- Beranda
- Stories from the Heart
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
...
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:

Cover:

NB: Sorry Bad Editing
Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter
Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita
Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.
Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.
Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.
Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.
Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.
Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.
Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.
Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.
Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.
Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.
Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.
***
Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.
“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.
“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.
“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.
Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.
Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.
Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.
Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.
“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.
“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.
“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.
“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.
“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”
Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.
“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.
Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.
“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.
Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.
Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.
***
Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.
Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,
“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.
“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.
Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.
“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.
Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.
Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.
“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.
“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.
“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.
“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.
“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.
Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.
Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.
Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.
Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.
“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.
“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.
‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.
Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.
Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
sandriaflow
#81
Chapter 21: Mencari Kos - Kosan
Stasiun Tulungagung, 24 Juli 2016
Gerbong kereta disesaki oleh penumpang yang berlalu lalang membawa barang-barangnya masing-masing. Kereta masih tetap diam ditempat, hanya tinggal menghitung tak sampai sepuluh menit peluit tanda keberangkatan akan dibunyikan. Dua orang anak muda tengah risau menanti kedatangan satu anak lagi yang tak diketahui rimbanya.
“Ngga, lo tau nggak dimana nih anak? Daritadi nggak nongolnongol.” Aku menggerutu kesal. Menoleh ke berbagai arah menanti kedatangan satu orang lagi.
“Gue nggak tahu Megg, daritadi Pras nggak ngasih kabar. Seharusnya dia yang datang duluan, yang buat rencana kita berangkat hari ini kan dia.” Rengga dengan raut muka yang kalem menjawab datar tanpa kesan memendam kekesalan.
Kami bertiga hari ini berniat pergi ke Malang bersama untuk mencari kos-kosan. Merupakan sebuah takdir kami bertiga sama-sama lolos seleksi SBMPTN di universitas yang berlokasi di satu kota. Pras satu almamater denganku, dia diterima di Universitas Negeri Malang, jurusan Geografi. Sedangkan Rengga, meskipun tampangnya biasa-biasa saja dan terkesan culun, ia diterima di jurusan Teknik Komputer, Universitas Brawijaya. Merupakan suatu kebanggaan untuk dia, awalnya Rengga bingung untuk kuliah didalam kota atau diluar kota. Berkat dukungan dari berbagai pihak ia memutuskan untuk kuliah di salah satu universitas terbesar di kota Malang itu.
Seminggu yang lalu kami sudah membuat rencana yang matang untuk pergi ke Malang. Selain mencari kos-kosan, besok lusa aku dan Pras harus registrasi di universitas untuk melengkapi berkas-berkas pendaftaran yang sudah kami persiapkan beberapa hari yang lalu. Aku berpikiran mengajak Rengga untuk bergabung bersama kami mencari kos-kosan, dia setuju dengan alasan karena akan lebih mudah jika dekat dengan teman yang berasal dari kota yang sama.
“Anjirr nih anak, gue daritadi sms nggak dibales, telpon juga nggak diangkat.” Kekesalanku kian memuncak. Peluit dari penjaga stasiun berbunyi nyaring, gerbong kereta perlahan bergetar. Aku sudah kehabisan akal, percuma juga marah-marah. Tasku kuletakkan diatas kursi dengan muatan tiga orang penumpang. Tak sengaja aku memalingkan muka ke sisi kiriku. Tanpa ada angin yang berhembus atau backsong mistis dari film horror, Pras sudah berdiri disampingku dengan jaket hitamnya layaknya hantu.
“Bajingan, lo bikin kita cemas aja. Padahal lo sendiri yang ngatur perjalanan kali ini. Kita cuman nurut rencana lo.” Aku berkata sarkas kepada dia, sedangkan Rengga tersenyum lega karena kami sekarang telah lengkap.
Kereta pun melaju menuju kota Malang. Dengan latar belakang yang berbeda-beda, kami dipertemukan karena suatu alasan. Dan disini kami ada untuk satu tujuan, kos-kosan.
***
Pukul 12.15 WIB, kami sampai juga di kota Malang. Kami bertiga bergegas keluar stasiun untuk mencari sebuah angkot dengan tujuan pemberhentian di sekitar area kampus Universitas Brawijaya.
Beberapa kilometer ditempuh oleh angkot berwarna biru yang kami naiki, melewati jalanan-jalanan asing yang pernah kami lihat sekilas pada saat tes dulu. Kami bertiga turun di dekat pepohonan rindang yang berjajar rapi dipinggir jalan.
Dapat diprediksi bahwa hal pertama yang harus kami lakukan adalah bertanya kepada orang-orang yang ada disekitar kami. Mengikuti kata pepatah “Malu bertanya, sesat dijalan.”
Tak jauh dari tempat kami berdiri ada sebuah sepasang kursi besi yang saling berhadapan. Letaknya persis dipinggir jalan. Kursi itu memang diperuntukkan bagi para pejalan kaki atau siapapun yang ingin menikmati waktu santai. Disana tengah duduk seorang bapak-bapak yang baru bersepeda di tengah teriknya matahari. Kami bertiga pun menghampirinya.
“Asli orang Malang ya pak?” Pras membuka pembicaraan dengan sopan.
“Iya dek, kenapa emangnya?” Bapak itu menjawab halus, tangannya mengibas-ibaskan topi hitam ke sekitar kerah untuk mengurangi gerah.
“Ini kami mau mencari kos-kosan, bapak tau kos yang murah didaerah sini ada dimana?”
“Wah maaf ya dek, kok saya kurang tau. Tapi didekat Universitas Brawijaya ada kos juga kayaknya, coba cari digang-gang sekitar sana banyak kok yang menyewakan tempat kos. Ada juga yang untuk menginap sehari semalam, harganya ya lumayan.” Tak ada tanda-tanda bahwa bapak itu hendak menipu kami. Ekspresi wajahnya memang menunjukkan bahwa beliau memang tidak tahu.
“Ya udah pak kalau begitu, terimakasih.” Kami pun meneruskan perjalanan yang masih tanpa tujuan ini. Menyusuri trotoar dipinggir jalan, merapat dibawah pepohonan yang berjajar rapi guna mengurangi panasnya matahari siang ini.
“Pras, lo punya ide nggak?” Sahut Rengga.
Ia dengan tenang menjelaskan kepada kami. Didekat tempat kami berada ada sebuah perumahan yang cukup padat, letaknya disekitar
Universitas Negeri Malang. Mungkin kami harus menempuh jarak sekitar tiga kilometer lagi untuk sampai kesana.
Patut kuacungi jempol untuk Pras, ia adalah informan yang handal. Beberapa waktu yang lalu, ia sempat bertanya-tanya kepada salah seorang teman yang saat ini kuliah di Malang. Tak hanya berhenti disitu ia juga mencari tempat kos lewat salah satu website dan aplikasi penyedia jasa pencarian tempat kos atau sewa rumah. Berpikir bahwa didekat kampus ada perumahan yang kemungkinannya banyak tawaran-tawaran tempat kos, itu sungguh ide yang brilian.
“Ya udah, kita ngikut lo aja deh. Yang paling penting kita terus jalan aja.” Aku berujar pelan, kaki-kaki kami masih terus berjalan dibelakang Pras.
Cukup jauh kami berjalan, kami masih belum menemukan pemukiman yang dimaksud oleh Pras. Tapi kami menemukan sebuah mushola yang bisa kami gunakan untuk sholat dan beristirahat sebentar. Kami bergantian mengambil air wudhu lalu menunaikan sholat Dzuhur secara berjamaah.
Seusai sholat, kami duduk sebentar di mushola itu untuk melepas lelah. Aku mengambil sebotol air mineral dari tasku, kuteguk pelan. Kusodorkan air mineral itu kepada Pras dan Rengga, mereka menolaknya dengan halus.
“Masih lelah nggak?” Pras membuka pembicaraan. Kami berdua menggelengkan kepala, beringsut membereskan tas masing-masing untuk meneruskan pencarian.
Spekulasi Pras memang tidak salah. Hanya beberapa meter kami berjalan akhirnya sampai juga di tempat yang ramai oleh pemukiman penduduk. Mata kami memperhatikan detail dari satu rumah ke rumah yang lain. Dijendela-jendela rumah banyak yang bertuliskan bahwa rumah mereka disewakan untuk tempat kos, tapi ada juga yang tak ada keterangan sama sekali.
Sejenak kami berhenti disalah satu rumah, kami bertiga celingukan didepan rumah seperti maling yang ingin mencuri perabotan dan perkakas. Semua itu percuma, tak ada respon. Kami pun meninggalkan rumah itu dan tetap berjalan.
Kami berhenti lagi didekat kedai mie ayam. Bukan perihal karena kami lapar, meskipun tak dapat dinafikkan kalau kami memang lapar. Didepan kedai itu ada ibu-ibu yang sedang duduk asik ngerumpi dengan tetangganya. Perlahan kami menghampirinya.
“Permisi buk, disini ada tempat kosong yang disewakan?” Kami bertanya sopan, menyela perbincangan panas ibu-ibu tadi. Sempat miss sejenak, ibu-ibu itu sepertinya masih memikirkan sesuatu, makanya jawaban kami tidak langsung digubris begitu saja.
“Oh ada dek, sini saya antar.” Setelah beberapa saat hening, ibu itu pun menjawab pertanyaan kami dan dengan senang hati menawarkan bantuan.
Kami mengikuti langkah ibu itu memasuki gang-gang sempit diantara rumah-rumah penduduk. Ibu itu pun berhenti disalah satu rumah yang cukup sederhana, tak terlalu bagus namun juga tak terlalu jelek.
“Ini dek tempatnya, bisa dilihat-lihat dulu kok.” Ibu itu pun menghampiri seorang bapak-bapak yang kelihatannya adalah si pemilik rumah. Mereka berbincang-bincang lirih, lantas ibu itu berbalik arah meninggalkan bapak itu menuju kedai mie ayam tadi untuk meneruskan acara ngerumpinya.
Bapak itu pun mengarahkan kami untuk melihat-lihat keadaan rumahnya. Kebetulan kamar kos berada dilantai dua rumah itu. Kami pun memperhatikan keadaan kamar itu dengan seksama. Suasananya lumayan redup, sinar-sinar matahari tertutup bangunan rumah disamping kiri. Beliau menjelaskan fasilitas-fasilitas apa saja yang ditawarkan, yang paling utama adalah bebas listrik dan air, tapi tidak free wifi. Kami bertiga bernegosiasi dengan bapak itu, jika memungkinkan satu kamar nanti akan kami isi berdua
bertiga.
Namun bapak itu menolak, satu kamar beliau khususkan untuk satu anak. Satu hal lagi yang membuat kami sedikit tidak cocok adalah soal harga sewa kos yang cukup tinggi, lima juta per tahun. Dengan sopan kami berpamitan dengan bapak tadi dengan alasan karena belum cocok, alasan yang klasik. Kami hendak mencari tempat yang lebih murah dari nominal yang disebutkan bapak tadi.
Mencari tempat kos ternyata tak segampang yang dikira. Butuh banyak pertimbangan dan yang terpenting kecocokan, mungkin mencari jodoh dimasa depan juga seperti ini tapi dalam skala yang lebih sulit. Berbicara tentang jodoh dan kausalitasnya dengan bangku kuliah, aku jadi teringat meme kocak yang berbunyi “Satu hari menunda skripsi sama dengan satu hari menunda resepsi” ungkapan yang logis dan begitu jenius (jenius mbahmu).
Pukul 14.30 WIB, kami masih belum menemukan tempat kos yang cocok. Bertanya dari satu rumah ke rumah yang lain. Ada yang menjawab sudah penuh, ada yang harganya terlalu tinggi, ada juga yang diperuntukkan khusus untuk cewek. Sesuai rumor yang beredar memang daerah yang kami singgahi ini kebanyakan tempat kos dihuni oleh banyak cewek dari berbagai daerah yang merantau kemari untuk mengejar gelar sarjana.
“Gimana lagi nih bro?” Rengga bertanya pelan, tangannya mengusap lembut tetesan keringat yang ada dikeningnya. Aku diam tak menjawab, sedangkan Pras berjalan beberapa langkah ke depan dari tempat kami berdua berpijak.
“Mau kemana lo Pras?” Tanyaku sedikit menyentak, ia tak menggubrisku. Beberapa detik kemudian, tangannya melambai-lambai kearah kami berdua. Perlahan kami pun bergerak mendekat ke tempatnya.
Kedua mata kami tertuju pada tulisan di sebuah kertas HVS putih hasil cetakan printer yang tertempel didinding sebuah rumah. Dikertas itu bertuliskan bahwa ada tempat kosong untuk dikontrakkan lengkap dengan nomor handphone pemiliknya.
“Coba lo hubungin nomor itu Pras!” Tukasku pelan.
“Lo nggak punya pulsa emangnya Megg?” Ia berbalik menyahut kepadaku. Rengga hanya diam menatap kami berdua yang saling beradu pandang. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku ada pulsa tapi aku bilang kepada Pras bahwa aku sungkan mau menelpon nomor itu, sungguh alasan yang sangat klasik.
Ia pasrah dan sedikit terlihat tak ikhlas untuk merelakan pulsa berharganya untuk kebaikan kami bersama. Aku dan Rengga duduk bersandar didekat dinding rumah itu sambil menunggu Pras yang sedang sibuk menghubungi pemilik nomor. Berkali-kali ditelpon tak ada respon, ia kemudian meninggalkan pesan singkat kepada pemilik nomor itu.
“Belum ada jawaban nih.” Pras duduk merapat bersandingan dengan kami.
Matahari mulai tergelincir beberapa inchi ka arah barat. Suara adzan bergema indah menandakan bahwa waktu telah memasuki waktu Ashr. Kami bertiga duduk sebentar menunggu jawaban dari pemilik nomor itu.
Seorang bapak yang usianya memasuki lansia baru saja keluar dari rumah yang dindingnya tertempel kertas HVS tadi. Beliau celingukan seperti mencari sesuatu. Kami hanya diam memperhatikan gerak-gerik beliau tanpa menaruh prasangka apapun. Perhatiannya pun tertuju ke arah kami lantas menghampiri kami bertiga.
“Kalian yang tadi menghubungi saya ya? Mau ngontrak rumah kan?” Bapak itu bertanya antusias. Beringsut kami bertiga berdiri, dan menjawab kata ‘ya’ kompak.
Segera kami mengikuti bapak itu menuju rumah yang hendak dikontrakkan. Sebelumnya ia memanggil istrinya untuk menemani kami melihat-lihat keadaan dalam rumah. Beliau membuka pintu rumah yang terkunci lalu memperkenankan kami masuk. Entah karena suatu alasan bapak itu kembali lagi kedalam rumahnya, mungkin saja karena beliau kurang
pandai bernegosiasi. Untuk urusan seperti ini memang paling cocok diambil alih oleh seorang wanita.
“Silahkan dilihat-lihat dulu dik, yah kondisinya hanya begini. Semoga cocok.” Ibu itu berkata ramah. Kami mengangguk dan memperhatikan keadaan didalam rumah secara mendetail.
Rumah ini terdiri dari dua lantai. Di lantai bawah terdapat dua buah kamar, sedangkan dilantai atas hanya ada satu kamar namun ukurannya cukup luas. Ada satu kamar mandi, ukurannya terbilang sempit namun cukup bersih. Ada tempat khusus untuk menjemur pakaian, tak terlalu besar dan bagian atasnya tidak langsung terkena pancaran sinar matahari tetapi tertutup oleh asbes bening. Harga yang ditawarkan terbilang cukup murah, empat belas juta per tahun. Itu pun bisa diisi oleh beberapa anak, tergantung kesepakatan penghuni kontrakan.
“Ini sudah bagus buk, kelihatannya kami sudah cocok ini.” Pras selaku pembicara mewakili kami bertiga mencoba bernegosiasi dengan ibu kontrakan.
“Alhamdulillah kalau sudah cocok.” Ibu itu lega mendengar komentar kami. Kemudian secara implisit ibu itu menyinggung terkait uang muka, beliau terlalu sungkan untuk membicarakan hal itu secara frontal.
“Ini kan kami belum membawa uang yang banyak ya bu, hanya ada beberapa. Enaknya ini gimana?” Pras bertanya ramah.
“Ya nggak apa-apa kalau belum bisa membayar penuh, biasanya juga anak-anak nyicil terlebih dahulu. Semampu adik-adik aja dulu, nanti bisa diatur kemudian.” Ibu itu menjawab ringan tak terlalu mempermasalahkan kendala yang kami hadapi.
Kami bertiga mengumpulkan uang yang kami bawa dari rumah seadanya. Total keseluruhan adalah dua setengah juta rupiah. Uang itu kami serahkan kepada ibu kontrakan. Beliau menerimanya dengan terbuka. Jujur saja, kami juga kurang enak dengan beliau karena nominal itu kami rasa terlalu kecil untuk dijadikan uang muka dari keseluruhan harga. Tapi mau bagaimana lagi, itu yang kami punya saat ini. Kami berjanji dan sepakat, bulan depan akan kami lunasi tiga perempat dari harga yang ditentukan.
“Baiklah kalau begitu, kalian bisa istirahat. Pasti lelah daritadi berjalan terus. Perkenalkan, nama saya bu Lis!” Beliau menjabat tangan kami bertiga satu persatu, secara bergantian kami memperkenalkan diri kami masing-masing. Bu Lis beringsut meninggalkan kami bertiga.
“Eh bro, gue nggak bisa lama-lama disini. Rencana gue nanti langsung pulang ke Tulungagung.” Ujar Rengga kepada kami yang masih duduk dan belum meninggalkan posisi.
“Buru-buru amat lo bro. Ngomong-ngomong lo naik apa?” Tanya Pras.
“Pengen gue sih naik Bus, jam segini nggak ada kereta yang beroperasi lagi.” Jawab Rengga datar, tangannya menata kacamata minusnya yang tadi bergeser turun sedikit kebawah.
Mumpung Rengga belum meninggalkan kontrakan ini, Pras menegaskan kembali dan membuat kesepakatan tentang waktu pasti pelunasan uang kontrakan. Tanpa banyak protes semua sepakat bahwa bulan Agustus nanti kami akan melunasi kekurangannya dan Pras punya rencana untuk menambah anak dikontrakan ini.
Ditengah pembicaraan kami yang cukup serius, Bu Lis kembali menghampiri kami bertiga dengan membawa sekaleng biskuit dan sebotol air mineral ukuran 1,5 liter. Beliau menyerahkan secarik kuitansi bukti pembayaran kepada Pras dan menyerahkan kunci kontrakan. Rumah ini pun resmi untuk kami tempati.
Tepat pukul 15.45 WIB, Rengga berpamitan dengan kami berdua. Kini hanya tinggal aku dan Pras yang menempati rumah ini. Suasana didalam rumah kontrakan menjadi tambah sepi. Hari registrasi masih esok lusa, kami menunggu waktu itu sambil bermalas-malasan dengan gadget masing-masing.
Stasiun Tulungagung, 24 Juli 2016
Gerbong kereta disesaki oleh penumpang yang berlalu lalang membawa barang-barangnya masing-masing. Kereta masih tetap diam ditempat, hanya tinggal menghitung tak sampai sepuluh menit peluit tanda keberangkatan akan dibunyikan. Dua orang anak muda tengah risau menanti kedatangan satu anak lagi yang tak diketahui rimbanya.
“Ngga, lo tau nggak dimana nih anak? Daritadi nggak nongolnongol.” Aku menggerutu kesal. Menoleh ke berbagai arah menanti kedatangan satu orang lagi.
“Gue nggak tahu Megg, daritadi Pras nggak ngasih kabar. Seharusnya dia yang datang duluan, yang buat rencana kita berangkat hari ini kan dia.” Rengga dengan raut muka yang kalem menjawab datar tanpa kesan memendam kekesalan.
Kami bertiga hari ini berniat pergi ke Malang bersama untuk mencari kos-kosan. Merupakan sebuah takdir kami bertiga sama-sama lolos seleksi SBMPTN di universitas yang berlokasi di satu kota. Pras satu almamater denganku, dia diterima di Universitas Negeri Malang, jurusan Geografi. Sedangkan Rengga, meskipun tampangnya biasa-biasa saja dan terkesan culun, ia diterima di jurusan Teknik Komputer, Universitas Brawijaya. Merupakan suatu kebanggaan untuk dia, awalnya Rengga bingung untuk kuliah didalam kota atau diluar kota. Berkat dukungan dari berbagai pihak ia memutuskan untuk kuliah di salah satu universitas terbesar di kota Malang itu.
Seminggu yang lalu kami sudah membuat rencana yang matang untuk pergi ke Malang. Selain mencari kos-kosan, besok lusa aku dan Pras harus registrasi di universitas untuk melengkapi berkas-berkas pendaftaran yang sudah kami persiapkan beberapa hari yang lalu. Aku berpikiran mengajak Rengga untuk bergabung bersama kami mencari kos-kosan, dia setuju dengan alasan karena akan lebih mudah jika dekat dengan teman yang berasal dari kota yang sama.
“Anjirr nih anak, gue daritadi sms nggak dibales, telpon juga nggak diangkat.” Kekesalanku kian memuncak. Peluit dari penjaga stasiun berbunyi nyaring, gerbong kereta perlahan bergetar. Aku sudah kehabisan akal, percuma juga marah-marah. Tasku kuletakkan diatas kursi dengan muatan tiga orang penumpang. Tak sengaja aku memalingkan muka ke sisi kiriku. Tanpa ada angin yang berhembus atau backsong mistis dari film horror, Pras sudah berdiri disampingku dengan jaket hitamnya layaknya hantu.
“Bajingan, lo bikin kita cemas aja. Padahal lo sendiri yang ngatur perjalanan kali ini. Kita cuman nurut rencana lo.” Aku berkata sarkas kepada dia, sedangkan Rengga tersenyum lega karena kami sekarang telah lengkap.
Kereta pun melaju menuju kota Malang. Dengan latar belakang yang berbeda-beda, kami dipertemukan karena suatu alasan. Dan disini kami ada untuk satu tujuan, kos-kosan.
***
Pukul 12.15 WIB, kami sampai juga di kota Malang. Kami bertiga bergegas keluar stasiun untuk mencari sebuah angkot dengan tujuan pemberhentian di sekitar area kampus Universitas Brawijaya.
Beberapa kilometer ditempuh oleh angkot berwarna biru yang kami naiki, melewati jalanan-jalanan asing yang pernah kami lihat sekilas pada saat tes dulu. Kami bertiga turun di dekat pepohonan rindang yang berjajar rapi dipinggir jalan.
Dapat diprediksi bahwa hal pertama yang harus kami lakukan adalah bertanya kepada orang-orang yang ada disekitar kami. Mengikuti kata pepatah “Malu bertanya, sesat dijalan.”
Tak jauh dari tempat kami berdiri ada sebuah sepasang kursi besi yang saling berhadapan. Letaknya persis dipinggir jalan. Kursi itu memang diperuntukkan bagi para pejalan kaki atau siapapun yang ingin menikmati waktu santai. Disana tengah duduk seorang bapak-bapak yang baru bersepeda di tengah teriknya matahari. Kami bertiga pun menghampirinya.
“Asli orang Malang ya pak?” Pras membuka pembicaraan dengan sopan.
“Iya dek, kenapa emangnya?” Bapak itu menjawab halus, tangannya mengibas-ibaskan topi hitam ke sekitar kerah untuk mengurangi gerah.
“Ini kami mau mencari kos-kosan, bapak tau kos yang murah didaerah sini ada dimana?”
“Wah maaf ya dek, kok saya kurang tau. Tapi didekat Universitas Brawijaya ada kos juga kayaknya, coba cari digang-gang sekitar sana banyak kok yang menyewakan tempat kos. Ada juga yang untuk menginap sehari semalam, harganya ya lumayan.” Tak ada tanda-tanda bahwa bapak itu hendak menipu kami. Ekspresi wajahnya memang menunjukkan bahwa beliau memang tidak tahu.
“Ya udah pak kalau begitu, terimakasih.” Kami pun meneruskan perjalanan yang masih tanpa tujuan ini. Menyusuri trotoar dipinggir jalan, merapat dibawah pepohonan yang berjajar rapi guna mengurangi panasnya matahari siang ini.
“Pras, lo punya ide nggak?” Sahut Rengga.
Ia dengan tenang menjelaskan kepada kami. Didekat tempat kami berada ada sebuah perumahan yang cukup padat, letaknya disekitar
Universitas Negeri Malang. Mungkin kami harus menempuh jarak sekitar tiga kilometer lagi untuk sampai kesana.
Patut kuacungi jempol untuk Pras, ia adalah informan yang handal. Beberapa waktu yang lalu, ia sempat bertanya-tanya kepada salah seorang teman yang saat ini kuliah di Malang. Tak hanya berhenti disitu ia juga mencari tempat kos lewat salah satu website dan aplikasi penyedia jasa pencarian tempat kos atau sewa rumah. Berpikir bahwa didekat kampus ada perumahan yang kemungkinannya banyak tawaran-tawaran tempat kos, itu sungguh ide yang brilian.
“Ya udah, kita ngikut lo aja deh. Yang paling penting kita terus jalan aja.” Aku berujar pelan, kaki-kaki kami masih terus berjalan dibelakang Pras.
Cukup jauh kami berjalan, kami masih belum menemukan pemukiman yang dimaksud oleh Pras. Tapi kami menemukan sebuah mushola yang bisa kami gunakan untuk sholat dan beristirahat sebentar. Kami bergantian mengambil air wudhu lalu menunaikan sholat Dzuhur secara berjamaah.
Seusai sholat, kami duduk sebentar di mushola itu untuk melepas lelah. Aku mengambil sebotol air mineral dari tasku, kuteguk pelan. Kusodorkan air mineral itu kepada Pras dan Rengga, mereka menolaknya dengan halus.
“Masih lelah nggak?” Pras membuka pembicaraan. Kami berdua menggelengkan kepala, beringsut membereskan tas masing-masing untuk meneruskan pencarian.
Spekulasi Pras memang tidak salah. Hanya beberapa meter kami berjalan akhirnya sampai juga di tempat yang ramai oleh pemukiman penduduk. Mata kami memperhatikan detail dari satu rumah ke rumah yang lain. Dijendela-jendela rumah banyak yang bertuliskan bahwa rumah mereka disewakan untuk tempat kos, tapi ada juga yang tak ada keterangan sama sekali.
Sejenak kami berhenti disalah satu rumah, kami bertiga celingukan didepan rumah seperti maling yang ingin mencuri perabotan dan perkakas. Semua itu percuma, tak ada respon. Kami pun meninggalkan rumah itu dan tetap berjalan.
Kami berhenti lagi didekat kedai mie ayam. Bukan perihal karena kami lapar, meskipun tak dapat dinafikkan kalau kami memang lapar. Didepan kedai itu ada ibu-ibu yang sedang duduk asik ngerumpi dengan tetangganya. Perlahan kami menghampirinya.
“Permisi buk, disini ada tempat kosong yang disewakan?” Kami bertanya sopan, menyela perbincangan panas ibu-ibu tadi. Sempat miss sejenak, ibu-ibu itu sepertinya masih memikirkan sesuatu, makanya jawaban kami tidak langsung digubris begitu saja.
“Oh ada dek, sini saya antar.” Setelah beberapa saat hening, ibu itu pun menjawab pertanyaan kami dan dengan senang hati menawarkan bantuan.
Kami mengikuti langkah ibu itu memasuki gang-gang sempit diantara rumah-rumah penduduk. Ibu itu pun berhenti disalah satu rumah yang cukup sederhana, tak terlalu bagus namun juga tak terlalu jelek.
“Ini dek tempatnya, bisa dilihat-lihat dulu kok.” Ibu itu pun menghampiri seorang bapak-bapak yang kelihatannya adalah si pemilik rumah. Mereka berbincang-bincang lirih, lantas ibu itu berbalik arah meninggalkan bapak itu menuju kedai mie ayam tadi untuk meneruskan acara ngerumpinya.
Bapak itu pun mengarahkan kami untuk melihat-lihat keadaan rumahnya. Kebetulan kamar kos berada dilantai dua rumah itu. Kami pun memperhatikan keadaan kamar itu dengan seksama. Suasananya lumayan redup, sinar-sinar matahari tertutup bangunan rumah disamping kiri. Beliau menjelaskan fasilitas-fasilitas apa saja yang ditawarkan, yang paling utama adalah bebas listrik dan air, tapi tidak free wifi. Kami bertiga bernegosiasi dengan bapak itu, jika memungkinkan satu kamar nanti akan kami isi berdua
bertiga.
Namun bapak itu menolak, satu kamar beliau khususkan untuk satu anak. Satu hal lagi yang membuat kami sedikit tidak cocok adalah soal harga sewa kos yang cukup tinggi, lima juta per tahun. Dengan sopan kami berpamitan dengan bapak tadi dengan alasan karena belum cocok, alasan yang klasik. Kami hendak mencari tempat yang lebih murah dari nominal yang disebutkan bapak tadi.
Mencari tempat kos ternyata tak segampang yang dikira. Butuh banyak pertimbangan dan yang terpenting kecocokan, mungkin mencari jodoh dimasa depan juga seperti ini tapi dalam skala yang lebih sulit. Berbicara tentang jodoh dan kausalitasnya dengan bangku kuliah, aku jadi teringat meme kocak yang berbunyi “Satu hari menunda skripsi sama dengan satu hari menunda resepsi” ungkapan yang logis dan begitu jenius (jenius mbahmu).
Pukul 14.30 WIB, kami masih belum menemukan tempat kos yang cocok. Bertanya dari satu rumah ke rumah yang lain. Ada yang menjawab sudah penuh, ada yang harganya terlalu tinggi, ada juga yang diperuntukkan khusus untuk cewek. Sesuai rumor yang beredar memang daerah yang kami singgahi ini kebanyakan tempat kos dihuni oleh banyak cewek dari berbagai daerah yang merantau kemari untuk mengejar gelar sarjana.
“Gimana lagi nih bro?” Rengga bertanya pelan, tangannya mengusap lembut tetesan keringat yang ada dikeningnya. Aku diam tak menjawab, sedangkan Pras berjalan beberapa langkah ke depan dari tempat kami berdua berpijak.
“Mau kemana lo Pras?” Tanyaku sedikit menyentak, ia tak menggubrisku. Beberapa detik kemudian, tangannya melambai-lambai kearah kami berdua. Perlahan kami pun bergerak mendekat ke tempatnya.
Kedua mata kami tertuju pada tulisan di sebuah kertas HVS putih hasil cetakan printer yang tertempel didinding sebuah rumah. Dikertas itu bertuliskan bahwa ada tempat kosong untuk dikontrakkan lengkap dengan nomor handphone pemiliknya.
“Coba lo hubungin nomor itu Pras!” Tukasku pelan.
“Lo nggak punya pulsa emangnya Megg?” Ia berbalik menyahut kepadaku. Rengga hanya diam menatap kami berdua yang saling beradu pandang. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku ada pulsa tapi aku bilang kepada Pras bahwa aku sungkan mau menelpon nomor itu, sungguh alasan yang sangat klasik.
Ia pasrah dan sedikit terlihat tak ikhlas untuk merelakan pulsa berharganya untuk kebaikan kami bersama. Aku dan Rengga duduk bersandar didekat dinding rumah itu sambil menunggu Pras yang sedang sibuk menghubungi pemilik nomor. Berkali-kali ditelpon tak ada respon, ia kemudian meninggalkan pesan singkat kepada pemilik nomor itu.
“Belum ada jawaban nih.” Pras duduk merapat bersandingan dengan kami.
Matahari mulai tergelincir beberapa inchi ka arah barat. Suara adzan bergema indah menandakan bahwa waktu telah memasuki waktu Ashr. Kami bertiga duduk sebentar menunggu jawaban dari pemilik nomor itu.
Seorang bapak yang usianya memasuki lansia baru saja keluar dari rumah yang dindingnya tertempel kertas HVS tadi. Beliau celingukan seperti mencari sesuatu. Kami hanya diam memperhatikan gerak-gerik beliau tanpa menaruh prasangka apapun. Perhatiannya pun tertuju ke arah kami lantas menghampiri kami bertiga.
“Kalian yang tadi menghubungi saya ya? Mau ngontrak rumah kan?” Bapak itu bertanya antusias. Beringsut kami bertiga berdiri, dan menjawab kata ‘ya’ kompak.
Segera kami mengikuti bapak itu menuju rumah yang hendak dikontrakkan. Sebelumnya ia memanggil istrinya untuk menemani kami melihat-lihat keadaan dalam rumah. Beliau membuka pintu rumah yang terkunci lalu memperkenankan kami masuk. Entah karena suatu alasan bapak itu kembali lagi kedalam rumahnya, mungkin saja karena beliau kurang
pandai bernegosiasi. Untuk urusan seperti ini memang paling cocok diambil alih oleh seorang wanita.
“Silahkan dilihat-lihat dulu dik, yah kondisinya hanya begini. Semoga cocok.” Ibu itu berkata ramah. Kami mengangguk dan memperhatikan keadaan didalam rumah secara mendetail.
Rumah ini terdiri dari dua lantai. Di lantai bawah terdapat dua buah kamar, sedangkan dilantai atas hanya ada satu kamar namun ukurannya cukup luas. Ada satu kamar mandi, ukurannya terbilang sempit namun cukup bersih. Ada tempat khusus untuk menjemur pakaian, tak terlalu besar dan bagian atasnya tidak langsung terkena pancaran sinar matahari tetapi tertutup oleh asbes bening. Harga yang ditawarkan terbilang cukup murah, empat belas juta per tahun. Itu pun bisa diisi oleh beberapa anak, tergantung kesepakatan penghuni kontrakan.
“Ini sudah bagus buk, kelihatannya kami sudah cocok ini.” Pras selaku pembicara mewakili kami bertiga mencoba bernegosiasi dengan ibu kontrakan.
“Alhamdulillah kalau sudah cocok.” Ibu itu lega mendengar komentar kami. Kemudian secara implisit ibu itu menyinggung terkait uang muka, beliau terlalu sungkan untuk membicarakan hal itu secara frontal.
“Ini kan kami belum membawa uang yang banyak ya bu, hanya ada beberapa. Enaknya ini gimana?” Pras bertanya ramah.
“Ya nggak apa-apa kalau belum bisa membayar penuh, biasanya juga anak-anak nyicil terlebih dahulu. Semampu adik-adik aja dulu, nanti bisa diatur kemudian.” Ibu itu menjawab ringan tak terlalu mempermasalahkan kendala yang kami hadapi.
Kami bertiga mengumpulkan uang yang kami bawa dari rumah seadanya. Total keseluruhan adalah dua setengah juta rupiah. Uang itu kami serahkan kepada ibu kontrakan. Beliau menerimanya dengan terbuka. Jujur saja, kami juga kurang enak dengan beliau karena nominal itu kami rasa terlalu kecil untuk dijadikan uang muka dari keseluruhan harga. Tapi mau bagaimana lagi, itu yang kami punya saat ini. Kami berjanji dan sepakat, bulan depan akan kami lunasi tiga perempat dari harga yang ditentukan.
“Baiklah kalau begitu, kalian bisa istirahat. Pasti lelah daritadi berjalan terus. Perkenalkan, nama saya bu Lis!” Beliau menjabat tangan kami bertiga satu persatu, secara bergantian kami memperkenalkan diri kami masing-masing. Bu Lis beringsut meninggalkan kami bertiga.
“Eh bro, gue nggak bisa lama-lama disini. Rencana gue nanti langsung pulang ke Tulungagung.” Ujar Rengga kepada kami yang masih duduk dan belum meninggalkan posisi.
“Buru-buru amat lo bro. Ngomong-ngomong lo naik apa?” Tanya Pras.
“Pengen gue sih naik Bus, jam segini nggak ada kereta yang beroperasi lagi.” Jawab Rengga datar, tangannya menata kacamata minusnya yang tadi bergeser turun sedikit kebawah.
Mumpung Rengga belum meninggalkan kontrakan ini, Pras menegaskan kembali dan membuat kesepakatan tentang waktu pasti pelunasan uang kontrakan. Tanpa banyak protes semua sepakat bahwa bulan Agustus nanti kami akan melunasi kekurangannya dan Pras punya rencana untuk menambah anak dikontrakan ini.
Ditengah pembicaraan kami yang cukup serius, Bu Lis kembali menghampiri kami bertiga dengan membawa sekaleng biskuit dan sebotol air mineral ukuran 1,5 liter. Beliau menyerahkan secarik kuitansi bukti pembayaran kepada Pras dan menyerahkan kunci kontrakan. Rumah ini pun resmi untuk kami tempati.
Tepat pukul 15.45 WIB, Rengga berpamitan dengan kami berdua. Kini hanya tinggal aku dan Pras yang menempati rumah ini. Suasana didalam rumah kontrakan menjadi tambah sepi. Hari registrasi masih esok lusa, kami menunggu waktu itu sambil bermalas-malasan dengan gadget masing-masing.
0