau ngasih bunga ke cewek tuh modal!" omel Mang Asep sambil terus mengejarku.

Kulihat gadis cantik berbando itu tertawa lepas. Selalu seperti ini, aku harus menjadi bulan-bulanan Mang Asep hanya untuk mendapatkan perhatian Andien.

****

Ruang kelas, kantin dan halaman kampus sudah kususuri tetapi kunci motor tak juga ketemu.

"Sial!" umpatku.

"Taman belakang sudah belum?" celetuk Yudi dari belakang.

"Oh iya! Thanks ya Nyet," ucap gue.

"Kampret, Lu. Dikasih tau malah ngatain gue!" ucap lelaki berdarah Jawa-Bali itu kesal.

Aku segera berlalu meninggalkan Yudi menuju taman belakang.

Dari samping tembok belakang kampus, aku mendengar suara isakan. Kupercepat langkah kaki. Setelah sampai di taman belakang sekolah, kulihat gadis berbando ungu sedang terisak sembari melihat bunga matahari di depannya.

Langkahku terhenti tepat di belakang gadis itu. Terasa ada yang teriris dari sudut hatiku, melihat wanita yang dicintai menangis karena ulahku di masa lalu.

"Masih adakah maaf dari sang surya untuk bunga matahari" tanyaku parau.

Andien mengusap butiran bening yang keluar dari sudut matanya.

"Andien, sorry," ucapku lagi.

Andien masih bergeming.

"Ijinkan aku memperbaiki semuanya, Andien,"

"Cukup!" desis Andien sebelum beranjak dari duduknya.

"Tunggu!" Kutarik pergelangan tangannya.

"Lepaskan!" gertak Andien.

"Tidak! Kita mesti bicara."

"Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan! Aku sudah turuti semua kemaunmu. Kenapa sekarang kamu kesini!" teriak Andien frustasi.

"Mau kamu apa sih? Apa masih belum puas nyakitin perasaan aku?" cecar Andien.

"Maaf," ucapku.

Tangis gadis Andien pecah merengkuh tubuh mungilnya, membiarkan ia menangis dalam pelukanku.

"Maafkan aku, Sayang," ucapku.

"Aku datang, Sayang. Akan kuobati luka yang telah kutorehkan di sudut hatimu," batinku

Hening, tidak ada perbincangan, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kueratkan pelukan.

Dering gawai Andien berbunyi, gadis itu melepas rengkuhanku. Setelah mengambil gawai dari dalam tas, Andien berlalu meninggalkan aku sendirian di taman belakang.

"Maaf," ucapku sembari melihat kepergian Andien.

"Jadi sebenarnya kalian pacaran?" tanya Yudi mengagetkanku.

Aku mengangguk.

"Cerita dong, kepo nih gue?" tanya Yudi penasaran.

"Gue yang nyuruh dia pergi. Gue yang telah nyakitin dia, Yud," jawabku

"Jadi elu kesini mau ngejar cinta Andien lagi?" tanya Yudi. Aku mengangguk.

"Apa sih masalahnya?"

"Gue yang salah, Yud!" teriakku frustasi.

"Gue yang salah, karena lebih mempercayai omongan sahabatnya dari pada dia, pacar gue sendiri. Gue nyesel, Yud. Gue mau memperbaiki semuanya," terangku.

"Terlambat, dia sudah punya Bani," ucap Yudi.

"Tapi dia masih cinta sama gue," balasku sengit.

"Hanya karena memandang bunga matahari kesukaan elu. Elu berasumsi bahwa dia masih cinta sama elu? Nggak Koko. Dia hanya mengingat kepedihan yang telah elu kasih ke dia," ucap Yudi kesal.

Aku bergeming.

"Selamat berjuang, Bro. Good luck!" ucap Yudi sebelum berlalu pergi meninggalkan aku sendiri di taman belakang.

****

"Bentar lagi kelas dimulai nih. Yuk masuk," ajak Yudi.

"Elu masuk duluan gih. Gue masih mau nunggu," balasku.

"Kagak masuk kali tuh anak," ucap Yudi mulai kesal.

"Jangan bikin gue Bete pagi buta deh Yud," sahutku.

"Dasar bucin! Gue masuk kelas dulu," ucap Yudi.

Setelah kepergian Yudi, kulihat Ratih berjalan tak jauh dari tempatku.

"Ratih," panggilku.

"Ya," jawab Ratih.

Aku berlari ke arah Ratih.

"Ratih, elu liat Andien nggak? Bukannya ada kelas pagi ya? tanyaku.

"Andien pulang tadi, Ko. Dianter Mas Bani," jelas Ratih.

"Loh! Koq pulang? Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Tadi Andien tiba-tiba pingsan di kelas. Langsung dibawa ke Rumah Sakit sama Mas Bani," jawab Ratih.

"Rumah Sakit mana?" tanyaku panik.

"Rumah Sakit Medika biasanya sih," jawab Ratih.

"Terima kasih ya," teriakku sambil berlari menuju tempat parkir.

Setelah melewati gerbang kampus, kupercepat laju sepeda motor menuju Rumah Sakit. Tak kuhiraukan umpatan serta klakson kendaraan pengguna jalan lain karena aku menyalip dengan ceroboh, yang ada dalam fikiranku adalah cepat sampai di Rumah Sakit.

"Kamu kenapa, Sayang?" gumamku.

Sepanjang perjalanan pikiranku kacau. Sesampainya di Rumah Sakit, kuparkir motor dengan sembarang. Lari menuju resepsionis menanyakan keberadaan kamar Andien.

Cukup lama aku berdiri di depan pintu ruang rawat inap Andien. Kukumpulkan keberanian untuk menemuinya. Setelah itu kubuka pintu kamar.

Kulihat Bani sedang berbincang dengan Andien. Tangan mereka saling menggenggam. Tawa Andien sesekali terdengar, binar matanya menggambarkan kebahagiaan.

"Kamu harus kuat. Demi aku dan juga Mamah," ucap Bani. Tangan kanannya merapikan anak-anak rambut yang menutupi wajah cantik Andien.

"Siap, Komandan!" jawab Andien.

"Laksanakan!" ucap Bani. Tawa mereka kembali pecah.

Kututup pintu kembali.

"Mungkin kini saatnya aku harus pergi. Andien telah bahagia bersama Bani," batinku.

"Sepertinya hanya Bani yang mampu menjaga Andien,"

Dengan gontai aku berjalan menuju tempat parkir.

"Dasar bodoh! Brengsek!" umpatku.

"Bego! Kenapa gue harus percaya omongan Lyra," Aku terus memukuli tembok parkiran Rumah Sakit.

"Maafkan aku Andien," ucapku tergugu.

"Mau apa lagi ke sini?" tanya seseorang di belakangku.

"Elu?" Kulihat Bani menatapku sinis.

"Yah, ini gue," ucap Bani. Melangkah maju memperpendek jarak diantara kami.

"Dengan susah payah gue menjaga Andien agar dia bisa bangun dari keterpurukannya. Dan sekarang lihatlah. Kedatangan elu ke sini hanya memperparah keadaan dia," ucap Bani. Matanya menatapku tajam.

Aku masih bergeming.

"Apa mau elu sebenarnya, brengsek!" tanya Bani sembari mendaratkan kepalan tangannya di pipi kiriku.

Aku terhuyung, kuseka darah yang keluar dari sudut bibirku.

"Belum puas elu bikin adik gue terluka, HAH!" teriak Bani.

Sekali lagi sebuah pukulan mendarat di wajahku. Tak kuhiraukan lagi darah yang kembali menetes di di wajahku. Kutatap Bani penuh selidik.

"Karena kelakuan elu juga adik gue kembali drop. Brengsek!" Kali ini sebuah pukulan mendarat di perutku. Kurasakan sakit tak tertahankan.

"Tunggu!" ucapku sambil menahan rasa sakit di bagian perut.

"Apa maksud elu?" tanyaku bingung dengan segala ucapan Bani.

"Hahaha ... Elu kagak tau Andien sakit?" tanya Bani.

"Owh pasti karena elu sibuk selingkuh dengan sahabat cewek elu sendiri, iya kan?" tuduh Bani.

"Selingkuh?" tanyaku. Aku semakin tidak paham dengan perbincangan ini.

Bani mengangguk.

"Iya, Andien cerita sama gue. Semuanya!" Kulihat tangan kanan Bani akan melayangkan pukulan lagi, dengan sigap kutangkis pukulannya

"Sepertinya ada yang salah deh. Demi Tuhan gue nggak selingkuh. Justru Lyra yang ngasih tau gue kalo Andien punya pacar dan gue cuma dijadiin selingkuhan dia" ucap gue.

"Ah sial!" umpat gue. Setelah tau akan kebenaran dari kejadian ini.

"Dasar perempuan, Licik," umpatku sekali lagi.

Dengan sekuat tenaga aku berjalan memasuki rumah sakit.

"Mau kemana, Lu?" tanya Bani.

"Ijinkan gue menemuin Andien. Gue harus ngelurusin permasalahan kami. Pliss," pintaku pada Bani.

Tanpa menunggu jawaban dari Bani, aku berlalu dari tempat parkir sepeda motor.

Kupejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam, lalu membuka pintu.

Kulihat gadis cantik itu tertidur pulas. Wajahnya pucat dengan selang infus terpasang di tangan kirinya.

Aku duduk di kursi sebelah kanan Andien. Kuraih tangan kanannya, meremasnya lembut.

"Maafkan aku, Andien," ucapku lirih.

Kurasakan pergerakan tangan Andien. Mata indah Andien mengerjap. Saat melihatku ia menutup mulut dengan tangan kirinya.

"Kamu kenapa bisa begini?" tanya Andien cemas.

"Kenapa bisa bonyok begini?" tanya Andien lagi.

"Jawab! Kenapa bisa begini?" cecarnya lagi.

Aku tersenyum melihat kekhawatiran dari gadis cantik di depanku. Andien mencebik setelah melihatku tersenyum.

"Maafkan aku, Sayang," ucapku.

Andien masih terdiam.

"Maaf atas kesalahanku. Maaf atas segala tuduhanku ke kamu. Maaf atas ketidak tahuanku atas keadaan kamu. Maaf atas semuanya," ucap sembari mempererat genggamanku.

Dari sudut mata Andien keluar butiran bening. Mata teduhnya menatapku sendu. Kami terdiam cukup lama.

"Seharusnya aku mempercayaimu. Bukan malah mempercayai omongan iblis betina itu. Aku memang bodoh," ucapku penuh penyesalan.

"Seharusnya aku mendengarkan dulu penjelasan kamu, aku memang bodoh. Benar-benar bodoh!" ucapku lagi.

"Sudahlah, semua sudah terjadi. Sekarang obati dulu lukamu dan pergilah," ucap Andien.

Kuangkat kepala menatap wajah cantik Andien.

"Pergi?" tanyaku.

Andien mengangguk.

"Aku tidak akan pergi, aku akan terus bersama kamu," ucapku

"Tidak, aku sudah punya Mas Bani. Kamu pergilah," ucap Andien.

"Aku sudah tau siapa Bani. Jadi jangan banyak alasan lagi,"

"Pasti ini, ini dan ini ulah Mas Bani?" tanya Andien sembari menyentuh luka di wajahku.

Aku mengangguk.

"Aku memang pantas mendapatkan kenang-kenangan dari kakak ipar," jawabku sambil berkelakar.

"Ko," ucap Andien sendu.

"Kita tidak bisa seperti dulu lagi. Carilah perempuan lain," ucap Andien.

"Tidak, aku tidak akan meninggalkan kamu," sahutku.

"Tapi aku yang akan meninggalkan kamu," ucap Andien.

"Tidak. Kita pasti akan bersama selamanya Andien,"

"Besok aku operasi, Ko. Sakitku bukan main-main. Mungkin ini hari terakhir"

"Tidak, kamu pasti sembuh, Sayang," ucapku memotong ucapan Andien.

"Aku akan menemani kamu. Kamu harus kuat. Kamu harus ... Pokoknya kamu harus kembali buat aku," ucapku.

Andien tersenyum menampilkan lesung di kedua pipinya.

"Ko, terima kasih telah kembali. Tapi ...,"

"Tidak ada tapi-tapian. Kamu pasti sembuh," ucapku.

"Jantungku, Ko."

"Persetan dengan jantung itu. Kamu pasti sehat lagi, Andien. Kamu harus percaya itu," ucapku lagi.

Kudekap tubuh kurus Andien. Tak ada tangis diantara kami. Kami saling melepas rindu yang tersimpan di dalam dada.

****

Mataku terus menerawang melihat gundukan tanah di depanku. Wangi bunga masih tercium dari atas tanah yang masih basah. Satu persatu orang-orang berlalu pergi meninggalkan tempat pemakaman.

Kuletakkan buket bunga matahari di bawah nisan bertuliskan Andien Adawiyah. Setelah berjuang beberapa jam di meja operasi. Nyawa Andien tak bisa diselamatkan. Meninggalkan kepedihan mendalam di sudut hatiku.

"Berjanjilah, Ko. Apapun yang terjadi nanti. Ikhlaskan semuanya. Jangan sampai kamu menyalahkan diri kamu sendiri," pinta Andien sebelum memasuki Ruang Operasi.

Kata-kata terakhir Andien masih terngiang di dalam benakku. Kuusap nisannya dengan lembut.

"Maafkan aku, Sayang. Aku tidak menemanimu di saat sakit,"

"Berbahagialah di sana. Tunggu aku, Sayang," ucapku sebelum meninggalkan pemakaman.

End.

Jogja, 23 Juli 2019.

Back Indeks Link
Diubah oleh lintangayudy 23-07-2019 08:54
mamaproduktif
69banditos
mmuji1575
mmuji1575 dan 17 lainnya memberi reputasi
18
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.