Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
BACK TO BLACK
Welcoming Party!

Spoiler for Party krackers!:






Bagian 1: Hitam


Panggil dia El.

Siapa dia? Apa artinya perkenalan sekarang jika kalian akan membaca kisah ini? Kalian akan kenal dia dari setiap titian kisah yang akan dia tulis. Mungkin kalian akan membenci karena kenal dia, mungkin juga sebaliknya. Tapi selama kalian masih hidup, dia akan menjadi bagian dari diri kalian.

Satu hal yang pasti: She is not a nice person.

Kapan saat kalian merasa paling bahagia? Saat kalian ingin tetap tinggal di masa itu, mengisolasi masa lalu dan masa depan agar tak ada ruang gerak yang akan membuat kalian berpindah dari kemarin ke esok, ah, jangankan satu hari, happy bisa berlangusng hanya satu menit, satu jam, atau sesaat saja, yang pasti saat kalian hanya ingin bilang: dia ingin hidup di saat ini saja.

Karena kalian sudah merasakan bahwa kemarin kalian berhasil bertahan dari setumpuk kegagalan dan esok...kalian tidak ingin bertahan dari hal yang sama lagi dan lagi. Tapi hari ini, sesuatu yang berbeda terjadi dan sesuatu itu membuat kalian happy dan akhirnya kalian ingin tinggal disini, di hari ini, karena yang terjadi hari ini tidak akan terjadi lagi esok hari, atau hari setelah esok hari, atau hari-hari yang lain lagi.

Buat El, hari itu adalah saat El kecil melihat Bapaknya mengayuh sepeda dan membawa kresek putih di boncengan. El kecil tau apa isi dalam kreseknya sehingga:

“Cepet buka Pak, cepet buka!” teriak El girang. Pria paruh baya yang kulitnya legam terpanggang sinar matahari setiap hari tertawa lebar melihat tingkah anaknya yang melompat-lompat kegirangan.

Beng-beng satu kotak,
wafer Selamat satu bungkus,
wafer Tango satu bungkus,
nugget ayam yang tidak beku tapi masih dingin satu bungkus,
es krim Campina satu kotak.

Semua makanan yang El kecil sukai. Tak sabar El segera menarik tutup beng-beng hingga sobek dan membuka satu bungkus wafer berlapis karamel, butiran krispi dan coklat yang sudah meleleh lantaran panas yang tedeng aling-aling.

“Pelan-pelan, Nak!” Bapak tertawa melihat tingkah gadis kecilnya. Dengan mulut belepotan coklat, El kecil lari ke kulkas dan memasukkan nugget ayam dan eskrim ke dalam pendingin yang pintunya sudah karatan dan penyok di beberapa bagian.

Mereka berdua duduk di teras semen yang beratap asbes. Tak hanya matahari, namun angin yang turut mengalir panas membuat udara terasa engap di perumahan yang berjejer lima pintu dalam satu atap.

Mereka tak peduli.

Sang Bapak yang lelah namun sumringah melihat anaknya makan jajan demi jajan dan selalu menggeleng saat anaknya menawarkan bungkusan demi bungkusan.

Hingga sang Bapak berbaring di lantai melepas lelah dan kantuk, El kecil masih terus ngganyang. Suara radio milik tetangga terputar pelan melantunkan campursari yang El kecil bisa pahami artinya namun tak pernah bisa ia ucapkan lafalnya. Enam bungkus beng-beng berserakan di lantai, wafer tango sudah terbuka dan habis setengah baris, sendok eskrim yang lengket dan gelas air minum yang kosong tergeletak di lantai.

El kecil kekenyangan.
El kecil bahagia.
El kecil menyusul Bapaknya tidur dengan senyum lebar di bibir yang masih belepotan coklat dan remah-remah wafer.

Kenapa dia ingin mengisolasi diri dia di saat singkat itu?

Karena:

“BRAKKK!!”

El kecil dikejutkan dengan bantingan pintu kamar bedeng. Bapaknya sudah tidak ada di sampingnya, bungkus kosong beng-beng juga sudah tidak ada, sendok bekas eskrim juga sudah tidak ada, gelas berikut sisa beng-beng yang masih ada di dalam kotak dan jajan-janan lainnya juga sudah tidak ada.

“GAJI LEMBUR BUKANNYA DIPAKE BAYAR UTANG MALAH DIPAKE BELI JAJAN!” Teriakan yang tak asing lagi dari siapa asalnya.

Diam.

El kecil duduk lesu mengamati selokan yang airnya hampir setengahnya dan tak mengalir. Matahari mulai hijrah meninggalkan jejak abu-abu dengan liris jingga yang menirai langit. Sebentar lagi maghrib.

“GA USAH MIKIRIN MAUNYA ANAK KECIL KALO BERAS AJA MASIH NGUTANG! AKU MALU DITAGIH TERUS SAMA WARUNG, PAK!”

“Iya Bu, besok aku yang bilang ke Mbak Yana soal utang kita.”

“KAMU JADI LAKI-LAKI GA BECUS! GA BECUS MIKIR! GA BECUS AMBIL TINDAKAN! KALO HIDUP CUMA MAU SIA-SIA KAYAK GINI, AKU MENDING JADI TKW AJA, NGIKUT BOSKU! LIAT AJA UDAH PADA KAYA TEMEN-TEMENKU, GA KERE TINGGAL DI PETAKAN DAN NABUNG UTANG!”

“Maafin aku, Bu. Ayo sama-sama sing sabar.”

Mata Ibu nanar melihat El kecil yang mengintip lewat celah pintu. Ibu berdiri, menghampiri El kecil, lalu tamparan, jeweran, dan jambakan bergantian mendarat di tubuh El kecil.

Bapak berteriak. Ibu berteriak.

El kecil menangis tak berani bersuara, karena semakin ia bersuara maka akan semakin banyak jumlah hantaman yang ia tanggung.

Bapak dan Ibu bersuara keras.

Kepala-kepala terlongok dari pintu-pintu bedeng. Ibu masuk bedeng lagi. Bapak memeluk El kecil. Ibu keluar bedeng. El masih meringkuk. Bapak berdiri.

Lalu semuanya berteriak dan berlari ke bedeng keluarga El.

Tubuh Bapak terkapar dengan pisau dapur yang tertancap di perutnya.

Tamparan, jambakan, tendangan, pukulan. El kecil tau caranya menangis tanpa suara, El tau caranya tidak menangis, El tau caranya melindungi diri agar tidak menerima lebih banyak lagi hantaman dari Ibunya.

Tapi melihat tubuh Bapaknya kejang dengan darah mengalir dari tempat pisau itu bersarang, El kecil mengeluarkan semua udara dalam paru-parunya, berteriak memanggil Bapaknya…

Apakah cerita ini nyata? Entahlah, dia juga kehilangan batas nyata dan tidak nyata saat dia banyak menyaksikan kekejian prilaku yang bisa dilakukan oleh manusia ke manusia lainnya.

Apakah ini mimpi? Dia juga tidak bisa membedakan apakah dia terbangun atau tertidur karena tak jarang tidur dengan mimpi indah adalah satu-satunya salvation/penyelamat namun selalu terjaga saat dia masih ingin diayun dalam tilam, dan tak sedikit mimpi buruk yang justru tak kunjung membuat diri terbangun.

What’s the point of being real or not when the only sure thing is being alive? Sadness and happiness are two fragilest interchangeable things.

Bukankah bertahan adalah satu-satunya hal yang makhluk hidup lakukan setiap hari sejak jaman purba hingga kini?

This is El’s survival story.

I know you will love her,
I know you will hate her,
I know you will kiss her,
I know you will kill her,

I know she will make you feel nothing.

This is Back To Black.

Diubah oleh ladeedah 19-11-2019 09:35
bukhorigan
belut.gawir
exotic89
exotic89 dan 23 lainnya memberi reputasi
24
15.4K
108
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
#9
Bagian 3: Raih Pasi
“Siap grakk!”
“Lencang depan grak!”
“Tegak grak!”
“Dua langkah ke kiri, jalan!”
“Istirahat di tempat grak!”

Hampir tiga jam murid-murid berseragam putih biru itu dibiarkan terpanggang sinar matahari. Pak Lukas, guru olahraga, beserta Pak Remo, guru BK, berdiri di sisi kanan barisan, mengamati para siswa dalam barisan satu persatu. Zen berperan sebagai ketua kelas yang memberi instruksi kepada teman-temannya. Sepoi angin siang timbul tenggelam terasa menyegarkan, namun timbul dalam waktu singkat dan tenggelam dalam waktu lama.

El berdiri di bagian paling kanan barisan. Di antara para siswi, El merupakan salah satu siswi yang memiliki postur tinggi sehingga ditempatkan di sisi kiri, tepat di belakang Gema. Tatapan yang diperintahkan untuk mengarah lurus sejajar membuat mata El terus terpaku pada tengkuk Gema meskipun sesekali melirik ke arah Pak Lukas dan Pak Remo atau ke sudut lapangan tempat anak-anak baru di orientasi.

Keluhan panas dan lelah mengisi gumam saat istirahat tiba. Pelatihan paskibra membuat pelajaran kelas dikorbankan beberapa jam, termasuk pelajaran Matematika yang sebenarnya El tunggu-tunggu untuk melihat Pak Damian lagi. Mereka belum merasakan cara Pak Damian mengajar sejak hari perkenalan waktu itu. El melihatnya beberapa kali lewat di depan kelas, terkadang dia juga mengobrol dengan beberapa siswa atau siswi dan tampak sangat akrab bahkan beberapa siswa berani toss dengannya.

El merasa cukup menjadi pengagum dari kejauhan.

El selalu menyimpan rasa iri untuk bisa menjadi bagian dari pertemanan, berjalan di lorong kelas dengan tawa tanpa peduli pada gugup akan kemungkinan penilaian orang lain. Sekarang, bertambah lagi daftar keirian El: El juga ingin berani menyapa Pak Damian, sama seperti halnya El ingin menyapa Zen atau Pras atau Nanda atau bahkan kakak kelas, sang pemegang strata pergaulan tertinggi di sekolah ini.

“Mbak El?”

El tersentak dari lamunan El yang terpaku pada lapangan berumput hijau yang tadi mereka hinggapi berjam-jam. Abimanyu memiringkan badannya, menjauh dari lingkarannya yang berisi para siswa penyuka manga. Setidaknya itu yang El kenal dari Abimanyu sejak kelas satu dulu, dia menyukai gundam dan komik Jepang yang disebut manga dan teman-teman dekatnya pun demikian. Obrolan mereka tidak pernah jauh dari Dragon Ball, One Piece dan sederet nama yang berkaitan dengan manga atau gundam.

“Boleh minta minum ga Mbak?” Abi melihat botol El yang masih tiga perempat isinya. El berikan botol minum padanya dan Abi meminum hampir setengahnya. Jakunnya naik turun saat air mengucur dari bibir botol ke dalam kerongkongannya.

“Aku boleh minta juga ga Mbak?” Rasyid, teman Abi menoleh ke El. El mengangguk.

Mereka kembali ke kelas setelah menambah satu sesi latihan lagi. Kepala El terasa cenat-cenut karena panas yang terik. Jam di atas papan tulis menunjukkan pukul 12:30. Bunyi kepakan buku tulis bersautan berlomba menghantarkan angin ke wajah dan leher para siswa yang terkapar diam di kursi masing-masing. Beberapa mulai ada yang meletakkan kepala di meja dan tidur.

“Pak Lukas udah ngasih tau siapa yang kepilih dari kelas kita nih!” Zen membuat semua kepala yang lesu mendongak ke arahnya.
“Dari kelas kita Gema sama Mbak El.” sambung Zen.

El melihat Gema mengepalkan tangannya bangga. Lalu ia toss dan adu kepal dengan teman-teman di sekitarnya.

Tidak ada yang mengajak El toss. Abimanyu dan beberapa orang lainnya melihat El canggung dengan senyum dan acungan jempol.

Sudah cukup buat El. Sudah biasa.

“Mbak El sama Gema disuruh ke kantor Pak Lukas pas pulang ya. Jangan lupa.” Tambah Zen. El mengangguk dan segera menunduk saat tatapan mata mereka bertemu.

Tak ada kegiatan yang mengisi kelas hingga lonceng berbunyi empat kali. El melihat Gema berjalan keluar kelas tanpa melihat El. El sempat mengira dengan ditunjuknya Gema dan dirinya sebagai perwakilan kelas, setidaknya Gema akan sama berharapnya seperti El: memiliki keterikatan kerja sama. El mengemasi buku dengan helaan nafas lesu. El terlalu berharap.

Gema sudah duduk di hadapan meja Pak Lukas saat El memasuki ruang guru. Para guru juga berdatangan masuk ruangan setelah mengajar, beberapa berkemas pulang. Ingin terucap “selamat siang, Pak, Bu,” tapi debar dalam dada El sudah tidak karuan.

El tidak pernah berada di dalam ruangan guru selain saat pendaftaran sekolah dulu. Melihat guru-guru di habitat mereka terasa seperti masuk ke dalam perkumpulan algojo. El berusaha berjalan dengan benar dan memaku tatapan ke lantai saat melewati meja demi meja menuju meja Pak Lukas di sisi ujung ruangan.

El melewati meja Pak Hamdan, guru Fisika. Beliau melihat El saat melewati depan mejanya, sorot matanya selalu tajam dan tidak pernah bercanda, membuat El semakin tegang karena tidak bersama teman-teman sekelas kali ini. Kali ini tatapannya hanya untuk El. El melewati meja Bu Siti, guru Biologi. Sama seperti Pak Hamdan, ia juga melihat El sambil memberesi kertas-kertas di mejanya.

Semua mata yang berhasil dia tangkap sorotnya lewat lirikan dan gelak tawa tiba-tiba di meja lainnya membuat ruang ini terasa sempit dan dia merasa menjadi satu-satunya pusat perhatian untuk dipanggil, mungkin diledek, atau ditanya sesuatu yang tidak ia ketahui jawabannya.

Perjalanan ke meja Pak Lukas terasa seperti mengitari lapangan sepak bola, dari ujung gawang ke ujung gawang, lengkap dengan fatamorgana di antaranya.

Akhirnya El tiba juga. Hanya ada satu kursi dan sudah diduduki Gema.

“Nah El datang juga!” Pak Lukas membuka laci dan membuka-buka lembaran kertas yang ada disana. Gema tidak menoleh ke El, dia melihat Pak Lukas yang sibuk mencari-cari yang dia cari.

El tersentak kaget saat ada yang menyentuh tengkuk lututnya.

“Silakan duduk, Mbak Hanum!” Pak Damian mendorong kursi untuknya. Dia ingin bilang terima kasih tapi hanya senyum yang dia yakini tampak gugup dan jelek di bibirnya. Bisa El lihat anggukan kecil Pak Damian. El ingin melihat matanya, tapi keberanian El hanya mempu melihat ke kerah kemeja, bibir, rambut, telinga, lengan, manapun kecuali matanya. Aroma wangi tubuhnya menyapa hidung El, terasa menyegarkan dan menenangkan di antara kalutnya rasa gugup.

“Kalian akan mulai latihan bersama hari Sabtu ini. Semua kelas sudah ada perwakilan dan latihan dilaksanakan di lapangan kantor Kecamatan karena nanti kalian upacaranya di lapangan Kecamatan. Totalnya ada 70 siswa dari sekolah-sekolah yang lain juga. Dari sekolah kita ada--” Pak Lukas menghitung nama-nama di catatannya,

“Dua belas orang. Nanti ada guru pendamping juga, belum saya tentukan karena harus diskusi dengan Pak Ardi dulu. Tolong jaga nama baik sekolah ya! Ini tolong diisi formulirnya sekarang.”

El menerima kertas dari Pak Lukas. Formulir data diri yang berisi nama, tanggal lahir dan sejenisnya.

El tidak menyukai mengisi formulir sejenis ini. Setiap baris yang harus dia isi terasa seperti melucuti informasi diri yang selalu ingin dia jaga rapat-rapat. Memberikannya lagi dan lagi membuat El merasa terpapar terhadap publik karena mengingatkan orang yang sudah tau dia tentang dia lagi, dan membuat mereka yang tidak mengenalnya menjadi kenal dan menambah daftar orang yang akan menganggapnya orang aneh. Keadaan seperti ini membuat ruang gerak El terasa semakin sempit.

Gema selesai lebih dahulu dan pamit kepada Pak Lukas untuk segera pulang karena ada latihan sepak bola, katanya. El tau dia tidak berbohong karena El ingat hari ini adalah hari Rabu dan Gema memang selalu latihan sepak bola di lapangan yang selalu dia lewati setiap hari Rabu.

El menyerahkan lembaran yang sudah diisi ke Pak Lukas. Pak Damian masih duduk dan menulis di beberapa lembar kertas kosong, ada angka-angka, kalimat dan garis-garis grafik. Matanya menatap tajam ke gerakan tangannya. Ada kerut tipis di dahinya yang tidak tampak saat dia berdiri di depan kelas. El ingin berpamitan tapi Pak Lukas tampak sibuk, Pak Damian juga. El takut suaranya akan mengganggu konsentrasi mereka.

El takut, suaranya tidak didengarkan dan dia akan kecewa saat tak ada tanggapan, terutama dari Pak Damian.

El memilih pergi tanpa bersuara.

Apakah ini sebuah pencapaian untuk El?

El tidak pernah mencapai apapun di sekolah, apalagi di luar sekolah, selain tentu saja usia yang bertambah, kelas yang bertambah. El sudah biasa dengan menjadi biasa.

Teman-teman seusia El sudah duduk di bangku SMA, sementara El masih di kelas dua SMP akibat hempasan dalam bahtera hidup. Tak sedikit teman-teman sekelas El saat ini adalah adik kelas semasa SD. Gema, Abimanyu, Nanda, Ratika, adalah beberapa yang mampu El ingat pernah satu sekolah.

Kini El berada di kelas yang hampir semuanya memanggilnya Mbak, bahkan siswa kelas tiga juga memanggilnya Mbak. Kecuali Jojo dan Gema, mereka tidak memanggilnya Mbak. Gema, Jojo dan El hidup di lingkungan perumahan yang sama. Mereka tidak pernah saling bersinggungan apalagi saling sapa, namun mereka saling tau kehidupan masing-masing.

Gema dan Jojo, El bisa melihat mereka selalu menatap El dengan tatapan tidak suka. Mungkin banyak alasan yang bisa mereka jabarkan jika ada yang bertanya “kenapa lo ga suka El?”
Tapi apa pentingnya bagi El untuk tau? Apakah El akan merubah diri agar mereka sukai? Apakah El akan merubah masa lalu untuk bisa diterima? Seandainya El bisa, akan El ubah.

Terpilih menjadi anggota paskibra tidak pernah dia impikan apalagi dia inginkan. Ini adalah pertama kalinya ada seleksi seperti ini dan entah mengapa dia terpilih, sebenarnya dia tak ingin, tapi dia terlalu takut dan tak akan ada gunanya juga menolak. Tak ada perasaan selain khawatir akan seperti apa latihan hari Sabtu nanti, bersama orang-orang yang mungkin dia kenal, yang mungkin kenal dia, atau benar-benar baru. Semua kemungkinannya membuat perutnya mulas karena gugup.

El tiba di rumah. Plastik-plastik dan daun pisang sisa membuat tempe semalam berserakan di teras depan. Pasti ulah angin. El bereskan dan dia timpa dengan bata yang biasa digunakan untuk membuat pawon (tempat memasak dengan kayu sebagai bahan bakar).

“Mainannya diberesin lagi dong Yasa kalo habis mainan.”

Gadis kecil berambut keriting terkucir dua meringis saat melihat El datang memamerkan empat gigi geripisnya di jajaran depan atas. Di tangannya ada sebatang coklat yang—mungkin hanya sedikit yang masuk ke mulut—sisanya teroles di pipi, perut dan lehernya.

Seragam kotak-kotaknya masih belum ganti tapi sudah mustahil untuk bisa dipakai esok pagi. Ini adalah satu-satunya seragam yang Yasa punya. El segera menariknya berdiri dan lucuti pakaiannya untuk direndam di ember.

“Nanti malem tolong ambilin dele (kedelai) di rumah Mbak Farah ya El!” perintah Mbak Diana dari dapur.
“Iya.” Jawab El singkat sambil menggiring Yasa ke kamar mandi. Setengah jam kemudian Yasa sudah tampil manis dengan badan bersih, pakaian bersih, bedak putih tebal di wajah polosnya, serta rambut basah hasil keramas.

El tertawa melihat Yasa menarik-narik kursi di dapur, teringat pada Pak Damian yang menggeser kursi untuk El tadi siang.

Dimana Pak Damian tinggal ya?

Kota tempatnya tinggal bukanlah kota yang besar. Tidak layak pula disebut kota, pinggiran kota yang sedang berusaha berkembang menjadi kota tepatnya. Apakah Pak Damian sudah punya istri dan anak? Seperti apa rumahnya? Seperti apa rumah tangganya?

Ada bersit cemburu yang lancang saat membayangkan wanita pendamping Pak Damian, namun segera El tepis dengan mengangkat Yasa ke atas kursi dan menghidangkan nasi beserta sayur bayam ke piringnya.

Lepas petang El melaksanakan perintah Mbak Diana untuk mengambil kedelai. Mbak Diana dan suaminya memiliki usaha membuat tempe. El kadang membantu mereka membuat tempe jika tidak banyak tugas, tapi El pasti membantu Mas Langit mengantarkan tempe-tempe yang sudah jadi ke pelanggan-pelanggan tetap mereka di pasar setiap pagi.

Rumah Mbak Farah tidak terlalu jauh dari rumah dan kedelai yang harus El ambil juga tidak terlampau banyak malam ini, hanya dua kilogram, sehingga El putuskan untuk berjalan kaki. Lapangan tempat Gema latihan sore tadi ramai dengan mereka yang membutuhkan privasi gratis bersama pacar-pacarnya. Beberapa motor terparkir di sudut gelap lapangan. Beberapa pasang insan manusia duduk di atas motor berdekapan, ada juga yang membawa gitar dengan genjrengan sayup. Suara cekikikan, tawa dan obrolan pelan juga bisa El dengar di sepanjang jalan sisi lapangan.

El membopong kresek kedelai dengan dua tangan, dengan begini dia tidak merasakan berat sebelah. Belok kanan, menyebrangi jalan, dan...

...matanya terhenti pada toko Bu Salma, salah satu toko bermodel swalayan di kota ini. El juga sering belanja di tokonya untuk mencari barang-barang yang tidak ada di warung dekat rumah.

Dari luar kaca toko, dia bisa melihat Pak Damian sedang mengamati barang di rak. El hafal itu rak jajanan. Dari tempat El berdiri El bisa melihat setengah badan pak Damian secara utuh. Dia benar-benar tampan. Warna kulitnya, hidungnya, keningnya, bentuk bibirnya, posturnya.

Pak Damian membereskan urusannya di kasir dekat pintu lalu keluar toko dengan kresek penuh belanjaan. El masih bergeming di seberang jalan yang tak cukup besar. Namun lampu jalan yang terhalang pohon mangga membuat El tersembunyi. Pak Damian menyangkutkan kresek belanjaan di motornya lalu meninggalkan toko. Kedua lutut El terasa lemas melihat Pak Damian bisa menjadi manusia biasa juga, manusia dalam balutan kaos berkerah, bukan batik seragam guru, bercelana pendek selutut, bukan celana panjang bahan untuk ke kantor.

“Namanya bagus sekali, saya harus panggil siapa?”
“Silakan duduk, Mbak Hanum!”


El dekap erat kresek kedelai untuk meredam debar, meresapi kedekatan kalimat sapa Pak Damian dan imajinasi El.

Aku akan ingat Pak Damian seumur hidupku...gumamnya.
Diubah oleh ladeedah 19-11-2019 10:14
anonymcoy02
EriksaRizkiM
johny251976
johny251976 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.