- Beranda
- Stories from the Heart
[TAMAT] Always Be My Baby
...
TS
saleskambing
[TAMAT] Always Be My Baby
![[TAMAT] Always Be My Baby](https://s.kaskus.id/images/2019/03/21/8577467_201903211113170946.png)
Mulustrasi, sumber
Tokoh dan karakter di cerita ini diambil dari cerita ini, boleh dibaca dulu biar tau, tapi lebih baik nggak usah.
Spoiler for Part 1:
Aku menurunkan bocah kecil ini dari gendongan, sedikit berjongkok agar bisa merapikan setelan seragamnya yang agak sedikit berantakan, lalu mulai memandangnya, persis seperti apa yang sedang dilakukan oleh orang tua lain yang juga ada di sini.
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
***
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
***
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
Quote:
You'll always be apart of me
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
🎶 Always Be My Baby - David Cook
Diubah oleh saleskambing 19-11-2025 13:09
jenggalasunyi dan 58 lainnya memberi reputasi
55
57.9K
Kutip
335
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saleskambing
#124
Part 5
Cardiac Arrest - Bad Suns
Spoiler for :
"faan.. "
"hmm.. kenapa cell? "
Aku sedang menikmati semilir angin yang secara perlahan menerpa tubuh dan wajahku, saat tiba tiba saja, Marcella yang sedang duduk disebelahku membuka obrolan. Kata kata yang baru saja dia ucapkan sontak membuyarkan semua lamunanku. Menyadarkan ku dari semua lamunan tentang dirinya, tentang wajahnya, dan tentang seberapa kacaunya diriku andai suatu saat aku tak bisa lagi terus menggenggam erat telapak tangannya.
"ceell.. ?"
Aku kemudian mulai memandang wajahnya, wajah yang sudah terlihat begitu manis meski tanpa polesan make up itu nampak seperti sedang menyimpan keraguan. Entah apa yang ada didalam benaknya saat ini, hingga cukup lama ia terlihat menahan kata katanya, tetapi untungnya setelah beberapa kali meyakinkannya, aku akhirnya bisa mendengar lagi apa yang sebenarnya ingin dia ucapkan.
"emm.. kamu ngerasa ga sih fan, kalo yang kita lakuin ini sebenarnya salah.. "
Sambil sedikit tersenyum, aku hanya manggut manggut mendengar apa yang baru saja dia ucapkan. Aku kembali memandang wajahnya, tidak terlalu menyangka bahwa gadis manis yang sekarang ada didepanku ini ternyata masih cukup polos. Yaah meski aku juga sadar, walau bagaimanapun kabur saat jam sekolah buat nongkrong di taman seperti ini juga tidak bisa dibenarkan. Tetapi paling tidak dia harusnya tahu, bahwa jika dibanding kenakalan lain, bolos seperti ini sebenarnya bukan termasuk perbuatan yang kategorinya 'nakal nakal amat' kok.
"hehe, bolos sekali doang nggak akan bikin kamu nggak naek kelas kok cell.. " Ucapku sambil sedikit tertawa.
"ya tapi faan.. hari ini akutuh ada ulangan harian, mana jam terakhir gurunya killer lagi. " Jawab Cella nggak puas. "reputasi ku yang dari SD ga pernah bolos jadi ancur deh gara gara kamu.. " Lanjutnya lagi sambil sedikit memanyunkan bibir.
"hehe, jadi nyesel nih udah bolos terus kabur kesini..? " Tanyaku setengah menggoda sambil mencubit pelan hidungnya. "lha tadi kenapa malah ngikuut? "
"hihi, kan aku kasian sama kamu. Masa kamu bolos sendirian sih.. "
"hahaha alesan, bilang aja kalo kamu juga pengen deket deket aku terus.. "
"haha, apaan sih.. pede banget.. "
"hahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan sesuatu yang sebenarnya tidak harus ditertawakan. Aku selalu menikmati momen momen seperti ini. Momen momen saat aku masih bisa terus memandang wajahnya yang sedang tertawa lepas, seolah senyum, tawa, dan dunia ini memang diciptakan hanya untuk kita berdua.
Aku kembali memandang wajahnya, entah kenapa aku yang sejatinya adalah seorang yang pemalas ini mendadak begitu rajin saat harus berurusan dengan hal hal yang berhubungan dengan dirinya. Aku begitu bersemangat tiap kali mendengar sesuatu tentang dirinya. Dan memandang wajahnya, adalah salah satu hal yang belakangan selalu rajin kulakukan.
"ceell.. "
"hmm.. "
Kita masih saling berpandangan, adegan penuh picisan yang biasanya ku tertawakan saat menonton sinetron favorit emak di televisi ini sekarang tersaji tepat dihadapanku. Dan mendadak menjadi momen yang tak pernah ingin aku lewatkan. Pemandangan seperti ini mungkin terlihat begitu menggelikan bagi sebagian orang, tetapi jujur, aku sangat menikmatinya. Aku benar benar tak ingin momen seperti ini berlalu begitu saja.
Aku sedikit menyibakkan rambut panjangnya yang tertiup angin dan menghalangi wajahnya. Senyumnya terlihat masih mengembang, aku yakin jika ini adalah adegan sinetron pasti sudah ada backsoundberisi lagu lagu romantis yang mengiringi senyum dan tatapan mata kita.
Dan entah karena terbawa suasana, atau karena saat itu sedang ada setan yang berpatroli untuk menggoda anak cucu adam yang masih polos seperti kita berdua, tiba tiba saja wajah kita berdua sudah semakin mendekat. Bibirnya yang selalu nampak menggemaskan itu terlihat sedang bergetar. Aku tidak tahu persis apa yang sedang ia rasakan sekarang, seperti ada keraguan yang kembali bergelayut di sudut matanya. Tetapi dia juga sama sekali tak mencoba untuk menjauhkan wajahnya yang mungkin hanya tinggal beberapa inci saja dari wajahku.
Merasa bahwa tanda yang dia berikan bukanlah sebuah sinyal penolakan, aku semakin mendekatkan wajahku padanya, aku semakin mendorong agar wajahku semakin mendekatinya. Hingga aroma parfumnya yang girly dan desahan nafasnya yang mulai tidak beraturan memenuhi seluruh kepalaku. Ini memang bukan pengalaman pertama untukku, tapi bagi Marcella, ini mungkin adalah pengalaman pertama baginya. Terlihat dari sorot mata serta desahan nafasnya yang memang menunjukkan sebuah isyarat kegugupan.
"ceell.. "
"hmmh.. "
Ujung bibir kita berdua akhirnya saling bertemu. Selama beberapa saat, kita masih saling terdiam dengan kondisi bibir saling bersentuhan seperti ini. Marcella nampak masih canggung, dia bahkan tetap tak memberi reaksi apa apa saat aku mulai mengecup bibir tipisnya. Dia tidak membalas gerakan bibirku, tapi dia juga tidak menunjukkan sebuah reaksi penolakan.
Setelah beberapa saat merasakan hangat bibirnya, aku kemudian mulai melepas ciuman ku. Bersamaan dengan itu, wajah dan bibir Marcella yang nampak sedang memerah terlihat kembali menyunggingkan sebuah senyum. Senyum yang entah kenapa juga kembali membangkitkan gejolak didalam perasaanku. Senyum yang kembali membuat darahku terasa berdesir cepat dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dan senyum yang seketika membuatku kembali meraih wajahnya dan kembali memagut bibirnya yang kemerahan.
"hmmph... faan.. dasar nakaall.. "
Aku tersenyum mengingat apa yang terjadi di hari itu. Itu adalah kenangan manis yang terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Memori indah di taman dekat sekolah yang terukir lebih dari se dekade lalu itu mendadak kembali terlintas di kepalaku saat aku kembali duduk ditempat yang sama, dan bersama orang yang sama.
Berbeda dengan yang terjadi dulu, dimana kita bisa saling tertawa lepas tanpa peduli andai saat itu tiba tiba ada petugas satpol PP yang merazia anak anak yang bolos pada saat jam belajar seperti yang kita lakukan, kali ini sudah hampir setengah jam kita berbagi udara disini, namun belum ada sepatah kata pun yang mampu kita ucapkan. Kita masih sibuk berdebat dengan pikiran dan diri kita sendiri, kenapa kita kembali kesini, kenapa kita malah saling bertemu padahal kita sudah memilih jalan masing-masing, apakah memang takdir yang kembali mempertemukan kita ditempat ini? Seperti yang dulu pernah kita yakini. Atau ini hanya sebuah pelarian saat kita berdua sedang merasa jenuh dengan pilihan yang telah kita ambil? Pertanyaan pertanyaan semacam itulah yang sedari tadi menjejali seluruh isi kepalaku, dan mungkin Marcella juga tengah merasakan hal yang sama hingga ia sama sekali tidak bersuara, dia bahkan juga tidak berani menatapku.
"cell.. " Aku akhirnya memutuskan untuk mengakhiri ke-canggungan yang terjadi diantara kita. Percuma dong kita 'kabur' dari kehidupan kita tapi nggak 'ngapa ngapain'.
"emm.. iya, kenapa fan? " Jawab Marcella akhirnya, sementara kita masih tidak saling memandang.
"kok diem aja sih.. "
"hehe.. "
"oh iya, Thalia mana cell..? " Tanyaku mencoba mencairkan suasana.
"Dirumah fan, lagi main sama mbak-nya.. "
"hah, sama mbaknya? Thalia punya kakak cell? kok kamu nggak pernah cerita sih.. "
"bukan faan, mbak-nya itu orang yang kerja dirumah.. " Jawab Cella lagi, kali ini mulai berani menyambut tatapan mataku.
"hah, kakaknya Thalia udah kamu suruh kerja cell? Emang umur berapa sih dia? "
"haduh, bukan gitu maksud aku Irfaan.. " Balas Cella gemas. "Thalia ga punya kakak, kakaknya Thalia juga ga aku suruh kerja. Tapi mbak-nya ini orang yang kerja dirumah aku, bantuin aku, kamu pasti tau ART kan? Nah, kaya gituu.. "
"Hoo ART, haha bilang dong daritadi.. "
Marcella hanya tersenyum, ekspresi wajahnya kini sudah mulai terlihat lebih rileks daripada tadi. Raut wajah manis yang dulu selalu kurindukan kini kembali muncul dihadapanku, yang sedikit banyak juga kembali mengorek semua kenangan indah tentang dirinya yang sebelumnya sudah ku kubur dalam dalam. Pikiranku kembali berputar, otakku kembali menjelajahi memori memori yang pernah kita ukir bersama, yang pada akhirnya lagi lagi membuat rasa penyesalanku karena harus melepaskannya kembali tumbuh.
"faan.. " Ucap Marcella tiba tiba, yang membuat aku sedikit terhenyak dari semua lamunanku. "kamu lagi mikirin apa sih? "
"eh, nggak papa kok cell.. " Ucapku gelagapan. Lalu mencoba menatap kejauhan, kearah kawanan burung yang tengah terbang untuk kembali ke sarangnya. "oh iya, suami kamu mana cell? Aku nggak bisa bayangin, gimana reaksinya andai tau kalo istrinya yang cantik ini sekarang lagi berduaan sama mantannya pas SMA dulu. Haha, udah digorok kali ya leherku."
Setelah mendengar kata kataku, kini giliran Marcella yang memandang kearah kejauhan, memandang kawanan burung yang sayangnya udah pada balik dan mungkin sskarang sedang bergumul di sarangnya yang hangat. Terlihat ekspresi wajahnya sedikit berubah setelah mendengar ucapanku. Aku sedikit menyesal sudah bertanya tentang suaminya, tapi kalo nggak ditanyain ya bahaya juga. Siapa tau mereka berdua sedang bersandiwara untuk menjebak ku, memanfaatkan kebaikanku yang memang sudah terkenal rendah hati pada semua orang. Tapi buat apa juga, apa gunanya menjebak orang sepertiku? Yang sudah biasa terjebak, bahkan tanpa harus dijebak sekalipun.
"ga mungkin fan.. " Ucapnya lirih, namun cukup jelas terdengar. "Dia itu cuma cinta bisnis sama pekerjaannya. ."
Cella kemudian berdiri, dia lalu berjalan menuju pagar pembatas yang ada di antara taman dan air mancur yang letaknya tak jauh dari tempat kita. Dia masih tetap menunjukkan nada dan ekspresi yang dingin. Sesuatu yang membuat aku makin merasa bersalah karena sudah menyinggung tentang suaminya, yang mungkin saja saat ini sedang menjadi sesuatu yang tak pernah ingin dia bahas.
"dia juga kurang begitu suka sama anak kecil, beda sama kamu fan. Yang ada di pikiran dia itu cuma uang, uang, dan uang."
Aku kemudian berjalan secara perlahan menghampiri Marcella, ditemani semburat langit jingga sebagai tanda munculnya momen golden houryang biasanya diburu banyak orang, aku mulai melangkah untuk menciptakan golden hour versi-ku sendiri. Dengan Marcella sebagai objek keindahannya.
"kamu tahu nggak cell.. Diluaran sana, ada jutaan orang yang mengidam idamkan sebuah pekerjaan, ada jutaan orang yang pengen punya penghasilan tetap, ada jutaan orang yang pengen membanggakan diri mereka karena punya pekerjaan yang hebat. Dan diantara jutaan orang itu, mungkin aku adalah salah satunya.. "
Aku menoleh kearahnya, sekedar memastikan bahwa dia mendengarkan ucapanku. Namun yang terjadi justru aku yang kembali tertawan oleh wajahnya yang tetap terlihat menawan meski sinar mentari sudah mulai beranjak menuju tempat peraduannya.
"aku bukan orang yang hebat cell, aku bukan orang yang dihormati banyak orang, aku nggak punya pekerjaan tetap, aku nggak punya jabatan penting, dan aku juga bukan orang yang bisa ngasilin banyak uang lalu memberi banyak hal pada orang orang disekelilingku.. "
".. "
"kalau pada akhirnya menurut kamu aku lebih dari yang lain, itu karena kamu hanya melihat dari satu sisi. Aku bersikap baik pada orang lain, itu karena memang hanya itu yang bisa aku berikan cell. Aku sering mengantar jemput Irfan, sering menemaninya, sering membawanya bersamaku, itu karena memang hanya itu yang bisa aku lakukan.. "
Marcella masih diam mendengarkan kata kataku, dia juga tetap tidak bersuara saat kedua tanganku meraih kedua bahunya, hingga kita kembali berhadap hadapan.
"yang harus kamu tahu cell, didunia ini nggak ada yang sempurna. Yang harus kita lakukan hanyalah menyeimbangkan persepsi kita, percayalah, selalu ada hal positif yang bisa kita ambil dari kejadian buruk sekalipun. Kamu mungkin berpikir negatif karena dia hanya fokus sama kerjaannya. Tetapi dia, dia mungkin sedang berpikir positif untuk bekerja keras agar istri dan anaknya nggak pernah hidup kekurangan.. "
"tapi faan.. dia itu emang udah berlebihan banget. Sampe ga peduli sama istri dan anak sendiri.. "
"hehe, ya itu tugas kamu cell.. tugas kamu ya menyeimbangkan pikirannya. Sekali kali kamu ajak ngomong lah, kamu kasih tau kalau kamu juga butuh perhatian, kalo perlu kamu goda suami kamu, masa punya istri yang cantiknya nggak ada obat gini cuma dianggurin doang, haha."
"haha dasar, masih aja, suka modus.. "
Aku tertawa, lalu kemudian mencubit pelan hidungnya. Kita masih saling berpandangan dari jarak yang cukup dekat. Aku sebenarnya sadar bahwa ini adalah perbuatan yang nggak bisa dibenarkan untuk alasan apapun. Tetapi entah kenapa, nafsuku sebagai manusia biasa terkadang lebih dominan dibanding akal sehatku. Setan yang menari nari di kepalaku seolah makin tertawa lebar saat mengetahui kalau Marcella juga sama sekali tak menunjukkan sebuah reaksi penolakan.
"tapi makasih ya fan.. kamu emang paling bisa bikin aku tenang lagi.. "
Entah untuk alasan apa, tiba tiba saja Marcella malah meraih telapak tangan kananku dan menggenggamnya. Wajahnya yang nampak memerah terlihat semakin dekat dari wajahku. Membuat aku semakin bingung harus bereaksi seperti apa, mau menyambut gerakan bibirnya tetapi bayangan Dhara yang sedang mengangkat pisau dapur sambil tersenyum mengerikan tiba tiba saja muncul dikepala ku. Tapi kalo nggak disambut, namanya mubazir, dan dari kecil aku selalu diajarkan untuk tidak suka mubazir alias membuang buang sesuatu. Duh ceell, kalo gini kan jadi aku yang nggak tenang.
Saat masih sibuk berdebat dengan setan, malaikat, iblis, dan sesekali bayangan Dhara dengan pisau dapurnya yang terus berputar dikepala ku, tiba tiba saja tangan kanan Marcella meraih bagian belakang kepalaku, dan langsung menarik kepalaku hingga bibir kita kembali saling berpagutan setelah lebih dari sepuluh tahun aku tak merasakan lagi hangat bibirnya.
Dan sebagai manusia biasa, aku hanya bisa pasrah dan hanyut dalam permainan bibir dan lidahnya.
"mmphh.. ceell.. dasar nakal. "
"hmm.. kenapa cell? "
Aku sedang menikmati semilir angin yang secara perlahan menerpa tubuh dan wajahku, saat tiba tiba saja, Marcella yang sedang duduk disebelahku membuka obrolan. Kata kata yang baru saja dia ucapkan sontak membuyarkan semua lamunanku. Menyadarkan ku dari semua lamunan tentang dirinya, tentang wajahnya, dan tentang seberapa kacaunya diriku andai suatu saat aku tak bisa lagi terus menggenggam erat telapak tangannya.
"ceell.. ?"
Aku kemudian mulai memandang wajahnya, wajah yang sudah terlihat begitu manis meski tanpa polesan make up itu nampak seperti sedang menyimpan keraguan. Entah apa yang ada didalam benaknya saat ini, hingga cukup lama ia terlihat menahan kata katanya, tetapi untungnya setelah beberapa kali meyakinkannya, aku akhirnya bisa mendengar lagi apa yang sebenarnya ingin dia ucapkan.
"emm.. kamu ngerasa ga sih fan, kalo yang kita lakuin ini sebenarnya salah.. "
Sambil sedikit tersenyum, aku hanya manggut manggut mendengar apa yang baru saja dia ucapkan. Aku kembali memandang wajahnya, tidak terlalu menyangka bahwa gadis manis yang sekarang ada didepanku ini ternyata masih cukup polos. Yaah meski aku juga sadar, walau bagaimanapun kabur saat jam sekolah buat nongkrong di taman seperti ini juga tidak bisa dibenarkan. Tetapi paling tidak dia harusnya tahu, bahwa jika dibanding kenakalan lain, bolos seperti ini sebenarnya bukan termasuk perbuatan yang kategorinya 'nakal nakal amat' kok.
"hehe, bolos sekali doang nggak akan bikin kamu nggak naek kelas kok cell.. " Ucapku sambil sedikit tertawa.
"ya tapi faan.. hari ini akutuh ada ulangan harian, mana jam terakhir gurunya killer lagi. " Jawab Cella nggak puas. "reputasi ku yang dari SD ga pernah bolos jadi ancur deh gara gara kamu.. " Lanjutnya lagi sambil sedikit memanyunkan bibir.
"hehe, jadi nyesel nih udah bolos terus kabur kesini..? " Tanyaku setengah menggoda sambil mencubit pelan hidungnya. "lha tadi kenapa malah ngikuut? "
"hihi, kan aku kasian sama kamu. Masa kamu bolos sendirian sih.. "
"hahaha alesan, bilang aja kalo kamu juga pengen deket deket aku terus.. "
"haha, apaan sih.. pede banget.. "
"hahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan sesuatu yang sebenarnya tidak harus ditertawakan. Aku selalu menikmati momen momen seperti ini. Momen momen saat aku masih bisa terus memandang wajahnya yang sedang tertawa lepas, seolah senyum, tawa, dan dunia ini memang diciptakan hanya untuk kita berdua.
Aku kembali memandang wajahnya, entah kenapa aku yang sejatinya adalah seorang yang pemalas ini mendadak begitu rajin saat harus berurusan dengan hal hal yang berhubungan dengan dirinya. Aku begitu bersemangat tiap kali mendengar sesuatu tentang dirinya. Dan memandang wajahnya, adalah salah satu hal yang belakangan selalu rajin kulakukan.
"ceell.. "
"hmm.. "
Kita masih saling berpandangan, adegan penuh picisan yang biasanya ku tertawakan saat menonton sinetron favorit emak di televisi ini sekarang tersaji tepat dihadapanku. Dan mendadak menjadi momen yang tak pernah ingin aku lewatkan. Pemandangan seperti ini mungkin terlihat begitu menggelikan bagi sebagian orang, tetapi jujur, aku sangat menikmatinya. Aku benar benar tak ingin momen seperti ini berlalu begitu saja.
Aku sedikit menyibakkan rambut panjangnya yang tertiup angin dan menghalangi wajahnya. Senyumnya terlihat masih mengembang, aku yakin jika ini adalah adegan sinetron pasti sudah ada backsoundberisi lagu lagu romantis yang mengiringi senyum dan tatapan mata kita.
Dan entah karena terbawa suasana, atau karena saat itu sedang ada setan yang berpatroli untuk menggoda anak cucu adam yang masih polos seperti kita berdua, tiba tiba saja wajah kita berdua sudah semakin mendekat. Bibirnya yang selalu nampak menggemaskan itu terlihat sedang bergetar. Aku tidak tahu persis apa yang sedang ia rasakan sekarang, seperti ada keraguan yang kembali bergelayut di sudut matanya. Tetapi dia juga sama sekali tak mencoba untuk menjauhkan wajahnya yang mungkin hanya tinggal beberapa inci saja dari wajahku.
Merasa bahwa tanda yang dia berikan bukanlah sebuah sinyal penolakan, aku semakin mendekatkan wajahku padanya, aku semakin mendorong agar wajahku semakin mendekatinya. Hingga aroma parfumnya yang girly dan desahan nafasnya yang mulai tidak beraturan memenuhi seluruh kepalaku. Ini memang bukan pengalaman pertama untukku, tapi bagi Marcella, ini mungkin adalah pengalaman pertama baginya. Terlihat dari sorot mata serta desahan nafasnya yang memang menunjukkan sebuah isyarat kegugupan.
"ceell.. "
"hmmh.. "
Ujung bibir kita berdua akhirnya saling bertemu. Selama beberapa saat, kita masih saling terdiam dengan kondisi bibir saling bersentuhan seperti ini. Marcella nampak masih canggung, dia bahkan tetap tak memberi reaksi apa apa saat aku mulai mengecup bibir tipisnya. Dia tidak membalas gerakan bibirku, tapi dia juga tidak menunjukkan sebuah reaksi penolakan.
Setelah beberapa saat merasakan hangat bibirnya, aku kemudian mulai melepas ciuman ku. Bersamaan dengan itu, wajah dan bibir Marcella yang nampak sedang memerah terlihat kembali menyunggingkan sebuah senyum. Senyum yang entah kenapa juga kembali membangkitkan gejolak didalam perasaanku. Senyum yang kembali membuat darahku terasa berdesir cepat dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dan senyum yang seketika membuatku kembali meraih wajahnya dan kembali memagut bibirnya yang kemerahan.
"hmmph... faan.. dasar nakaall.. "
***
Aku tersenyum mengingat apa yang terjadi di hari itu. Itu adalah kenangan manis yang terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Memori indah di taman dekat sekolah yang terukir lebih dari se dekade lalu itu mendadak kembali terlintas di kepalaku saat aku kembali duduk ditempat yang sama, dan bersama orang yang sama.
Berbeda dengan yang terjadi dulu, dimana kita bisa saling tertawa lepas tanpa peduli andai saat itu tiba tiba ada petugas satpol PP yang merazia anak anak yang bolos pada saat jam belajar seperti yang kita lakukan, kali ini sudah hampir setengah jam kita berbagi udara disini, namun belum ada sepatah kata pun yang mampu kita ucapkan. Kita masih sibuk berdebat dengan pikiran dan diri kita sendiri, kenapa kita kembali kesini, kenapa kita malah saling bertemu padahal kita sudah memilih jalan masing-masing, apakah memang takdir yang kembali mempertemukan kita ditempat ini? Seperti yang dulu pernah kita yakini. Atau ini hanya sebuah pelarian saat kita berdua sedang merasa jenuh dengan pilihan yang telah kita ambil? Pertanyaan pertanyaan semacam itulah yang sedari tadi menjejali seluruh isi kepalaku, dan mungkin Marcella juga tengah merasakan hal yang sama hingga ia sama sekali tidak bersuara, dia bahkan juga tidak berani menatapku.
"cell.. " Aku akhirnya memutuskan untuk mengakhiri ke-canggungan yang terjadi diantara kita. Percuma dong kita 'kabur' dari kehidupan kita tapi nggak 'ngapa ngapain'.
"emm.. iya, kenapa fan? " Jawab Marcella akhirnya, sementara kita masih tidak saling memandang.
"kok diem aja sih.. "
"hehe.. "
"oh iya, Thalia mana cell..? " Tanyaku mencoba mencairkan suasana.
"Dirumah fan, lagi main sama mbak-nya.. "
"hah, sama mbaknya? Thalia punya kakak cell? kok kamu nggak pernah cerita sih.. "
"bukan faan, mbak-nya itu orang yang kerja dirumah.. " Jawab Cella lagi, kali ini mulai berani menyambut tatapan mataku.
"hah, kakaknya Thalia udah kamu suruh kerja cell? Emang umur berapa sih dia? "
"haduh, bukan gitu maksud aku Irfaan.. " Balas Cella gemas. "Thalia ga punya kakak, kakaknya Thalia juga ga aku suruh kerja. Tapi mbak-nya ini orang yang kerja dirumah aku, bantuin aku, kamu pasti tau ART kan? Nah, kaya gituu.. "
"Hoo ART, haha bilang dong daritadi.. "
Marcella hanya tersenyum, ekspresi wajahnya kini sudah mulai terlihat lebih rileks daripada tadi. Raut wajah manis yang dulu selalu kurindukan kini kembali muncul dihadapanku, yang sedikit banyak juga kembali mengorek semua kenangan indah tentang dirinya yang sebelumnya sudah ku kubur dalam dalam. Pikiranku kembali berputar, otakku kembali menjelajahi memori memori yang pernah kita ukir bersama, yang pada akhirnya lagi lagi membuat rasa penyesalanku karena harus melepaskannya kembali tumbuh.
"faan.. " Ucap Marcella tiba tiba, yang membuat aku sedikit terhenyak dari semua lamunanku. "kamu lagi mikirin apa sih? "
"eh, nggak papa kok cell.. " Ucapku gelagapan. Lalu mencoba menatap kejauhan, kearah kawanan burung yang tengah terbang untuk kembali ke sarangnya. "oh iya, suami kamu mana cell? Aku nggak bisa bayangin, gimana reaksinya andai tau kalo istrinya yang cantik ini sekarang lagi berduaan sama mantannya pas SMA dulu. Haha, udah digorok kali ya leherku."
Setelah mendengar kata kataku, kini giliran Marcella yang memandang kearah kejauhan, memandang kawanan burung yang sayangnya udah pada balik dan mungkin sskarang sedang bergumul di sarangnya yang hangat. Terlihat ekspresi wajahnya sedikit berubah setelah mendengar ucapanku. Aku sedikit menyesal sudah bertanya tentang suaminya, tapi kalo nggak ditanyain ya bahaya juga. Siapa tau mereka berdua sedang bersandiwara untuk menjebak ku, memanfaatkan kebaikanku yang memang sudah terkenal rendah hati pada semua orang. Tapi buat apa juga, apa gunanya menjebak orang sepertiku? Yang sudah biasa terjebak, bahkan tanpa harus dijebak sekalipun.
"ga mungkin fan.. " Ucapnya lirih, namun cukup jelas terdengar. "Dia itu cuma cinta bisnis sama pekerjaannya. ."
Cella kemudian berdiri, dia lalu berjalan menuju pagar pembatas yang ada di antara taman dan air mancur yang letaknya tak jauh dari tempat kita. Dia masih tetap menunjukkan nada dan ekspresi yang dingin. Sesuatu yang membuat aku makin merasa bersalah karena sudah menyinggung tentang suaminya, yang mungkin saja saat ini sedang menjadi sesuatu yang tak pernah ingin dia bahas.
"dia juga kurang begitu suka sama anak kecil, beda sama kamu fan. Yang ada di pikiran dia itu cuma uang, uang, dan uang."
Aku kemudian berjalan secara perlahan menghampiri Marcella, ditemani semburat langit jingga sebagai tanda munculnya momen golden houryang biasanya diburu banyak orang, aku mulai melangkah untuk menciptakan golden hour versi-ku sendiri. Dengan Marcella sebagai objek keindahannya.
"kamu tahu nggak cell.. Diluaran sana, ada jutaan orang yang mengidam idamkan sebuah pekerjaan, ada jutaan orang yang pengen punya penghasilan tetap, ada jutaan orang yang pengen membanggakan diri mereka karena punya pekerjaan yang hebat. Dan diantara jutaan orang itu, mungkin aku adalah salah satunya.. "
Aku menoleh kearahnya, sekedar memastikan bahwa dia mendengarkan ucapanku. Namun yang terjadi justru aku yang kembali tertawan oleh wajahnya yang tetap terlihat menawan meski sinar mentari sudah mulai beranjak menuju tempat peraduannya.
"aku bukan orang yang hebat cell, aku bukan orang yang dihormati banyak orang, aku nggak punya pekerjaan tetap, aku nggak punya jabatan penting, dan aku juga bukan orang yang bisa ngasilin banyak uang lalu memberi banyak hal pada orang orang disekelilingku.. "
".. "
"kalau pada akhirnya menurut kamu aku lebih dari yang lain, itu karena kamu hanya melihat dari satu sisi. Aku bersikap baik pada orang lain, itu karena memang hanya itu yang bisa aku berikan cell. Aku sering mengantar jemput Irfan, sering menemaninya, sering membawanya bersamaku, itu karena memang hanya itu yang bisa aku lakukan.. "
Marcella masih diam mendengarkan kata kataku, dia juga tetap tidak bersuara saat kedua tanganku meraih kedua bahunya, hingga kita kembali berhadap hadapan.
"yang harus kamu tahu cell, didunia ini nggak ada yang sempurna. Yang harus kita lakukan hanyalah menyeimbangkan persepsi kita, percayalah, selalu ada hal positif yang bisa kita ambil dari kejadian buruk sekalipun. Kamu mungkin berpikir negatif karena dia hanya fokus sama kerjaannya. Tetapi dia, dia mungkin sedang berpikir positif untuk bekerja keras agar istri dan anaknya nggak pernah hidup kekurangan.. "
"tapi faan.. dia itu emang udah berlebihan banget. Sampe ga peduli sama istri dan anak sendiri.. "
"hehe, ya itu tugas kamu cell.. tugas kamu ya menyeimbangkan pikirannya. Sekali kali kamu ajak ngomong lah, kamu kasih tau kalau kamu juga butuh perhatian, kalo perlu kamu goda suami kamu, masa punya istri yang cantiknya nggak ada obat gini cuma dianggurin doang, haha."
"haha dasar, masih aja, suka modus.. "
Aku tertawa, lalu kemudian mencubit pelan hidungnya. Kita masih saling berpandangan dari jarak yang cukup dekat. Aku sebenarnya sadar bahwa ini adalah perbuatan yang nggak bisa dibenarkan untuk alasan apapun. Tetapi entah kenapa, nafsuku sebagai manusia biasa terkadang lebih dominan dibanding akal sehatku. Setan yang menari nari di kepalaku seolah makin tertawa lebar saat mengetahui kalau Marcella juga sama sekali tak menunjukkan sebuah reaksi penolakan.
"tapi makasih ya fan.. kamu emang paling bisa bikin aku tenang lagi.. "
Entah untuk alasan apa, tiba tiba saja Marcella malah meraih telapak tangan kananku dan menggenggamnya. Wajahnya yang nampak memerah terlihat semakin dekat dari wajahku. Membuat aku semakin bingung harus bereaksi seperti apa, mau menyambut gerakan bibirnya tetapi bayangan Dhara yang sedang mengangkat pisau dapur sambil tersenyum mengerikan tiba tiba saja muncul dikepala ku. Tapi kalo nggak disambut, namanya mubazir, dan dari kecil aku selalu diajarkan untuk tidak suka mubazir alias membuang buang sesuatu. Duh ceell, kalo gini kan jadi aku yang nggak tenang.
Saat masih sibuk berdebat dengan setan, malaikat, iblis, dan sesekali bayangan Dhara dengan pisau dapurnya yang terus berputar dikepala ku, tiba tiba saja tangan kanan Marcella meraih bagian belakang kepalaku, dan langsung menarik kepalaku hingga bibir kita kembali saling berpagutan setelah lebih dari sepuluh tahun aku tak merasakan lagi hangat bibirnya.
Dan sebagai manusia biasa, aku hanya bisa pasrah dan hanyut dalam permainan bibir dan lidahnya.
"mmphh.. ceell.. dasar nakal. "
Quote:
I've been tryin' to keep my grip
Yeah, I think I'm over this
I can hear it now, oh no, oh no
Yeah, my tongue will let it slip
Why'd I do those things I did?
I can taste it now, oh no, oh no
I'll try my best, how much do I invest?
Like cardiac arrest, high voltage in her lips
I'll try my best, how much do I invest?
Like cardiac arrest, high voltage when we kiss
Yeah, I think I'm over this
I can hear it now, oh no, oh no
Yeah, my tongue will let it slip
Why'd I do those things I did?
I can taste it now, oh no, oh no
I'll try my best, how much do I invest?
Like cardiac arrest, high voltage in her lips
I'll try my best, how much do I invest?
Like cardiac arrest, high voltage when we kiss
Cardiac Arrest - Bad Suns
Diubah oleh saleskambing 19-12-2024 10:43
jenggalasunyi dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas
Tutup