- Beranda
- Stories from the Heart
[TAMAT] Always Be My Baby
...
TS
saleskambing
[TAMAT] Always Be My Baby
![[TAMAT] Always Be My Baby](https://s.kaskus.id/images/2019/03/21/8577467_201903211113170946.png)
Mulustrasi, sumber
Tokoh dan karakter di cerita ini diambil dari cerita ini, boleh dibaca dulu biar tau, tapi lebih baik nggak usah.
Spoiler for Part 1:
Aku menurunkan bocah kecil ini dari gendongan, sedikit berjongkok agar bisa merapikan setelan seragamnya yang agak sedikit berantakan, lalu mulai memandangnya, persis seperti apa yang sedang dilakukan oleh orang tua lain yang juga ada di sini.
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
***
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
***
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
Quote:
You'll always be apart of me
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
🎶 Always Be My Baby - David Cook
Diubah oleh saleskambing 19-11-2025 13:09
jenggalasunyi dan 58 lainnya memberi reputasi
55
57.9K
Kutip
335
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saleskambing
#142
Part 6
Teeth - 5 Seconds of Summer
Spoiler for :
Aku sampai didepan pintu rumah saat malam sudah beranjak makin larut. Efek meladeni permainan Marcella yang sekarang jauh lebih 'skillfull'ternyata malah membuatku lupa banyak hal. Aku sampai lupa sudah meninggalkan Irfan dirumah emak, aku lupa tadi belum sempat nyapu halaman belakang, lupa belum cuci piring, lupa belum nguras bak mandi, dan lupa kalo mungkin sekarang Dhara nggak akan membiarkan aku tidur didalam andai aku pulang se-larut ini. Apalagi seandainya (amit amit) dia tau kalau aku baru saja bertemu, dan kemudian 'bertempur' dengan Marcella, mantan pacarku, sekaligus sahabatnya sendiri. Aku benar benar nggak bisa membayangkan seperti apa nasib dan takdir yang sebentar lagi harus kuhadapi. Sekedar disuruh tidur didepan rumah doang sih sebenernya masih lebih mending, lha kalau foto tampan ku besok dijadikan sampul surat yasin gara gara sifat saiko-nya mendadak keluar dan minta tumbal, gimana?
Selepas 'berduel' dengan Marcella tadi sebenarnya aku langsung bergegas kembali kerumah emak untuk menjemput Irfan dan mengajaknya pulang. Namun yang kudapat lagi lagi hanya 'wejangan' dari emak yang terdengar lebih mirip seperti omelan karena aku nggak kunjung pulang, hingga Irfan yang lagi lagi nangis harus dijemput oleh bundanya. "nggak sayang anak lah.. ", "nggak kasian ama darah daging sendiri lah.. ", " demen 'bikin'nya doang lah.. ", dan omelan lain yang untungnya cuma lewat doang ditelingaku.
Dan didepan pintu rumah, yang kini suasananya terasa lebih horor dari biasanya, aku masih berdebat dengan diriku sendiri. Aku masih menimbang nimbang segala resiko dan kemungkinan yang akan muncul, antara lanjut masuk rumah dan menghampiri maut, atau balik lagi untuk sejenak lari dari terkaman Dhara. Tetapi sial, setelah lebih dari tiga jam mikir (walau sebenernya nggak sampe segitu juga sih) aku tetap saja nggak bisa menemukan kemungkinan yang bisa menguntungkan untukku. Semua kemungkinan tetap berujung pada situasi yang harus membawaku untuk menemui Dhara. Walau bagaimanapun, aku tetap harus menghadapi semuanya. Jadi yaudah lah, abis ini dicincang dicincang deh..
Aku mulai mendekati daun pintu rumahku, rumah bergaya minimalis ini mendadak terasa seperti kastil tua sisa sisa bangunan abad pertengahan dibenakku, dengan 'nenek sihir' yang mungkin sedang menantikan kedatanganku di dalam, lengkap dengan seringai-nya yang amat mengerikan. Aku berulang kali meyakinkan diriku, agar siap menghadapi apapun yang sebentar lagi akan terjadi. Dan dengan tangan sedikit bergetar, aku mulai mengetuknya.
TOKK! TOKK! TOKK!
"... "
Nggak ada jawaban dari dalam, aku kembali mencoba mengetuknya lagi.
TOKK! TOKK! TOKK!
"... "
Masih nggak ada jawaban.
TOKK! TOKK! TOKKK!
"Assalamu'alaikum, buun.. bukain doong, ini ayah kok. Bukan maling.. "
Aku masih mencoba mengetuk pintu rumahku, sambil sesekali mengoceh dan bersuara agar Dhara mendengar suaraku. Namun dari dalam rumah masih saja nggak ada jawaban. Dhara mana ya, rumah masih terang semua gini tapi diketok daritadi nggak ada respon. Jangan jangan beneran marah neh..
TOKK! TOKK! TOKK!
"Beneran buun, ini ayah, bukan maling kok.. " Ucapku masih sambil mengetuk pintu. "Lagian mana ada sih maling yang kelewat sopan ampe harus ketok pintu dulu.. ayo dong bun bukain, diluar dingin banget neh.. "
".. "
Masih sama sekali nggak ada tanda tanda kehidupan ataupun jawaban dari dalam. Yang terdengar hanya suara samar samar tukang nasi goreng keliling yang biasa lewat di komplek perumahan kami. Aku yang mulai berpikir keras untuk mencari cara agar bisa masuk mendadak kaget saat pintu yang menjadi tempatku bersandar tiba tiba saja terbuka. Yang untungnya nggak sampai membuat aku terjatuh, namun cukup untuk membuatku geregetan sendiri. Dibela belain ngoceh sambil melas biar dibukain ternyata pintunya malah nggak dikunci. Ra.. ra.. cium juga neh..
Setelah pintu terbuka, aku langsung berjalan masuk dan kembali menutup pintu dari dalam karena udara di luar terasa semakin dingin. Namun belum sempat berjalan masuk lebih dalam mataku langsung tertegun tatkala melihat sosok Dhara yang tengah tertidur di sofa ruang tamu.
Aku kemudian berjalan mendekat, lalu menggerak gerakkan telapak tanganku didepan wajahnya, yang tentu saja sama sekali tidak direspon olehnya. Istriku yang galak itu terlihat sedang tertidur pulas, sesekali juga terdengar desah nafas dan dengkuran lembut yang mengiringi perjalanannya menuju alam mimpi. Aku mulai memperhatikan wajahnya, wajah ayu yang biasanya terlihat menyebalkan dimataku ini sekarang terlihat begitu damai dan manis. Segaris iler yang muncul serta rambutnya yang sedikit berantakan tetap nggak bisa menutupi kecantikannya. Coba aja kalo dah bangun tetep anggun kaya gini, sayang kalo matanya dah melek kelakuannya suka bikin ngelus dada.
Aku menyibakkan sebagian rambutnya yang sedikit menutupi kening, lalu berniat untuk melakukan hal romantis dengan cara mengecup keningnya, seperti yang biasa ku jumpai di film film bergenre romance. Namun sayang, belum sempat aku mendaratkan ujung bibirku di keningnya, dia terlihat sedang bergeliat dan tiba tiba saja membuka matanya. Menyadari bahwa wajahku kini hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya, Dhara spontan berteriak. Dan tangan kanannya juga tak lupa untuk menyambangi pipi sebelah kiriku.
"Aaaaa.. ayaah... Ayah lagi ngapaiiiinn..? "
PLAAKK!!
Mendapat perlakuan yang nggak mengenakkan secara tiba-tiba seperti itu, aku langsung bergerak sedikit mundur. Sementara Dhara, dia langsung bangkit dari tidurnya sambil menangkupkan kedua tangannya di dada.
"jangan deket deket.. jangan deket deket.. " Ucapnya sedikit panik, yang tentu saja mulai membuatku merasa heran.
".. "
"ayah barusan mau ngapain, hah.. " Lanjutnya sambil berkacak pinggang. "mau macem macemin bunda ya? iya? gitu yah? Mentang mentang orangnya lagi tidur terus ayah bisa bebas gitu ngapa ngapain bunda? Dasar mesum.. "
Hah? Macem macemin? Padahal kan aku cuma mau nyium keningnya doang, lagian kalo emang beneran mau 'macem macem' juga kenapa? Lha dia kan istriku..
"Buun.. " Aku baru mengucapkan sepatah kata, namun langsung dipotong olehnya.
"lagian daritadi kemana aja sih? Ditelepon ga diangkat, di chat ga dibales.. "
"tadi ituu.. "
"Sampe Irfan yang lagi nangis bunda yang jemput. Pergi juga ga bilang bilang, maunya apa sih? Kalo tadi ga mau ngajak Irfan main ya bilang aja, ga usah dibawa kerumah emak terus ditinggalin gitu aja.. "
"Buuunn.. "
"kasian tau, ayah itu em.. "
Aku kemudian meraih tubuhnya, lalu membenamkan kepalanya didadaku sambil mengelus pelan rambutnya. Awalnya dia sedikit berontak saat aku mulai memeluknya, namun tenagaku yang lebih kuat jelas bukan tandingannya. Hingga perlahan amarahnya mulai sedikit mereda dalam dekapan ku. Aku sengaja nggak mengucapkan sepatah kata pun sebelum ia benar benar bisa meredakan amarahnya. Dan sepertinya caraku sedikit membuahkan hasil, dia sudah tidak mencoba meronta seperti tadi. Bahkan kini dia mulai membalas pelukanku.
"maafin ayah ya bun.. " Ucapku sambil mengelus pelan rambutnya. "Udah ninggalin Irfan sendirian, udah bikin bunda kuatir. Maafin ayah yaa, udah doong jangan marah lagi.."
"hmm.. ya udah." Balasnya, kali ini nadanya udah nggak se mengerikan tadi. "Tapi jangan diulangin lagi ya yah.. "
".. " Aku hanya menggangguk pelan.
Dhara kemudian sedikit mendongakkan kepalanya, hingga kini kita saling berpandangan. Mulai terlihat segaris senyum yang muncul dari sudut bibirnya. Senyum yang tentu saja membuatnya terlihat semakin manis. Ah, andai saja setiap saat dia selalu begini..
"Jangan bikin bunda kuatir lagi.. " Lanjutnya sambil meraih pipiku. "Sama jangan lupa, lain kali kalo mau kemana mana itu kerjaan rumah diberesin dulu, jangan ditinggal gitu aja. Ga kasian apa liat istrinya yang cantik ini harus nguras bak mandi sendirian.. "
Dhara kembali tersenyum, lalu mencubit pelan pipiku. Sementara aku kembali menarik tubuhnya dalam dekapanku.
"hahaha, dasar. Sebenernya itu kan emang tugas istri.. " Ucapku sambil mengelus pelan rambutnya. "yaudah, tidur didalem yuk bun. Disini dingin.. " Aku berusaha mengajaknya untuk tidur dikamar, namun lagi lagi dia hanya tersenyum.
"hehe ga bisa tidur lagi, lapeerr.. masakin dong yah. " Balasnya manja.
"Dah malem nih bun, males. Sayang juga kalo kebanyakan, tar pasti kebuang. Beli nasi gorengnya bang Mamad aja yuk.. "
"hmm.. yaudah deh, yuk. "
Kita kemudian berjalan saling berdampingan keluar rumah. Dhara sempat mengambil sweater nya terlebih dahulu untuk melindungi tubuhnya dari hawa dingin, sekaligus melindungi body nya dari tatapan liar bapak bapak yang ada dikomplek ini. Kita berjalan berdampingan dengan cukup mesra, dengan Dhara yang selalu bersandar pada bahu sebelah kananku, dan aku yang selalu mengelus pelan rambutnya. Hingga hawa dingin menusuk tulang yang kurasakan tadi perlahan menghilang, berganti menjadi perasaan hangat, sekaligus kenyal *eh.
Nggak terlalu lama berjalan, kita akhirnya sampai di gerobak nasi goreng milik bang Mamad yang kali ini sedang mangkal didepan gang perumahan kami. Saat itu dia terlihat sedang asik bermain hp, entah sedang bermain apa, lagi nyoba nyepikin janda kampung sebelah mungkin.
"hoi bang, maen hape mulu.. " Ucapku saat sudah ada didekatnya. "Pantesan nggak ada yang beli.. "
"eh, mas Irfan sama mba Rara.. " Ucapnya seraya menoleh kearah kami, lalu buru buru mengantongi ponsel jadulnya. "hehe lagi asik mas. Ohiya, pada mau pesen ya? "
"iya bang, nasi gorengnya dua yaa.. " Sahut Dhara kemudian. "Punya saya jangan lupa ditambahin telor. "
"oh iya mba, siap.. " Balas bang Mamad sambil beranjak menuju 'station' nya. "Kalo punya mas Irfan, dikasih telor juga nggak? "
"Nggak usah, udah punya.. " Jawabku ngasal.
Aku dan Dhara kemudian berjalan sedikit menjauh menuju sebuah bangku kayu yang posisinya tepat menghadap ke jalan raya, ke arah ramainya jalanan malam. Sambil menunggu pesanan kita datang, kita membunuh waktu dengan saling ngobrol ringan, persis seperti yang dulu biasa kita lakukan, saat kita berdua masih terjebak dalam status yang cuma sebatas 'teman'.
"nih mas, mba, pesenan nya.. " Ucap bang Mamad sambil menyodorkan dua piring nasi goreng, dengan punya Dhara yang diberi ekstra telor ceplok. Untung saja saat marah tadi dia nggak sampai khilaf lalu men-ceplok 'telor' ku.
"makasih ya bang.. " Ucap kita berdua nyaris bersamaan. "Napa sih bang, senyum senyum gitu. Ada yang aneh ya?" Tanyaku setelah melihat seberkas senyum yang tersungging di bibirnya.
"hehe, lagi 'istirahat' ya mas, mba? " Tanya bang Mamad kemudian, yang sedikit heran mungkin melihat rambut Dhara yang agak terurai berantakan. Sementara aku dan Dhara hanya bisa saling berpandangan sambil mengerutkan dahi.
"yaudah mas, mba, silahkan dinikmati nasi gorengnya, biar bisa 'lanjut' lagi.. "
Bang Mamad kemudian berjalan meninggalkan kami untuk melanjutkan keasikan nya dalam bermain hape. Sementara aku yang mulai mengerti dengan kata kata yang tadi diucapkan bang Mamad mencoba nyengir pada Dhara, sekalian ngasih kode. Yang sayangnya malah cuma dibales dengan pelototan matanya.
Selesai menikmati sepiring nasi goreng, kita berdua langsung berjalan kembali kerumah untuk tidur. Sepanjang perjalanan pulang kita masih bertingkah layaknya sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara. Aku begitu menikmati momen momen seperti ini, mengingat dulu saat aku masih memendam perasaan padanya, aku hanya bisa melihat dia tersenyum bersama laki-laki lain.Tapi disisi lain, aku juga mulai merasa bersalah karena sudah menghianati kepercayaan yang telah dia berikan. Tapi disisi lainnya lagi, aku juga tak pernah bisa menolak semua godaan yang datang, apalagi jika godaannya berupa makhluk cantik seperti Marcella. Ah, menjadi lelaki tampan dan menawan ternyata memang nggak semudah yang dibayangkan.
Begitu masuk rumah, Dhara langsung berjalan menuju kamar. Sementara aku yang harus mengunci pintu terlebih dahulu hanya bisa mengekor dari belakang.
Mataku kembali terbelalak tatkala mengetahui kalau didalam kamar kini Dhara mulai melolosi sweater dan gaun tidur yang dia kenakan secara perlahan. Membuat aku semakin membatu dibuatnya. Termasuk, sesuatu dibawah sana yang kali ini juga ikut ikutan 'membatu' karena melihat aksi Dhara.
"udah siap 'lanjut' belum, yah? " Tanyanya sambil mendekat dan berbisik ditelinga ku.
Dhara mulai menghembuskan nafas hangatnya secara perlahan di tengkuk ku, hingga membuat bulu bulu halus yang tumbuh disana mulai meremang. Aku masih belum bisa bereaksi apa apa, selain terdiam menikmati sensasi yang ditimbulkan dari perbuatannya.
"L.. l.. lanjut? " Tanyaku terbata bata saat dia mulai menatap mataku. Dia kemudian mengecup bibirku sebentar, lalu kembali tersenyum, senyum yang selalu bisa membuatku tunduk dibawah kekuasaan dan dominasinya.
"iya, kan tadi masih 'istirahat', hehe.. "
Dhara kembali tersenyum, dia kemudian melepas celana dan seluruh kain yang masih menempel di tubuhku. Lalu kemudian seperti biasa, mengikat pergelangan tanganku dengan tali tambang tepat diujung ranjang...
Selepas 'berduel' dengan Marcella tadi sebenarnya aku langsung bergegas kembali kerumah emak untuk menjemput Irfan dan mengajaknya pulang. Namun yang kudapat lagi lagi hanya 'wejangan' dari emak yang terdengar lebih mirip seperti omelan karena aku nggak kunjung pulang, hingga Irfan yang lagi lagi nangis harus dijemput oleh bundanya. "nggak sayang anak lah.. ", "nggak kasian ama darah daging sendiri lah.. ", " demen 'bikin'nya doang lah.. ", dan omelan lain yang untungnya cuma lewat doang ditelingaku.
Dan didepan pintu rumah, yang kini suasananya terasa lebih horor dari biasanya, aku masih berdebat dengan diriku sendiri. Aku masih menimbang nimbang segala resiko dan kemungkinan yang akan muncul, antara lanjut masuk rumah dan menghampiri maut, atau balik lagi untuk sejenak lari dari terkaman Dhara. Tetapi sial, setelah lebih dari tiga jam mikir (walau sebenernya nggak sampe segitu juga sih) aku tetap saja nggak bisa menemukan kemungkinan yang bisa menguntungkan untukku. Semua kemungkinan tetap berujung pada situasi yang harus membawaku untuk menemui Dhara. Walau bagaimanapun, aku tetap harus menghadapi semuanya. Jadi yaudah lah, abis ini dicincang dicincang deh..
Aku mulai mendekati daun pintu rumahku, rumah bergaya minimalis ini mendadak terasa seperti kastil tua sisa sisa bangunan abad pertengahan dibenakku, dengan 'nenek sihir' yang mungkin sedang menantikan kedatanganku di dalam, lengkap dengan seringai-nya yang amat mengerikan. Aku berulang kali meyakinkan diriku, agar siap menghadapi apapun yang sebentar lagi akan terjadi. Dan dengan tangan sedikit bergetar, aku mulai mengetuknya.
TOKK! TOKK! TOKK!
"... "
Nggak ada jawaban dari dalam, aku kembali mencoba mengetuknya lagi.
TOKK! TOKK! TOKK!
"... "
Masih nggak ada jawaban.
TOKK! TOKK! TOKKK!
"Assalamu'alaikum, buun.. bukain doong, ini ayah kok. Bukan maling.. "
Aku masih mencoba mengetuk pintu rumahku, sambil sesekali mengoceh dan bersuara agar Dhara mendengar suaraku. Namun dari dalam rumah masih saja nggak ada jawaban. Dhara mana ya, rumah masih terang semua gini tapi diketok daritadi nggak ada respon. Jangan jangan beneran marah neh..
TOKK! TOKK! TOKK!
"Beneran buun, ini ayah, bukan maling kok.. " Ucapku masih sambil mengetuk pintu. "Lagian mana ada sih maling yang kelewat sopan ampe harus ketok pintu dulu.. ayo dong bun bukain, diluar dingin banget neh.. "
".. "
Masih sama sekali nggak ada tanda tanda kehidupan ataupun jawaban dari dalam. Yang terdengar hanya suara samar samar tukang nasi goreng keliling yang biasa lewat di komplek perumahan kami. Aku yang mulai berpikir keras untuk mencari cara agar bisa masuk mendadak kaget saat pintu yang menjadi tempatku bersandar tiba tiba saja terbuka. Yang untungnya nggak sampai membuat aku terjatuh, namun cukup untuk membuatku geregetan sendiri. Dibela belain ngoceh sambil melas biar dibukain ternyata pintunya malah nggak dikunci. Ra.. ra.. cium juga neh..
Setelah pintu terbuka, aku langsung berjalan masuk dan kembali menutup pintu dari dalam karena udara di luar terasa semakin dingin. Namun belum sempat berjalan masuk lebih dalam mataku langsung tertegun tatkala melihat sosok Dhara yang tengah tertidur di sofa ruang tamu.
Aku kemudian berjalan mendekat, lalu menggerak gerakkan telapak tanganku didepan wajahnya, yang tentu saja sama sekali tidak direspon olehnya. Istriku yang galak itu terlihat sedang tertidur pulas, sesekali juga terdengar desah nafas dan dengkuran lembut yang mengiringi perjalanannya menuju alam mimpi. Aku mulai memperhatikan wajahnya, wajah ayu yang biasanya terlihat menyebalkan dimataku ini sekarang terlihat begitu damai dan manis. Segaris iler yang muncul serta rambutnya yang sedikit berantakan tetap nggak bisa menutupi kecantikannya. Coba aja kalo dah bangun tetep anggun kaya gini, sayang kalo matanya dah melek kelakuannya suka bikin ngelus dada.
Aku menyibakkan sebagian rambutnya yang sedikit menutupi kening, lalu berniat untuk melakukan hal romantis dengan cara mengecup keningnya, seperti yang biasa ku jumpai di film film bergenre romance. Namun sayang, belum sempat aku mendaratkan ujung bibirku di keningnya, dia terlihat sedang bergeliat dan tiba tiba saja membuka matanya. Menyadari bahwa wajahku kini hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya, Dhara spontan berteriak. Dan tangan kanannya juga tak lupa untuk menyambangi pipi sebelah kiriku.
"Aaaaa.. ayaah... Ayah lagi ngapaiiiinn..? "
PLAAKK!!
Mendapat perlakuan yang nggak mengenakkan secara tiba-tiba seperti itu, aku langsung bergerak sedikit mundur. Sementara Dhara, dia langsung bangkit dari tidurnya sambil menangkupkan kedua tangannya di dada.
"jangan deket deket.. jangan deket deket.. " Ucapnya sedikit panik, yang tentu saja mulai membuatku merasa heran.
".. "
"ayah barusan mau ngapain, hah.. " Lanjutnya sambil berkacak pinggang. "mau macem macemin bunda ya? iya? gitu yah? Mentang mentang orangnya lagi tidur terus ayah bisa bebas gitu ngapa ngapain bunda? Dasar mesum.. "
Hah? Macem macemin? Padahal kan aku cuma mau nyium keningnya doang, lagian kalo emang beneran mau 'macem macem' juga kenapa? Lha dia kan istriku..
"Buun.. " Aku baru mengucapkan sepatah kata, namun langsung dipotong olehnya.
"lagian daritadi kemana aja sih? Ditelepon ga diangkat, di chat ga dibales.. "
"tadi ituu.. "
"Sampe Irfan yang lagi nangis bunda yang jemput. Pergi juga ga bilang bilang, maunya apa sih? Kalo tadi ga mau ngajak Irfan main ya bilang aja, ga usah dibawa kerumah emak terus ditinggalin gitu aja.. "
"Buuunn.. "
"kasian tau, ayah itu em.. "
Aku kemudian meraih tubuhnya, lalu membenamkan kepalanya didadaku sambil mengelus pelan rambutnya. Awalnya dia sedikit berontak saat aku mulai memeluknya, namun tenagaku yang lebih kuat jelas bukan tandingannya. Hingga perlahan amarahnya mulai sedikit mereda dalam dekapan ku. Aku sengaja nggak mengucapkan sepatah kata pun sebelum ia benar benar bisa meredakan amarahnya. Dan sepertinya caraku sedikit membuahkan hasil, dia sudah tidak mencoba meronta seperti tadi. Bahkan kini dia mulai membalas pelukanku.
"maafin ayah ya bun.. " Ucapku sambil mengelus pelan rambutnya. "Udah ninggalin Irfan sendirian, udah bikin bunda kuatir. Maafin ayah yaa, udah doong jangan marah lagi.."
"hmm.. ya udah." Balasnya, kali ini nadanya udah nggak se mengerikan tadi. "Tapi jangan diulangin lagi ya yah.. "
".. " Aku hanya menggangguk pelan.
Dhara kemudian sedikit mendongakkan kepalanya, hingga kini kita saling berpandangan. Mulai terlihat segaris senyum yang muncul dari sudut bibirnya. Senyum yang tentu saja membuatnya terlihat semakin manis. Ah, andai saja setiap saat dia selalu begini..
"Jangan bikin bunda kuatir lagi.. " Lanjutnya sambil meraih pipiku. "Sama jangan lupa, lain kali kalo mau kemana mana itu kerjaan rumah diberesin dulu, jangan ditinggal gitu aja. Ga kasian apa liat istrinya yang cantik ini harus nguras bak mandi sendirian.. "
Dhara kembali tersenyum, lalu mencubit pelan pipiku. Sementara aku kembali menarik tubuhnya dalam dekapanku.
"hahaha, dasar. Sebenernya itu kan emang tugas istri.. " Ucapku sambil mengelus pelan rambutnya. "yaudah, tidur didalem yuk bun. Disini dingin.. " Aku berusaha mengajaknya untuk tidur dikamar, namun lagi lagi dia hanya tersenyum.
"hehe ga bisa tidur lagi, lapeerr.. masakin dong yah. " Balasnya manja.
"Dah malem nih bun, males. Sayang juga kalo kebanyakan, tar pasti kebuang. Beli nasi gorengnya bang Mamad aja yuk.. "
"hmm.. yaudah deh, yuk. "
Kita kemudian berjalan saling berdampingan keluar rumah. Dhara sempat mengambil sweater nya terlebih dahulu untuk melindungi tubuhnya dari hawa dingin, sekaligus melindungi body nya dari tatapan liar bapak bapak yang ada dikomplek ini. Kita berjalan berdampingan dengan cukup mesra, dengan Dhara yang selalu bersandar pada bahu sebelah kananku, dan aku yang selalu mengelus pelan rambutnya. Hingga hawa dingin menusuk tulang yang kurasakan tadi perlahan menghilang, berganti menjadi perasaan hangat, sekaligus kenyal *eh.
Nggak terlalu lama berjalan, kita akhirnya sampai di gerobak nasi goreng milik bang Mamad yang kali ini sedang mangkal didepan gang perumahan kami. Saat itu dia terlihat sedang asik bermain hp, entah sedang bermain apa, lagi nyoba nyepikin janda kampung sebelah mungkin.
"hoi bang, maen hape mulu.. " Ucapku saat sudah ada didekatnya. "Pantesan nggak ada yang beli.. "
"eh, mas Irfan sama mba Rara.. " Ucapnya seraya menoleh kearah kami, lalu buru buru mengantongi ponsel jadulnya. "hehe lagi asik mas. Ohiya, pada mau pesen ya? "
"iya bang, nasi gorengnya dua yaa.. " Sahut Dhara kemudian. "Punya saya jangan lupa ditambahin telor. "
"oh iya mba, siap.. " Balas bang Mamad sambil beranjak menuju 'station' nya. "Kalo punya mas Irfan, dikasih telor juga nggak? "
"Nggak usah, udah punya.. " Jawabku ngasal.
Aku dan Dhara kemudian berjalan sedikit menjauh menuju sebuah bangku kayu yang posisinya tepat menghadap ke jalan raya, ke arah ramainya jalanan malam. Sambil menunggu pesanan kita datang, kita membunuh waktu dengan saling ngobrol ringan, persis seperti yang dulu biasa kita lakukan, saat kita berdua masih terjebak dalam status yang cuma sebatas 'teman'.
"nih mas, mba, pesenan nya.. " Ucap bang Mamad sambil menyodorkan dua piring nasi goreng, dengan punya Dhara yang diberi ekstra telor ceplok. Untung saja saat marah tadi dia nggak sampai khilaf lalu men-ceplok 'telor' ku.
"makasih ya bang.. " Ucap kita berdua nyaris bersamaan. "Napa sih bang, senyum senyum gitu. Ada yang aneh ya?" Tanyaku setelah melihat seberkas senyum yang tersungging di bibirnya.
"hehe, lagi 'istirahat' ya mas, mba? " Tanya bang Mamad kemudian, yang sedikit heran mungkin melihat rambut Dhara yang agak terurai berantakan. Sementara aku dan Dhara hanya bisa saling berpandangan sambil mengerutkan dahi.
"yaudah mas, mba, silahkan dinikmati nasi gorengnya, biar bisa 'lanjut' lagi.. "
Bang Mamad kemudian berjalan meninggalkan kami untuk melanjutkan keasikan nya dalam bermain hape. Sementara aku yang mulai mengerti dengan kata kata yang tadi diucapkan bang Mamad mencoba nyengir pada Dhara, sekalian ngasih kode. Yang sayangnya malah cuma dibales dengan pelototan matanya.
Selesai menikmati sepiring nasi goreng, kita berdua langsung berjalan kembali kerumah untuk tidur. Sepanjang perjalanan pulang kita masih bertingkah layaknya sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara. Aku begitu menikmati momen momen seperti ini, mengingat dulu saat aku masih memendam perasaan padanya, aku hanya bisa melihat dia tersenyum bersama laki-laki lain.Tapi disisi lain, aku juga mulai merasa bersalah karena sudah menghianati kepercayaan yang telah dia berikan. Tapi disisi lainnya lagi, aku juga tak pernah bisa menolak semua godaan yang datang, apalagi jika godaannya berupa makhluk cantik seperti Marcella. Ah, menjadi lelaki tampan dan menawan ternyata memang nggak semudah yang dibayangkan.
Begitu masuk rumah, Dhara langsung berjalan menuju kamar. Sementara aku yang harus mengunci pintu terlebih dahulu hanya bisa mengekor dari belakang.
Mataku kembali terbelalak tatkala mengetahui kalau didalam kamar kini Dhara mulai melolosi sweater dan gaun tidur yang dia kenakan secara perlahan. Membuat aku semakin membatu dibuatnya. Termasuk, sesuatu dibawah sana yang kali ini juga ikut ikutan 'membatu' karena melihat aksi Dhara.
"udah siap 'lanjut' belum, yah? " Tanyanya sambil mendekat dan berbisik ditelinga ku.
Dhara mulai menghembuskan nafas hangatnya secara perlahan di tengkuk ku, hingga membuat bulu bulu halus yang tumbuh disana mulai meremang. Aku masih belum bisa bereaksi apa apa, selain terdiam menikmati sensasi yang ditimbulkan dari perbuatannya.
"L.. l.. lanjut? " Tanyaku terbata bata saat dia mulai menatap mataku. Dia kemudian mengecup bibirku sebentar, lalu kembali tersenyum, senyum yang selalu bisa membuatku tunduk dibawah kekuasaan dan dominasinya.
"iya, kan tadi masih 'istirahat', hehe.. "
Dhara kembali tersenyum, dia kemudian melepas celana dan seluruh kain yang masih menempel di tubuhku. Lalu kemudian seperti biasa, mengikat pergelangan tanganku dengan tali tambang tepat diujung ranjang...
Quote:
Some days you're the only thing I know
Only thing that's burning when the nights grow cold
Can't look away, can't look away
Beg you to stay, beg you to stay, yeah
Sometimes you're a stranger in my bed
Don't know if you love me, or you want me dead
Push me away, push me away
Then beg me to stay, beg me to stay, yeah
Call me in the morning to apologize
Every little lie gives me butterflies
Something in the way you're looking through my eyes
Don't know if I'm gonna make it out alive
Fight so dirty but your love's so sweet
Talk so pretty but your heart got teeth
Late night devil, put your hands on me
And never, never, never ever let go
Only thing that's burning when the nights grow cold
Can't look away, can't look away
Beg you to stay, beg you to stay, yeah
Sometimes you're a stranger in my bed
Don't know if you love me, or you want me dead
Push me away, push me away
Then beg me to stay, beg me to stay, yeah
Call me in the morning to apologize
Every little lie gives me butterflies
Something in the way you're looking through my eyes
Don't know if I'm gonna make it out alive
Fight so dirty but your love's so sweet
Talk so pretty but your heart got teeth
Late night devil, put your hands on me
And never, never, never ever let go
Teeth - 5 Seconds of Summer
Diubah oleh saleskambing 19-12-2024 11:00
jenggalasunyi dan 11 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas