Kaskus

Story

sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:
emoticon-Ultah

Cover:


From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)

NB: Sorry Bad Editing


Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter


Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita

Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.

Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.

Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.

Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.

Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.

Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.

Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.

Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.

Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.

Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.

***

Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.

“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.

“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.

“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.

Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.

Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.

Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.

Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.

“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.

“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.

“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.

“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.

“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”

Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.

“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.

Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.

“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.

Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.

Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.

***

Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.

Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,

“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.

“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.

Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.

“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.

Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.

Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.

“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.

“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.

“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.

“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.

Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.

Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.

Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.

Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.

“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.

“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.

‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.

Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.

Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
santinorefre720Avatar border
blackjavapre354Avatar border
rizetamayosh295Avatar border
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
#82
Chapter 22: Registrasi
Malang, 26 Juli 2016

Pagi ini aku merasa ada yang aneh. Celana jeans-ku sedikit basah, tanganku secara spontan menyentuh area yang basah tersebut untuk mengonfirmasi bahwa aku tidak keliru. Mataku masih dalam keadaan mengantuk, namun seketika aku langsung terbangun mendapati diriku yang semalam dianugerahi mimpi es cream strawberry (yang merasa laki-laki pasti paham).

‘Oh Shit’ gumamku pelan dalam hati. Itu adalah celana jeans satusatunya yang kubawa dari rumah, keadaannya sangat tidak tepat. Setengah hati aku bersyukur mendapatkan mimpi seindah itu, setengah hati aku mengutuknya karena datang diwaktu yang salah. Tapi untungnya, aku membawa celana dalam ganti. Segera aku bangun dari tempat tidurku yang berada dilantai atas, kemudian aku langsung mandi dengan niat mensucikan diri. Kubersihkan celanaku yang basah tadi dengan sedikit siraman air, hanya itu solusi yang terpikirkan olehku.

Kulihat Pras masih tertidur pulas, aku menepuk-nepuk betisnya dengan cukup keras. Sayup-sayup ia membuka mata.
“Udah pagi ya Megg?” Ujarnya pelan.
“Masih jam tiga malem, ya iyalah udah pagi. Tidur aja lo, inget hari ini kita ada agenda penting.” Suaraku sengaja kukeraskan, hitung-hitung pengganti alarm. Pras kemudian bangkit dari tidur, beringsut menuju kamar mandi. Aku diam saja terkait kejadian absurd yang kualami barusan, sungkan juga cerita begituan.

Waktu masih menunjukkan pukul 06.12 WIB, acara registrasi masih dimulai beberapa jam lagi. Aku berpakaian dan berpenampilan serapi mungkin. Kutata rambutku yang biasanya acak-acakan, kusemprotkan parfum secara merata ke pakaianku, dan segala sesuatunya kupersiapkan dengan matang agar tak ada satupun yang ketinggalan.

Seusai dari kamar mandi, Pras masih santai memainkan gadgetnya sembari merebahkan tubuhnya lagi dikasur yang menyimpan daya magnet super kuat.

“Yaelah lo malah pergi tidur lagi, siap-siap sono woi.” Aku menyentak Pras dengan sedikit tertawa.
“Santai dululah Megg, baru hampir jam setengah tujuh. Nanti kan mulainya jam sembilan.” Wajah Pras yang masih sedikit kusut itu bersuara datar. Tapi benar juga apa yang ia katakan, mungkin aku yang terlalu bersemangat.

Alhasil, aku mengikuti jejaknya dengan merebahkan tubuhku dikasur sambil memainkan gadgetku. Aku membuka google chrome lantas mengecek info-info yang barangkali penting, tak lupa juga mampir ke blogger untuk menganalisa perkembangan blogku. Jika dibandingkan bulan lalu, trafik blogku yang sekarang lumayan bagus. Satu hari bisa mencapai 100-200 pageview, itu adalah angka yang cukup fantastis untuk amatir sepertiku.

Dari kemarin orangtuaku mengkhawatirkanku, mereka menanyakan kabar dan beberapa info terkait registrasi hari ini. Aku menjawab pesan-pesan itu dengan kalimat sebaik mungkin agar mereka tidak khawatir denganku. Disamping itu, aku juga menyempatkan diri membalas pesan-pesan dari Tiara. Memang kurang penting isinya, tapi cukup untuk membunuh kebosananku.

Di salah satu grup whatsapp yang anggotanya adalah mahasiswa baru, terdapat sebuah notifikasi yang baru muncul. Kupikir itu adalah pesan spam, tapi karena penasaran aku pun melihatnya. Sontak aku kaget membaca notifikasi itu, lantas aku segera memberitahu Pras.

“Bro, udah pada ngumpul nih anak-anak maba. Antrian padet banget, padahal ini masih pukul delapan. Lo sih daritadi terlalu santai, panas nanti kalau siang-siang.” Aku menggerutu kesal kepada Pras. Bukannya resah, ia malah menjawab kekesalanku dengan santai.
“Kita kemasi barang-barang dulu aja Megg, toh siang atau pagi kita tetep ngantri nanti. Nggak perlu resah lah.” Dengan cepat ia merapikan pakaiannya, mengemasi barang-barang kedalam tasnya. Beberapa pakaian seperti jaket dan kemeja ia tinggalkan di lemari kayu.
“Nggak lo bawa sekalian tuh pakaian.” Aku bertanya heran. Ia menggelengkan kepala, pikirnya ketika kesini lagi bulan depan, ia tak perlu membawa pakaian yang banyak.

Adalah lima belas menit waktu yang kami butuhkan untuk mengemasi barang-barang kami hingga beres semuanya. Kemudian kami berdua menuruni tangga kayu untuk menuju lantai bawah. Pras mengunci pintu rumah dan mematikan aliran listrik pada speedometer di dinding dekat pintu rumah agar tidak terjadi konsleting. Aku yang tak terlalu paham dengan masalah itu hanya diam melihat tingkahnya.

Kami mampir dulu ke salah satu warung makan yang ada didekat kontrakan untuk mengatasi krisis kelaparan sekaligus isi ulang tenaga untuk beraktifitas hari ini. Aku memesan sepiring nasi dengan lauk dua buah tahu bulat dan sayur asem. Sedangkan Pras memesan sepiring nasi dengan lauk yang sepertinya lebih enak dibandingkan milikku, ikan pindang dan tempe asin. Kami melahap makanan itu dengan tidak penuh perasaan, maklum orang yang sedang dilundung kelaparan.

Prosesi makan dan dimakan itu berlangsung beberapa menit, kami pun berangkat menuju lokasi registrasi setelah membayar makanan yang kami pesan tadi.

***

Lokasi registrasi hari ini adalah di gedung Graha Cakrawala, yang merupakan bangunan termegah di Universitas Negeri Malang. Dari arah selatan kami berjalan menaiki tangga, kami mengamati keadaan disekitar yang begitu ramai. Kami pun tiba dipintu masuk utama lantas diarahkan oleh seorang satpam untuk ikut mengantri dibarisan para mahassiswa baru yang sehajat dengan kami.

Antrian memanjang layaknya ular, aku dan Pras berada diurutan ketigapuluh kira-kira. Karena berteduhkan atap jadi kami tak perlu tersengat teriknya matahari. Namun, dengan antrian sepanjang ini menuntut kami untuk memiliki kesabaran yang lebih. Satu persatu perlahan dipanggil, antrianku semakin maju satu langkah. Disusul antrian belakangku yang makin lama juga kian memadat.

Mendekati barisan pertama, sesuai arahan panitia aku mengambil berkas-berkas yang masih berada didalam tasku. Selang beberapa waktu, kami berdua diperkenankan memasuki gedung untuk registrasi. Kami berdua presensi lalu memperlihatkan kertas bukti tanda pembayaran uang kuliah lalu distempel nomor antrian sesuai nomor urut kehadiran dan kami diberikan sebuah map dengan warna sesuai fakultas masing-masing. Bukan main, aku mendapatkan nomor 729 dari sekian banyaknya orang yang registrasi. Pras juga mendapatkan nomor yang angkanya juga selisih sedikit denganku.

Sembari menanti nomor kami dipanggil, kami duduk disalah satu kursi yang berjejer rapi layaknya kursi stadion sepakbola atau didalam bioskop. Kami mengisi biodata kami dimulai dari nama, NIM, dan jurusan di map yang diberikan tadi. Mapku berwarna kuning, warna khas untuk Fakultas Sastra. Sedangkan map milik Pras berwarna ungu, warna khas untuk Fakultas Ilmu Sosial. Seusai mengisi biodata, kami memasukkan berkas-berkas kami kedalam map itu.

Satu persatu nomor dipanggil oleh operator, selisihnya masih cukup jauh dengan nomor antrianku. Aku terjebak lagi dalam kegiatan yang paling tidak kusukai didunia ini, menunggu. Mataku memperhatikan para siswa yang registrasi dibawah dari satu step ke step yang lain. Sesekali aku membuka smartphone-ku, mencari kegiatan untuk menghabiskan waktu. Iseng-iseng aku pun mengupdate sebuah status disalah satu media sosial seputar kebosananku detik ini. Aku menyusun kalimatku dengan rapi, tidak seperti anak-anak alay kekinian yang kurang asupan moral yang kerjaannya koarkoar tak jelas di media sosial.

Ditengah keasyikanku, aku dikagetkan oleh sebuah suara, spontan aku pun menoleh.
“Maaf mas, tempat disamping mas kosong ya?” Seorang perempuan berjilbab menyapaku ramah. Aku tertegun sejenak, penyakit kronisku kambuh lagi. Aku sangat grogi kalau ketemu perempuan cantik.
“Oh iya mbak, silahkan.” Dengan terbata-bata aku menjawabnya, Perempuan itu pun duduk anggun didekatku. Sebisa mungkin aku memalingkan muka, meskipun pada dasarnya aku ingin sekali mengajak dia ngobrol, adrenalinku terlalu kisut dikalahkan oleh rasa takutku yang berlebihan.

Beribu kemungkinan selalu terlintas dipikiranku ketika hendak mengajak ngobrol seorang perempuan, akankah dia nyaman dengan pembicaraanku atau apakah dia nanti terganggu dengan keberadaanku. Ah, aku terlalu negative thinking untuk masalah ini.
“Mas, dari jurusan apa?” Suara anggun itu tertangkap indera pendengaranku.
“Saya dari jurusan bahasa Jerman mbak, kalau kamu sendiri?” Aku menyambut kalimat tanya itu dengan ramah. Harga diriku seakan hilang entah kemana, aku merasa kayak banci. Dia yang secara naluriah adalah perempuan, berani memulai pembicaraan. Aku yang lelaki, hanya diam tanpa kata karena terlalu banyak berpikir.
“Aku dari pendidikan bahasa Indonesia mas, kenalin Alya?” Perempuan itu mengarahkan tangannya kepadaku. Aku menyambut ramah salam perkenalan itu.
“Meggy.” Ujarku pelan. Lambat laun aku sudah mulai bisa beradaptasi, aku mengajak dia berbicara hal-hal ringan seputar tempat asal, kos, dan latar belakang sekolahnya dulu. Dia lumayan nyambung jika diajak bicara, meski teradang artikulasiku kurang jelas dan susunan kalimatku berantakan karena rasa grogi yang masih bersemayam.

***

‘Nomor 729’ operator memanggil nomorku lewat speaker yang terpasang diberbagai sisi didalam gedung ini,

“Mbak duluan ya.” Sebelum beringsut dari tempat dudukku, aku mengucapkan sepatah kalimat, dia hanya tersenyum mempersilahkanku.

Pras yang berada diurutan belakangku juga telah dipanggil. Ia pun mengikutiku dari belakang. Aku berdiri di pos pertama untuk menyerahkan lembar validasi bukti pembayaran uang kuliah, oleh panitia lembar itu diberi stempel resmi dari kampus. Lantas aku pun bergerak menuju pos selanjutnya untuk mengambil jas almamater dengan membawa lembar validasi tersebut.

Pada mulanya aku duduk dibarisan yang salah, tanpa ada rasa peka sama sekali aku tetap santai berdiam ditempat. Mbak-mbak panitia menyunggingkan senyum tajam kearahku pertanda aku diusir dari kursi ini, dengan cepat aku beralih posisi duduk ke kursi yang seharusnya kududuki.

Ukuran jasku yang kupilih beberapa waktu lalu adalah Large, menyesuaikan postur tubuhku yang tak terlalu kurus tapi juga tak terlalu gendut.

Step selanjutnya adalah prosesi foto untuk kartu mahasiswa. Antriannya tidak terlalu panjang, hanya beberapa menit duduk menunggu aku pun dipanggil kedepan tukang foto. Dengan memakai jas almamater yang masih fresh, aku menata posisiku sedemikian rupa layaknya orang foto KTP. Cukup beberapa detik setelah flash dari kamera menyilaukan mataku, aku pun segera beralih menuju step selanjutnya.

Kali ini, aku berada didepan meja yang tertata rapi dengan sebuah kertas yang tertempel diatasnya berisi beberapa panduan terkait berkasberkas. Disitu tertera bahwa berkas harus diurutkan sebelum diserahkan kepada panitia, dimulai dari ijazah, surat keterangan sehat dari puskesmas, foto 4x6, dll. Tak butuh waktu lama untuk mengurutkan semua itu.

Lanjut ke step berikutnya, dibagian ini menurutku adalah step yang paling penting. Semua berkas-berkas penting diserahkan kepada pihak yang berwenang. Didepan terlihat meja yang memanjang dimana disitu ada banyak panitia yang kemungkinan dosen atau staff adminstrasi. Mereka mengecek satu persatu berkas para mahasiswa baru. Melihatnya aku cukup deg-degan. Aku duduk di kursi yang berada di ujung paling kanan, berhubung hanya itu kursi yang kosong diantara sekian banyak kursi yang disediakan.

Didepanku ada seorang bapak berkumis tebal serta bermuka garang dan juga seorang bapak berkacamata yang postur tubuhnya lumayan ceking. Aku berspekulasi bahwa mereka berdualah yang akan memeriksa berkasberkasku, dan bisa ditebak aku berharap bahwa bapak yang berkacamatalah yang nanti memeriksa berkas-berkasku. Mereka berdua masih sibuk mengurusi berkas mahasiswa yang antri sebelum aku datang.

Sayang seribu sayang, bapak yang bermuka garang tadi telah selesai duluan mengecek berkas. Mau tidak mau, aku harus mendekat berhadapan dengan bapak itu. Setengah takut, setengah memberanikan diri aku merapat berhadapan dengan beliau sembari mengucapkan ta’awud, semoga dihindarkan dari kejadian yang tidak diinginkan.

Bapak itu berdehem keras, aku sedikit tersentak.
“Sini saya lihat berkas-berkasnya!” Seru bapak itu tegas, aku diam menurut tak banyak berkomentar. Beliau memeriksa berkas-berkasku dengan teliti.
“Ini fotonya kamu jadikan satu. Kamu kasih nama sekalian.” Bapak itu berujar lagi sembari menyerahkan dua buah klip yang masing-masing berisi dua lembar foto 3x4 dan 4x6 sebagai persyaratan registrasi yang kubawa dari rumah. Aku sedikit panik, tak ada staples untuk merekatkan dua buah klip itu. Mendadak aku menjadi bego, beberapa menit aku pun sadar bahwa yang dimaksud bapak itu adalah meletakkan foto-foto itu didalam satu klip.
“Ini pak, sudah.” Aku menjawab sesopan mungkin, agar tak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Bapak itu kembali memeriksa berkas-berkasku, kemudian menandatangani lembar validasiku untuk kusimpan sebagai tanda bukti nantinya.
“Kamu kurang ijazah asli sama SKHUN asli, jangan lupa dikumpulkan akhir Oktober.” Kata-kata terakhir itu kutancapkan kuat diingatanku.

Lantas aku pun meninggalkan tempat dudukku dengan sopan tanpa lupa mengucapkan kalimat terimakasih. Lembar validasi itu kutaruh didalam map kuning yang sedari tadi kubawa ditanganku.

Step terakhir adalah mengambil kartu mahasiswa. Kali ini antrian sangat padat dibandingkan dengan step-step sebelumnya. Sekitar setengah jam lebih aku menunggu hingga giliranku tiba. Pras masih berada dibelakangku selisih dua baris dari tempat dudukku berada. Sesaat setelah namaku dipanggil, aku langsung berdiri untuk mengambil kartu mahasiswaku dan langsung keluar dari gedung ini.

Diluar aku telah disambut oleh kakak-kakak tingkat dari beragam fakultas.Aku menghampiri kakak tingkat dari Fakultas Sastra lalu berbincang-bincang sedikit dengan mereka, terutama dengan kakak tingkatku yang berasal dari jurusan sastra Jerman.

“Maaf mas, ini kan saya mulai dari nol ya, gimana nanti pas kuliah? Apakah ada banya kesulitan?” Aku bertanya sopan kepada kakak tingkat dari jurusan Sastra Jerman.
“Saya dulu juga mulai dari nol kok, tenang saja nanti diajari dari awal kok. Yang penting ada niat dan usaha.” Jawab kakak tingkat itu mantap, aku sedikit lega mendengar jawabannya. Aku pun meminta nomornya yang bisa dihubungi, entahlah mungkin bisa untuk konsultasi dikemudian hari.
“Ya udah mas, saya kembali dulu ya.” Aku berpamitan sopan, lantas melangkah menuruni tangga. Namun langkahku dihentikan oleh suara mbakmbak.
“Eh dek, kamu nggak mau beli gelang ini? Anak sastra harus punya lho biar keren.” Mbak-mbak dari fakultas Sastra menawariku sebuah gelang dengan harga yang lumayan setara dengan dua porsi bakso. Aku tersenyum, kupikir tak masalah membeli satu buah untuk kenang-kenangan.
“Terimakasih dek, sampai ketemu waktu pengenalan kampus nanti. Jangan lupa follow media sosialnya anak sastra ya.” Mbak-mbak itu tersenyum ramah kepadaku, aku membalasnya jua dengan mengacungkan kedua jempolku.

Sambil menunggu Pras aku menanti didepan gedung sendirian. Setiap orang yang lewat kuperiksa satu persatu, barangkali ia ada dikerumunan itu. Aku meninggalkan sebuah pesan kepada dia, tapi rasa-rasanya ia tak sempat membuka handphone-nya. Dari belakang, bahuku ditepuk oleh seseorang dengan suara sedikit menggertak. Tak perlu berpikir lama, aku tahu bahwa itu
adalah suara Pras. Sebelum meninggalkan kampus, kami menyempatkan diri untuk berjalan-jalan melihat lokasi fakultas kami berdua.

“Eh Pras, foto lo di kartu mahasiswa gimana?” Aku bertanya kepada Pras, penasaran dengan hasilnya.
“Entahlah, nih lo liat sendiri!” Pras menyerahkan kartu mahasiswanya yang masih baru kepadaku. Hasilnya cukup memuaskan, fotonya mirip dengan yang ada di realita.
“Njirr, punya gue ancur bro. Item dan kesannya gendut banget gue.” Aku tertawa membandingkan kartu miliknya dengan punyaku.

Beberapa langkah kami berjalan, aku berhenti mendadak didekat salah satu pohon yang cukup rindang, lokasinya tepat berada di area fakultasku. Pras pun ikut berhenti setengah heran dengan tingkahku, mungkin saja ia mengira aku kesambet setan pohon. Mumpung masih memakai jas almamater, aku meminta dia untuk memfotoku dengan smartphone-ku. Dengan pose tegap setengah udik, dalam hitungan detik prosesi foto alay itupun telah selesai, dan dalam sekejap telah ku-upload di instagram. Aku menawari Pras untuk difoto sekalian, tapi dia menolak. Memang, tampangnya tidak se-alay tampangku.

Cukup jauh juga kami mengitari kampus baru kami ini, dan sampai juga akhirnya digedung Fakultas Ilmu Sosial. Pras lumayan lega telah melihat secara kontras tanpa perlu menerawang letak pastinya. Tak jauh darisana, kami disambut gerbang selatan kampus. Setelah melewati gerbang itu, kami mencegat angkot yang lewat dengan jurusan Terminal Arjosari untuk mencari bus lalu pulang ke Tulungagung.

Alhamdulillah, akhirnya aku sekarang resmi menjadi bagian dari Universitas Negeri Malang. Tak ada satupun kesan yang mengganjal dihatiku, aku begitu bangga dengan semua ini terlebih ketika memakai jas dari almamater kampusku. Ini bukanlah akhir, ini merupakan sebuah langkah awal perjuangan baruku sebagai mahasiswa baru. Aku masih terus berjuang, menciptakan mimpi-mimpi lain dimasa depan. Dan yang terpenting adalah orangtuaku bangga melihat diriku yang sekarang dan seterusnya nanti, Insyaallah. emoticon-Ultah
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.