- Beranda
- Stories from the Heart
JATMIKO THE SERIES
...
TS
breaking182
JATMIKO THE SERIES
JATMIKO THE SERIES
Quote:
EPISODE 1 : MISTERI MAYAT TERPOTONG
Quote:
EPISODE 2 : MAHKLUK SEBERANG ZAMAN
Quote:
EPISODE 3 : HANCURNYA ISTANA IBLIS
Diubah oleh breaking182 07-02-2021 01:28
itkgid dan 26 lainnya memberi reputasi
25
58K
Kutip
219
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#107
PART 12
Quote:
Mia berhenti disebuah rumah yang termasuk mewah dibandingkan dengan rumah –rumah yang lain di pemukiman itu. Halamannya luas, di beberapa sudut tampak pohon mangga menjulang dengan kokoh. Sebuah kebun bunga tampak berseri dalam siraman sinar matahari siang. Teras dengan tegel berwarna kuning. Dan bentuk jendela kaca yang sedang populer di kota besar. Sepi di dalam.
Hanya cahaya temaram yang terlihat keluar dari sela –sela ventilasi dan tirai tipis yang menutup jendela kaca tadi.
Mia lantas mengetuk pintu. Tidak ada sahutan dari dalam. Kembali lagi Mia mengetuk pintu. Lebih keras.
Lalu ada suara langkah –langkah kaki. Tertegun –tegun dan agak kaku. Seketika Mia melihat bayangan tubuh seorang perempuan tua di ambang pintu yang telah terbuka.
Seorang perempuan yang sudah berusia lima puluh tujuh tahun menyambut Mia dengan ramah tamah. Perempuan itu bertubuh ramping dan berdirinya masih terlihat kokoh dalam usia yang sudah mulai lanjut. Sudah dapat dipastikan perempuan tua itu adalah istri dari dokter Usman. Karena menurut penjelasan Bu Barda dokter Usman hanya tinggal berdua saja dengan istrinya.
“ Selamat siang Bu “, Mia menyapa seramah mungkin.
“ Kau Mia, pasangan baru yang tinggal di rumah Pak Barda? “
Mia mengangguk sembari tersenyum, “ Iya Bu “
“ Ayo nak Mia, silahkan masuk. Kebetulan ada kau datang sehingga aku tidak merasa kesepian hari ini “
“ Ya, Bu “
Lalu istri dokter Usman menyisi memberi jalan.
Mia segera berada di ruang tamu yang cukup besar, dilengkapi dengan perabotan yang bisa dikatakan bagus dan cukup mewah. Mia duduk seraya menghela nafas panjang disalah satu kursi.
“ Saya Endah, istrinya dokter Usman “, perempuan tua itu mengulurkan tangannya pada Mia. Uluran tangan itu disambut dengan hangat oleh Mia.
“ Bu Barda sudah menceritakan semuanya pada saya. Dan maksud kedatangan saya kesini selain ingin bersilaturahmi juga ingin ketemu dengan dokter Usman “
Istri dokter Usman yang bernama Endah menghela nafas, “ Sayang sekali Pak Usman sedang tidak ada di rumah. Tadi pagi ada telpon dari pasien pribadinya. Mungkin nanti sekitar jam tiga beliau sudah pulang “
Setelah berbasa –basi dan bercakap –cakap beberapa lama kemudian Mia berjanji akan kembali pukul tiga siang pada saat dokter Usman menurut isterinya pasti sudah ada di rumah.
Hanya cahaya temaram yang terlihat keluar dari sela –sela ventilasi dan tirai tipis yang menutup jendela kaca tadi.
Mia lantas mengetuk pintu. Tidak ada sahutan dari dalam. Kembali lagi Mia mengetuk pintu. Lebih keras.
Lalu ada suara langkah –langkah kaki. Tertegun –tegun dan agak kaku. Seketika Mia melihat bayangan tubuh seorang perempuan tua di ambang pintu yang telah terbuka.
Seorang perempuan yang sudah berusia lima puluh tujuh tahun menyambut Mia dengan ramah tamah. Perempuan itu bertubuh ramping dan berdirinya masih terlihat kokoh dalam usia yang sudah mulai lanjut. Sudah dapat dipastikan perempuan tua itu adalah istri dari dokter Usman. Karena menurut penjelasan Bu Barda dokter Usman hanya tinggal berdua saja dengan istrinya.
“ Selamat siang Bu “, Mia menyapa seramah mungkin.
“ Kau Mia, pasangan baru yang tinggal di rumah Pak Barda? “
Mia mengangguk sembari tersenyum, “ Iya Bu “
“ Ayo nak Mia, silahkan masuk. Kebetulan ada kau datang sehingga aku tidak merasa kesepian hari ini “
“ Ya, Bu “
Lalu istri dokter Usman menyisi memberi jalan.
Mia segera berada di ruang tamu yang cukup besar, dilengkapi dengan perabotan yang bisa dikatakan bagus dan cukup mewah. Mia duduk seraya menghela nafas panjang disalah satu kursi.
“ Saya Endah, istrinya dokter Usman “, perempuan tua itu mengulurkan tangannya pada Mia. Uluran tangan itu disambut dengan hangat oleh Mia.
“ Bu Barda sudah menceritakan semuanya pada saya. Dan maksud kedatangan saya kesini selain ingin bersilaturahmi juga ingin ketemu dengan dokter Usman “
Istri dokter Usman yang bernama Endah menghela nafas, “ Sayang sekali Pak Usman sedang tidak ada di rumah. Tadi pagi ada telpon dari pasien pribadinya. Mungkin nanti sekitar jam tiga beliau sudah pulang “
Setelah berbasa –basi dan bercakap –cakap beberapa lama kemudian Mia berjanji akan kembali pukul tiga siang pada saat dokter Usman menurut isterinya pasti sudah ada di rumah.
Quote:
Mia kemudian berkeliling sebentar. Daerah perumahan di atas bukit itu tidak banyak penghuninya. Ia perkirakan paling banyak empat belas kepala keluarga. Sesekali ia melempar senyum manakala melihat seorang wanita yang sedang duduk – duduk di teras rumahnya masing –masing. Sebelum masuk ke pavilyun yang ia tempati. Mia mendadak berubah niat. Di sudut hatinya rasa penasaran tiba –tiba menyeruak meskipun diselingi oleh rasa takut tentang kejadian yang dialami tadi malam.
Ia telah berjalan dari sisi lain rumah itu untuk kembali pulang, dan melihat onggokan batu raksasa di bibir bukit yang paling tinggi terlalu dekat untuk dilampaui begitu saja. Dengan nafas tersengal - sengal. Mia mendaki jalan yang aspalnya sudah hancur dan berlubang - lubang. Berbelok melewati sebuah rumah tua yang tampak suram dan sunyi sepi. Seolah tidak berpengaruh. Rumah itu sangat besar dan mungkin terbesar dari semua rumah yang ada di pemukiman itu. Bentuk bangunannya menyerupai bangunan kuno model jaman penjajahan.
Asap yang terkepul dari sebuah cerobong asap yang menjulang saja sebagai pertanda masih ada orang yang betah tinggal di rumah yang berbau misteri itu. Mia benar benar merasa betisnya kaku waktu ia kemudian duduk bermandi keringat di permukaan sebuah batu yang rata dan cukup lebar. Matahari telah mulai bergeser ke sebelah barat. Angin bertiup sepoi -sepoi basah sedikit kencang. Di sekitarnya tumbuh rerumputan hijau yang subur dan terawat rapih. Hidungnya sesekali membaur aroma lembab yang aneh. Seperti bau aroma ramuan jamu dan rempah -rempah.
Dari tempat duduknya, Mia dapat melihat rumah yang ia diami untuk sementara waktu. Demi misi nya mengungkap tabir kasus penuh misteri yang selama puluhan tahun belum terpecahkan sama sekali. Sementara pandangannya menyapu rumah – rumah tetangga, jalan aspal yang berbelok - belok, jalan utama yang menurun curam dan kemudian membelah perumahan penduduk yang kemarin sore dia lalui bersama Dito.
Jeritan liar sekelompok burung yang terbang dari balik bebatuan raksasa itu mengagetkan Mia sesaat. Ia perhatikan burung - burung itu terbang melayang. Berputar putar dua tiga kali seperti hendak hinggap di atas batu besar itu. Akan tetapi, sontak kawanan burung itu terbang menjauh, menuju langit biru. Sampai tinggal titik titik kecil berwarna hitam.
Apa kiranya yang jadi penyebab burung-burung itu bagai terkejut? Pertanyaan itu berkecamuk dalam batin Mia. Gadis ini memperhatikan ke sekitar. Ia tidak melihat sesuatu yang patut dicurigai. Ataukah ada sesuatu di balik onggokan batu raksasa itu. Sesuatu yang tinggi kekar, kokoh, hitam dan tanpa kepala ?
Mia terperanjat sendiri oleh gambaran seram itu. Perasaan was-was menggelitik dadanya ketika ia memanjat batu demi batu. Sampai akhirnya ia berdiri di puncak. Semula ia duga akan melihat hamparan sawah, ladang dan sungai yang mengalir seperti ular naga. Kemudian ia kaget sendiri. Batu raksasa tempatnya berpijak, tertanam kokoh dalam tanah.
Di bawahnya tebing curam dengan batu karang yang terjal. Semak belukar dan batang batang pohon yang kurus kering merayap sepanjang tebing terjal di bawahnya. Berbidang - bidang kebun jagung terhampar jauh di bawah. Memandang lebih jauh lagi rumah - rumah penduduk terlihat kecil bagai kotak korek api yang berjajar dengan rapi.
Sekian lama berdiri di atas batu raksasa tadi, Mia agak gamang. Tubuhnya gemetar dan bergoyang –goyang. Ia hampir saja rubuh ketika terdengar suara lunak di belakangnya.
“ Sedang apa Nak kau disitu ?"
Mia tidak langsung berpaling. Lebih dulu ia duduk perlahan lahan, berjaga- jaga jangan sampai terpeleset. Sesudahnya, baru ia berputar sedikit demi sedikit. Batu yang sebelumnya ia duduki dari atas kelihatan seperti altar persembahan dalam film –film horror yang sering ia lihat di video ataupun di film - film.
Di hadapannya kini hanya berjarak beberapa langkah berdiri sesosok tubuh. Tampak terlihat pendek dan gempal menatap ke arahnya dengan sorot mata yang tajam.
“ Turunlah ! Berbahaya duduk di situ! “
Jelas itu teguran keras. Namun diucapkan dengan lemah lembut. Sedikit malu, Mia meluncur turun. Setelah mereka berhadap - hadapan barulah ia sadar tubuh laki - laki di depannya ternyata tidak sependek yang ia lihat tadi. Lelaki itu sudah paruh baya. Memiliki raut wajah yang bundar, beralis tebal berbentuk mata parang, pipi berlemak sehingga hidungnya tampak pesek, serta mulut yang tebal dengan tarikan yang sepintas lalu tampak lemah. Tetapi dagunya kuat, pertanda keteguhan pendirian dan ambisi yang kuat. Sementara rambutnya yang hitam pekat tersisir licin rapi ke belakang.
"Kau tentunya pendatang baru ?”, orang itu tersenyum.
Kepala Mia mengangguk. Amat sukar baginya menghindari tatap mata yang tajam berkilat- kilat dan kelopak yang sudah terlihat mulai mengeriput di hadapannya. Ada semacam daya tarik yang sangat kuat dalam dirinya untuk jangan memalingkan muka dari orang yang telah mengagetkannya itu.
"Mia, kalau tak salah?"
"Benar, pak " ,sahut Mia dengan tenggorokan yang terasa kering kerontang.
"Mia Kuswandari "
Ia mengulurkan tangan. Segera telapak yang tebal, kuat dan kasar menjabat telapak tangan Mia yang kecil lemah dan halus.
"Aku Parlin Kartadikrama. Sebut saja pak Parlin, sebagaimana orang orang lain menyebut namaku selama ini “
Jantungnya serasa menghentak –hentak manakala lelaki paruh baya itu menyebut nama. Parlin...nama keramat yang selama ini di desas –desuskan sangat erat kaitannya dengan kasus usang yang tidak juga kunjung terselesaikan. Dan kini orang itu berdiri tepat dihadapannya. Dito memang benar, keterangan dia tepat seratus persen.
“ Aku tinggal di rumah sana"
Laki –laki besar itu menunjuk ke bawah mereka. Rumah di depannya. tahulah Mia kenapa rumah tua tadi berbau misteri.
“ Hei Nak, kau melamum...hei......”
Lelaki bernama Parlin itu melambai –lambaikan telapak tangannya ke arah Mia yang berdiri terpaku di tempatnya.
" Oh....Jadi... bapak yang punya rumah besar dan.....antik itu ?" desah Mia.
Parlin tersenyum sembari berkata, "Menyenangkan, kau sudah tahu nak Mia. Kuharap seterusnya kita bisa terus berhubungan dengan baik. Tadi dari jendela dapur aku sangat mengkhatirkan mu. Waktu kulihat kau memanjat ke atas...."
Parlin menghentikan ucapannya sembari mengamat – amati Mia sejenak, tampak berpikir, lalu ia kembali berujar , "Cari sesuatu?"
"Oh. Tidak. Tidak...."
"Memang tidak ada apa apa di atas sana bukan?" ujar Parlin dengan pelan namun tajam.
Entah mengapa. Mia dihinggapi perasaan gelisah.
"Sudahlah agar hari yang indah ini tidak dirusak oleh musibah yang kita semua jelas tidak menghendaki, sebaiknya kau pulang saja sekarang. Dimana kau tinggal anakku?”
“ Di rumah Pak Barda “
“Oh, kau orang baru yang sementara tinggal disana. Tempo hari Barda cerita kepadaku perihal seorang pasangan muda yang hendak mengontrak rumah. Ternyata itu kau dan kita sudah bertemu di tempat ini. “ Lekas pulang petang mulai menjelang, anginnya bertiup kencang di sini tidak baik untuk kesehatan “
"Terimakasih Pak Parlin “
Mereka lantas berpisah menempuh jalan yang berlainan arah. Selama perjalanan pulang ke rumah. Kuduk Mia tergetar. Nalurinya berbisik pak Parlin tidak langsung pergi melainkan terus mengawasi dari jauh. Mungkin juga mengintainya. Nyalinya seketika melumer, keberanian yang selama ini mejadi sifatnya mendadak raib lenyap hilang entah kemana.
Ia telah berjalan dari sisi lain rumah itu untuk kembali pulang, dan melihat onggokan batu raksasa di bibir bukit yang paling tinggi terlalu dekat untuk dilampaui begitu saja. Dengan nafas tersengal - sengal. Mia mendaki jalan yang aspalnya sudah hancur dan berlubang - lubang. Berbelok melewati sebuah rumah tua yang tampak suram dan sunyi sepi. Seolah tidak berpengaruh. Rumah itu sangat besar dan mungkin terbesar dari semua rumah yang ada di pemukiman itu. Bentuk bangunannya menyerupai bangunan kuno model jaman penjajahan.
Asap yang terkepul dari sebuah cerobong asap yang menjulang saja sebagai pertanda masih ada orang yang betah tinggal di rumah yang berbau misteri itu. Mia benar benar merasa betisnya kaku waktu ia kemudian duduk bermandi keringat di permukaan sebuah batu yang rata dan cukup lebar. Matahari telah mulai bergeser ke sebelah barat. Angin bertiup sepoi -sepoi basah sedikit kencang. Di sekitarnya tumbuh rerumputan hijau yang subur dan terawat rapih. Hidungnya sesekali membaur aroma lembab yang aneh. Seperti bau aroma ramuan jamu dan rempah -rempah.
Dari tempat duduknya, Mia dapat melihat rumah yang ia diami untuk sementara waktu. Demi misi nya mengungkap tabir kasus penuh misteri yang selama puluhan tahun belum terpecahkan sama sekali. Sementara pandangannya menyapu rumah – rumah tetangga, jalan aspal yang berbelok - belok, jalan utama yang menurun curam dan kemudian membelah perumahan penduduk yang kemarin sore dia lalui bersama Dito.
Jeritan liar sekelompok burung yang terbang dari balik bebatuan raksasa itu mengagetkan Mia sesaat. Ia perhatikan burung - burung itu terbang melayang. Berputar putar dua tiga kali seperti hendak hinggap di atas batu besar itu. Akan tetapi, sontak kawanan burung itu terbang menjauh, menuju langit biru. Sampai tinggal titik titik kecil berwarna hitam.
Apa kiranya yang jadi penyebab burung-burung itu bagai terkejut? Pertanyaan itu berkecamuk dalam batin Mia. Gadis ini memperhatikan ke sekitar. Ia tidak melihat sesuatu yang patut dicurigai. Ataukah ada sesuatu di balik onggokan batu raksasa itu. Sesuatu yang tinggi kekar, kokoh, hitam dan tanpa kepala ?
Mia terperanjat sendiri oleh gambaran seram itu. Perasaan was-was menggelitik dadanya ketika ia memanjat batu demi batu. Sampai akhirnya ia berdiri di puncak. Semula ia duga akan melihat hamparan sawah, ladang dan sungai yang mengalir seperti ular naga. Kemudian ia kaget sendiri. Batu raksasa tempatnya berpijak, tertanam kokoh dalam tanah.
Di bawahnya tebing curam dengan batu karang yang terjal. Semak belukar dan batang batang pohon yang kurus kering merayap sepanjang tebing terjal di bawahnya. Berbidang - bidang kebun jagung terhampar jauh di bawah. Memandang lebih jauh lagi rumah - rumah penduduk terlihat kecil bagai kotak korek api yang berjajar dengan rapi.
Sekian lama berdiri di atas batu raksasa tadi, Mia agak gamang. Tubuhnya gemetar dan bergoyang –goyang. Ia hampir saja rubuh ketika terdengar suara lunak di belakangnya.
“ Sedang apa Nak kau disitu ?"
Mia tidak langsung berpaling. Lebih dulu ia duduk perlahan lahan, berjaga- jaga jangan sampai terpeleset. Sesudahnya, baru ia berputar sedikit demi sedikit. Batu yang sebelumnya ia duduki dari atas kelihatan seperti altar persembahan dalam film –film horror yang sering ia lihat di video ataupun di film - film.
Di hadapannya kini hanya berjarak beberapa langkah berdiri sesosok tubuh. Tampak terlihat pendek dan gempal menatap ke arahnya dengan sorot mata yang tajam.
“ Turunlah ! Berbahaya duduk di situ! “
Jelas itu teguran keras. Namun diucapkan dengan lemah lembut. Sedikit malu, Mia meluncur turun. Setelah mereka berhadap - hadapan barulah ia sadar tubuh laki - laki di depannya ternyata tidak sependek yang ia lihat tadi. Lelaki itu sudah paruh baya. Memiliki raut wajah yang bundar, beralis tebal berbentuk mata parang, pipi berlemak sehingga hidungnya tampak pesek, serta mulut yang tebal dengan tarikan yang sepintas lalu tampak lemah. Tetapi dagunya kuat, pertanda keteguhan pendirian dan ambisi yang kuat. Sementara rambutnya yang hitam pekat tersisir licin rapi ke belakang.
"Kau tentunya pendatang baru ?”, orang itu tersenyum.
Kepala Mia mengangguk. Amat sukar baginya menghindari tatap mata yang tajam berkilat- kilat dan kelopak yang sudah terlihat mulai mengeriput di hadapannya. Ada semacam daya tarik yang sangat kuat dalam dirinya untuk jangan memalingkan muka dari orang yang telah mengagetkannya itu.
"Mia, kalau tak salah?"
"Benar, pak " ,sahut Mia dengan tenggorokan yang terasa kering kerontang.
"Mia Kuswandari "
Ia mengulurkan tangan. Segera telapak yang tebal, kuat dan kasar menjabat telapak tangan Mia yang kecil lemah dan halus.
"Aku Parlin Kartadikrama. Sebut saja pak Parlin, sebagaimana orang orang lain menyebut namaku selama ini “
Jantungnya serasa menghentak –hentak manakala lelaki paruh baya itu menyebut nama. Parlin...nama keramat yang selama ini di desas –desuskan sangat erat kaitannya dengan kasus usang yang tidak juga kunjung terselesaikan. Dan kini orang itu berdiri tepat dihadapannya. Dito memang benar, keterangan dia tepat seratus persen.
“ Aku tinggal di rumah sana"
Laki –laki besar itu menunjuk ke bawah mereka. Rumah di depannya. tahulah Mia kenapa rumah tua tadi berbau misteri.
“ Hei Nak, kau melamum...hei......”
Lelaki bernama Parlin itu melambai –lambaikan telapak tangannya ke arah Mia yang berdiri terpaku di tempatnya.
" Oh....Jadi... bapak yang punya rumah besar dan.....antik itu ?" desah Mia.
Parlin tersenyum sembari berkata, "Menyenangkan, kau sudah tahu nak Mia. Kuharap seterusnya kita bisa terus berhubungan dengan baik. Tadi dari jendela dapur aku sangat mengkhatirkan mu. Waktu kulihat kau memanjat ke atas...."
Parlin menghentikan ucapannya sembari mengamat – amati Mia sejenak, tampak berpikir, lalu ia kembali berujar , "Cari sesuatu?"
"Oh. Tidak. Tidak...."
"Memang tidak ada apa apa di atas sana bukan?" ujar Parlin dengan pelan namun tajam.
Entah mengapa. Mia dihinggapi perasaan gelisah.
"Sudahlah agar hari yang indah ini tidak dirusak oleh musibah yang kita semua jelas tidak menghendaki, sebaiknya kau pulang saja sekarang. Dimana kau tinggal anakku?”
“ Di rumah Pak Barda “
“Oh, kau orang baru yang sementara tinggal disana. Tempo hari Barda cerita kepadaku perihal seorang pasangan muda yang hendak mengontrak rumah. Ternyata itu kau dan kita sudah bertemu di tempat ini. “ Lekas pulang petang mulai menjelang, anginnya bertiup kencang di sini tidak baik untuk kesehatan “
"Terimakasih Pak Parlin “
Mereka lantas berpisah menempuh jalan yang berlainan arah. Selama perjalanan pulang ke rumah. Kuduk Mia tergetar. Nalurinya berbisik pak Parlin tidak langsung pergi melainkan terus mengawasi dari jauh. Mungkin juga mengintainya. Nyalinya seketika melumer, keberanian yang selama ini mejadi sifatnya mendadak raib lenyap hilang entah kemana.
Quote:
Seperti janji Mia siang tadi meski janjinya rada meleset baru jam lima ia datang lagi ke rumah dokter Usman. Dan dokter Usman bukan saja seorang ahli. Ia juga periang dan menyenangkan seperti isterinya. Setelah Mia menceritakan keluhannya bukan diberi resep melainkan bermacam –macam obat, vitamin dan suplemen. Semuanya gratis
"Kalau kurang boleh minta lagi" ,kata dokter Usman sebelum Mia pamit.
“ Dan kalau tidak sembuh, silahkan melempari rumahku dengan batu!”
Tiba di pavilyun ia langsung menelan dua butir kapsul atas petunjuk dokter. Perasaan nyaman kian menjadi-jadi. Pil yang ia telan seperempat jam berikutnya menambah kekuatan tubuhnya. Kelelahan dan ketegangan malam tadi ditambah kejadian siang ini di atas batu sirna. Bayangan ketakutan kengerian hilang. Berganti dengan perasaan tenang dan tentram. Lalu ia berbaring di tempat tidur memejamkan mata. Tertidur lelap.
"Kalau kurang boleh minta lagi" ,kata dokter Usman sebelum Mia pamit.
“ Dan kalau tidak sembuh, silahkan melempari rumahku dengan batu!”
Tiba di pavilyun ia langsung menelan dua butir kapsul atas petunjuk dokter. Perasaan nyaman kian menjadi-jadi. Pil yang ia telan seperempat jam berikutnya menambah kekuatan tubuhnya. Kelelahan dan ketegangan malam tadi ditambah kejadian siang ini di atas batu sirna. Bayangan ketakutan kengerian hilang. Berganti dengan perasaan tenang dan tentram. Lalu ia berbaring di tempat tidur memejamkan mata. Tertidur lelap.
jiresh dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Kutip
Balas