Kaskus

Story

sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:
emoticon-Ultah

Cover:


From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)

NB: Sorry Bad Editing


Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter


Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita

Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.

Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.

Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.

Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.

Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.

Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.

Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.

Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.

Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.

Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.

***

Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.

“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.

“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.

“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.

Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.

Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.

Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.

Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.

“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.

“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.

“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.

“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.

“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”

Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.

“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.

Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.

“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.

Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.

Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.

***

Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.

Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,

“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.

“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.

Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.

“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.

Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.

Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.

“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.

“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.

“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.

“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.

Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.

Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.

Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.

Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.

“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.

“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.

‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.

Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.

Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
santinorefre720Avatar border
blackjavapre354Avatar border
rizetamayosh295Avatar border
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
#83
Chapter 23: Sebuah Pelajaran
31 Juli 2016

Hari ini adalah hari yang sibuk, seluruh keluarga besarku berkumpul dalam rangka acara aqiqah dari putri pertama pamanku. Seminggu yang lalu sebelum keberangkatanku ke Malang untuk registrasi, pamanku sibuk mondar-mandir ke puskesmas membawa keperluan-keperluan sang bayi. Ibuku pun turut sibuk menemani istri pamanku, menggendong bayi pamanku berhubung ibunya masih belum bisa bergerak bebas, hanya berbaring diranjang sehabis melahirkan.

Aku bangun pagi-pagi sekali sesuai mandat dari ibuku tadi malam. Dengan langkah gontai aku melangkah pelan ke kamar mandi, mataku masih mengantuk gara-gara tadi malam yang pulang larut karena asik ngopi dengan teman-temanku.

Dari luar rumah terdengar riuh rendah suara bapak-bapak yang merupakan kerabatku sedang sibuk menyembelih kambing. Tak ingin ketinggalan momen langka itu, aku pun segera bergabung dengan mereka. Aku hanya diam menyaksikan, satu orang bertugas sebagai penjagal sisanya memegangi kaki kambing agar tidak memberontak. Suara pekikan kambing yang tersakiti terdengar begitu keras, hatiku sedikit tersayat mendengar kambing itu mengembik kesakitan. Aku hanya mendoakan yang terbaik untukmu ‘mbing’, semoga dagingmu nanti enak dimakan.

Seusai proses penyembelihan kambing, salah seorang bapak mengambil tangga dari gudang tumpukan barang-barang. Bapak itu menyandarkan tangga itu ke salah satu pohon mangga yang ada didekat rumahku. Dengan gotong royong, mereka membopong kambing itu untuk diikatkan ditangga. Kedua tangan dan kaki kambing itu diikat kuat agar tidak jatuh sekaligus mempermudah proses pemtanpa busanaan paksa kambing itu.

Pamanku yang melihatku diam lantas menyuruhku untuk membeli satu bungkus silet untuk mengerik bulu kambing. Kira-kira lima belas menit waktu yang kubutuhkan pulang pergi membeli sebungkus silet itu. Kuberikan kepada pamanku dan kemudian dibagikan merata kepada bapak-bapak yang sudah siap beraksi.

Aku yang tak berpengalaman sama sekali dibidang ini hanya diam menyaksikan sambil menghisap rokok fiter yang disuguhkan didekat kursi sembari mencicipi pisang goreng hangat. Proses pemtanpa busanaan itu tak berlangsung lama, bapak-bapak itu sudah professional untuk urusan beginian. Bapak-bapak itu kemudian melakukan operasi bedah perut kepada sang kambing, dengan sangat hewani bapak penjagal tadi menyayat tubuh kambing secara halus searah vertikal. Kemudian, dengan seksama bapak itu mengeluarkan kotoran isi perut sang kambing secara hati-hati. Hal ini cukup penting, karena jika salah sedikit saja bisa-bisa kotoran itu menyebar ke seluruh daging kambing yang secara otomatis akan mempengaruhi cita rasa daging itu sendiri.

Dan bagian terakhir adalah proses yang paling sadis, mutilasi daging kambing. Daging-daging yang telah dipotong dengan pisau oleh bapak-bapak itu kucuci terlebih dulu dengan selang dari air keran. Lantas, aku mengantarnya ke dapur rumah nenekku yang berjarak beberapa meter dari rumahku dimana banyak ibu-ibu yang lihai terkait urusan masak memasak.

Kebetulan pamanku tinggal serumah dengan nenekku berhubung hanya beliau satu-satunya anak selain ibuku, sedang ibuku sudah memiliki rumah sendiri. Alasan kenapa proses penyembelihan dilakukan dirumahku adalah pekarangan rumahku masih berupa tanah pada umumnya, berbeda dengan pekarangan rumah nenekku yang telah dicor dengan semen.

“Ini buk dagingnya.” Aku menyerahkan daging-daging segar ke salah satu ibu-ibu yang ada didapur. Beliau menerimanya dengan antusias dan dengan cepat. Tungku-tungku api dan kuali telah siap menanti kedatangan daging itu dan segera ibu itu mengolahnya.

***

Tugasku tak berhenti disini, aku dipaksa ibuku untuk mengantarkan nasi berkat ke rumah kerabat-kerabatku yang tersebar di beberapa tempat. Dimulai dari kerabat dekat hingga kerabat jauh. Kami mampir sebentar dari satu rumah ke rumah yang lain tanpa sempat mengobrol banyak.
Memang, kerabat-kerabatku bukanlah orang kaya atau konglomerat. Kebanyakan mereka adalah masyarakat dengan kelas ekonomi menengah dan ada juga kelas ekonomi kebawah.

Meskipun demikian, keluarga besarku tetap berusaha agar hubungan itu tetap terjaga. Aku pernah mendengar sebuah cerita yang sungguh miris, ketika ada sanak keluarga dari golongan bawah berkunjung ke rumah saudaranya yang cukup beruntung, disana mereka dilupakan dan dianggap orang asing. Jabatan dan materi memang terkadang menjadi simbol keangkuhan seseorang, mereka lupa bahwa mereka berada dibawah sama seperti manusia biasa pada umumnya.

Aku dan ibuku menyempatkan diri untuk mampir ke rumah salah satu kerabatku yang kehidupannya jauh dari kata sejahtera. Sesuai pesan dari kakekku, kami memberikan sebuah nasi berkat sekaligus beberapa kilogram beras untuk menyambung kehidupan sehari-hari.

“Assalamu’alaikum.” Ibuku mengucapkan salam didepan rumah yang sudah cukup usang. Ukurannya tak terlalu luas, didalam rumah itu hanya terdapat sebuah meja kecil dan kursi kayu yang usianya puluhan tahun.
“Wa’alaikumsalam.” Seorang nenek tua beranjak dari dipan bamboo, dengan langkah gontai beliau menghampiri kami berdua. Ibuku lantas menyalami beliau dengan takzim, aku pun demikian.
“Siapa ya dek?” Nenek tua itu bertanya kepada ibuku dengan kebingungan, usia memang tak bisa dilawan. Nenek itu mengidap penyakit alzeimer atau biasa dikenal dengan penyakit pikun. Padahal, dua tahun yang lalu ingatan nenek itu masih baik-baik saja. Aku ingat, ketika aku dulu berkunjung kesini beliau selalu menyambutku dengan ramah.

Ibuku menjelaskan dengan halus dan penuh kesabaran. Nenek itu langsung paham dan ingat ketika ibuku menyebutkan nama kakekku yang merupakan saudara tiri dari nenek itu. Mereka kemudian berbincang-bincang sejenak, aku hanya diam menyaksikan.

Bingkisan nasi berkat dan juga karung berisi beras yang kami bawa dari rumah kuletakkan di meja kecil sesuai arahan ibuku. Lantas, kami berdua pun berpamitan dengan nenek itu.

Di jalan ibuku kerap kali menyinggung kehidupan nenek itu, ibuku merasa iba. Tapi satu hal yang beliau tekankan, meskipun kehidupan nenek itu serba kekurangan bukan semata-mata menjadikan kami untuk memutus hubungan kekerabatan.

Sesampainya dirumah, belum sempat aku istirahat tugas baru mendatangiku kembali. Kali ini aku dibebankan tugas untuk mengantarkan undangan kepada tetangga-tetangga untuk menghadiri acara aqiqah di rumah nenekku nanti malam.

Aku mengajak salah seorang anak kerabatku yang sedang asik bermain-main dengan anak-anak dibawah usianya. Kuseret paksa dan kunaikkan diatas motor matik milik pamanku. Tanpa banyak cingcaung ia mengangguk setuju. Kami berdua pun berangkat mengantarkan undangan itu dari satu rumah ke rumah yang lain yang jaraknya berdekatan.

Matahari cukup terik berhubung tengah memasuki waktu Dzuhur. Aku segera mempercepat proses penyebaran undangan itu, dibantu anak kerabatku tadi. Jika ada orang dirumah kami mengucap salam terlebih dahulu lalu menyerahkan undangan itu dengan sopan, berbeda jika orangnya tidur atau pintu rumahnya tertutup, undangan itu kami selipkan di bawah pintu.

Hampir satu jam waktu yang kami butuhkan, setelah itu kami pulang. Motor matik pamanku kuparkirkan didekat rumahku karena seluruh tempat dirumah nenekku telah dipakai untuk keperluan-keperluan tertentu. Misalkan menaruh beras dan gula hasil sumbangan dari tetangga-tetanggaku yang dalam tradisi Jawa disebut ‘mbecek’.

Selepas itu aku memasuki kamarku untuk mengambil beberapa lembar uang. Aku ingin pergi ke warnet untuk mengupdate video One Piece. Acara ke warnet juga merupakan tradisi rutinku di hari Minggu, entah untuk menonton Youtube atau nge-blog berhubung laptop masih rusak.

***

Pukul 16.00 WIB, didalam kamar aku menonton video yang sudah ku download tadi di warnet. Berniat menghabiskan waktu, menunggu malam untuk mengikuti acara aqiqah-an yang merupakan acara sakral bagi orang Jawa khususnya orang Muslim.
Anime One Piece telah memasuki episode 751, aku menyaksikan setiap detik adegan demi adegan di video itu dengan penuh semangat. Episode kali ini menceritakan tentang akhir dari arc Dressrosa dimana Doflamingo telah tumbang dikalahkan Luffy sang tokoh utama dengan bantuan beberapa tokoh hebat dari berbagai latar.

“Meggy, Meggy, dicari kakekmu tuh.” Suara dari salah satu ibu-ibu memanggil-manggilku keras. Aku segera bangkit dan melepas headset dari smartphone-ku bergegas menuju panggilan itu.
Tanpa banyak bertanya kepada ibu itu, aku langsung menemui kakekku yang sedang berdiri risau dihalaman depan rumahnya.
“Ada apa Kong?” Aku bertanya penasaran, aku dari kecil biasa memanggil kakekku dengan sebutan ‘akong’. Itu adalah sebutan khas untuk kakek bagi orang Jawa.
“Kamu segera ke rumah pak Yani! Nenek Yem pingsan di depan rumahnya. Ibumu sekarang menemaninya.” Dengan nada khawatir kakekku segera menyuruhku untuk ke tempat ibuku berada. Nenek Yem adalah nama dari nenek yang tadi pagi kami kunjungi.
Kuraih motorku dengan cepat menuju tempat yang ditunjukkan kakeku tadi.

Kondisi disana sangat tegang, nenek Yem mengigau tak jelas. Keringat dingin bercucuran. Aku sendiri melihatnya kasihan. Beliau kesini ditemani putra bungsunya, Mas Parjo. Niat mereka sebenarnya baik untuk ikut meramaikan acara aqiqah-an ini selaku kerabat. Namun tanpa disangka justru hal ini malah terjadi kepada beliau. Mas Parjo juga sangat menyesalkan hal ini, awalnya ia hanya ingin pergi sendiri tapi nenek Yem tetap memaksa untuk ikut.

Dengan motor Honda bututnya mas Parjo membonceng nenek Yem. Hari memang mulai sore serta udara juga cukup dingin. Kemungkinan tubuh nenek Yem tidak mampu menahan udara dingin tersebut.

Kami semua panic setengah mati, bagaimana jika terjadi apa-apa terhadap nenek yang sudah renta itu. Satu-satunya jalan terbaik adalah mengantar beliau pulang, tak mungkin niat baik itu diteruskan karena kondisi sudah tidak bersahabat. Mas Parjo meminta ibuku untuk mencarikan sebuah mobil yang bisa dipakai untuk mengantarkan nenek Yem pulang, karena tak mungkin jika menggunakan sepeda motor butut itu lagi, bisa-bisa tambah runyam kondisinya nanti.

Ibuku awalnya kebingungan hendak mencari pinjaman kemana karena pikirannya terlampau panik. Namun, didekat tempat kami ada yang memiliki sebuah mobil. Aku pun menemani ibuku pergi menemui pemilik mobil. Memang disana ada sebuah mobil, bukan mobil seperti pada umumnya melainkan mobil pick up. Kondisi sudah sangat darurat, mau tidak mau kami harus meminjam mobil pick up tersebut. Pemilik mobil memahami kondisi yang sedang kami alami, beliau menyuruh salah satu pembantunya yang bekerja disana untuk menyetir mobil itu.

Mas Parjo dan ibuku naik kedalam pick up itu untuk mengantar nenek Yam pulang. Sedangkan aku membuntuti dibelakangnya dengan sepeda motor mas Parjo.

Matahari mulai tenggelam, senja terlihat memenuhi langit-langit kala ini. Seharusnya sekarang aku membantu pamanku dan kakekku mempersiapkan acara nanti malam. Namun yang terjadi malah aku terjebak dalam kondisi yang tidak bersahabat ini. Setengah hatiku menggerutu kesal, setengahnya lagi takut dengan kejadian yang tidak diinginkan nantinya.
Kurang lebih setengah jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai di rumah nenek Yam. Mas Parjo dan sopir mobil pick up tadi membantu membopong nenek Yam ke dalam rumah lalu membaringkannya diatas dipan bamboo secara hati-hati.

Dengan penuh ketulusan mas Parjo meminta maaf kepada kami karena telah sangat merepotkan. Padahal niat awalnya baik ingin membantu, justru hal yang tak terduga ini harus terjadi. Kami semua memang menyesalkan dengan apa yang terjadi, tapi yang lalu biarlah berlalu. Yang terpenting nenek Yam lekas sembuh dan kondisinya bisa bugar kembali.

Dijalanan pulang, ibuku memberitahuku satu hal. Ketika seseorang itu berbuat kebaikan terhadap orang yang sedang dilanda kesusahan, maka Tuhan akan memberikan kemudahan rezeki dan kelancaran dalam segala urusan.
***

Pukul 18.00 WIB, aku bergegas membersihkan diriku yang sedari tadi keringatan. Segera aku mengganti pakaianku dengan kemeja batik dan sarung merah untuk menghadiri acara penting ini.

Dihalaman rumah nenekku telah berjajar rapi kursi-kursi dengan beratapkan terop yang disewa sejak kemarin. Lagu-lagu qasidah terdengar lantang dari sound system yang tersebar dibeberapa tempat. Ukurannya cukup besar, dan biasanya suara dari sound system itu terdengar beberapa hingga ratus meter dari lokasi sound itu berada.

Para undangan satu persatu datang, pamanku dan kakekku disertai beberapa kerabatku menyalami para undangan. Kemudian mempersilahkan para undangan untuk mencari duduk diantara kursi yang telah disediakan.

Aku duduk dikursi depan bersama kerabat-kerabatku yang lain sambil menyalakan sebuah rokok mild yang kubeli tadi siang. Kerabat-kerabatku bertanya hal-hal seputar kuliahku, tempat kos, dan beberapa hal lainnya. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan santai.
Arek-arek sholawat yang diundang beberapa hari yang lalu juga telah datang satu persatu. Mereka duduk bersila diruang tamu, menata instrumen-instrumennya. Selang beberapa waktu setelah semuanya siap, acara aqiqah-an ini dimulai. Dipimpin oleh salah satu ustad yang terkenal didesaku.

Syair-syair sholawat berjanji mengalun merdu, diiringi tabuhan dari rebana-rebana ala marawis. Para undangan diam menyaksikan, ada yang mengantuk dan ada juga yang tengah asik mengobrol dengan orang disampingnya sembari mengepul-epulkan asap rokok.

Hampir setengah jam acara sholawat berjanji itu dilaksanakan, prosesi selanjutnya adalah potong rambut. Ini merupakan salah satu tradisi yang turun temurun sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang isinya tentang kegiatan aqiqah dan hal-hal yang terkait didalamnya. Aku dipanggil oleh kakekku untuk menemani pamanku dalam acara pemotongan rambut ini. Segera aku beringsut dari tempat dudukku dan menuju tempat pamanku.

Di ruang tamu tempat para arek-arek sholawat tadi berada, kulihat pamanku tengah melilitkan jarik dipundaknya. Pamanku mantap menggendong putri pertamanya dengan mata nanar diliputi kebahagiaan yang sangat. Aku mendekat ketempatnya bertanya lugu terkait apa yang harus kulakukan. Pak Ustad yang memimpin acara tadi menghampiriku, beliau memberikan sebuah nampan yang sudah disiapkan beberapa saat yang lalu oleh nenekku.

Nampan itu berisi gunting, beras kuning, koin, serta parfum. Aku kurang begitu paham dengan itu, tapi yang kutahu adalah semua itu berisi filosofi-filosofi yang tersembunyi. Orang Jawa dahulu memang pandai membuat filosofi-filosofi. Setelah Islam masuk dan diterima di pulau Jawa, perlahan tradisi-tradisi itu berakulturasi dan menciptakan harmonisasi yang indah. Antara budaya dan keislaman yang saling seimbang dan tidak bertentangan.

Pak Ustad itu memberikan briefing singkat kepadaku yang sedari tadi bengong tak jelas. Aku paham dengan apa yang disampaikan pak Ustad.
Prosesi pemotongan rambut pun dimulai, dengan ucapan bismillah dan dengan menyebut asma-asma Tuhan pak Ustad itu memotong rambut putri pamanku yang masih sangat suci dengan hati-hati. Lantas pamanku berjalan mengelilingi para arek-arek sholawat yang telah berdiri melingkar. Seusai arahan pak Ustad, aku menyemprotkan parfum yang ada diatas nampan kesemua anak sholawat tadi satu persatu.
Alhamdulillah, semua berlangsung dengan lancar.

Entah, aku tak tahu apa yang ada didalam hatiku. Aku sedikit terharu melihat pamanku yang sumringah dan matanya berkaca-kaca. Mungkin inilah yang dirasakan oleh ayahku dulu ketika aku baru lahir. Bangga dan dengan segenap keyakinan akan membesarkanku dengan penuh tanggungjawab. Dan aku yakin setiap lelaki pasti akan meneteskan air mata ketika anak pertamanya lahir pertanda bahwa ia telah menjadi seorang ayah.

Seusai prosesi pemotongan rambut, aku membantu bapak-bapak didapur mengantarkan hidangan untuk disajikan kepada para undangan. Dengan hati-hati aku membawa nampan berukuran besar yang berisi beberapa piring menuju tempat duduk para undangan. Aku melakukan kegiatan ini berulang-ulang sampai semua undangan mendapatkan hidangan itu secara merata. Disusul kemudian bingkisan-bingkisan berkat yang terbungkus rapi oleh tas kain kecil.

Acara aqiqah-an ini ditutup dengan doa bersama dipimpin oleh kiai senior didaerah kami. Semua hening mendengar doa pak Kiai. Dengan mengangkat kedua tangan semua mengucapkan kata amin dengan khusyuk. Beberapa menit doa dibacakan, para undangan kemudian meninggalkan posisi duduknya dan bersalaman dengan pamanku sebelum meninggalkan tempat.

***

Sungguh hari ini adalah hari yang cukup melelahkan, banyak kenangan yang tersimpan dihari ini. Banyak juga pelajaran yang dapat kupetik dari kepingan kisah yang terjadi dihari ini. Tentang nenek Yam, Alhamdulillah keadaannya berangsur-angsur membaik. Mas Parjo memberi kabar bahagia itu lewat telepon pesan singkat di smartphone-ku. Keesokan harinya aku mengantar kakekku kerumahnya untuk memastikan keadaan nenek Yam.

Quote:
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.