- Beranda
- Stories from the Heart
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
...
TS
ayahnyabinbun
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)

Assalamualaikum semua.
Ini hanya goresan tinta imajinasi seorang lelaki tua yang telat menemukan hasratnya dalam hal menulis.
No Junk.
No Spam.
Pokoknya ikuti Rules dari Kaskus ya.
Cerita ini murni Fiksi, jadi kalau ada kesamaan nama tokoh dan tempat mohon di maklumi.
Terakhir.
Selamat menikmati bacaan ringan ini.
Spoiler for Prolog:
-Jakarta-
UGD RS di jakarta.
"Bagaimana istri saya sus!? " tanya seorang pria kepada suster yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Maaf pak masih kritis saya tidak bisa memberitahu lebih rinci kondisi istri bapak, itu wewenang dokter," jawab suster cepat kemudian dia berlalu meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu pun bersandar di tembok rumah sakit, raut mukanya terlihat lemas dan pucat kedua tangannya gemetar tatkala menutup wajahnya.
"Maafkan aku Naura, hiks, maafkan aku, " gumam lelaki itu sambil terisak menangis tersedu-sedu.
Seberkas cahaya membentuk sosok manusia berjongkok di depan lelaki itu, "jangan menangis sayang, ini memang sudah waktuku, jaga anak kita ya, dia ganteng seperti kamu, cup. " seru sesosok cahaya tersebut sambil mencium kening sang lelaki, dan cahaya itu pun berlalu bersama sesosok laki-laki berjubah putih yang menemaninya.
Lelaki itu mengangguk lesu sambil tersenyum tipis, melihat ruh istrinya menghilang menuju ufuk matahari dikala senja.
"Krieeek" suara pintu UGD terbuka, keluar seorang dokter dan beberapa suster menggendong seorang bayi.
"Pak Bagas, bayi bapak kami bersihkan dulu di ruang bayi ya pak, dokter ingin bicara dengan bapak," jawab suster dengan lemah lembut ke lelaki itu.
Lelaki itu pun berdiri, berjalan pelan menuju dokter yang menundukkan kepala di depan lelaki itu, gurat penyesalan terlihat dari wajah sang dokter.
"Sudah tidak apa-apa dok, saya sudah tahu, sehebat apapun anda tidak bisa melawan takdir, " jawab lelaki itu sambil menepuk pundak sang dokter.
"Ba-bagaimana bapak bisa tahu!? " jawab dokter dengan rona kebingungan.
Lelaki itu kemudian berlalu menuju ruangan bayi, langkah demi langkah terasa berat, tangisan tak terbendung dari kedua matanya, lelaki itu memukul-mukul dadanya agar menyisakan kelegaan saat ia bernafas.
"OOOEeeeK...OOOEEEEK...OOOEEEK," seketika tangis bayi memecah kesunyian lorong rumah sakit, lelaki itu mempercepat langkah demi langkahnya, terlihat seorang bayi sedang di gendong suster, menangis dengan kencangnya.
"Silakan pak di gendong anaknya, sudah saya bersihkan dedek bayinya," jawab suster ke lelaki itu.
Sang lelaki menerima si bayi dari tangan suster, menggendong dengan penuh kehati-hatian, sang bayi yang tadi menangis kencang seketika terdiam di pelukan lembut sang ayah.
"Mau di beri nama siapa pak bayinya?" tanya suster.
"Surya, Surya dikala senja. " jawab bapak Bagas lirih.
Spoiler for Chapter 1 : sang Surya:
Jakarta, 2018.
"TENG!! TENG!! TENG!!" bunyi bel terdengar hingga ujung jalan setapak depan sebuah sekolah, segerombolan anak tunggang langgang berlarian menuju gerbang sekolah tersebut.
Pak Kusni penjaga sekolah, merangkap satpam, merangkap manusia terlihat mendorong gerbang dengan kepayahan, faktor usia seperti menggerogoti tenaganya yang dulu seperti kuda jantan, nafasnya terdengar mengebu-gebu seperti pemain film erotis tahun 80an, padahal gerbang sekolahnya hanya ada satu, bayangkan bila sekolah ini memiliki 7 gerbang layaknya pintu neraka, mungkin senin beliau sudah di kebumikan.
Dari ufuk timur terdengar suara dengan lantang.
"HEI KUSNI!!! HENTIKAN!!! GUA MASIH MAU SEKOLAH KUSNI!!!"
Remaja itu berlari bersama gerombolan murid yang telat bagai babi hutan.
Pak Kusni yang sedang mendorong gerbang terdiam sesaat, lalu melihat asal suara tersebut, matanya melotot melihat remaja tersebut berlari seperti maling BH yang dikejar warga, dengan sisa tenaga tuanya di dorong gerbang itu dengan tergesa-gesa,
"bocah sialan itu tak boleh masuk..! TIDAK BOLEH MASUK..! YOU SHALL NOT PASS..!" gumam lelaki tua itu sambil mengutip kata-kata Gandalf Lord Of The Ring.
"SIALAN KAU KUSNI! GUA TIDAK AKAN KALAH DENGAN TUA BANGKA MACAM KAU KUSNI!!" teriak lagi remaja itu dengan lantang, langkah kakinya semakin kencang ia sampai lupa resleting celananya masih menganga memberikan sensasi cooling breeze di sekujur pangkal pahanya.
Mendengar itu Kusni geram, ia semakin menggebu-gebu mendorong gerbang, akan tetapi, "KREEK!!" suara tulang bergeser bersua, teriakan tertahan mengema di kalbu Kusni.
"AAARRRGGHH!! AMPUN GUSTI!! PINGGANGKU!!" sakit encok strata tiga Kusni kambuh, tubuh kusni tertahan gerbang, tanpa adanya gerbang mungkin tubuh Kusni akan tersungkur ke tanah, ada hubungan simbiosis mutualisme yang ironis antara Kusni dan gerbang.
"Pagi beh, kambuh?! AHAAY!" ejek remaja itu ke pak Kusni sambil berlenggang menuju kelas.
Sakit, malu, vertigo menjadi satu, itulah yang di rasakan Kusni sekarang, melihat murid itu berlalu membuat matanya berkaca-kaca seutas kata terucap dari bibir Kusni.
"Dasar bocah KAMPRET!!" Kusni tertahan mematung sambil menggenggam gerbang sekolah yang masih seperempat terbuka.
Kelas 2-A sudah di penuhi manusia-manusia unggulan, datang setiap pagi untuk mencari ilmu, bersiap-siap menatap masa depan dengan penuh harapan cemerlang, di belakang dua insan lelaki saling bercakap.
"Cok, film bokep yang kemaren elu kirim crash, kirim lagi dong bro," celoteh Bambang ke Ucok di baris belakang.
"BAH!! Handphone kau saza yang zadul Bams, buktinya zalan-zalan zaja tuh di hp ku, makanya beli hape zangan di pasar malam lai," jawab Ucok dengan logat medannya yang kental, sungguh percakapan yang menginspirasi kaum muda mudi INDONESIA.
"Eh eh eh, guru guru guru!" riuh anak-anak kelas 2-a, sesosok lelaki tinggi, atletis nan tampan terlihat di depan pintu, kemudian berlalu, berganti menjadi lelaki pendek, tambun dengan kepala botak di tengah layaknya lapangan bola, sekilas adegan tadi seperti iklan L-men yang gagal.
Pak Hartono masuk ke dalam kelas, melihat sekeliling kelas sambil menyapa.
"Pagi anak-anak!!", sapa pak Hartono.
"PAGI PAK GURUUU!!" Jawab murid-murid dengan serentak dan kompak.
Tiba-tiba seorang anak berdiri di depan pintu kelas, wajahnya terlihat kecapaian dan pucat.
"Yaaah! Telat!" ujar anak itu, pak Hartono menelisik dengan teliti anak yang terlambat itu, kemudian berujar "hei kamu! Berani kamu telat di jam saya! Kesini kamu!" perintah pak Hartono dengan galaknya, anak itu pun maju dengan perlahan, kepalanya menunduk malu tidak bisa menatap pak Hartono, "Push up 25 kali! Jikalau tidak sanggup silakan keluar kelas saya!!" ujar pak Hartono dengan tegas, ketika anak itu mengambil ancang-ancang untuk melakukan push up, sesosok mahkluk mengintip dari balik jendela di barisan pojok kanan belakang, matanya nanar namun tajam melihat situasi kelas.
"oke situasi aman," ujarnya dengan percaya diri, dengan mode silent ia menyelundupkan tasnya dari balik jendela menuju bangku belajar, lalu ia merangsek masuk dari celah jendela, bak ular kadut dengan licinnya ia masuk melewati celah lumayan sempit itu, setengah badannya sudah masuk ke dalam ruang kelas, tangan kirinya menyentuh meja kemudian ia mendorong sisa tubuhnya melalui tembok menggunakan tangan kanan, dengan sangat cepat dan tanpa satu makhluk pun mengetahui ia sudah masuk ke dalam kelas, dengan posisi menungging di atas meja, misi pun berhasil, ia turun dari meja kemudian menikmati pemandangan Budi yang sedang push up.
"Budi, terima kasih ya, tanpa elu sebagai pengalih perhatian gua ngak bisa sampai di dalam kelas, Budi, kamu, numero uno," gumam pria itu di dalam hati.
Iya, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Surya, anak dari bapak Bagas prakasa yang kalian liat kisah pilunya di prolog, anak ini tumbuh besar menjadi sosok lelaki tampan, pintar dan soleh, itu hanya menurut penuturan bapaknya sendiri.
Push up Budi sudah berada di angka 23 kali, keringat bercucuran dari kening sampai badan Budi, bahkan sampai muncul bercak basah di daerah selangkangannya, pergelangan tangannya mulai goyah, lututnya bergetar 4,5 skala richter, tubuh yang di rancang untuk main warnet seharian itu tidak mampu menerima push up lebih dari 20 kali.
"Pak, sudah ya pak, saya sudah tidak sanggup," nego Budi ke pak Hartono.
Pak Hartono sedikit terenyuh melihat Budi yang kecapaian, "aduh, kasihan kamu nak, ya sudah … tambah lima lagi push upnya, biar genap jadi 30," tutur pak Hartono dengan melepas topeng kesedihannya, mata Budi nanar namun kosong menatap lantai, terlihat raut penyesalan teramat sangat dari wajah Budi.
Pak Hartono mulai menuju meja ia mengambil daftar absensi lalu mulai mengabsen satu per satu muridnya, dimulai dari Ani, Deni dan seterusnya, murid-murid saling bersahutan saat nama mereka disebut pak Hartono, ketika mulut pak Hartono menyebut nama Surya, "HADIR PAK..!" sahut seseorang pemuda dari belakang dengan lantang.
Seisi kelas kaget, terperanga sambil menganga melihat Surya sudah di dalam kelas, pertanyaan dan praduga berkecamuk di hati mereka.
"Bagaimana ia bisa masuk!?"
"Sejak kapan ia ada di kelas?!"
"Kenapa aku ada di kelas ini!!" gumam Ari yang seharusnya masuk kelas 2-d.
semua perhatian itu berbanding terbalik dengan kondisi Budi yang tanpa perhatian satupun dari teman-temannya.
"Sakit, banget, tapi tak berdarah, sungguh biadab temen-temen gua, kata mereka kita teman sejati, selalu di hati, HILIH KINTHIL!!" ujar Budi di dalam hati kesal dengan teman-temannya.
Pelajaran berjalan setelah sesi absensi, pak Hartono mulai menjelaskan di depan kelas, suasana hening terasa, murid-murid mulai mendengarkan dengan seksama, kecuali Surya yang sedang terlelap di mejanya, posisinya yang berada paling belakang dan di tutupi Bambang yang jangkung dan Ucok yang bulat menjadikan tempat duduknya seperti vila di puncak, tempat paling nyaman untuk beristirahat.
"TOK TOK TOK TOK" bunyi ketukan pintu memecah keheningan kelas, pak Zul sang kepala sekolah sedang berdiri dengan seorang gadis cantik nan manis di sebelahnya, "pagi pak, maaf ganggu kelasnya, ini ada murid baru kelas 2-a," ujar pak Zul, "oh iya pak, silakan neng masuk, perkenalkan diri dulu sama teman yang lain," jawab pak Hartono sambil mempersilakan gadis itu masuk.
Sesosok gadis manis memakai hijab putih berjalan perlahan menuju depan kelas, wajah manisnya terlihat malu-malu ketika bertatap muka dengan murid-murid kelas 2-A, "pagi semua, nama aku Naura kelana subhi, panggil saja Naura," jawab Naura sambil tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya, seketika itu juga rentetan panah asmara menusuk hati para lelaki di kelas 2-A, kecuali Surya yang sedang berkelana di pulau kapuk dan para murid perempuan yang menunjukkan ekspresi tersaingi secara jasmani dan rohani.
"kamu duduk di belakang ya nak Naura, soalnya bangku yang kosong cuman ada di sebelah sana, " ujar pak Hartono sambil menunjuk bangku disebelah Surya.
Naura pun berjalan menuju bangkunya, diiringi tatapan nakal murid laki-laki di kelas itu, ia kemudian duduk sambil mulai mengeluarkan peralatan belajarnya.
Bambang dan Ucok yang duduk di depan Naura pun sontak membalikkan badan untuk berkenalan.
"Hai Naura, namanya cantik secantik orangnya," puji Bambang dengan gaya sok coolnya.
"hei Naura, cantik kali kau, nanti pulang ku antar pakai motor ninja ku mau tak?" goda Ucok sambil menyisir jambul khatulistiwa miliknya.
Melihat gelagat kedua lelaki di depannya naura langsung ilfeel stadium akhir, didalam hatinya ia berteriak "TIDAAAAAAK..!" akan tetapi Naura hanya membalas dengan senyum malu tapi palsu ke kedua orang utan itu.
"ikh amit-amit jabang bayi, masa hari pertama di sekolah baru gua udah di godain cowok alay macem keset kayak gini, Ya tuhan salah apa hambamu ini, " ketus Naura di dalam hati.
"Jangan di anggap serius, mereka cuman bercanda."
"DEG...!!"
Rona wajah Naura terlihat terkejut, sebuah telepati terkirim langsung menuju fikirannya, ia mencari sumber telepati itu, dan matanya tertuju pada punggung lelaki teman sebangkunya, Surya.
Spoiler for Index:
PART 1
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
PART 2
CHAPTER 2.1
CHAPTER 2.2
CHAPTER 2.3
CHAPTER 2.4
CHAPTER 2.5
CHAPTER 2.6
CHAPTER 2.7
CHAPTER 2.8
CHAPTER 2.9
CHAPTER 2.10
CHAPTER 2.11
CHAPTER 2.12
CHAPTER 2.13
CHAPTER 2.14
CHAPTER 2.15
CHAPTER 2.16
CHAPTER 2.17
CHAPTER 2.18
CHAPTER 2.19
CHAPTER 2.20
CHAPTER 2.21
CHAPTER 2.22
CHAPTER 2.23
CHAPTER 2.24
CHAPTER 2.25
CHAPTER 2.26
CHAPTER 2.27
CHAPTER 2.28
CHAPTER 2.29
Diubah oleh ayahnyabinbun 29-05-2022 00:42
namakuve dan 116 lainnya memberi reputasi
115
161.2K
Kutip
916
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ayahnyabinbun
#379
Chapter 2.12
Spoiler for putri Karina:
"Nama saya Karina, putri raja Pujakerana terdahulu," seru sang putri berwujud jin kera itu sambil menundukkan kepala tanda hormat kepada manusia di depannya.
Dengan mata setengah terbuka pemuda itu mengangguk-anggukkan kepala, kesadaran pemuda ini masih setengah penuh karena dibangunkan dari tidur lelapnya.
"Ini dimana?" tanya pemuda itu setengah bergumam sambil mengaruk-garukkan pipinya yang gatal.
"Kawah hitam ... lebih tepatnya tuan berada di ruang tahanan saya," jelas putri Karina.
"Ini ruang tahanan?" serunya dengan tatapan berpendar keseluruh ruangan, "Mewah sekali untuk sebuah ruang tahanan."
"Gundara menahan saya dari para Rakyat pujakerana agar tidak membuat gerakan pemberontakan disini," terang putri Karina kala itu.
"Jadi kau digunakan sebagai jaminan," timpalnya kembali.
"I-iya tuan," seru putri Karina sambil mengangguk pelan.
"Hmfh ... namaku Surya dan aku disini untuk membebaskan jin ... engh ... maksudku murid-murid pengajian saudaraku yang ditawan Gundara, apa mereka ada disini?" tanya Surya selidik.
"Beberapa hari yang lalu datang beberapa jin tawanan baru, mungkin mereka yang anda maksud," jawab putri Karina.
"Hmfh ... kemungkinan besar iya, baiklah ... aku akan beranjak keluar dari sini dan ..."
"Tuan Surya maaf ... apa benar anda yang telah membebaskan desa Raksa dari para jin hitam milik Gundara?"
Surya menatap Karina dengan tatapan tajam, "kalau iya kenapa?" tanya balik Surya.
"Puja para dewa kera ... akhirnya doa-doa hamba dikabulkan, saya mohon anda membebaskan kami dari sini dan mengambil alih..."
Surya mengangkat tangannya memberi tanda pada Karina untuk diam, "maaf ... aku kesini bukan untuk bersekutu dengan kalian, jika bukan karena urusan ini aku tidak pernah sudi untuk menginjakkan kaki di dimensi ini," seru Surya dingin.
Karina langsung maju dan bersujud sembari menahan kaki Surya, "Hamba mohon tuan Surya, anda satu-satunya harapan kami untuk bebas dari sini, kesempatan emas seperti ini hanya datang satu kali seumur hidup hamba," pinta Karina sambil meneteskan air mata.
"Sekali lagi ma..."
"Apa saja akan hamba turuti!! Apapun yang anda inginkan akan hamba berikan! Hamba mohon tuan," potong Karina saat itu.
Surya menaikkan alis matanya, "apa saja?"
"Iya! apa saja yang anda inginkan akan hamba berikan untuk kebebasan rakyat dan seluruh Pujakerana dari jeratan Gundara."
Surya menatap Karina sambil berfikir matang-matang, "lepaskan kakiku," seru Surya.
Karina melepaskan genggamannya dari kaki milik Surya dan kembali menunduk lesu, Surya berjongkok dihadapan Karina dan menatap lekat putri kera itu didepannya.
"Hmmm ... menarik, sebenarnya ada sesuatu yang aku inginkan yang hanya ada di kerajaanmu, yaitu ..." dan Surya mulai membisikkan keinginannya di salah satu telinga Karina.
Kedua bola mata Karina membulat sempurna, ia tak percaya akan permintaan Surya kala itu.
"A-apa anda yakin menginginkan benda itu?" tanya Karina.
"Iya."
Karina terdiam dan berfikir masak-masak tentang permintaan Surya, ia mempertimbangkan baik dan buruknya permintaan Surya dari segala sisi.
"Apa tuan yakin ingin benda terkutuk itu?" tanya kembali Karina memastikan.
"Sebenarnya aku tidak begitu memerlukannya, namun aku memiliki firasat benda itu akan berguna di kemudian hari ... jadi bagaimana?" tanya Surya.
pada akhirnya Karina mendesal nafas panjang dan menjulurkan tangannya kearah Surya, dengan mantap Suryapun menjabat tangan putri Karina dengan mantap.
"Baiklah ... kita sudah sepakat, pertama-tama kau perlu mendengarkan rencanaku dengan seksama," bisik Surya yang langsung mendekati wajah Karina saat itu.
Sang malam perlahan berganti walaupun langit tidak terlihat begitu berbeda di dimensi ini, di kawah hitam kepulan asap membumbung tinggi menutupi kolong langit membuat terik pagi enggan menyapa daratan dibawahnya, dari kejauhan penjaga datang dengan tergesa-gesa untuk menemui seseorang, "Tuan Rawa ada surat dari Pujakerana," serunya sembari menundukkan kepala.
Seekor siluman buaya menengok kearah suara menatap bawahannya tersebut sambil memicingkan mata, "surat tentang apa?" tanyanya dingin.
"Entah apa isinya tuan, hamba tidak berani membukanya," jelas sang bawahan sembari bersimpuh penuh ketakutan.
Siluman yang bernama Rawa itu langsung berjalan sambil mendorong bawahannya itu hingga terjerembab kebelakang, ia bergegas kembali menuju menara pengawas yang berada tepat ditengah-tengah kawah hitam tempat ia bertugas memantau keadaan kawah hitam.
"Mana surat dari pusat?" tanya Rawa kepada para penjaga pintu ruangannya.
Salah satu kurir datang sembari memberikan sebuah surat kepada Rawa.
Dengan kasar Rawa mengambil surat tersebut dan membaca isinya didepan para penjaga.
"Desa budak jatuh ketangan para serangga itu!! Cih ... seharusnya aku yang menjaga tempat itu bukan malah menjadi pengasuh putri manja itu disini!!" geram Rawa sambil merobek surat tersebut menjadi potongan-potongan kecil.
"SIPIR!!" panggil rawa dengan teriakan yang mengelegar.
"Siap tuan Rawa!" seru sipir sembari memberikan hormat.
"Lipat gandakan para pasukan untuk menjaga gerbang paling depan, aku tidak ingin para serangga itu beralih menguasai tempat ini dan mendapatkan calon ratu mereka," perintahnya pada sang sipir.
"Tapi tuan kita akan kekurangan penjaga di dalam kawah," jawab sang sipir.
Rawa hanya menatap tajam kearah sang sipir dengan aura hitam mulai menyeruak dari tubuhnya.
"B-baik laksanakan tuan Rawa!" seru sipir tersebut dengan rona ketakutan.
Sang sipir segera berlalu keluar ruangan sedangkan Rawa dengan perlahan berjalan kearah jendela ruang pengawas melihat kebawah kearah kawah hitam. Sebuah kawah yang terbentuk dari pertambangan besar-besaran yang dilakukan Gundara saat ia mulai berkuasa di Pujakerana, tanah yang kaya mineral di dimensi kedua ini digunakan untuk membuat bahan dasar mustika yang berguna untuk menyesatkan para manusia di dimensi pertama.
Di bawah para penjaga mulai meninggalkan pos-pos mereka dan berbaris menuju kearah gerbang depan yang letaknya cukup jauh dari area pertambangan. Di balik sebuah bayangan seseorang tersenyum tipis melihat gerombolan penjaga mulai meninggalkan pos jaga mereka.
Hari semakin siang dikawah hitam, dibawah sang cakrawala sebuah barisan panjang jin-jin kera terlihat dari kejauhan, kala itu para budak tengah berbaris untuk menerima jatah makan harian mereka yaitu semangkuk bubur yang encer untuk masing-masing budak.
"Berbaris yang rapi! Jangan berdesak-desakan!" seru salah satu penjaga yang berdiri di tengah jalur para jin tersebut sambil mengayun-ayunkan sebuah pecut ditangannya.
Beberapa menit kemudian terdengar lantang dari arah depan, "HABIS! makanan sudah habis! KEMBALI BEKERJA!!" seru para petugas pemberi jatah makanan dari kejauhan, barisan yang terbentuk mulai mendorong-dorong kedepan membuat para penjaga kelimpungan menjaga ketertiban.
"Lapaaar! Kami lapar!"
"Kami kerja seharian penuh!! Jika seperti ini terus kami bisa mati!!" seru para jin kera yang tengah berdesak-desakan dan tidak mendapatkan jatah makanan mereka. Tiba-tiba...
-BLAAAAR-
Sebuah palu raksasa dengan kerasnya menghancurkan sebuah batu berukuran lumayan besar, diujung palu tersebut terlilit sebuah rantai besi diikuti seekor siluman berwajah buaya berukuran raksasa yang datang dari atas menara, kegaduhan itu membuat para gerombolan budak yang hendak berdesakan terdiam penuh rona ketakutan.
"Jatah makanan sudah habis ... jika ada yang keberatan silakan maju dan mati ditanganku," seru sang siluman buaya tersebut.
Para budak langsung ciut nyalinya, mereka langsung mundur kebelakang dan membubarkan diri dari tanah lapang itu.
"Hahaha ... dasar monyet-monyet pengecut," seru sang siluman buaya dengan senyum mengejek.
Dari gerombolan para kera yang hendak membubarkan diri seseorang manusia berpenutup kepala berjalan berlawanan arah dan berdiri sendirian dihadapan Rawa. Para jin kera yang tadi ciut nyalinya melihat itu dan terdiam melihat keberanian sang manusia.
"Hei ... enyahlah dari hadapanku," seru Rawa sambil menatap tajam manusia berpenutup kepala tersebut, namun manusia itu tidak menggubris kata-kata Rawa dan tetap berdiri di hadapannya.
Rawa menarik rantai yang melilit tangannya dan menggenggam palu besar miliknya dengan erat, "hmm ... baiklah ... sepertinya kau akan menjadi contoh yang baik untuk para tahanan lain, lagipula sudah lama aku tidak membunuh kaummu di sini," seru Rawa mulai berjalan kearah manusia tersebut.
Rawa mulai memutar-putar palu besarnya dan sejurus kemudian palu itu melesat kearah sang manusia.
-Swuush-
Sang manusia mengelak dari serangan dan dalam sekejap mata ia berlari kearah Rawa, dalam satu tumpuan ia melompat dan seketika sebuah tendangan telak mendarat di perut besar Rawa.
-Bugh-
"Ugh," rintih Rawa sembari meremas perutnya, "siapa kau!?" tanya Rawa.
Sang manusia mulai membuka penutup wajahnya dan memperlihatkan identitas dirinya.
"Kau!! Sialan! Bagaimana kau bisa ada disini?" geram Rawa melihat manusia didepannya dan mengenali sosok manusia tersebut.
Sang manusia berbalik arah membelakangi Rawa dan menatap seluruh jin kera yang sedari tadi hanya menonton.
"WAHAI PARA PENDUDUK PUJAKERANA! NAMAKU SENJA DAN AKU DISINI AKAN MEMBEBASKAN KALIAN! NAMUN AKU AKAN BERTANYA KEPADA KALIAN TENTANG SATU HAL! ... APA KALIAN INGIN KEBEBASAN!?" teriak Senja dengan lantang.
Para jin kera terdiam menatap Senja kala itu, mereka saling bertukar pandang menelaah apa yang sedang terjadi.
"APA KALIAN INGIN KEBEBASAAN!?!" tanya Senja lagi dengan lantang.
"IYAAAA!!" serentak para jin-jin kera bersua.
"MAKA PERJUANGKAN KEBEBASAN INI, BERSIAPLAH UNTUK BERPERANG!!"
"HURAAAAAAAAAAAAA!!" teriak para jin kera dibarisan depan, semangat mereka seakan tersulut api harapan yang dikobarkan Senja.
Beberapa jin kera dibelakang yang ketakutan hendak mundur mencari perlindungan, namun langkah mereka terhenti tatkala melihat putri Karina berjalan melewati mereka dan maju kedepan hendak ikut melawan dengan menggenggam alat tambang sebagai senjata.
"Tuan putri ... tuan putri!" panggil Popeng yang berlari kecil mengejar putri Karina. "Tuan putri anda harus segera berlindung! Disini tidak aman tuan putri," seru Popeng sambil berjalan disebelah Kirana.
"Selama ini aku sudah cukup berlindung dan bersembunyi dibalik bayangan ketakutan dari Gundara, namun sudah cukup sampai disini saja aku berlindung, aku akan melawan bersama tuan Senja," seru Karina.
"Bukan putri..."
Karina menatap Popeng disebelahnya dengan tatapan tajam.
"Tapi juga bersama rakyat Pujakerana," sambung Popeng kala itu yang mempercepat langkahnya menuju barisan depan.
Para jin kera yang tadi hendak berlindung dan bersembunyi dirundung rasa malu setelah melihat putri Karina dengan berani melangkah kebarisan depan, mereka langsung beranjak mengambil alat-alat tambang yang bisa mereka ambil dan mengekor dibelakang putri Karina, dan pertarungan memperebutkan kebebasan mereka dimulai.
Sementara di dimensi manusia semesta sungguh luas dan begitu indah, ia menghadirkan jejak ribuan bintang dilangit malam yang ditemani lesung-lesung cahaya rembulan.
Disebuah trotoar dibibir jalan raya yang lengang tengah berjalan seorang lelaki bertubuh tegap bertudung hitam, ia melirik dingin kearah jam tangan sembari mendesahkan nafas panjang.
"Sudah waktunya," gumamnya pelan dengan langkahnya yang semakin berderap panjang.
Langkah-langkah kaki sang pria terhenti tatkala ia sampai disebuah pohon beringin tua nan lebat, pohon beringin angker itu dijaga seekor siluman ular besar dengan mata tajam menatap kearah manusia didepannya.
"Apa maumu kesini!? Tempat ini sekarang rumahku!!" tanya sang siluman dengan suara parau yang menyeramkan.
Sang lelaki memperlihatkan sebuah kalung bertahtakan batu mulia yang terbuat dari emas, kilau cahayanya menyilaukan pandangan sang siluman.
"Benda itu ... cih!! Langkahi dulu mayatku baru kau bisa lewat!!" seru sang siluman sambil memasang ancang-ancang untuk menyerang.
Sang lelaki misterius menatap tajam siluman ular itu sembari tersenyum miring, "sesuai permintaanmu jin," gumamnya pelan.
#bersambung
Dengan mata setengah terbuka pemuda itu mengangguk-anggukkan kepala, kesadaran pemuda ini masih setengah penuh karena dibangunkan dari tidur lelapnya.
"Ini dimana?" tanya pemuda itu setengah bergumam sambil mengaruk-garukkan pipinya yang gatal.
"Kawah hitam ... lebih tepatnya tuan berada di ruang tahanan saya," jelas putri Karina.
"Ini ruang tahanan?" serunya dengan tatapan berpendar keseluruh ruangan, "Mewah sekali untuk sebuah ruang tahanan."
"Gundara menahan saya dari para Rakyat pujakerana agar tidak membuat gerakan pemberontakan disini," terang putri Karina kala itu.
"Jadi kau digunakan sebagai jaminan," timpalnya kembali.
"I-iya tuan," seru putri Karina sambil mengangguk pelan.
"Hmfh ... namaku Surya dan aku disini untuk membebaskan jin ... engh ... maksudku murid-murid pengajian saudaraku yang ditawan Gundara, apa mereka ada disini?" tanya Surya selidik.
"Beberapa hari yang lalu datang beberapa jin tawanan baru, mungkin mereka yang anda maksud," jawab putri Karina.
"Hmfh ... kemungkinan besar iya, baiklah ... aku akan beranjak keluar dari sini dan ..."
"Tuan Surya maaf ... apa benar anda yang telah membebaskan desa Raksa dari para jin hitam milik Gundara?"
Surya menatap Karina dengan tatapan tajam, "kalau iya kenapa?" tanya balik Surya.
"Puja para dewa kera ... akhirnya doa-doa hamba dikabulkan, saya mohon anda membebaskan kami dari sini dan mengambil alih..."
Surya mengangkat tangannya memberi tanda pada Karina untuk diam, "maaf ... aku kesini bukan untuk bersekutu dengan kalian, jika bukan karena urusan ini aku tidak pernah sudi untuk menginjakkan kaki di dimensi ini," seru Surya dingin.
Karina langsung maju dan bersujud sembari menahan kaki Surya, "Hamba mohon tuan Surya, anda satu-satunya harapan kami untuk bebas dari sini, kesempatan emas seperti ini hanya datang satu kali seumur hidup hamba," pinta Karina sambil meneteskan air mata.
"Sekali lagi ma..."
"Apa saja akan hamba turuti!! Apapun yang anda inginkan akan hamba berikan! Hamba mohon tuan," potong Karina saat itu.
Surya menaikkan alis matanya, "apa saja?"
"Iya! apa saja yang anda inginkan akan hamba berikan untuk kebebasan rakyat dan seluruh Pujakerana dari jeratan Gundara."
Surya menatap Karina sambil berfikir matang-matang, "lepaskan kakiku," seru Surya.
Karina melepaskan genggamannya dari kaki milik Surya dan kembali menunduk lesu, Surya berjongkok dihadapan Karina dan menatap lekat putri kera itu didepannya.
"Hmmm ... menarik, sebenarnya ada sesuatu yang aku inginkan yang hanya ada di kerajaanmu, yaitu ..." dan Surya mulai membisikkan keinginannya di salah satu telinga Karina.
Kedua bola mata Karina membulat sempurna, ia tak percaya akan permintaan Surya kala itu.
"A-apa anda yakin menginginkan benda itu?" tanya Karina.
"Iya."
Karina terdiam dan berfikir masak-masak tentang permintaan Surya, ia mempertimbangkan baik dan buruknya permintaan Surya dari segala sisi.
"Apa tuan yakin ingin benda terkutuk itu?" tanya kembali Karina memastikan.
"Sebenarnya aku tidak begitu memerlukannya, namun aku memiliki firasat benda itu akan berguna di kemudian hari ... jadi bagaimana?" tanya Surya.
pada akhirnya Karina mendesal nafas panjang dan menjulurkan tangannya kearah Surya, dengan mantap Suryapun menjabat tangan putri Karina dengan mantap.
"Baiklah ... kita sudah sepakat, pertama-tama kau perlu mendengarkan rencanaku dengan seksama," bisik Surya yang langsung mendekati wajah Karina saat itu.
Sang malam perlahan berganti walaupun langit tidak terlihat begitu berbeda di dimensi ini, di kawah hitam kepulan asap membumbung tinggi menutupi kolong langit membuat terik pagi enggan menyapa daratan dibawahnya, dari kejauhan penjaga datang dengan tergesa-gesa untuk menemui seseorang, "Tuan Rawa ada surat dari Pujakerana," serunya sembari menundukkan kepala.
Seekor siluman buaya menengok kearah suara menatap bawahannya tersebut sambil memicingkan mata, "surat tentang apa?" tanyanya dingin.
"Entah apa isinya tuan, hamba tidak berani membukanya," jelas sang bawahan sembari bersimpuh penuh ketakutan.
Siluman yang bernama Rawa itu langsung berjalan sambil mendorong bawahannya itu hingga terjerembab kebelakang, ia bergegas kembali menuju menara pengawas yang berada tepat ditengah-tengah kawah hitam tempat ia bertugas memantau keadaan kawah hitam.
"Mana surat dari pusat?" tanya Rawa kepada para penjaga pintu ruangannya.
Salah satu kurir datang sembari memberikan sebuah surat kepada Rawa.
Dengan kasar Rawa mengambil surat tersebut dan membaca isinya didepan para penjaga.
"Desa budak jatuh ketangan para serangga itu!! Cih ... seharusnya aku yang menjaga tempat itu bukan malah menjadi pengasuh putri manja itu disini!!" geram Rawa sambil merobek surat tersebut menjadi potongan-potongan kecil.
"SIPIR!!" panggil rawa dengan teriakan yang mengelegar.
"Siap tuan Rawa!" seru sipir sembari memberikan hormat.
"Lipat gandakan para pasukan untuk menjaga gerbang paling depan, aku tidak ingin para serangga itu beralih menguasai tempat ini dan mendapatkan calon ratu mereka," perintahnya pada sang sipir.
"Tapi tuan kita akan kekurangan penjaga di dalam kawah," jawab sang sipir.
Rawa hanya menatap tajam kearah sang sipir dengan aura hitam mulai menyeruak dari tubuhnya.
"B-baik laksanakan tuan Rawa!" seru sipir tersebut dengan rona ketakutan.
Sang sipir segera berlalu keluar ruangan sedangkan Rawa dengan perlahan berjalan kearah jendela ruang pengawas melihat kebawah kearah kawah hitam. Sebuah kawah yang terbentuk dari pertambangan besar-besaran yang dilakukan Gundara saat ia mulai berkuasa di Pujakerana, tanah yang kaya mineral di dimensi kedua ini digunakan untuk membuat bahan dasar mustika yang berguna untuk menyesatkan para manusia di dimensi pertama.
Di bawah para penjaga mulai meninggalkan pos-pos mereka dan berbaris menuju kearah gerbang depan yang letaknya cukup jauh dari area pertambangan. Di balik sebuah bayangan seseorang tersenyum tipis melihat gerombolan penjaga mulai meninggalkan pos jaga mereka.
Hari semakin siang dikawah hitam, dibawah sang cakrawala sebuah barisan panjang jin-jin kera terlihat dari kejauhan, kala itu para budak tengah berbaris untuk menerima jatah makan harian mereka yaitu semangkuk bubur yang encer untuk masing-masing budak.
"Berbaris yang rapi! Jangan berdesak-desakan!" seru salah satu penjaga yang berdiri di tengah jalur para jin tersebut sambil mengayun-ayunkan sebuah pecut ditangannya.
Beberapa menit kemudian terdengar lantang dari arah depan, "HABIS! makanan sudah habis! KEMBALI BEKERJA!!" seru para petugas pemberi jatah makanan dari kejauhan, barisan yang terbentuk mulai mendorong-dorong kedepan membuat para penjaga kelimpungan menjaga ketertiban.
"Lapaaar! Kami lapar!"
"Kami kerja seharian penuh!! Jika seperti ini terus kami bisa mati!!" seru para jin kera yang tengah berdesak-desakan dan tidak mendapatkan jatah makanan mereka. Tiba-tiba...
-BLAAAAR-
Sebuah palu raksasa dengan kerasnya menghancurkan sebuah batu berukuran lumayan besar, diujung palu tersebut terlilit sebuah rantai besi diikuti seekor siluman berwajah buaya berukuran raksasa yang datang dari atas menara, kegaduhan itu membuat para gerombolan budak yang hendak berdesakan terdiam penuh rona ketakutan.
"Jatah makanan sudah habis ... jika ada yang keberatan silakan maju dan mati ditanganku," seru sang siluman buaya tersebut.
Para budak langsung ciut nyalinya, mereka langsung mundur kebelakang dan membubarkan diri dari tanah lapang itu.
"Hahaha ... dasar monyet-monyet pengecut," seru sang siluman buaya dengan senyum mengejek.
Dari gerombolan para kera yang hendak membubarkan diri seseorang manusia berpenutup kepala berjalan berlawanan arah dan berdiri sendirian dihadapan Rawa. Para jin kera yang tadi ciut nyalinya melihat itu dan terdiam melihat keberanian sang manusia.
"Hei ... enyahlah dari hadapanku," seru Rawa sambil menatap tajam manusia berpenutup kepala tersebut, namun manusia itu tidak menggubris kata-kata Rawa dan tetap berdiri di hadapannya.
Rawa menarik rantai yang melilit tangannya dan menggenggam palu besar miliknya dengan erat, "hmm ... baiklah ... sepertinya kau akan menjadi contoh yang baik untuk para tahanan lain, lagipula sudah lama aku tidak membunuh kaummu di sini," seru Rawa mulai berjalan kearah manusia tersebut.
Rawa mulai memutar-putar palu besarnya dan sejurus kemudian palu itu melesat kearah sang manusia.
-Swuush-
Sang manusia mengelak dari serangan dan dalam sekejap mata ia berlari kearah Rawa, dalam satu tumpuan ia melompat dan seketika sebuah tendangan telak mendarat di perut besar Rawa.
-Bugh-
"Ugh," rintih Rawa sembari meremas perutnya, "siapa kau!?" tanya Rawa.
Sang manusia mulai membuka penutup wajahnya dan memperlihatkan identitas dirinya.
"Kau!! Sialan! Bagaimana kau bisa ada disini?" geram Rawa melihat manusia didepannya dan mengenali sosok manusia tersebut.
Sang manusia berbalik arah membelakangi Rawa dan menatap seluruh jin kera yang sedari tadi hanya menonton.
"WAHAI PARA PENDUDUK PUJAKERANA! NAMAKU SENJA DAN AKU DISINI AKAN MEMBEBASKAN KALIAN! NAMUN AKU AKAN BERTANYA KEPADA KALIAN TENTANG SATU HAL! ... APA KALIAN INGIN KEBEBASAN!?" teriak Senja dengan lantang.
Para jin kera terdiam menatap Senja kala itu, mereka saling bertukar pandang menelaah apa yang sedang terjadi.
"APA KALIAN INGIN KEBEBASAAN!?!" tanya Senja lagi dengan lantang.
"IYAAAA!!" serentak para jin-jin kera bersua.
"MAKA PERJUANGKAN KEBEBASAN INI, BERSIAPLAH UNTUK BERPERANG!!"
"HURAAAAAAAAAAAAA!!" teriak para jin kera dibarisan depan, semangat mereka seakan tersulut api harapan yang dikobarkan Senja.
Beberapa jin kera dibelakang yang ketakutan hendak mundur mencari perlindungan, namun langkah mereka terhenti tatkala melihat putri Karina berjalan melewati mereka dan maju kedepan hendak ikut melawan dengan menggenggam alat tambang sebagai senjata.
"Tuan putri ... tuan putri!" panggil Popeng yang berlari kecil mengejar putri Karina. "Tuan putri anda harus segera berlindung! Disini tidak aman tuan putri," seru Popeng sambil berjalan disebelah Kirana.
"Selama ini aku sudah cukup berlindung dan bersembunyi dibalik bayangan ketakutan dari Gundara, namun sudah cukup sampai disini saja aku berlindung, aku akan melawan bersama tuan Senja," seru Karina.
"Bukan putri..."
Karina menatap Popeng disebelahnya dengan tatapan tajam.
"Tapi juga bersama rakyat Pujakerana," sambung Popeng kala itu yang mempercepat langkahnya menuju barisan depan.
Para jin kera yang tadi hendak berlindung dan bersembunyi dirundung rasa malu setelah melihat putri Karina dengan berani melangkah kebarisan depan, mereka langsung beranjak mengambil alat-alat tambang yang bisa mereka ambil dan mengekor dibelakang putri Karina, dan pertarungan memperebutkan kebebasan mereka dimulai.
Sementara di dimensi manusia semesta sungguh luas dan begitu indah, ia menghadirkan jejak ribuan bintang dilangit malam yang ditemani lesung-lesung cahaya rembulan.
Disebuah trotoar dibibir jalan raya yang lengang tengah berjalan seorang lelaki bertubuh tegap bertudung hitam, ia melirik dingin kearah jam tangan sembari mendesahkan nafas panjang.
"Sudah waktunya," gumamnya pelan dengan langkahnya yang semakin berderap panjang.
Langkah-langkah kaki sang pria terhenti tatkala ia sampai disebuah pohon beringin tua nan lebat, pohon beringin angker itu dijaga seekor siluman ular besar dengan mata tajam menatap kearah manusia didepannya.
"Apa maumu kesini!? Tempat ini sekarang rumahku!!" tanya sang siluman dengan suara parau yang menyeramkan.
Sang lelaki memperlihatkan sebuah kalung bertahtakan batu mulia yang terbuat dari emas, kilau cahayanya menyilaukan pandangan sang siluman.
"Benda itu ... cih!! Langkahi dulu mayatku baru kau bisa lewat!!" seru sang siluman sambil memasang ancang-ancang untuk menyerang.
Sang lelaki misterius menatap tajam siluman ular itu sembari tersenyum miring, "sesuai permintaanmu jin," gumamnya pelan.
#bersambung
ariefdias dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Kutip
Balas