- Beranda
- Stories from the Heart
JATMIKO THE SERIES
...
TS
breaking182
JATMIKO THE SERIES
JATMIKO THE SERIES
Quote:
EPISODE 1 : MISTERI MAYAT TERPOTONG
Quote:
EPISODE 2 : MAHKLUK SEBERANG ZAMAN
Quote:
EPISODE 3 : HANCURNYA ISTANA IBLIS
Diubah oleh breaking182 07-02-2021 01:28
itkgid dan 26 lainnya memberi reputasi
25
58K
Kutip
219
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#108
PART 13
Quote:
EMPAT hari sudah Mia tinggal dalam penyamaran di pemukiman di atas bukit. Dito seperti biasa selalu pergi pagi – pagi dan pulang menjelang malam dengan alasan pekerjaannya sebagai wartawan musti mengejar berita dan tidak bisa hanya berdiam diri. Mia tahu karena profesinya sama dengan Dito sehingga ia tidak memusingkan hal itu. Baginya tinggal di pemukiman ini sudah sangat dekat dengan apa yang dicarinya. Parlin nama lelaki misterius pemilik pabrik pengolahan kayu lapis yang konon menurut desas – desus erat hubungannya dengan kasus yang sedang diselidiki.
Satu - satunya lampu yang menyala di dalam kamar itu, hanya lampu baca di meja. Biasnya yang lemah menerpa tubuh Dito yang mondar-mandir, dan menimbulkan bayang-bayang misterius di lantai dan di dinding tembok.
"Aku sebenarnya ingin memulai penyelidikan ke rumah Parlin. Seperti yang kau katakan ternyata benar orang itu tinggal di pemukiman ini. Bahkan, kau sudah melihat wajah dan tempat tinggalnya Mia ", katanya, seraya tiba - tiba menghentikan langkah begitu saja.
Lalu memandang ke wajah Mia, yang duduk gelisah dekat meja sembari jemarinya yang memegang pena menari –nari di atas sebuah buku kecil.
" Kita harus berhati –hati Dit, rumahnya sangat menyeramkan. Jangan sampai kita salah langkah. Ini hari ke empat kita berada di tempat ini. Kalau bisa secepatnya kita harus mendapatkan keterangan dan bukti –bukti yang kuat. Misal, informasi dimana sebenarnya pasangan –pasangan yang hilang secara misterius itu ada dimana. Kalaupun mereka semua mati dimana mayatnya dikuburkan”
Dito menelan ludah, baru meneruskan hati-hati: "Aku pun sebenarnya mulai gentar Mia, ternyata kasus ini kasus yang teramat berat ....."
"Kita tidak boleh menyerah sampai disini," Mia memberi semangat. Namun dengan suara kering.
Dito mengangguk sembari membuka jendela, seketika kegelapan terlihat di depan mata. Pemuda berambut ikal sebahu itu segera mengorek saku kemejanya. Dikeluarkan satu batang rokok, disulut dengan pemantik lalu diselipkan di sela –sela bibir. Tidak lama kemudian asap tipis menghambur dari rongga mulut dan terbang terbawa angin malam.
“ Hei Mia, kau kenapa ?”
Dito buru –buru melemparkan rokoknya yang masih separuh lebih itu keluar jendela, karena dilihatnya Mia memegangi kepala sembari mengeluh lirih.
“ Kepalaku sakit sekali Dit...aduh...Sangat pening, mataku juga sudah mulai berkunang –kunang “
Mia menutup telinga dengan kedua jarinya. Ia merasa telinganya berdenging –denging. Denging itu lenyap perlahan - lahan. Akan tetapi kepalanya perlahan-lahan pula mulai terasa bertambah pening. Melihat wajah Mia yang berubah pucat. Dito makin terkejut dan panik. Ia usap wajah itu. Ia pijit bagian-bagian tubuh Mia yang ia perkirakan telah menerbitkan rasa sakit.
"Ada apa, sebenarnya apa yang terjadi?"
"Pusing. Pusing sekali kepalaku Dito. Rasanya berputar - putar....”
Mia berkeluh kesah: "Tolong ambilkan obat yang diberikan oleh dokter Usman “
"Dimana kau simpan?"
"Dalam laci lemari...."
Tak lama setelahnya: “ Ini, minumlah”
Berturut-turut Mia menelan dua butir pil, dua butir kapsul dan sebungkus puyer dengan bantuan segelas air hangat. Denyut - denyut di belakang kepalanya semakin hilang sesudah ia rebah beberapa saat dengan mata terpejam. Tidak lama kemudian ia hanyut dalam lelap. Gangguan yang pernah ia alami empat hari yang lalu setelah ia menelan obat yang sama. Perasaan mengantuk serta perasaan hati yang nyaman dan tentram dibarengi dengan pandangan kabur. Serta sepasang kelopak matanya yang terasa berat dan teramat sulit untuk dibuka.
Mia berusaha untuk menahan rasa kantuknya. Ia buka mata. Ia lebarkan sekuat tenaga. Pandangannya mengabur dan samar. Ia lihat sosok tubuh Dito menjauh dengan gerakan lambat. Dan lenyap dalam kegelapan. Tidak berapa lama bayangan seseorang berjubah hitam muncul lagi. Mula - mula hanya seorang diri, kemudian muncul seorang lagi, lagi dan lagi. Dari satu menjadi dua, tiga, empat.... Atau lima, tujuh, sebelas. Terdengarlah suara gumaman dari orang –orang itu seperti menyenandungkan lagu –lagu yang aneh. Bukan, itu bukan lagu lebih menyerupai sebuah mantera yang sangat ganjil.
Lalu bisikan halus, terdengar diambang kesadaran Mia yang mulai terenggut. Seingatnya, berbunyi begini .
"Hati hati... pelan sedikit...”
Kemudian tubuh Mia seolah direnggut tangan – tangan kasar. Diangkat. Melayang - layang entah kemana.
Satu - satunya lampu yang menyala di dalam kamar itu, hanya lampu baca di meja. Biasnya yang lemah menerpa tubuh Dito yang mondar-mandir, dan menimbulkan bayang-bayang misterius di lantai dan di dinding tembok.
"Aku sebenarnya ingin memulai penyelidikan ke rumah Parlin. Seperti yang kau katakan ternyata benar orang itu tinggal di pemukiman ini. Bahkan, kau sudah melihat wajah dan tempat tinggalnya Mia ", katanya, seraya tiba - tiba menghentikan langkah begitu saja.
Lalu memandang ke wajah Mia, yang duduk gelisah dekat meja sembari jemarinya yang memegang pena menari –nari di atas sebuah buku kecil.
" Kita harus berhati –hati Dit, rumahnya sangat menyeramkan. Jangan sampai kita salah langkah. Ini hari ke empat kita berada di tempat ini. Kalau bisa secepatnya kita harus mendapatkan keterangan dan bukti –bukti yang kuat. Misal, informasi dimana sebenarnya pasangan –pasangan yang hilang secara misterius itu ada dimana. Kalaupun mereka semua mati dimana mayatnya dikuburkan”
Dito menelan ludah, baru meneruskan hati-hati: "Aku pun sebenarnya mulai gentar Mia, ternyata kasus ini kasus yang teramat berat ....."
"Kita tidak boleh menyerah sampai disini," Mia memberi semangat. Namun dengan suara kering.
Dito mengangguk sembari membuka jendela, seketika kegelapan terlihat di depan mata. Pemuda berambut ikal sebahu itu segera mengorek saku kemejanya. Dikeluarkan satu batang rokok, disulut dengan pemantik lalu diselipkan di sela –sela bibir. Tidak lama kemudian asap tipis menghambur dari rongga mulut dan terbang terbawa angin malam.
“ Hei Mia, kau kenapa ?”
Dito buru –buru melemparkan rokoknya yang masih separuh lebih itu keluar jendela, karena dilihatnya Mia memegangi kepala sembari mengeluh lirih.
“ Kepalaku sakit sekali Dit...aduh...Sangat pening, mataku juga sudah mulai berkunang –kunang “
Mia menutup telinga dengan kedua jarinya. Ia merasa telinganya berdenging –denging. Denging itu lenyap perlahan - lahan. Akan tetapi kepalanya perlahan-lahan pula mulai terasa bertambah pening. Melihat wajah Mia yang berubah pucat. Dito makin terkejut dan panik. Ia usap wajah itu. Ia pijit bagian-bagian tubuh Mia yang ia perkirakan telah menerbitkan rasa sakit.
"Ada apa, sebenarnya apa yang terjadi?"
"Pusing. Pusing sekali kepalaku Dito. Rasanya berputar - putar....”
Mia berkeluh kesah: "Tolong ambilkan obat yang diberikan oleh dokter Usman “
"Dimana kau simpan?"
"Dalam laci lemari...."
Tak lama setelahnya: “ Ini, minumlah”
Berturut-turut Mia menelan dua butir pil, dua butir kapsul dan sebungkus puyer dengan bantuan segelas air hangat. Denyut - denyut di belakang kepalanya semakin hilang sesudah ia rebah beberapa saat dengan mata terpejam. Tidak lama kemudian ia hanyut dalam lelap. Gangguan yang pernah ia alami empat hari yang lalu setelah ia menelan obat yang sama. Perasaan mengantuk serta perasaan hati yang nyaman dan tentram dibarengi dengan pandangan kabur. Serta sepasang kelopak matanya yang terasa berat dan teramat sulit untuk dibuka.
Mia berusaha untuk menahan rasa kantuknya. Ia buka mata. Ia lebarkan sekuat tenaga. Pandangannya mengabur dan samar. Ia lihat sosok tubuh Dito menjauh dengan gerakan lambat. Dan lenyap dalam kegelapan. Tidak berapa lama bayangan seseorang berjubah hitam muncul lagi. Mula - mula hanya seorang diri, kemudian muncul seorang lagi, lagi dan lagi. Dari satu menjadi dua, tiga, empat.... Atau lima, tujuh, sebelas. Terdengarlah suara gumaman dari orang –orang itu seperti menyenandungkan lagu –lagu yang aneh. Bukan, itu bukan lagu lebih menyerupai sebuah mantera yang sangat ganjil.
Lalu bisikan halus, terdengar diambang kesadaran Mia yang mulai terenggut. Seingatnya, berbunyi begini .
"Hati hati... pelan sedikit...”
Kemudian tubuh Mia seolah direnggut tangan – tangan kasar. Diangkat. Melayang - layang entah kemana.
Quote:
MIA tidak tahu berapa lama ia seolah melayang - layang itu. Rasanya naik turun tidak menentu. Barangkali ia telah jatuh pingsan atau mungkin tertidur lelap seperti orang mati. Waktu ia buka matanya lagi, kegelapan kian menyelimuti diri. Ia merasakan udara dingin yang teramat sangat seperti mecucuk kulit. Di bawah punggungnya yang terbaring bukan saja dingin. Malah rasanya keras seperti di atas permukaan batu. Sebelah kakinya seperti terjuntai pada semacam pinggiran yang kasar.
Ia mulai takut.
"Dito, Bu Barda, Pak Barda?" dengan bibir gemetar ia memanggil manggil.
" Di mana kalian?"
Sunyi senyap hanya kegelapan yang semakin mencekik. Sekejap kemudian bermunculan bayangan – bayangan dalam kegelapan itu. Sosok - sosok bayangan kabur. Mia berusaha membuka matanya lebar –lebar.
" Aneh sekali rasanya di sini. Sangat gelap dan dingin. Rasanya aku melihat rembulan yang pucat .Jauh. jauh, jauh dan tinggi tinggi sekali “
“ Dan siapa kalian, mengapa kalian membawa aku ke tempat ini ?”
Tak ada jawaban apa-apa. Bayangan – bayangan hitam yang berdiri kokoh membisu seperti batu nisan. Mia semakin cemas. Ketakutan semakin mengoyak jiwanya. ia membuka matanya semakin lebar. Bayangan rembulan kian membesar. Juga bayangan lain di sekelilingnya. Bayangan batu - batu raksasa menjulang hitam, membusung seram. Ia juga menicum bau rerumputan basah oleh embun. Bau rempah dan reramuan santer tercium.
Tiba –tiba salah satu dari bayangan hitam itu berjalan mendekat, tidak berapa lama sudah tepat berjongkok di hadapannya. Lalu dengan kasar kedua kakinya telah dilebarkan oleh tangan - tangan yang kuat dan kokoh. Mia hendak melawan akan tetapi sekujur tubuhnya seperti lumpuh, hanya matanya saja yang semakin melotot. Mulutnya tiba –tiba serasa terkunci tidak mampu berteriak.
Angin malam berhembus perlahan dan makin lama makin bertambah kencang. Udara bertambah dingin. Sesaat Mia menegang manakala terdengar suara lolongan yang pernah ia dengar lima hari yang lalu. Sayup- sayup jauh. Lolongan anjing itu kemudian disusul suara - suara bergumam seperti melafalkan sebuah doa –doa yang ganjil. Angin seolah mengguruh dengan tiba tiba.
Panik semakin melanda Mia. Ia goyang goyang kepala ke kiri kanan, ia guncang - guncangkan. Namun hanya sia –sia tubuhnya kaku sama sekali tidak bergeming. Tampak bayang - bayang kabur lebih banyak dari tadi. Bayangan itu terdiri dari sosok-sosok tubuh yang aneh -aneh. Bergerak di sekeliling tempatnya berbaring, maju mundur, berputar dan sesekali serempak mencondongkan tubuh dengan wajah seakan mau menerkam Mia bersama - sama. Dan wajah wajah itu tertutup sebuah topeng dengan wajah yang sangat menyeramkan. Guntur menggelegar di angkasa. Lolongan anjing dikejauhan sekarang bersahut - sahutan.
Lalu ia lihat bayangan sesosok tubuh yang tadi sempat merenggangkan sepasang kakinya mendekati
tempat Mia berbaring. Bersimpuh diantara kedua kakinya.
" Kau siapa ?"' Mia berbisik ngeri.
Mia melotot sekonyong - konyong pada saat ia merasakan rabaan tangan pada kedua betis yang perlahan-lahan tetapi pasti. Naik sampai ke pahanya. Mengelus, menekan, meremas, mencengkeram. Disertai dengus nafas yang berat. Bayangan tubuh itu tegak. Tinggi menjulang. Hitam kecoklatan. Dan tiba –tiba kepala dari bayangan hitam itu terlepas dari batang lehernya. Pada saat itulah Mia menemukan kesadarannya. Tubuhnya serasa ringan untuk digerakkan. Sebisa mungkin tangannya memukul mendorong sementara kedua kakinya menjejak kesana kemari. Bahkan, dengan satu hentakan Mia telah mampu berdiri dari tempatnya terbaring. Dan tidak tahu dari mana datangnya sebuah pukulan keras mendera tengkuk Mia. Gadis itu terhempas jatuh terkapar di rerumputan. Diam.
Ia mulai takut.
"Dito, Bu Barda, Pak Barda?" dengan bibir gemetar ia memanggil manggil.
" Di mana kalian?"
Sunyi senyap hanya kegelapan yang semakin mencekik. Sekejap kemudian bermunculan bayangan – bayangan dalam kegelapan itu. Sosok - sosok bayangan kabur. Mia berusaha membuka matanya lebar –lebar.
" Aneh sekali rasanya di sini. Sangat gelap dan dingin. Rasanya aku melihat rembulan yang pucat .Jauh. jauh, jauh dan tinggi tinggi sekali “
“ Dan siapa kalian, mengapa kalian membawa aku ke tempat ini ?”
Tak ada jawaban apa-apa. Bayangan – bayangan hitam yang berdiri kokoh membisu seperti batu nisan. Mia semakin cemas. Ketakutan semakin mengoyak jiwanya. ia membuka matanya semakin lebar. Bayangan rembulan kian membesar. Juga bayangan lain di sekelilingnya. Bayangan batu - batu raksasa menjulang hitam, membusung seram. Ia juga menicum bau rerumputan basah oleh embun. Bau rempah dan reramuan santer tercium.
Tiba –tiba salah satu dari bayangan hitam itu berjalan mendekat, tidak berapa lama sudah tepat berjongkok di hadapannya. Lalu dengan kasar kedua kakinya telah dilebarkan oleh tangan - tangan yang kuat dan kokoh. Mia hendak melawan akan tetapi sekujur tubuhnya seperti lumpuh, hanya matanya saja yang semakin melotot. Mulutnya tiba –tiba serasa terkunci tidak mampu berteriak.
Angin malam berhembus perlahan dan makin lama makin bertambah kencang. Udara bertambah dingin. Sesaat Mia menegang manakala terdengar suara lolongan yang pernah ia dengar lima hari yang lalu. Sayup- sayup jauh. Lolongan anjing itu kemudian disusul suara - suara bergumam seperti melafalkan sebuah doa –doa yang ganjil. Angin seolah mengguruh dengan tiba tiba.
Panik semakin melanda Mia. Ia goyang goyang kepala ke kiri kanan, ia guncang - guncangkan. Namun hanya sia –sia tubuhnya kaku sama sekali tidak bergeming. Tampak bayang - bayang kabur lebih banyak dari tadi. Bayangan itu terdiri dari sosok-sosok tubuh yang aneh -aneh. Bergerak di sekeliling tempatnya berbaring, maju mundur, berputar dan sesekali serempak mencondongkan tubuh dengan wajah seakan mau menerkam Mia bersama - sama. Dan wajah wajah itu tertutup sebuah topeng dengan wajah yang sangat menyeramkan. Guntur menggelegar di angkasa. Lolongan anjing dikejauhan sekarang bersahut - sahutan.
Lalu ia lihat bayangan sesosok tubuh yang tadi sempat merenggangkan sepasang kakinya mendekati
tempat Mia berbaring. Bersimpuh diantara kedua kakinya.
" Kau siapa ?"' Mia berbisik ngeri.
Mia melotot sekonyong - konyong pada saat ia merasakan rabaan tangan pada kedua betis yang perlahan-lahan tetapi pasti. Naik sampai ke pahanya. Mengelus, menekan, meremas, mencengkeram. Disertai dengus nafas yang berat. Bayangan tubuh itu tegak. Tinggi menjulang. Hitam kecoklatan. Dan tiba –tiba kepala dari bayangan hitam itu terlepas dari batang lehernya. Pada saat itulah Mia menemukan kesadarannya. Tubuhnya serasa ringan untuk digerakkan. Sebisa mungkin tangannya memukul mendorong sementara kedua kakinya menjejak kesana kemari. Bahkan, dengan satu hentakan Mia telah mampu berdiri dari tempatnya terbaring. Dan tidak tahu dari mana datangnya sebuah pukulan keras mendera tengkuk Mia. Gadis itu terhempas jatuh terkapar di rerumputan. Diam.
Quote:
Mia membuka matanya perlahan - lahan. Sekujur tubuhnya terasa letih lunglai. Jendela kamar tidur masih tertutup. Juga gorden. Namun cahaya matahari pagi sekuat tenaga menerobos masuk ke dalam kamar melalui ventilasi menghasilkan cahaya samar yang temaram. Belakang kepala Mia berdenyut keras waktu ia coba duduk. la meringis menggigit bibir. Denyut itu lenyap dengan lambat. lalu dengan mata yang mengerjap – ngerjap membiasakan diri, Mia akhirnya melihat sprei tempat tidur yang berantakan. Sebuah bantal terguling sampai ke dekat pintu. Dan selimut teronggok tak berdaya di kaki tempat tidur.
"Sudah bangun Mia"
Suara lirih itu terdengar. Mia memalingkan kepala ke arah pintu. Dito melempar seulas senyuman hangat.
“ Nyenyak benar tidurmu." Ia berujar.
“ Tidur ?"
Mia mengamat-amati setiap inci kamar tidur itu. Setiap jengkal ranjang yang ia pergunakan untuk tidur. Hangat di dalam. Tidak dingin. Tidak ada bau rerumputan dan rempah –rempah. Tak ada pula lolongan anjing dan suara bayang –bayang orang misterius bertopeng semnari melafalkan doa –doa yang ganjil.
"Memikirkan sesuatu" Dito duduk di sampingnya sembari meletakkan dua cangkir kopi yang masih mengepulkan asap.
“ Rasanya.. rasanya....Aku bermimpi. Mimpi yang sangat buruk!"
“ Ahhh Pantas kau meronta - ronta dalam tidurmu. Hanya aneh ketika kubangunkan, kau justru menendang –nendangku “
“Oh, ya?" Mia benar –benar bingung.
“ Tetapi banyak sekali orang berjubah hitam. Wajahnya ditutup menggunakan topeng yang sangat menyeramkan. Ada pula manusia besar, hitam, dan.......tidak memiliki kepala "
Dito tertegun, namun tidak berkata apa - apa.
“ Telah dua kali aku memimpikan hal yang sama, Dito. Ataukah itu suatu kejadian nyata? Belum lama ini, rasanya aku menyelinap ke kamar depan. Waktu itu hujan sedang deras -derasnya. Aku dengar suara -suara aneh. Lalu aku mengintip dari jendela. Dan aku melihatnya....hantu tanpa kepala"
Sambil berdesah dengan nafas sesak. Dito menghibur : “Betapa jelek mimpi seperti itu “
“Tidak"
Mia menggelengkan kepalanya.
“ Kejadian itu sangatlah nyata dan bukan mimpi. Waktu itu aku jatuh pingsan. Terhempas ke lantai, karena ada sepenggal kepala yang masih berlumuran darah teronggok di atas meja ruangan tengah. Ketika aku bangun esok siangnya. Tiba – tiba saja kepalaku sakit. Bekas jatuh. Apakah kau yang menggosoknya dengan obat urut?"
"He eh", Dito menjawab pendek sambil menyeruput kopi di dalam cangkir.
“ Jadi kau yang mengangkatku ke tempat tidur dari ruang tengah?!"
“ Tak ada yang mengangkatmu ke tempat tidur dari ruangan tengah. Dengarlah, malam itu kau tidur gelisah sekali. Menjelang dinihari, aku terbangun dan melihat kau tergeletak di lantai. Kukira kau terjatuh dari tempat tidurmu. Kau tertidur nyenyak. Susah dibangunkan tanpa sengaja aku meraba benjolan di belakang kepalamu lalu kugosok dengan obat urut “
“ Dan ....tadi malam", Mia terengah-engah.
“ Hampir mustahil! Kalau itu hanya sekedar mimpi!”
"Tadi malam", Dito tertawa sumbang.
" Seperti malam kemarin, tidurmu sangat gelisah. Bahkan, sempat mengigau dan berteriak –teriak. Aku berusaha membangunkan mu malah kau pukul dan tendang –tendang begitu rupa. Ada apa sebenarnya Mia? Kau gelisah memikirkan kasus ini? “
Terkejut, Mia memandang kearah Dito.
“ Benarkah itu ? “, Mia berbisik lirih.
Dito tersenyum tipis, lalu pemuda itu segera beranjak dari tempatnya duduk.
“ Aku sudah terlambat, tadi malam ada janji dengan Pak Parman. Beliau baru saja hendak menangkap seorang gembong narkotik yang tengah kabur dari kejaran aparat di Jakarta. Dan ini berita ekslusif. Aku harus dapat berita ini secepatnya. Sebelum diendus oleh media lain “
Dito bangkit bergegas. Berpakaian seadanya dengan diawasi oleh Mia dengan mata tidak berkedip.
"Sudah bangun Mia"
Suara lirih itu terdengar. Mia memalingkan kepala ke arah pintu. Dito melempar seulas senyuman hangat.
“ Nyenyak benar tidurmu." Ia berujar.
“ Tidur ?"
Mia mengamat-amati setiap inci kamar tidur itu. Setiap jengkal ranjang yang ia pergunakan untuk tidur. Hangat di dalam. Tidak dingin. Tidak ada bau rerumputan dan rempah –rempah. Tak ada pula lolongan anjing dan suara bayang –bayang orang misterius bertopeng semnari melafalkan doa –doa yang ganjil.
"Memikirkan sesuatu" Dito duduk di sampingnya sembari meletakkan dua cangkir kopi yang masih mengepulkan asap.
“ Rasanya.. rasanya....Aku bermimpi. Mimpi yang sangat buruk!"
“ Ahhh Pantas kau meronta - ronta dalam tidurmu. Hanya aneh ketika kubangunkan, kau justru menendang –nendangku “
“Oh, ya?" Mia benar –benar bingung.
“ Tetapi banyak sekali orang berjubah hitam. Wajahnya ditutup menggunakan topeng yang sangat menyeramkan. Ada pula manusia besar, hitam, dan.......tidak memiliki kepala "
Dito tertegun, namun tidak berkata apa - apa.
“ Telah dua kali aku memimpikan hal yang sama, Dito. Ataukah itu suatu kejadian nyata? Belum lama ini, rasanya aku menyelinap ke kamar depan. Waktu itu hujan sedang deras -derasnya. Aku dengar suara -suara aneh. Lalu aku mengintip dari jendela. Dan aku melihatnya....hantu tanpa kepala"
Sambil berdesah dengan nafas sesak. Dito menghibur : “Betapa jelek mimpi seperti itu “
“Tidak"
Mia menggelengkan kepalanya.
“ Kejadian itu sangatlah nyata dan bukan mimpi. Waktu itu aku jatuh pingsan. Terhempas ke lantai, karena ada sepenggal kepala yang masih berlumuran darah teronggok di atas meja ruangan tengah. Ketika aku bangun esok siangnya. Tiba – tiba saja kepalaku sakit. Bekas jatuh. Apakah kau yang menggosoknya dengan obat urut?"
"He eh", Dito menjawab pendek sambil menyeruput kopi di dalam cangkir.
“ Jadi kau yang mengangkatku ke tempat tidur dari ruang tengah?!"
“ Tak ada yang mengangkatmu ke tempat tidur dari ruangan tengah. Dengarlah, malam itu kau tidur gelisah sekali. Menjelang dinihari, aku terbangun dan melihat kau tergeletak di lantai. Kukira kau terjatuh dari tempat tidurmu. Kau tertidur nyenyak. Susah dibangunkan tanpa sengaja aku meraba benjolan di belakang kepalamu lalu kugosok dengan obat urut “
“ Dan ....tadi malam", Mia terengah-engah.
“ Hampir mustahil! Kalau itu hanya sekedar mimpi!”
"Tadi malam", Dito tertawa sumbang.
" Seperti malam kemarin, tidurmu sangat gelisah. Bahkan, sempat mengigau dan berteriak –teriak. Aku berusaha membangunkan mu malah kau pukul dan tendang –tendang begitu rupa. Ada apa sebenarnya Mia? Kau gelisah memikirkan kasus ini? “
Terkejut, Mia memandang kearah Dito.
“ Benarkah itu ? “, Mia berbisik lirih.
Dito tersenyum tipis, lalu pemuda itu segera beranjak dari tempatnya duduk.
“ Aku sudah terlambat, tadi malam ada janji dengan Pak Parman. Beliau baru saja hendak menangkap seorang gembong narkotik yang tengah kabur dari kejaran aparat di Jakarta. Dan ini berita ekslusif. Aku harus dapat berita ini secepatnya. Sebelum diendus oleh media lain “
Dito bangkit bergegas. Berpakaian seadanya dengan diawasi oleh Mia dengan mata tidak berkedip.
Diubah oleh breaking182 08-10-2019 01:40
jiresh dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas