- Beranda
- Stories from the Heart
Cerita Kepala Kedua [20++]
...
TS
Kepalakedua
Cerita Kepala Kedua [20++]
Quote:
Buat orang-orang berumur dua puluhan yang mungkin lagi meragukan banyak kenyataan, tulisan ini aku persembahakan.
Spoiler for Cover:
Quote:
00: Dari Nol Ya!
Quote:
Di kamar kos yang minim fasilitas, aku duduk-duduk di kasur sambil baca buku paling menyedihkan di dunia; buku tabungan. Apa yang diceritakan di sana bikin aku menjerit, "YASALAAAM INI SALDO APA KODE POS?" Begitulah rasanya bangun tidur waktu hidup lagi tokai-tokainya. Dan itulah, satu dari sekian risiko mengejar passion dan mengikuti kata hati yang jarang diceritakan orang. Kata hati nggak pernah salah, cuma ya... sering juga bikin masalah.
Gimana caranya bayar kosan bulan depan?
Bakal cukup nggak ya buat makan?
Aing udah seperempat abad anjir masa gini-gini aja!
Aku mengangkat diri terus diam di depan lemari baju yang ada kacanya. Lumayan lama juga ya nggak melihat diri sendiri. Aku jadi pangling sama dia yang aku lihat di kaca. "Hei bro! Gagal lagi bro? Udah kerasa belum sakitnya? Hehe." Itu senyuman penuh ejekan, "kalem dulu, kalem."
Aku nunduk terus usap-usap wajah yang nggak seberapa indah, "capek juga ya ngejar-ngejar yang terbang." Keluhku.
"Kamu mah cuma denger kata orang sih, bermimpilah setinggi-tingginya. Giliran aing yang bilang kalau mau setinggi itu harus siap jatuh sesakit itu juga... nggak mau dengar." Suaranya meninggi.
"Maaf atuh anjir..." Balasku.
Demi mencari hiburan, aku membuka ponsel. Biasanya aku lihat-lihat Instagram. Aku suka Instagram, satu orang yang sama mukanya bisa beda-beda. Keren banget nggak sih...
Hari itu rasanya lain, nggak ada kesenangan kayak biasanya. Buka-buka dunia sosial maya bikin aku merasa semakin buruk. Aku berasumsi kalau semua orang punya hidup yang oke kecuali aku.
"Nggak gitu atuh anjir!" Dia bersuara agak keras. "Kamu nggak bisa megang kendali sama apa yang terjadi di luar sana. Kamu cuma bisa megang kendali sama apa yang di dalam situ." Dia menunjuk dadaku.
"Tapi..."
"Jangan lihat ke luar terus! Lihat ke dalam... ada aku."
***
Daripada tambah pusing, mending aku mandi aja. Terus ke luar cari udara segar yang sebenarnya nggak segar-segar amat. Mana ada udara segar di tengah kota Bandung yang lagi macet-macetnya. Di Lembang sana baru ada. Aku makan siang terus nongkrong di pinggir jalan Cihampelas. Banyak orang lalu lalang. Wajar, hari minggu waktunya orang-orang pada bersosialisasi. Jadi pada keluar rumah, biar kelihatan punya teman.
Duduk sendiri, mengamati orang-orang sekitar sini. Kalau diamati, rasa di wajahnya beda-beda. Aku jadi bertanya-tanya, mereka pada ngapain sih di sini? Pada bahagia nggak sih mereka itu? Lihat bapak-bapak tukang parkir itu? Iya, yang lagi ketawa lepas sama rekan sejawatnya. Mereka hore-hore di pinggir jalan, bukan tempat ngopi estetik.
Dia punya mimpi nggak sih? Coba samperin terus tanya baik-baik, "Jadi tukang parkir itu cita-cita Pak? Ini ngejar passion ya Pak?"
Nggak, kemungkinan dia cuma bertahan hidup aja dan terlihat baik-baik aja. Aku penasaran bagaimana cara dia memaknai hidup, ya? Aku mau tahu cara dia menambal segala kekurangan di hidupnya dan mengisi segala kekosongan di hatinya.
Dia nggak nongkrong di cafe kekinian.
Dia nggak sibuk mikirin gaya berpakaian.
Dia nggak peduli sama drama di dunia maya.
Di sini, dia bercanda sama teman-temannya. Menikmati yang seadanya, terus tertawa selepas-lepasnya. Keren ya, ringan dan menyenangkan. Lukanya tertutup rapi, tapi ketegarannya telanjang.
Pernyataan:
Aku yang lagi sejatuh ini masih punya banyak hal yang lebih baik dari dia.
Pertanyaan:
Apa itu berarti seharusnya aku punya banyak alasan buat lebih bahagia?
Aku penasaran bapak-bapak itu waktu masih muda mimpinya apa? Waktu remaja, aku punya mimpi mau bangun rumah sebelum umur 25. Sekarang udah lewat, "Udah 25 lebih kenapa belum punya rumah?"
"Hei!" Dia bersuara lagi, "itu harapan mulai berubah jadi tuntutan anjir! Jangan gitu!"
"Tapi..."
"Dengar!" Dia bersuara lebih keras, "kamu itu masih mampu bayar kos setiap bulan dan sama sekali nggak ada yang salah dengan itu. Emang belum ada rumah kayak yang kamu mimpikan, tapi... itu nggak apa-apa!"
"Nggak apa-apa ya?"
"Iyalah nggak apa-apa. Jangan sampai apa yang kamu harapkan bikin kamu benci sama apa yang jadi kenyataan."
"Emang aing seburuk itu ya? Sampai harus segagal ini?"
"Nggak buruk dan nggak gagal juga sih sebenarnya." Suaranya melunak, "yang bikin rasanya nggak enak itu karena kamu menggantungkan harapan dan kebahagiaan ke sesuatu di luar kendali."
"Masa sih?"
"Nggak sadar? Kan aing udah bilang berkali-kali anjir!" Suaranya meninggi lagi, "kamu berharap produk yang kamu jual laku keras karena kamu bakal bahagia karena itu. Padahal, semua itu di luar kendali kamu."
"..."
"Apa yang ada di dalam kendali? Segala hal yang kamu usahakan, sekecil-kecilnya. "
"...tapi nggak ada hasilnya." Aku menyimpulkan.
"Nggak apa-apa, nggak semuanya harus berhasil. Nggak semuanya harus menang, nggak semuanya harus sekarang. Seharusnya kamu cukup berharap jadi orang yang selalu mau berusaha apapun yang terjadi dan bahagia karena kamu mau menerima lelahnya."
"Iya, aku cuma agak malu. Aku pernah memimpikan sosok aku seindah-indahnya, ternyata aku belum seindah itu. Beda sama merek—"
"Hei." Dia menyanggah, "hidup itu bukan kompetisi, tapi dokumentasi. Semua yang indah nggak datang secepatnya, tapi setepatnya. Kamu mau orang yang cepat atau orang yang tepat?"
Hehe.
Aku agak senang menyadari itu. Kayak disiram air dingin pas cuaca lagi panas-panasnya.
"Aku nggak tahu harus ngapain lagi." Aku berterus terang.
"Kamu itu punya selalu punya tugas besar loh!"
"Apa?"
"Bikin kenangan."
"..."
"Hayu anjir bikin kenangan, biar nggak malu-maluin anak cucu."
"Oke hayu."
Matahari udah mau pamit, sebaiknya aku pulang ke kosan. Rasanya jadi agak ringan. Mungkin benar, ada yang salah. Ada yang belum baik dan harus diperbaiki. Aku mau menguasai dunia, tapi cukup duniaku aja. Bukan lagi dunia mereka, kegedean.
"Hei, terima kasih buat hari ini." Suara itu menenangkan, suara yang selama ini dengan sengaja aku abaikan. Suara kepala kedua yang aku yakin semua orang punya. "Besok coba lagi. Masih bisa jatuh dan bangkit lagi."
"..."
"Kalau hari ini belum jadi apa-apa, nggak apa-apa."
Baru mau tidur, ponsel bunyi. Ada chat dari seseorang.
'Aa apa kabar? '
Anjir, pakai nanya kabar segala. Terus kalau aku bilang kabarku buruk dia mau apa?
'Kabarnya buruk, Neng. Keputusan yang aku anggap benar ternyata salah anjir. Kamu mau peluk aku nggak, Neng? Kayak dulu...'
Hapus... hapus... jangan gini balasnya!
'Baik, Neng.'
Bohong kecil gini nggak apa-apa kan? Semua orang pernah kan?
'Minggu depan aku ke Bandung ketemuan boleh nggak?'
Seandainya aku lagi punya sesuatu buat dibanggakan, pasti bakal aku iyakan.
Seandainya aku udah jauh lebih baik dari kali terakhir kita ketemu, pasti bakal aku iyakan.
Seandainya... ah nanti ajalah balasnya, tidur dulu aja.
Gimana caranya bayar kosan bulan depan?
Bakal cukup nggak ya buat makan?
Aing udah seperempat abad anjir masa gini-gini aja!
Aku mengangkat diri terus diam di depan lemari baju yang ada kacanya. Lumayan lama juga ya nggak melihat diri sendiri. Aku jadi pangling sama dia yang aku lihat di kaca. "Hei bro! Gagal lagi bro? Udah kerasa belum sakitnya? Hehe." Itu senyuman penuh ejekan, "kalem dulu, kalem."
Aku nunduk terus usap-usap wajah yang nggak seberapa indah, "capek juga ya ngejar-ngejar yang terbang." Keluhku.
"Kamu mah cuma denger kata orang sih, bermimpilah setinggi-tingginya. Giliran aing yang bilang kalau mau setinggi itu harus siap jatuh sesakit itu juga... nggak mau dengar." Suaranya meninggi.
"Maaf atuh anjir..." Balasku.
Demi mencari hiburan, aku membuka ponsel. Biasanya aku lihat-lihat Instagram. Aku suka Instagram, satu orang yang sama mukanya bisa beda-beda. Keren banget nggak sih...
Hari itu rasanya lain, nggak ada kesenangan kayak biasanya. Buka-buka dunia sosial maya bikin aku merasa semakin buruk. Aku berasumsi kalau semua orang punya hidup yang oke kecuali aku.
"Nggak gitu atuh anjir!" Dia bersuara agak keras. "Kamu nggak bisa megang kendali sama apa yang terjadi di luar sana. Kamu cuma bisa megang kendali sama apa yang di dalam situ." Dia menunjuk dadaku.
"Tapi..."
"Jangan lihat ke luar terus! Lihat ke dalam... ada aku."
***
Daripada tambah pusing, mending aku mandi aja. Terus ke luar cari udara segar yang sebenarnya nggak segar-segar amat. Mana ada udara segar di tengah kota Bandung yang lagi macet-macetnya. Di Lembang sana baru ada. Aku makan siang terus nongkrong di pinggir jalan Cihampelas. Banyak orang lalu lalang. Wajar, hari minggu waktunya orang-orang pada bersosialisasi. Jadi pada keluar rumah, biar kelihatan punya teman.
Duduk sendiri, mengamati orang-orang sekitar sini. Kalau diamati, rasa di wajahnya beda-beda. Aku jadi bertanya-tanya, mereka pada ngapain sih di sini? Pada bahagia nggak sih mereka itu? Lihat bapak-bapak tukang parkir itu? Iya, yang lagi ketawa lepas sama rekan sejawatnya. Mereka hore-hore di pinggir jalan, bukan tempat ngopi estetik.
Dia punya mimpi nggak sih? Coba samperin terus tanya baik-baik, "Jadi tukang parkir itu cita-cita Pak? Ini ngejar passion ya Pak?"
Nggak, kemungkinan dia cuma bertahan hidup aja dan terlihat baik-baik aja. Aku penasaran bagaimana cara dia memaknai hidup, ya? Aku mau tahu cara dia menambal segala kekurangan di hidupnya dan mengisi segala kekosongan di hatinya.
Dia nggak nongkrong di cafe kekinian.
Dia nggak sibuk mikirin gaya berpakaian.
Dia nggak peduli sama drama di dunia maya.
Di sini, dia bercanda sama teman-temannya. Menikmati yang seadanya, terus tertawa selepas-lepasnya. Keren ya, ringan dan menyenangkan. Lukanya tertutup rapi, tapi ketegarannya telanjang.
Pernyataan:
Aku yang lagi sejatuh ini masih punya banyak hal yang lebih baik dari dia.
Pertanyaan:
Apa itu berarti seharusnya aku punya banyak alasan buat lebih bahagia?
Aku penasaran bapak-bapak itu waktu masih muda mimpinya apa? Waktu remaja, aku punya mimpi mau bangun rumah sebelum umur 25. Sekarang udah lewat, "Udah 25 lebih kenapa belum punya rumah?"
"Hei!" Dia bersuara lagi, "itu harapan mulai berubah jadi tuntutan anjir! Jangan gitu!"
"Tapi..."
"Dengar!" Dia bersuara lebih keras, "kamu itu masih mampu bayar kos setiap bulan dan sama sekali nggak ada yang salah dengan itu. Emang belum ada rumah kayak yang kamu mimpikan, tapi... itu nggak apa-apa!"
"Nggak apa-apa ya?"
"Iyalah nggak apa-apa. Jangan sampai apa yang kamu harapkan bikin kamu benci sama apa yang jadi kenyataan."
"Emang aing seburuk itu ya? Sampai harus segagal ini?"
"Nggak buruk dan nggak gagal juga sih sebenarnya." Suaranya melunak, "yang bikin rasanya nggak enak itu karena kamu menggantungkan harapan dan kebahagiaan ke sesuatu di luar kendali."
"Masa sih?"
"Nggak sadar? Kan aing udah bilang berkali-kali anjir!" Suaranya meninggi lagi, "kamu berharap produk yang kamu jual laku keras karena kamu bakal bahagia karena itu. Padahal, semua itu di luar kendali kamu."
"..."
"Apa yang ada di dalam kendali? Segala hal yang kamu usahakan, sekecil-kecilnya. "
"...tapi nggak ada hasilnya." Aku menyimpulkan.
"Nggak apa-apa, nggak semuanya harus berhasil. Nggak semuanya harus menang, nggak semuanya harus sekarang. Seharusnya kamu cukup berharap jadi orang yang selalu mau berusaha apapun yang terjadi dan bahagia karena kamu mau menerima lelahnya."
"Iya, aku cuma agak malu. Aku pernah memimpikan sosok aku seindah-indahnya, ternyata aku belum seindah itu. Beda sama merek—"
"Hei." Dia menyanggah, "hidup itu bukan kompetisi, tapi dokumentasi. Semua yang indah nggak datang secepatnya, tapi setepatnya. Kamu mau orang yang cepat atau orang yang tepat?"
Hehe.
Aku agak senang menyadari itu. Kayak disiram air dingin pas cuaca lagi panas-panasnya.
"Aku nggak tahu harus ngapain lagi." Aku berterus terang.
"Kamu itu punya selalu punya tugas besar loh!"
"Apa?"
"Bikin kenangan."
"..."
"Hayu anjir bikin kenangan, biar nggak malu-maluin anak cucu."
"Oke hayu."
Matahari udah mau pamit, sebaiknya aku pulang ke kosan. Rasanya jadi agak ringan. Mungkin benar, ada yang salah. Ada yang belum baik dan harus diperbaiki. Aku mau menguasai dunia, tapi cukup duniaku aja. Bukan lagi dunia mereka, kegedean.
"Hei, terima kasih buat hari ini." Suara itu menenangkan, suara yang selama ini dengan sengaja aku abaikan. Suara kepala kedua yang aku yakin semua orang punya. "Besok coba lagi. Masih bisa jatuh dan bangkit lagi."
"..."
"Kalau hari ini belum jadi apa-apa, nggak apa-apa."
Baru mau tidur, ponsel bunyi. Ada chat dari seseorang.
'Aa apa kabar? '
Anjir, pakai nanya kabar segala. Terus kalau aku bilang kabarku buruk dia mau apa?
'Kabarnya buruk, Neng. Keputusan yang aku anggap benar ternyata salah anjir. Kamu mau peluk aku nggak, Neng? Kayak dulu...'
Hapus... hapus... jangan gini balasnya!
'Baik, Neng.'
Bohong kecil gini nggak apa-apa kan? Semua orang pernah kan?
'Minggu depan aku ke Bandung ketemuan boleh nggak?'
Seandainya aku lagi punya sesuatu buat dibanggakan, pasti bakal aku iyakan.
Seandainya aku udah jauh lebih baik dari kali terakhir kita ketemu, pasti bakal aku iyakan.
Seandainya... ah nanti ajalah balasnya, tidur dulu aja.
Hei
Manusia,
Yang ada apa-apa
Yang bukan siapa-siapa
Yang belum ke mana-mana
Nggak apa-apa
Nggak apa-apa
Nggak apa-apa.
Manusia,
Yang ada apa-apa
Yang bukan siapa-siapa
Yang belum ke mana-mana
Nggak apa-apa
Nggak apa-apa
Nggak apa-apa.
Spoiler for INDEX:
00: Mulai Dari Nol!
01: Inovasi Dari Sini
02: Pesan Dari Hujan
03: Mimpiku yang Ada Kamunya
04: Teori Bintang Jatuh
Quote:
Halo Masgan dan Mbaksis sekalian
Mau numpang nulis cerita di sini ya
Kalau boleh, tinggalin jejaknya ya
Biar saya kenal masnya dan mbaknya sebagai manusia bukan cuma data hehe
Selamat menikmati! Maaf versi yang kemarin direvisi, yang ini lebih enak dibaca soalnya.
Mau numpang nulis cerita di sini ya
Kalau boleh, tinggalin jejaknya ya
Biar saya kenal masnya dan mbaknya sebagai manusia bukan cuma data hehe
Selamat menikmati! Maaf versi yang kemarin direvisi, yang ini lebih enak dibaca soalnya.
Diubah oleh Kepalakedua 02-07-2019 02:56
anton2019827 dan 35 lainnya memberi reputasi
34
13.3K
Kutip
65
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Kepalakedua
#13
03: Mimpiku yang Ada Kamunya
Quote:
Sekali lagi, aku kasih waktu aku buat kamu. Di sini, di tempat kesukaan kamu. Dulu kita sering ke sini, padahal aku nggak suka-suka amat. Aku cuma suka bagian kita berduaan di sini. Sekarang, kamu datang lagi. Minta ketemu di sini lagi. Kamu ingat waktu kamu minta aku ajak ke sini?
"Aa pengen ke bukit bintang ih."
"Mau ngapain ke sana? Tiris anjir aslina."
"Aku belum pernah."
"Aku mah udah dan tiris banget."
"Atuh masa aku sendiri?"
"Ya nggak usah kan nggak apa-apa. Nggak bakal ditanya ini kalau UAS."
"Ih Aa mah, gak tahu ah mau nangis aja aku mah."
Oke, kamu sudah merajuk seperti itu. Artinya, keinginan akan segera terkabulkan. Bahkan meskipun aku tahu kalau di sana itu sangat tiris. Aku nggak tahu kenapa kamu nggak pakai jaket, dan aku juga nggak tahu kenapa aku kasih jaket yang aku pakai buat kamu. Di sana, kamu cerita soal kamu yang perfeksionis banget itu.
Kamu cerita soal tugas kelompok dan kamu dapat kelompok yang berisi orang-orang payah. Kamu sebal karena mereka terkesan asal-asalan kalau ngerjain tugas. Kamu nggak bisa, karena kamu mau tugas apapun yang kamu kerjakan harus sempurna. Kamu nggak mau ada kesalahan sekecil apapun, karena buat kamu kesalahan sekecil itu cukup buat ngerusak semuanya.
"Kayak kata pepatah, karena cupang setitik rusak susu sebelanga."
"Aa..."
"Ya?"
"ITU NILA AA! KENAPA JADI CUPANG!"
"YAUDAH ATUH KAN SAMA-SAMA IKAN!"
"AA MAH PORNO IH ANJIR! MENTANG-MENTANG ADA SUSU INGETNYA SAMA CUPANG! HAHAHA!"
Kamu ketawa sampai keluar airmata. Orang-orang mungkin ngiranya aku bikin kamu nangis. Apalagi yang kita bahas adalah susu dan cupang. Padahal, ini bukan soal gairah, cuma pepatah. Kami beda sama mereka. Kami pasangan intelek dan filosofis, bahasnya pepatah.
Itu salah satu keputusan yang aku sesali, karena kamu sering minta ke sana lagi.
"Ke bukit bintang, A!"
"Kamu kenapa sih suka banget ke sana? Lagian itu bukan bintang, tapi bohlam!"
"Ya aku suka liat lampu-lampu itu."
Selera kamu payah anjir, manusia macam apa yang suka liatin lampu? Di kosan juga ada kalau cuma lampu. Dan aku nggak tahu kenapa kamu sukanya pakai baju tipis kalau ke sana. Jadi, aku yang kudu bawa jaket dua. Kamu bloon ih anjir aslinya. Minta pergi ke tempat yang tiris tapi nggak pernah bawa jaket tebel. Percuma IPK kamu bagus kalau hidupnya nggak efisien.
Oh, maaf. Ini kepala aku mikir sendiri. Semua orang gitu, nggak bisa atur mau mikirin apa. Jadi, ini aku bukan sengaja mikirin kamu. Kalau aku bisa atur, aku nggak akan pernah mau mikirin kamu lagi.
Ya, kamu datang, senyumnya masih sama.
Senyum yang selalu bisa bikin aku baik-baik aja.
Nggak banyak yang berubah dari kamu selain terlihat lebih dewasa... dan lebih baik. Punya karir yang cemerlang, pergaulan yang luas, dan kisah asmara yang kayaknya lebih menjanjikan. Aku tahu kamu selalu visioner, karena itulah kamu milih buat nggak bareng sama aku lagi. Hehe.
"Ini..." dia menyodorkan sebuah brosur yang langsung bikin aku berburuk sangka... INI PASTI MAU NAWARIN MLM! MANTAN SIALAN! UDAH NYAKITIN SEKARANG NGEREPOTIN!
...
...
...
Eh bukan brosur, undangan pernikahan anjir ternyata.
"Aa mau datang kan ke nikahan aku?"
"Nggak ah, kamu kan tahu aku paling malas datang ke pernikahan." Kamu agak merengut tapi langsung memaklumi. 'Aku datangnya nanti aja kalau kamu cerai.' Aku melanjutkan, di dalam hati.
Aku nggak tahu ya, kenapa kamu merasa harus undang aku. Kenapa juga kamu berpikiran kalau aku bakal datang. Kita memang pernah pacaran, tapi kita nggak pernah berteman. Aku bukan orang yang harus dikasih undangan pernikahan sama kamu. Kita pernah punya hubungan apa-apa, tapi sekarang nggak lagi. Kamu pikir aku mau berteman sama kamu? Ih, nggak ya...
Sempat-sempatnya kamu nunjukin calon suami kamu ke aku. Dikiranya itu informasi penting gitu? Yaelah, paling juga mas-mas yang suka masukin struk belanja ke kotak amal depan mini market. Geuleuh anjir ternyata calon suaminya. Tapi dia cinta, nggak apa-apalah. Dia mah emang sukanya cowok yang geuleuh. Makanya dia pernah suka aku. Suka banget-banget malah, tapi dulu.
"Kapan nyusul? Jangan kelamaan jadi bujangan loh!" Katamu, sebelum pamit pulang.
Aku nggak mau menikah secepatnya, tapi setepatnya.
Rasanya agak lucu ya. Dulu aku pernah punya mimpi yang ada kamunya. Sekarang, aku sudah bangun. Aku mau punya mimpi lagi, tapi kamunya bukan kamu lagi.
"Aa pengen ke bukit bintang ih."
"Mau ngapain ke sana? Tiris anjir aslina."
"Aku belum pernah."
"Aku mah udah dan tiris banget."
"Atuh masa aku sendiri?"
"Ya nggak usah kan nggak apa-apa. Nggak bakal ditanya ini kalau UAS."
"Ih Aa mah, gak tahu ah mau nangis aja aku mah."
Oke, kamu sudah merajuk seperti itu. Artinya, keinginan akan segera terkabulkan. Bahkan meskipun aku tahu kalau di sana itu sangat tiris. Aku nggak tahu kenapa kamu nggak pakai jaket, dan aku juga nggak tahu kenapa aku kasih jaket yang aku pakai buat kamu. Di sana, kamu cerita soal kamu yang perfeksionis banget itu.
Kamu cerita soal tugas kelompok dan kamu dapat kelompok yang berisi orang-orang payah. Kamu sebal karena mereka terkesan asal-asalan kalau ngerjain tugas. Kamu nggak bisa, karena kamu mau tugas apapun yang kamu kerjakan harus sempurna. Kamu nggak mau ada kesalahan sekecil apapun, karena buat kamu kesalahan sekecil itu cukup buat ngerusak semuanya.
"Kayak kata pepatah, karena cupang setitik rusak susu sebelanga."
"Aa..."
"Ya?"
"ITU NILA AA! KENAPA JADI CUPANG!"
"YAUDAH ATUH KAN SAMA-SAMA IKAN!"
"AA MAH PORNO IH ANJIR! MENTANG-MENTANG ADA SUSU INGETNYA SAMA CUPANG! HAHAHA!"
Kamu ketawa sampai keluar airmata. Orang-orang mungkin ngiranya aku bikin kamu nangis. Apalagi yang kita bahas adalah susu dan cupang. Padahal, ini bukan soal gairah, cuma pepatah. Kami beda sama mereka. Kami pasangan intelek dan filosofis, bahasnya pepatah.
Itu salah satu keputusan yang aku sesali, karena kamu sering minta ke sana lagi.
"Ke bukit bintang, A!"
"Kamu kenapa sih suka banget ke sana? Lagian itu bukan bintang, tapi bohlam!"
"Ya aku suka liat lampu-lampu itu."
Selera kamu payah anjir, manusia macam apa yang suka liatin lampu? Di kosan juga ada kalau cuma lampu. Dan aku nggak tahu kenapa kamu sukanya pakai baju tipis kalau ke sana. Jadi, aku yang kudu bawa jaket dua. Kamu bloon ih anjir aslinya. Minta pergi ke tempat yang tiris tapi nggak pernah bawa jaket tebel. Percuma IPK kamu bagus kalau hidupnya nggak efisien.
Oh, maaf. Ini kepala aku mikir sendiri. Semua orang gitu, nggak bisa atur mau mikirin apa. Jadi, ini aku bukan sengaja mikirin kamu. Kalau aku bisa atur, aku nggak akan pernah mau mikirin kamu lagi.
Ya, kamu datang, senyumnya masih sama.
Senyum yang selalu bisa bikin aku baik-baik aja.
Nggak banyak yang berubah dari kamu selain terlihat lebih dewasa... dan lebih baik. Punya karir yang cemerlang, pergaulan yang luas, dan kisah asmara yang kayaknya lebih menjanjikan. Aku tahu kamu selalu visioner, karena itulah kamu milih buat nggak bareng sama aku lagi. Hehe.
"Ini..." dia menyodorkan sebuah brosur yang langsung bikin aku berburuk sangka... INI PASTI MAU NAWARIN MLM! MANTAN SIALAN! UDAH NYAKITIN SEKARANG NGEREPOTIN!
...
...
...
Eh bukan brosur, undangan pernikahan anjir ternyata.
"Aa mau datang kan ke nikahan aku?"
"Nggak ah, kamu kan tahu aku paling malas datang ke pernikahan." Kamu agak merengut tapi langsung memaklumi. 'Aku datangnya nanti aja kalau kamu cerai.' Aku melanjutkan, di dalam hati.
Aku nggak tahu ya, kenapa kamu merasa harus undang aku. Kenapa juga kamu berpikiran kalau aku bakal datang. Kita memang pernah pacaran, tapi kita nggak pernah berteman. Aku bukan orang yang harus dikasih undangan pernikahan sama kamu. Kita pernah punya hubungan apa-apa, tapi sekarang nggak lagi. Kamu pikir aku mau berteman sama kamu? Ih, nggak ya...
Sempat-sempatnya kamu nunjukin calon suami kamu ke aku. Dikiranya itu informasi penting gitu? Yaelah, paling juga mas-mas yang suka masukin struk belanja ke kotak amal depan mini market. Geuleuh anjir ternyata calon suaminya. Tapi dia cinta, nggak apa-apalah. Dia mah emang sukanya cowok yang geuleuh. Makanya dia pernah suka aku. Suka banget-banget malah, tapi dulu.
"Kapan nyusul? Jangan kelamaan jadi bujangan loh!" Katamu, sebelum pamit pulang.
Aku nggak mau menikah secepatnya, tapi setepatnya.
Rasanya agak lucu ya. Dulu aku pernah punya mimpi yang ada kamunya. Sekarang, aku sudah bangun. Aku mau punya mimpi lagi, tapi kamunya bukan kamu lagi.
aripindoank dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas
Tutup